Pemerkosa kuwalat - 5

Aku tak tahan lagi menahan keingin tahuanku, dan bertanya:" Mbak ini siapa sih namanya?". Ia tersenyum manis memandangku (aduh, dia benar-benar cantik):" namaku Brunnhilde. Papaku orang Jerman, mamaku orang sini asli. Aneh ya namaku?" aku cuma mengangguk:" papaku pecinta opera Wagner, jadi ia mengambil nama salah satu tokoh operanya untuk namaku. Brunnhillde, dewi pujaan para ksatria Teutonik". Wah, udah nggak nyambung aku. Kalau soal dangdut sih aku paham. Kalau opera?

Si cewek kuntilanak itu menarik napas dalam-dalam, dan duduk di kursi reyot tepat di depanku. Kakinya mengangkang lebar-lebar sehingga aku dapat melihat dengan jelas bibir kemaluannya yang hampir bebas bulu itu, merekah dengan indahnya. Aku hampir tidak dapat menahan nafsuku yang mulai menaik kembali. Ia mengulaikan kepalanya ke belakang, rambutnya yang kecoklatan tergerai dengan indahnya:" aah.." katanya mendesah.

Wajahnya tampak menerawang, seperti mengingat masa lalu yang gelap:" nasibku buruk..buruuk sekali.." desahnya:" aku ingat sepuluh tahun yang lalu, pas waktu malam seperti ini, di sebuah flat di kota Wasenaar..aku diperkosa oleh lima orang cowok bergajulan. Bayangkan, aku baru umur lima belas tahun waktu itu" jadi dia sekarang berusia dua puluh lima tahun, pikirku. Dia melanjutkan:" kaki tanganku diikat, aku dipaksa mengisap lima batang kemaluan yang nggak ketulungan gedenya, disuruh menelan muncratan air mani mereka semua, dikencingin.." Dia menutup mata, menggeleng-menggeleng:" tiga cowok menusuk kontolnya sekaligus, satu di memekku, satu di pantat dan satu di mulut. Memuakkan sekali. Aku benci..bencii.." Tubuhnya yang indah kini bergetar dan bergoyang-goyang. Aku baru sadar sekarang kalau cewek ini sedang mengalami goncangan jiwa yang berat. Aku kasihan kepadanya.

Ia terus melanjutkan ceritanya, matanya tetap menerawang ke atas:" sejak saat itu aku benci laki-laki. Aku selalu menghindar berhubungan dengan laki-laki, dan lebih suka berhubungan dengan sesama cewek. jadi lesbian ternyata lebih enak dan nikmat." Tanpa sadar ia mengelus-elus kemaluannya, sepertinya ia mengingat pengalaman lesbinya:"tapi aku masih dendam. Aku masih ingin memperkosa laki-laki, seperti aku dahulu telah diperkosa. Aku ingin melihat mereka ketakutan, memohon-mohon kepadaku..dan aku dapat memuaskan nafsuku" ia sekarang memandang kami:" eh..siapa kira saat ini keinginanku itu terkabul? Sudah tujuh tahun aku balik ke Indonesia, ikut perguruan silat milik pamanku. Aku pingin dengan kepandaian silatku aku akan menaklukkan laki-laki. Hi hi hi..sekarang sudah kesampaianlah semuanya."

Ia tiba tiba berdiri dan mendekatiku. Dielusnya kepalaku dengan perasaan sayang:" tapi, ternyata yang kudapat lebih dari yang kuharapkan. Bukan hanya balas dendam, tetapi kepuasan seks sepenuhnya. Terima kasih ya sayang" katanya padaku. Dan tiba-tiba ia merendahkan tubuhnya dan menekankan kemaluannya ke wajahku. Wah, mulai lagi nih, pikirku. Aku tidak menolak bahkan dengan beringas aku mulai menjilati kemaluannya yang sangat merangsang itu. Seks oral yang kulakukan ternyata membuatnya menggelinjang tidak karuan. Aku sudah tidak memperdulikan lagi teknik-teknik untuk memuaskan pasangan dengan cara itu, aku seruduk saja mulutku dan kumainkan lidahku dengan tidak beraturan di bibir luar kemaluannya, mendesak ke dalam lobang kemaluannya dan mempermainkan kelentitnya yang sudah sangat menegang.

