Friday 13th - 2

Kamar mandi di lantai bawah agak terlalu besar untuk dijadikan hanya kamar mandi. Itu sebabnya para penghuni rumah itu meletakkan mesin cuci disitu, dan menjadikannya ruang cuci, sekaligus kamar mandi darurat.

"Ehh, Pak Jim genit amat sihh..!" desah Vin ketika bapak kost itu menggelitik pinggangnya.
"Hihihi." Pak Jim terkekeh, "Abis kamu sih, masa nyuci baju aja mesti pakai kemeja ketat gitu."
Vin sedang membungkuk di depan mesin cuci yang berisi baju-bajunya. Tangannya yang masih dipenuhi busa deterjen itu membalas Pak Jim, menggelitik pinggang pria setengah baya itu.
"Eits..!" seru Pak Jim sambil berkelit, namun kaos singletnya tetap terkena busa deterjen, "Yah, jadi basah nih."

"Hihihihi..!" Vin tertawa nakal, "Nggak apa-apa kan, Pak..! Biar keliatan transparan..!"
"Saya balas lho..!" seru Pak Jim sambil mencipratkan air dari mesin cuci ke arah Vin, membuat kemeja putih ketat yang dikenakan gadis itu jadi basah di bagian depannya.
"Iiih..! Dingin dong, Pak..!" seru Vin manja.
"Kalau dingin, peluk saya doong..!" seru Pak Jim sambil tetap menciprat-cipratkan air ke kemeja Vin hingga apa yang di dalamnya kini tampak dari luar.
"Iya deh..!" Vin menubruk pria itu sambil memeluk erat-erat hingga keduanya jatuh berguling-guling di lantai porselin yang dingin. Keduanya basah kuyup dan tertawa-tawa.

"Eh, pintunya dikunci dulu ya, Pak..!" kata Vin yang tentu saja membuat Pak Jim mengangguk keras-keras.
Vin berdiri untuk mengunci pintu, namun Pak Jim merengkuh pinggangnya dari belakang. Pria setengah baya bertubuh tambun itu mendekap erat Vin dari belakang dan menciumi tengkuk wanita muda itu. Tangannya pun tidak segan-segan meremas-remas pinggang Vin yang kini tertutup kemeja basah.
"Ehh, sebentar doong.. uhh.. kan pintunya mesti saya kunci dulu..!" ujar Vin sambil menggelinjang memberontak.
"Iya deh, sana..!" Pak Jim melepaskannya.

Vin berlari menuju pintu, mengambil anak kunci, menutup pintu, dan mengunci dari luar.
"Naah, sudah saya kunci ya pak..!" seru Vin sambil tertawa-tawa dari luar kamar mandi.
"Eh, curang kamu yah..!" seru Pak Jim dengan nada tidak terima dan menyumpah-nyumpah.
"Buka pintunya..! Ada yang perlu saya omongin nih..! Penting..!" teriak Pak Jim dari dalam kamar mandi.
"Hihihi, tentang apa nih, Pak..?" jawab Vin sambil tertawa-tawa, "Kok kedengarannya serius..? Hahahaha.."
"Aku tidak ingin bercanda..!" jawab Pak Jim.
Suasana mendadak hening. Pintu segera terbuka kembali, dan pria setengah baya itu tersenyum menatap apa yang dilihatnya di depan mata. Pintu tertutup dan kembali terkunci dengan sendirinya di belakang tubuh Vin yang kini tidak tertutupi selembar benang pun.
"Naah, kalau gini kan lebih enak ngomong-ngomongnya." bisik Pak Jim di telinga Vin.

********

Kamar tidur besar berukuran 8 x 4 meter, hitamnya cat pada dinding dan langit-langit, memberikan kesan suram dan gelap pada kamar yang sebenarnya terang-benderang.

