Gairah karyawanku - 1

Cerita ini kubuat semata-mata hanya ingin berbagi pengalaman, dimana kejadian yang kualami ini sungguh-sungguh terjadi kurang lebih setahun yang lalu. Sengaja nama tempat-tempat yang pernah ada, kusamarkan karena tidak enak dengan karyawan lain.

Aku adalah seorang pimpinan sebuah Biro Perjalanan Wisata yang terhitung masih baru di negara ini. Panggil saja aku Pram. Aku seorang laki-laki yang masih bujangan walau umurku sudah 32 tahun.

Pertama aku menjalankan perusahaan ini, aku merekrut beberapa karyawan yang layaknya perusahaan travel tentu banyak wanitanya. Salah satu karyawanku itu sebutlah namanya Esther, adalah tangan kananku dalam menjalankan roda perusahaan ini. Dia cukup berpengalaman di bidang marketing dan operasional. Orangnya cantik, putih, berumur sekitar 28 tahun. Pertama aku meng-interview dia kujabat tangannya, "Selamat siang, perkenalkan nama saya Pram, Pramono."
Dia pun menyebutkan namanya, "Esther.." dengan nada suaranya yang agak serak, yang bagiku terdengar seksi.
"Boleh saya lihat CV anda?" tanyaku.
"Silakan Pak," sahutnya.

Aku pun mulai bertanya seperti layaknya pimpinan perusahaan yang sedang meng-interview calon karyawannya.
"Sepertinya anda cukup pengalaman di bidang travel, sudah berkeluarga?" tanyaku penuh selidik.
"Sudah Pak," jawabnya singkat.
Lalu ditambahkan, "Saya sudah berputra satu."
"Ooo.. Oke anda diterima, kapan anda mulai bergabung dengan kami?" tanyaku lagi.
"Mungkin minggu depan, bagaimana Pak?" jawabnya, sambil memainkan matanya yang indah.
"Hmm.. boleh, selamat ya.." kataku sambil menjabat tangannya.

Begitulah, Esther sejak itu menjadi karyawanku, dimana sewaktu marketing aku selalu mengajak dia. Dia pun kelihatan senang kalau aku mengajaknya keluar.

Dari seringnya kami keluar bersama entah kenapa dia sering memancing omongan kearah yang lebih pribadi. Sampai akhirnya pada suatu saat aku terkejut begitu mengetahui dia ternyata sudah bercerai dengan suaminya. "Hah?! pantas aku nggak pernah melihat suami kamu.." aku hanya bisa geleng-geleng kepala. "Yah, beginilah kehidupan saya Pak, saya janda dengan anak satu, maafkan saya Pak, selama ini saya berbohong pada Bapak." Esther menyahut dengan tetesan air mata di pipinya. Aku tidak tahan dengan pemandangan itu, lalu kubelai rambutnya, entah setan dari mana aku memeluk dirinya. Ternyata dia pun malah menghamburkan tubuhnya di dadaku, dengan tangisnya yang semakin kencang.

Sejak saat itu aku semakin dekat dengan Esther, tapi tetap aku menjaga hubungan kami itu dari karyawan lain. Dimana kalau kami sedang berdua, dia memanggilku dengan sebutan, "Mas". Tapi kalau ada karyawan lain dia tetap memanggilku, "Pak".

Sampai sebulan kemudian, aku ditemani Esther kerja lembur di kantor. Kurang lebih pukul 8 malam, aku istirahat sambil duduk di sofa yang ada di ruanganku. Saat itu Esther terlihat cantik dengan rok mini dipadu blazer coklatnya. "Mas, ayo cepet pulang, Rian kasian di rumah," rengeknya. Oh ya, Rian itu adalah putra dari suaminya dulu.
"Iya.. ya sebentar aku capek nih," aku menjawab sambil tersenyum, lalu kutarik tangannya agar duduk di sebelahku. Kami pun terlibat obrolan tentang masa lalunya, yang memancing tangisnya pecah lagi.
"Sudahlah, kamu berhak melanjutkan hidup kamu, jangan kamu sia-siakan, kamu masih punya tanggung jawab terutama dengan Rian, iya kan?" hiburku sambil memeluknya.
Perlahan kucium rambutnya yang harum itu, kukecup bibirnya. Esther pun membalas disertai air matanya yang masih menetes di pipinya. Entah kenapa aku semakin berani dengan mengecup lehernya, Esther pun hanya merintih kegelian, tapi dibiarkan saja aku terus menjelajahi seantero lehernya.