Aku betul-betul seperti kesetanan. Dengan menggeram geram aku meremas kemaluan cewek itu dengan mulutku, tidak kuperdulikan lagi bau anyir dan pesing yang timbul dari kumpulan berbagai cairan yang melengket di sana- air maniku, cairan vaginanya, ditambah air kencing yang tadi disiramkan ke muka Rudi semuanya hilang dari benakku. Yang kupikirkan adalah kelezatan dan kenikmatan menggumuli alat kelamin seorang wanita sangat cantik yang sekarang tersedia gratis bagiku.

Demikian terangsangnya aku, sehingga aku tidak lagi menyadari bahwa suara dan erangan si wanita itu sudah berubah. Bukan lagi erangan kenikmatan, tetapi lebih seperti raungan orang gila ia melenguh dan berteriak, menggoyangkan pinggulnya sehingga memeknya bergesek semakin keras ke bibirku. Tangannya menjambak rambutnya sendiri dan ditarik tariknya seperti orang kesetanan. Akhirnya, " aakhh..haarrghh.. aku keluaarr..keluaarr..!!" Teriakannya sungguh keras, sehingga aku tersadar dari lamunan nafsuku. Kulihat tubuh yang berdiri di atasku itu menegang kencang, dan croot..muncratlah air kenikmatannya di wajahku, begitu banyak sehingga aku bingung apakah ini air mani atau air kencing. Aku tergagap-gagap dan mencoba menelannya sebanyak mungkin, tetapi tidak bisa..aku akhirnya hanya bisa pasrah saja menerima semburannya, sama seperti si Rudi tadi.

Si Brunnhilde (bener nggak aku nulisnya) tampak sangat puas. Ia terkikik-kikik tidak terkendali, dan ketika aku menengadahkan wajahku, dengan terkejut kulihat sederet senyuman setan di wajahnya yang cantik. Dia bukan lagi si cewek ganas yang kulihat sebelumnya, tetapi di matanya terlihat sinar dendam yang menyeramkan. Napasnya memburu dan kulihat air liur menetes dari pinggir bibirnya. Dia benar-benar gila! aku sampai terpana memandangnya, hingga beberapa saat sebelum kesadaranku kembali. Dengan cepat, aku berusaha menarik kepalaku dari jepitan selangkangannya, tapi..terlambat!!

Kakinya yang jenjang tiba-tiba mengatup di sekeliling kepalaku. Aku tersedak kaget, karena praktis seluruh wajahku terbenam di kemaluannya. Hampir-hampir aku tidak bisa bernapas. Kugoyang kepalaku, dengan kuat berusaha melepaskan diri, namun gagal! jepitan kakinya luar biasa kuatnya (baru kuingat dia pelatih silat) sehingga semua usahaku untuk melepaskan diri jadi sia-sia saja.

Kudengar suara ketawanya mengikik:"rasain..rasaiin.." jeritnya:" elo kira gua mau lepasin elo begitu saja? dasar laki-laki, pemerkosa wanita!! sekarang, mampus elo!! mampuuss.." suaranya benar-benar suara orang gila. Dengan ngeri kulihat, dia sama sekali tidak main-main. Dia ingin membunuhku, dengan membekap mulut dan hidungku di kemaluannya..perlahan-lahan kegelapan melingkupi penglihatanku. Pemandangan terakhir yang kulihat adalah gundukan bulu kemaluannya, tepat di depan mataku, yang dahulunya tampak begitu merangsang..

Aku mulai pingsan.

Tetapi, tiba-tiba kudengar suara mengaduh keras dari si kuntilanak itu: " aduuh..bangsat..sakiit.." dan bersamaan dengan teriakan itu, jepitan kakinya melonggar. Dengan sisa sisa kesadaranku, aku segera menggelosor dan mengguling ke bawah, menjauhinya dan mengambil napas dengan tersengal-sengal. Setelah cukup tenang, aku memandang ke arahnya lagi. Kulihat sosok laki-laki berdiri menghalangi pandanganku. Ternyata Rudi!

Rupanya dia mempergunakan kesempatan waktu si cewek setan itu menikmati jilatanku tadi, untuk melepaskan ikatan tangannya. Kini dia sudah bebas, dan sepotong kaju berada di tangannya. Rupanya dia tadi memukul tubuh si cewek dengan sekeras-kerasnya, sehingga ia terjengkang ke belakang. Kini kuntilanak itu rebah telentang, matanya memancarkan ketidak percayaan:" kamu..kamu berani melawanku? dasar kurangajar, bangsaat..rasakan pembalasanku!" dengan ganas ia berusaha berdiri, tetapi sekali lagi..Buukk..Rudi menghantam badannya dengan kayu itu, tepat mengenai lengannya. Sekali lagi ia menjerit dan tersungkur.