"Ooh, gitu toh maunya.." ujar Santi setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar dari Leo.
"Iya, apa kira-kira kamu bisa bantu..?" tanya Leo sambil berdiri dari sofa, mengamati tubuh Santi yang tergeletak di tengah ranjang.
"Hm.. Mungkin bisa.. mungkin juga enggak." jawab Santi menatap mata Leo tajam-tajam.
"Oke, ntar setelah selesai beres-beres turun yah..?" jawab Leo lagi, "Kita mungkin udah ditunggu sama Pak Jim."

Leo lalu melangkahkan kakinya ke pintu, namun langkahnya terhenti ketika bahunya terasa ditarik oleh jari-jari wanita. Pemuda itu membalikkan badan dan mendapati Santi masih setengah terbaring di tengah ranjang yang cukup jauh dari tempatnya berdiri. Mata wanita itu melirik ke arah pintu, anak kunci berputar, dan pintu terkunci.
"Jangan keluar dulu, dong." ujar Santi datar.
Wanita itu bangkit berdiri dan menarik lingerie hitamnya ke atas, dan melemparnya ke lantai, membiarkan Leo bisa melihat apa-apa yang ingin dilihatnya sejak tadi.

Secara refleks, Leo menarik kaosnya sendiri ke atas hingga terlepas, memamerkan otot-otot dadanya yang lumayan terlatih, dan melangkah mendekat. Santi kembali membaringkan tubuhnya di tengah ranjang, kedua tangannya merentang ke samping, kepalanya yang tak berbantal tampakmenengadah ke atas, memejamkan mata seolah menyerahkan segalanya.
"Biasanya tidak semudah ini." bisik Leo dalam hati.
"Kali ini kamu beruntung." ujar Santi menjawab suara hati Leo, "Aku sedang capek dan ingin istirahat."
"Lantas..?" tanya Leo, masih di dalam hati.
"Terserah kamu mau melakukan yang bagaimana." jawab Santi, sambil tetap dalam posisi semula.

Leo membungkuk, mengambil cambuk panjang tergulung rapih yang tadi dilemparkan oleh Santi, ia juga memungut borgol keemasan dari lantai. Diperlihatkannya kedua benda itu pada Santi, seolah meminta persetujuan, namun Santi tetap tidak bergerak.

********

Lantai kamar mandi terasa dingin mengalasi punggung telanjang Vin. Wajah wanita muda itu mengekspresikan rasa nikmat tiada tara, bibirnya yang indah ternganga mendesahkan rintihan-rintihan memelas, kedua matanya setengah terbuka dan bola matanya agak terputar ke atas, menampakkan putihnya saja. Kedua buah dadanya yang kenyal sedang berada dalam kepalan tangan Pak Jim yang meremas-remas gemas. Pinggang gadis itu sedikit terangkat karena lutut-lututnya mengait leher pria setengah baya itu. Tubuh mereka bergoyang-goyang kencang mengikuti tusukan-tusukan cepat batang kejantanan yang kaku pada liang kewanitaan yang lembab basah.

"J-jadi.. kamu sudah tahu r-rencana hari Jumat b-besokggh..?" seru Pak Jim sambil terus menggoyangkan badan menusuk-nusukkan kejantanannya pada tubuh mulus Vin.
Sambil tetap meringis-ringis keenakan, wanita itu menganggukkan kepalanya. Gesekan-gesekan batang kokoh itu terasa begitu nikmatnya hingga mulut wanita itu tak mampu menyuarakan apa-apa selain erangan memelas.
"K-kamu bisa p-pastikann t-t-tidak ada.. p-pengacau kann..?" seru Pak Jim lagi, sambil mempercepat goyangannya dan menjepit dua puting kecil di dada Vin dengan ibu jari dan telunjuknya.
Vin makin liar merintih-rintih keras, gerakan badannya makin tak terkendali, menggeliat-geliat, kepalanya terbuang ke kiri dan kanan. Rambutnya yang basah oleh lantai kamar mandi terlihat begitu seksi menutupi sedikit dahinya.