Tadinya aku berpikir, sudah sekian lama dia tidak mendapatkan sentuhan laki-laki masak sih dia tidak ada keinginan untuk itu? Sambil deg-degan tanganku mencoba meraih kancing blazernya. Yess! Ternyata dia hanya merintih, "Ouhh.. Mass.." malah tangannya meraba pahaku. Mendapat respon seperti itu aku menjadi kegirangan, satu-satu kubuka kancing blazernya, dan kulihat blouse dalamnya yang ternyata berwarna kuning juga, tapi sangat transparan, sehingga terlihat BH yang berwarna hitam itu menerawang di balik blouse-nya.

Kulihat matanya meredup seolah mengharap aku bertindak lebih jauh. "Iya sayang aku tau, kamu sudah lama kan tidak pernah mendapat sensasi seperti ini?" aku berkata dalam hati. Pelan-pelan kancing blouse itu kubuka, tidak sampai satu menit terbuka semua kancing itu. Entah pura-pura atau apa Esther tiba-tiba menutup blouse yang sudah terlanjur terbuka itu.
"Kenapa?" tanyaku keheranan.
"Hmm.. malu, malu Mas.." jawabnya.
"Aku tau sayang, kamu sebenarnya menginginkannya kan?" tanyaku yakin.
Dia cuma diam, dan tanpa menunggu jawaban dari Esther, perlahan kusingkirkan tangannya dari dua bukit kembar yang masih tertutup kain segitiga hitamnya. Sambil kembali aku melumat bibirnya kutelusupkan jariku di celah BH-nya. Dan, tanpa kesulitan kutemukan tonjolan daging di puncak buah dadanya yang ternyata sudah keras. Karena jari-jariku kejepit BH yang mungkin kesempitan buatnya, kupaksakan keluar buah dadanya yang kanan keluar dari balik BH-nya. Benar juga dugaanku, BH yang kutaksir 34 itu ternyata masih agak kesempitan, karena begitu bukit daging itu menyeruak keluar besarnya kurang lebih sebesar jeruk bali, dengan putingnya yang merah kehitaman.

"Mas dibuka saja, nanti BH-ku rusak," kata Esther tiba-tiba.
Pucuk dicinta ulam pun tiba! gumamku. Karena pengalamanku yang sudah menggauli sekian banyak wanita, kalau hanya membuka BH dengan satu tangan sih mudah saja. Dan, kedua buah dada Esther sekarang terpampang tepat di depan wajahku. "Boleh?" aku bertanya seolah minta ijin darinya. Esther hanya tersenyum, dan dua detik kemudian bibirku sudah menyentuh puting susunya sebelah kanan sedang tangan kananku beroperasi pada yang satunya. Perlahan kumainkan lidahku di tonjolan puting susunya sambil kutarik-tarik dengan bibirku. Sedang tanganku sibuk memilin-milin dan meremas buah dada yang satunya.

Tiba-tiba pecahlah rintihan nafsu keluar dari mulut Esther. "Ouuhh.. Mass.. terus.." Entah sadar atau karena kebiasaan dengan suaminya dulu, Esther mendaratkan tangannya di atas selangkanganku. Dan tanpa diminta dia langsung meremas-remas tonjolan di balik reitsleting celanaku. Kontan daging panjang di balik celanaku itu membengkak. Aku berpikir tidak adil, kalau dia sudah berani memegang kemaluanku, kenapa aku cuma di sekitar dadanya? Aku pun mengarahkan tanganku yang tadi memainkan buah dadanya, ke pahanya.

Entah karena refleks atau apa, Esther pun seperti membuka jalan dengan membuka kedua pahanya. Otomatis rok kuning mini miliknya ikut terkuak. Dari cuma mengelus pahanya, tanganku pun menjalar ke atas sampai menyentuh secarik kain yang menutupi bukit pubis di selangkangannya. Perlahan kuelus bukit kecil itu. "Mass.. Ouughh.." rintihan Esther terdengar semakin keras.

Sementara mulutku masih asyik mengulum dan mengenyot puting Esther, jemariku rasanya tidak betah kalau hanya mengelus secarik celana dalamnya. Kutelusupkan jari-jariku masuk dari pinggir celana dalam Esther yang ternyata berwarna hitam juga. Dan, begitu menyentuh daging di balik celana dalamnya, jari-jariku disambut dengan kehangatan dan kelembaban yang dikeluarkan oleh kemaluannya.

