Tirai perkawinan yang terkoyak - 2

Hari sudah gelap berkabut malam nan pekat, namun Dina belum juga pulang. Tadi saat bicara via telepon genggam, ia bilang pada Dudung suaminya bahwa ia ikut teman-temannya dulu jalan-jalan seusai pulang sekolah. Dina memang kebagian jadwal sekolah dimulai dari siang sampai sore hari. Tapi Dudung kelihatan sangat gelisah sekali malam itu, bahkan sejak siang hari tadi.

Bukan kecemasannya pada Dina istrinya yang belum pulang itu yang menyebabkan hal tersebut. Namun nafsu birahinya hari itu begitu meledak-ledak tak tertahankan mempengaruhi libidonya serta sudah mencapai puncaknya. Kedua pembantu rumah itu telah pulang sejak sore hari. Mereka berdua memang bukan pembantu yang menetap di rumah besar dan cukup mewah tersebut, sehingga kini di rumah itu tinggal Dudung sendirian yang tengah menanti kepulangan istri termudanya.

Dina muncul di pintu kamar dengan seragam sekolah putih abu-abu yang dikenakannya sejak siang hari tadi. Dudung semakin bertarung dengan kalbunya yang sedari tadi memenuhi benak maksiatnya di kepala. Pandangan Dina masih saja acuh tak acuh padanya, tetap menunjukkan keangkuhannya pada dirinya yang telah ia rasakan sejak malam pertama mereka resmi menjadi pasangan suami istri. Namun kini ia mendapat balasan ekspresi wajah yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya dari suaminya yang tua ini. Wajah Dudung kini begitu garang menghampiri keberadaan dirinya yang tengah melangkah menuju kamar mandi di kamar itu. Sorot matanya begitu tampak mengerikan di mata Dina. Namun tangan Dina telah tercekal oleh Dudung.

"Mas?! Mau apa kamu?!!"
"Mau apa?! Aku ingin menuntut hakku atas dirimu!"
"Apa-apaan kau Mas?! Aku sudah capek sehabis jalan-jalan dengan teman!"
"Hmm?! Capek?! Kapan kamu pernah bilang bahwa kamu tidak capek? Aku sudah jenuh mendengar segudang alasanmu!"

Dina berusaha melepaskan tangannya yang tercekal itu, namun Dudung begitu kuat mencengkram tangan mungil nan halus miliknya. Kelopak mata indah milik Dina nan biasanya begitu angkuh di mata Dudung, kini mulai berkaca-kaca menuntut belas kasihan pada suaminya itu.

"Lepaskan aku! Ahh.. Tolong!", jerit Dina akhirnya.
"Percuma saja engkau berteriak! Takkan ada yang mendengar!", balas Dudung.

Dan memang benar rumah besar itu sedemikian rapat struktur bangunannya, sehingga suara-suara dari dalamnya dapat teredam. Terlebih lagi di kamar itu daun pintu dan jendelanya terbuat dari kayu jati asli nan tebal. Dudung melemparkan tubuh Dina yang masih lengkap dengan sepatu seragam sekolahnya ke ranjang. Dina pun terjerembab di atas kasur mewah tersebut, belum lagi ia sempat bangun, Dudung telah menyusul menerkamnya bak singa lapar mendapatkan mangsanya.

Permohonan Dina tak digubrisnya sama sekali malam itu. Dudung sibuk mengikat istri ketiganya itu di atas ranjang dengan tali yang telah ia persiapkan sebelumnya. Dan ia mengikat pergelangan tangan kanan Dina dengan mata kaki kanannya, demikian pula tangan kiri diikat menjadi satu dengan kaki kirinya.

"Jangan Mas! Ampun! Ampunn!", mohon Dina begitu mengiba pada suaminya ini. Tapi Dudung malah membekap mulutnya dengan gelungan sapu tangan yang diikatkan melewati belakang kepalanya.
"Mmph.. Mmphh!", habislah daya upaya Dina untuk berteriak kini. Mulut mungil gadis itu telah dibungkam sepenuhnya oleh sang suami.