"B-b-bisa nggakkgh..?" tanya Pak Jim lagi, meyakinkan.
"Uhh.. S-saya b-b-bisaahh.." rintih Vin sambil kedua tangannya memegangi punggung tangan Pak Jim yang meremas-remas buah dadanya yang ranum, "Oughh.. P-P-Pakk.. S-s-sayaa.. aaghhkk.."
Bertepatan dengan rintihan panjang Vin, Pak Jim juga melolong panjang dan menyemprotkan isi kejantanannya ke dalam tubuh Vin, lalu keduanya mengejang sesaat. Dari luar ruangan terdengar suara seperti lolongan anjing yang menyayat kuping.

********

Dinginnya AC di kamar tidur itu tak lagi terasa oleh Santi. Wanita itu sedang terpejam-pejam menikmati perlakuan Leo padanya. Kedua tangan dan kakinya merentang ke sudut-sudut ranjang, terikat rapih oleh cambuk dan borgol milik Leo, membuatnya tak begitu leluasa menggeliatkanbadan ketika rangsangan datang, ia hanya mampu mengerang dan memiringkan leher jenjangnya.

"Uhh.. Leoo.. pleasee..!" rintih Santi dengan kening berkerut dan gigi menggeretak tak sabar.
"Sabar dong, Non.." jawab Leo santai, terdengar menjengkelkan, "Aku masih menikmati ini semua."

Tangan pria itu memegang sebuah gelas sloki kosong, yang digerakkannya menelusuri tubuh telanjang Santi. Dinginnya kaki gelas yang merambati tubuhnya membuat Santi tergelinjang-gelinjang menahan geli, namun kaki dan tangannya yang terikat menghalangi geraknya. Entah sudah berapa kali kaki gelas itu merambati leher jenjangnya, menggelitik paha bagian dalamnya, atau berputar-putar di atas kedua puting susunya yang telah mengejang kaku. Butir-butir keringat dingin mulai menghiasi kulit halus wanita bertubuh tinggi itu. Akhirnya, kaki gelas itu menuruni perutnya yang ramping, merambati rambut-rambut halus di selangkangannya, lalu turun lagi.. turun lagi.. lalu berhenti tepat di atas sebentuk bibir lunak yang melintang di tengah pangkal pahanya.

"Ngg.. don't stop there.. pleasee.." terdengar kembali rintihan memelas dari bibir tipis Santi.
"Hmm.. tadinya sih mau terus turun, tapi aku tertarik dengan dua benda ini." jawab Leo sambil meletakkan gelas sloki itu di ranjang, membasahi jemarinya dengan keringat di pinggang Santi, lalu jemari kekar itu menjentik-jentikkan puting-puting susu Santi, membuat wajah pemiliknya kian memelas.
Kedua alis wanita itu seperti mengumpul di keningnya, matanya terpejam rapat, giginya terkatup meskipun bibirnya ternganga. Kepalanya terbuang ke kiri kanan berusaha mati-matian menahan rangsangan rasa geli yang terasa begitu menyiksa karena tak mampu ditahan itu.

"Soo beautiful." ujar Leo sambil tersenyum menatap ekspresi 'korban'-nya yang seperti perpaduan dari ekspresi kesakitan dan terangsang berat.
Sesekali kuku tajam Leo menusuk puting-puting kecil itu. Rasa sakit yang sesekali muncul di tengah kenikmatan membuat wajah Santi kian merangsang, nafasnya tersentak-sentak, dan rintihannya tertahan-tahan. Leo menatap dengan nanar, pemandangan inilah yang dinanti-nantikannya sejak dulu.

Leo melepaskan kedua tonjolan kecil yang telah membengkak itu, memberi Santi kesempatan menarik nafas. Dada wanita itu naik turun mengikuti nafasnya yang terengah-engah agak lega ketika Leo menghentikan rangsangan mautnya. Namun wanita itu segera terjingkat-jingkat ketika Leo menyentuh-nyentuh bibir kewanitaannya dengan kaki gelas sloki tadi. Tubuh langsing yang terikat erat itu mengejang-ngejang menahan rangsangan yang semakin meledak-ledak. Wajahnya meringis menahan siksaan itu, jeritan-jeritan keras terdengar terpatah-patah tertahan. Kaki gelas sloki kecil itu bergerak melingkar-lingkar, menggesek, mengait-ngait bibir kewanitaan Santi, membuat tubuh pemiliknya mengejang-ngejang.