Rudi memandangku, yang masing terpana:" bangun, Sin! ayo kita balas kelakuan orang gila ini. Ayo!" ia melihatku, dan menyadari bahwa tanganku masih terikat di punggung. dengan cepat ia membukanya, sehingga akupun bebas. Dengan sempoyongan aku kini berdiri, masih telanjang bulat. " Rud..Rud.." Desisku:" udahlah, kita lari saja. Ini terlalu berbahaya, gawat buat kita nanti.." Tetapi si Rudi tampaknya sudah betul-betul kesetanan. Dia tidak mau mendengarku lagi, bahkan kini mulai melucuti pakaiannya:" elo enak saja, sudah menikmati tubuhnya, memeknya..gua belon! malah tadi gua dikencingi! Gua kagak terima! " kini dengan tubuh telanjang bulat ia mendekati si cewek, yang masih meringkuk di sudut. Dijambaknya rambut si cewek, dipaksanya berdiri. Kuntilanak itu tampaknya masih kesakitan dan schock, sama sekali tidak melawan. Rudi siap mensetubuhinya, ketika tiba-tiba..

BRAAKK!! pintu reyot gubuk itu terbanting jatuh. Dan dengan pandangan terpana kulihat puluhan orang berdiri di luar. Sebagian membawa senter, dan dengan wajah ingin tahu menongolkan kepalanya ke dalam.

"Ooo..ini to sumber teriakan teriakan tadi" desis salah seorang yang berpakaian Hansip. Dia mengedarkan matanya ke lingkungan gubuk, dan pandangannya terpana pada tubuh si cewek yang meringkuk di sudut, telanjang bulat:" masya allah..apa yang terjadi?" teriaknya. Mendengar itu, kerumunan orang itu tak terbending lagi. Mereka berebutan masuk ke dalam, dan dengan pandangan sangat kaget melihat kami bertiga: aku dan Rudi berdiri telanjang bulat, tangan Rudi membawa sepotong kayu. Dan di sudut, si cewek duduk meringkuk, tubuhnya yang telanjang nampak kacau dengan memar di lengannya tampak jelas..

Si kuntilanak memandang ke sekeliling, dan wajah setannya tadi tiba-tiba berubah lagi dengan drastis. Kini yang terlihat adalah wajah seorang wanita sangat cantik yang tersiksa, napas tersengal sengal dan air mata bercucuran, "Ampun, tolong pak.. saya diperkosa paak.." Erangnya. Orang-orang berseru kaget, dan salah seorang tua yang tampaknya ulama, buru-buru mendatanginya dan menutupi tubuh si cewek dengan sarung yang tadi tersampir di pundaknya:" masya allah..astagfirrullah..tenang neng, tenang. Sekarang ada bapak ya, neng aman.." di peluknya si cewek yang sekarang menangis tersedu sedan. Dasar kuntilanak, pikirku, hebat benar dia bersandiwara.

Seorang laki-laki yang berkumis dan brewokan mendekatiku:" apa yang kalian lakukan, hah? memperkosa cewek? berani bener lo, mencemari kampung kami.." dan tanpa basa basi ia menampar wajahku. Aku mengaduh, dan berteriak:" bohong pak, bohong..bukan kita yang memperkosa, dia yang memperkosa kita pak! hampir kita dibunuhnya!" ku lihat Rudi, yang juga gemetaran tubuhnya, mengangguk-anggukkan kepalanya mengiyakan. Wajahkau tampak sepucat kertas.

Tetapi, mana ada yang percaya pada perkatan kami? " kalian tukang ngarang, mana bisa cewek memperkosa cowok? buktinya aja sudah jelas, nggak perlu banyak bacot lagi!! " dan bersamaan dengan itu, serangkaian pukulan bertubi-tubi mengenai tubuh kami. Ku dengar suara-suara mencaci:" pemerkosa bangasat!" " bunuh!" " bakar aja!" dan si hansip tadi mendekatiku yang sudah tersungkur di lantai. Kakinya yang bersepatu lars menendang kepalaku seperti bola, begitu kerasnya sehingga ku dengar suara gemeretak.

Pandanganku kembali gelap. Tetapi sebelum kesadaranku hilang, aku sempat melihat sepintas si cewek, yang kini dipeluk oleh beberapa bapak tua yang mencoba menenangkannya. Ia juga melihatku. Dan di matanya terpancar kepuasan setan, mulutnya selintas menyungging senyum kemenangan.

Tamat