Dudung demi mendapati istrinya telah tak berdaya itu segera melolosi baju tidurnya yang seperti jubah dengan tali di pinggangnya. Seketika tubuh bugilnya yang hitam namun kekar itu dipertunjukkannya kepada Dina istrinya. Dina pun terkesiap, tak disangka sosok kurus suaminya itu begitu tegap dan ia secara refleks memandang ke arah selangkangan Dudung yang telah bugil ini serta melihat kemaluannya yang panjang mengangguk-angguk di antara jembutnya yang merona putih dan hitam di sana-sini seperti rambut di kepalanya yang bercampur dengan uban.

Dina terduduk di ranjang itu dalam keadaan terikat tangan dan kakinya. Bola mata indahnya nan bening itu tetap memancarkan belas kasihan yang mendalam. Tapi Dudung sudah tak peduli lagi akan hal itu. Kesabarannya telah habis untuk memaklumi istri mudanya yang belum berhasil ia tundukkan. Ilmunya tak akan sempurna kalau belum menggauli gadis itu. Ditatapnya wajah Dina yang cantik menawan itu. Hidung istri ketiganya begitu bangir dan mungil, semungil tubuhnya yang saat ini terikat erat. Bibirnya ranum merekah memerah di balik sumpalan sapu tangan. Rambutnya panjang terurai melewati bahu. Ah! Betapa cantiknya dara belia ini.

Dina pun meronta-ronta ketika Dudung berusaha membuka kancing seragam SMU-nya yang masih menyisakan rona keringat di sana-sini. Mereka berdua masing-masing bertahan pada kemauannya yang bertolak belakang. Terjadi pergumulan seru di antara keduanya. Meskipun dalam keadaan terikat Dina terus mengelak ke kanan dan ke kiri sehingga Dudung kesulitan untuk melepaskan kancing-kancing seragam sekolahnya. Namun tak diduganya sebuah tamparan telak menghantam pipi kirinya yang mulus putih itu. Plak!

Gadis itu membelalakkan matanya tak percaya bahwa suaminya akan berbuat kasar pada dirinya. Sesaat ia seperti tak sadar, sehingga memudahkan Dudung membuka kancingnya. Namun itu tak berlangsung lama, Dina berontak lagi menggoyang-goyangkan tubuhnya agar Dudung kesulitan dalam menjalankan aksinya. Mulut Dina menceracau tak jelas di balik bungkaman sapu tangan. Baru dua buah kancing yang terlepas di dadanya. Sampai sini Dudung sudah kehilangan akal sehatnya. Diambilnya gunting dari laci meja rias, kemudian diguntingnya seragam sekolah istrinya sampai menyisakan kutangnya saja. Namun rok abu-abunya masih menutup lengkap dari belahan pinggang rampingnya sampai ke bawah mendekati kedua lututnya.

Dina menangis sesenggukan, sementara Dudung semakin liar matanya menatap tubuh mulus istrinya itu yang telah sah dinikahi. Benar-benar putih dan bersih dari jenjang leher sampai pusarnya. Dudung pun lelah dengan ulah istrinya yang selalu mengiba lewat kelopak mata bening indahnya menatap minta dikasihani olehnya. Ia lalu membalikkan tubuh istri mudanya itu sehingga menungging di atas ranjang pelaminan mereka.

Dalam keadaan demikian posisi Dina benar-benar terjepit. Ikatan pergelangan tangan kanan dengan mata kaki kanan serta pergelangan tangan kiri dengan mata kaki kirinya benar-benar mengunci dirinya saat menungging. Pipi kanannya terpuruk di kasur ranjang dengan berurai air mata kesedihannya, namun dalam posisi itu Dudung sudah tak melihatnya. Dan memang itulah yang diinginkan Dudung, agar ia bisa puas menikmati jenjang tubuh dara belia ini tanpa harus melihat ekspresi mengiba itu.