Ada tiga menit aku mengelus bibir kemaluan Esther, perlahan dari bawah ke atas, terus bergantian, sampai tiba-tiba saja dia berdiri dan, "Mas.. ehmm sebentar ya?" ternyata dia melorotkan sendiri celana dalamnya, lalu dibuang begitu saja di lantai. Aku hanya melongo memperhatikan kelakuannya, "Aku takut celanaku basah.." sahutnya malu-malu. Aku pun tersenyum dibuatnya. "Iya nih belum apa-apa sudah lengket tanganku." godaku. Wajah Esther merah sambil mencubit perutku.

"Curang! Mas Pram curang! celana Mas belum dibuka." gerutunya cemberut yang dibuat-buat.
"Ya udah, so mau kamu gimana?" tanyaku pura-pura nggak ngerti.
"Iiihh.. norak! Ayo dong dibuka!" rengeknya manja.
Aku cuma terkekeh dibuatnya, tapi aku pun menuruti kemauannya. Sambil dibantu Esther, celana panjangku akhirnya lepas. Sekarang aku cuma memakai celana dalam.
"Yang ini? Belum!" dia menunjuk ke arah celana dalamku.
"Usaha dong.." jawabku sekenanya. Tapi Esther cuma memandang tonjolan daging panjang yang masih tersimpan rapi di balik celana dalamku. Tangannya kembali menyentuh tonjolan tersebut. Diurut perlahan dari bawah ke atas, dan pada ujungnya dia memainkan jarinya sedemikian rupa sampai aku merem melek dibuatnya, "Hmm.. yahh.. ouffsshh.. pintar kamu Ther.." gantian aku dibuatnya merintih keenakan. Sementara mulut dan bibirnya memagut leherku dengan lembutnya.

Tidak lama kemudian, "Aku buka ya?" tanya Esther.
Aku cuma mengangguk, "Terserah kamu sshh.. mau diemut juga boleh.. oouuhh.." kataku disertai rintihan.

Sedetik kemudian mencuatlah batang kemaluanku dengan gagahnya. Sambil terus mengurut dan meremas-remas kemaluanku, Esther memuji kemaluanku, "Wahh.. pantas..!"
Aku heran, "Apanya yang pantas?"
"Nggak Mas, tapi jangan marah ya? Aku sering membayangkan itunya Mas Pram kalau lagi tegang, soalnya sering kalau ininya Mas Pram lagi tegang aku nggak sengaja ngeliat.." katanya sambil meremas agak kuat kemaluanku.
"Kan nggak kelihatan?" tanyaku heran.
"Iya! Tapi kelihatan kok kalau punya Mas Pram gedee.. banget! Menuh-menuhin bungkusnya. Tuh liat tuh sampe tanganku aja nggak muat megangnya." Sahutnya penuh nafsu yang tertahan.
"Apa lagi kalau.. kalau.. mm.." omongannya terputus.
"Apa..?" tanyaku penasaran.
"Nggak, apa lagi kalau.. masuk ke sini.." sambil tangannya menunjuk ke arah liang kemaluannya sendiri.
"Ke mana Sayang? hmm? ke sini?" sahutku sambil tanganku menyingkap roknya dan kembali meraba bukit kemaluan Esther yang tercukur rapi itu.
"Ssstt.. ouhh.. yahh.. oufsshh.." kembali dia merintih pelan.
"Kuemut ya Sayang?" tanpa menunggu jawaban dariku, Esther langsung membuka lebar mulutnya dan, "Ouuhh.. Godd!" aku merintih nikmat karena kepala kemaluanku sudah dalam jepitan bibir Esther yang terlihat seksi itu.

Sementara lidah Esther memainkan kepala kemaluanku, aku sibuk dengan jariku memainkan bagian puncak dari lubang kemaluannya, yang di situ bertengger daging kecil klitorisnya yang sudah amat tegang. Esther begitu mahir dengan permainan mulutnya yang naik turun yang mengeluar-masukkan batang kemaluanku di mulutnya. Aku terbuai dihempas badai kenikmatan dengan hisapan dan emutan Esther di seluruh kemaluanku. Sambil mataku tertutup, aku membayangkan, yahh.. pantas saja dia janda, tentu pintar membuat pasangannya kelonjotan begini! Tapi aku pun saat itu juga berpikir, aku pun juga piawai kalau hanya membuat wanita kelojotan.

Bersambung . . . .