Wanita itu tak lagi merasakan kenikmatan, melainkan rasa gatal yang amat geli yang membuatnya ingin segera mengatupkan kedua pahanya, namun ikatan di kakinya terlalu kuat. Perasaan dalam otaknya bercampur aduk, stress, gelisah, sekaligus amat sangat terangsang.

"Ohh.. Leoo.. pleasee.. stopp..!" tanpa henti-hentinya bibir wanita itu menjerit-jerit histeris.
Kadang-kadang giginya menggeretak keras, kadang-kadang matanya seperti memandang tajam dengan dua alisnya terangkat ke atas, kadang-kadang bola matanya berputar ke atas hinggahanya putihnya yang terlihat. Sekujur tubuh tinggi itu kini berkilat-kilat dibasahi keringat yang mengucur deras. Di selangkangan dan pangkal pahanya, bukan hanya keringat yang membasahi, cairan pelumas mengalir seperti membanjir dari liang kewanitaan yang bibirnya telah mengembang berdenyut-denyut oleh gesekan gelas itu.

Sambil tersenyum, Leo mengambil sedikit lelehan cairan kewanitaan Santi dengan jari dan menjilatnya. Lama kelamaan, pria itu mulai terangsang, celana hitamnya tak lagi mampu menyembunyikan tonjolan besar dari baliknya. Jeritan-jeritan Santi semakin tak terkontrol, berbagai sumpah serapah mengalir keluar dari bibir tipisnya di sela-sela erangan menyayat.

Tak ingin memperpanjang waktu, Leo melucuti pakaiannya sendiri. Ia berdiri mengamati tubuh korbannya yang terikat erat dengan kaki dan tangan merentang ke sudut-sudut ranjang. Tubuh indah dan ramping itu terbujur tegang, sesekali mengejang-ngejang seperti sekarat. Wajahyang tadinya begitu cantik kini tampak memperlihatkan ekspresi frustrasi yang amat sangat. Bibirnya komat-kamit menggumamkan sesuatu yang tak jelas terdengar.
"Baik, permainan diakhiri." ujar Leo sambil merentangkan kedua tangannya ke udara.
Borgol dan cambuk yang mengikat tangan dan kaki Santi terlepas.

Diluar dugaan Leo, Santi segera melompat dari ranjang dan menerjang tubuh pria itu hingga jatuh telentang di lantai. Seketika itu juga, wanita yang tampak kesetanan itu duduk di atas pinggul Leo, melesakkan tonggak kejantanan yang kaku itu pada liang berlumpur yang dari tadi menunggu. Lalu dengan cepat dan terburu-buru, tubuh lencir yang dibasahi keringat itu bergerak naik turun sambil menjepit kejantanan Leo dengan otot-otot kewanitaannya. Tidak hanya itu, kedua telapak tangan wanita itu menutupi wajah Leo hingga ia tak dapat melihat apa yang terjadi, hanya merasakan otot kejantanannya seperti sedang diperas-peras olehsesuatu yang lunak, kenyal, namun licin dan hangat. Terdengar juga oleh pria itu rintih dan erangan tertahan yang berangsur terdengar seperti lolongan panjang.

Beberapa menit kemudian, Leo merasakan gerakan-gerakan cepat wanita itu terhenti tiba-tiba. Pada saat yang sama, ia menyemprotkan seluruh isi kejantanannya keluar. Membuatnya lemas sesaat. Ketika ia membuka mata, dadanya terasa perih. Garis-garis luka ringan menggores dadanya, mengalirkan sedikit darah. Ia memandang berkeliling, didapatinya Santi sudah berdiri di dekat pintu kamar dengan mengenakan kaos ketat putih dan celana pendek hitam tersenyum kepadanya.
"Ayo, mungkin kita sudah ditunggu Pak Jim." seru Santi dengan datar, seolah tidak terjadi apa-apa.


Bersambung . . . .