Dudung melepas sepasang sepatu sekolah Dina yang masih melekat di kedua kakinya. Aroma pengap kaus kakinya yang putih bersih tercium oleh Dudung bagaikan undangan birahi yang datang dari surga ketujuh untuknya. Bagai kesetanan Dudung melolosi sepasang kaus kaki sekolah istri mudanya yang berpeluh tersebut untuk kemudian tanpa sepengetahuan Dina kaus kaki itu di ciuminya bergantian. Dengan tangan tuanya, dudung mengelus punggung gadis belia itu dengan lembut sebelum melepaskan tali kutang istri ketiganya tersebut.

Bra Dina kini telah jatuh ke sprei ranjang itu. Dudung kini jakunnya turun naik menikmati keindahan kedua bukit payudara istri mudanya yang menggantung membulat padat merangsang. Dielusnya puting payudara gadis itu bergantian kanan dan kiri sambil sesekali diremasnya. Tubuh Dudung kini membungkuk di atasnya seraya mencumbui tengkuk istrinya yang menungging tak berkutik dan masih tetap mengusap-usap kedua belah gunung kembarnya yang begitu kenyal di jari-jari tangannya.

Dina mulai merasakan sensasi aneh mulai menjalari tubuhnya ketika tangan-tangan tua lelaki ubanan itu merayap di belahan dadanya. Memang seumur-umur ia sama sekali belum pernah disentuh oleh lelaki sedekat dan seintim ini. Tapi ketidaksukaannya terhadap suaminya yang main paksa itu masih teramat kuat, sehingga ia berusaha menahan gairah dan rasa yang mulai mengisi sendi-sendi di tubuhnya.

Namun usaha Dudung tak hanya sampai di situ. Tak percuma ia sudah beristri lebih dari satu kalau tidak bisa membangkitkan birahi perempuan. Lewat sentuhan jari-jari tangannya ia mulai mengelusi titik-titik gairah istri ketiganya yang paling muda ini. Bahkan kini wajah Dudung menyusup ke kolong dada Dina yang menungging menggantung dan sambil telentang Dudung mulai menjilati dan mengulumi puting payudara indah milik istri mudanya tersebut.

Percuma saja Dina bertahan dengan kekukuhannya untuk menolak gairah perawannya yang tengah dibangkitkan oleh sang suami. Maklumlah seorang gadis belia seusianya belum mampu mengendalikan diri serta belum tahu cara bermain cinta. Seperti bermain layang-layang, ia tidak tahu kapan harus menarik dan kapan harus mengulur. Demikian pula saat bermain cinta, gadis itu tidak dapat mengendalikan sensasi birahi pada dirinya, sehingga langsung terhanyut ke dalam pusaran arus dahsyat yang disodorkan suaminya.

Puting payudaranya yang masih berwarna merah muda itu perlahan-lahan mulai membesar dan mengeras serta semakin kenyal memadat. Dudung pun merasakan perubahan itu dan ia pun senang karena daya upayanya membangkitkan gairah perawan istri ketiganya itu mulai menampakkan hasil. Ia semakin tekun menjelajahi lekuk liku tubuh dara belia yang telah separuh telanjang di hadapannya kini.

Setelah puas mempermainkan bukit kembar istrinya yang begitu indah menawan dipandang mata, Dudung pun bangkit berdiri dan mengambil posisi duduk di belakang pinggul Dina yang menungging. Perlahan ia menyibakkan rok abu-abu seragam sekolah istri mudanya itu sampai pinggangnya, maka kini terlihatlah sepasang paha putih Dina begitu indah terpampang baginya. Diusapnya paha putih bak lobak milik sang dara belia yang ceracaunya sudah tak diindahkan lagi oleh lelaki tua itu di balik bungkaman sapu tangan di mulutnya.

Sesekali diciuminya bongkahan paha putih istrinya yang masih beraroma keringat sehabis pulang tadi dan Dudung senang sekali dengan bau yang melekat di situ. Dudung pun tersenyum menatap bagian selangkangan Dina yang masih tertutup oleh celana dalam putih berenda miliknya, sebab ada rembesan basah nan lengket bening seperti putih telur di situ. Tahulah dia, istrinya sudah terangsang juga oleh keahliannya membangkitkan birahi wanita.

Tak sabar Dudung menantikan saat dimana ia akan dapat melihat apa yang tersembunyi di balik celana dalam putih berenda yang telah basah mencetak bening seperti sebuah kepulauan pada sebuah atlas. Diraihnya karet celana dalam itu serta diperosotkannya perlahan sampai setengah paha atas istrinya saja. Celana dalam yang tadi menutup belahan selangkangan Dina kini telah merosot setengah paha dengan bagian yang tadi menutupi keintimannya menjadi berbentuk mangkuk seakan mewadahi miliknya yang sangat pribadi itu.

Sampai di sini Dudung pun terpana menyaksikan keindahan dari selangkangan istrinya yang begitu menawan hatinya. Betapa tidak.. Baru kali ini ia dapat melihat kemaluan perempuan yang masih perawan, apalagi si Dina ini adalah seorang gadis yang masih sangat muda belia untuknya. Bulu-bulu jembut dara itu masih begitu halus dan tidaklah lebat seperti kedua orang istrinya terdahulu. Gundukan kemaluannya sangat kencang membentuk lekukan nan indah menawan hati. Dan yang lebih membuat Dudung terkesima dibuatnya, lubang keintiman Dina masih tertutup rapat menyerupai garis vertikal yang tak terlalu panjang menunjukkan bahwa lubang kegadisannya pasti sempit dan kecil.

Di atas celah kegadisannya bertengger pula lubang sempit ketat kepunyaan istri ketiganya ini berwarna merah muda yang berkeriput sedikit pucat yakni liang anus Dina. Betapa Dudung merasa sangat beruntung sekali malam itu, karena ia akan berkesempatan untuk menikmati kehangatan tubuh mungil istrinya yang sedemikian montok menggemaskan ini.

Dengan kedua belah ibu jarinya, Dudung membuka bibir belahan kemaluan Dina. Tampaklah isi dalamnya terkuak berwarna merah nan nyata bak buah pepaya mengkal yang dibelah dihiasi dengan kelentit kecilnya nan menjulang ke bawah dan bermuara pada rimbunan jembut kelaminnya yang menukik sedemikian rupa. Kira-kira sedalam satu buku jari dari celah yang terbuka itu, terlihatlah selaput dara gadis itu masih menyegel jalan masuk ke dalam lubang yang telah lama diidam-idamkan oleh suaminya ini.

Dudung pun merasa takjub, bahwa baru kali inilah dia dapat memandangi kemaluan perempuan yang masih suci lengkap dengan selaput keperawanannya yang berbentuk bulan sabit kembar nan menutupi atas dan bawah rongga keintiman dari istri mudanya ini sehingga hanya menyisakan sedikit rongga nan sedemikian kecil dan sempitnya untuk jalan masuk penisnya nanti. Aih! Sempit banget?

Dudung pun hanyut oleh fantasi pikiran yang dibuatnya sendiri bagaimana nanti ia akan merasakan kenikmatan dari jepitan selaput perawan kepunyaan Dina sang istri termudanya tersebut. Dapatkah nanti kelelakiannya menembus celah yang begitu mungil pada selangkangan gadis itu? Tak sadar bibirnya tersenyum mesum pada wajah tuanya yang penuh bopeng di sana sini.

Bagaimana Dudung tak merasa sangat beruntung mendapatkan Dina, sebab istri ketiganya ini bak bidadari nan jatuh dari langit saja dan sebenarnya sama sekali tak ada sebanding apapun dengan dirinya yang sudah di ambang kerentaan ini. Namun berkat keampuhan guna-gunanya kepada ayah dan ibu gadis itu, kini ia berhasil memperistrinya secara sah! Dan ia berhak menuntut haknya sebagai suami pada istrinya yang sah tersebut dalam ikatan benang merah perkawinan resmi di antara keduanya nan sudah terjalin.

Kini.. Dan di kamar ini ia akan membagi kebahagian ranjangnya bersama sang istri tercinta yang tengah tergolek menungging tak berdaya di hadapannya yang masih tak henti-hentinya menyaksikan celah keintiman nan memukau dalam pandangannya itu.

Bersambung . . . . .