Daun Muda
Saturday, 6 December 2008
Tigabelas - 2
"Lho.. tadi kan Mas udah bilang kalau Mas juga sayang sama Titin," sahutku.
"Masss.. tadi waktu Mas pegang susuku, rasanya enaak sekali.. habis sewaktu cerita-cerita tadi susu sama tempek Titin jadi gatel lagi," sahutnya.
"Singkong Mas sekarang keras nggak?" sambungnya.
Tiba-tiba tangannya memegang penisku dari luar. Memang saat itu aku hanya memakai celana dalam sama sarung saja. Aku kaget setengah mati. Langsung kutepis tangannya.
"Huusss jangan.. nggak sopan.." kataku.
"Udah sekarang kamu tidur giihh udah malem. Besok kamu khan harus ke pasar. Nanti telat.." kataku lagi.
Akhirnya Titin pulang. Tapi sebelum pulang Titin mencium pipi kananku.
"Titin sayang Mas," katanya singkat.
Sepulangnya Titin, segala macam perasaan berkecamuk di dadaku. Ada perasaan apa antara aku dan Titin? Apa ini yang dinamakan cinta? Kalau cinta, berarti kita akan pacaran seperti cerita teman-temanku di sekolah? Tanpa kusadari akhirnya aku tertidur dan dibangunkan ibuku keesokan harinya.
Keesokan harinya, sepulang dari pasar, aku bingung kemana si Titin ya? Biasanya setiap aku pulang dari pasar, dia sedang mencuci baju di sumur. Aku masuk ke rumahnya dari pintu belakang, melewati dapur terus ke kamarnya. Ternyata dia sedang tidur, masih memakai daster yang semalam. Mungkin masih ngantuk karena tidurnya terlambat tadi malam pikirku. Ketika aku akan meninggalkan kamarnya, dia menggeliat. Kaki kanannya menekuk ke samping sedang kaki kirinya lurus. Maka terpampanglah kemaluannya yang masih terbungkus celana dalam nilon tipis warna cream.
Aku deg-degan melihat hal itu, kudekati dia. Wajahnya tampak damai sekali. Dadanya yang sedikit membusung itu turun naik dengan teratur. Sepertinya dia pulas sekali. Makin ke bawah kulihat pahanya yang putih mulus, makin deg-degan aku. Kuperhatikan dengan seksama vaginanya yang sedikit menggembung di selangkangannya. Ada garis samar-samar melintang dari atas ke bawah. Bulu-bulu halus tipis membayang. Kuelus perlahan-lahan. Terasa ada alur melintang. Kugesek-gesek perlahan takut dia bangun. Aku dekatkan wajahku ke sana. Ada aroma yang khas sekali, kucium perlahan. Baunya tak bisa aku definisikan tapi yang pasti segar sekali.
Kutempelkan hidungku, kutarik nafas dalam-dalam. "Aaahh.. segar sekali.." Berkali-kali kulakukan itu sampai kudengar dia mendesah. "Aaahhh..." Kukaget langsung mundur. Tapi dianya kok nggak bangun ya.. Aku jadi sedikit mengerti mengapa lelaki yang tidur sama Mbak Nunung suka menjilati kelaminnya Mbak Nunung. Menjilat? Apa nggak jijik ya. Tak terasa penisku mengeras. Aku betulkan posisi penisku karena miring kanan.
Setelah beberapa saat, aku beralih ke dadanya. Kuperhatikan ada tonjolan samar di puncak bukitnya. Kupegang susunya perlahan-lahan, kubelai-belai, kucium dari luar dasternya. "Aaahh.." baunya pun segar. Kuulangi bergantian kiri dan kanan. Lama-lama kok tonjolannya semakin keras? Kenapa? Tiba-tiba dia menggeliat. Aku kaget sekali. Refleks kugoyang-goyangkan badannya.
"Tin.. Tin.. banguuunnn.. udah nyuci beluuumm?" kataku supaya dia tidak curiga.
Dia bangun sambil mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia kaget ada aku di sebelahnya.
"Terima kasih Mas, udah mbangunin aku. Aku belum nyuci," balasnya.
"Udah cepetan bangun. Nanti telat.." kataku.
Dia duduk sebentar lalu bangun dan mengambil cuciannya. Direndam, lalu dia mencuci beras. Aku menemaninya sambil memotong-motong pisang, singkong dan ubi. Setelah itu dia masak dan keluar lagi untuk mencuci baju. Aku membuat adonan. Aku agak heran dia kok jadi pendiam gitu ya. Setelah aku selesai, aku langsung mandi dan siap-siap berangkat.
Dalam perjalanan ke sekolah dia cerita.
"Mas, waktu aku tidur tadi aku mimpi aneh lho Maass.."
"Mimpi apa?" tanyaku.
"Aku mimpi aku sedang seperti Mbak Nunung."
Aku kaget sekali. Apa karena kuraba-raba ya.
"Kamu begituan sama siapa?" tanyaku.
"Sama Mas Pri," sahutnya.
"Aaahhh.. kamu siang-siang kok mimpi. Itu namanya mimpi di siang bolong," kataku.
"Udah jangan dipikirin banget entar di sekolah kamu banyak bengongnya lho," sambungku lagi.
Malam itu aku belajar seperti biasa. Dengan celana dalam dan sarung. Sekarang Titin datang dengan persoalan Fisika-nya. Masalah gelombang elektromagnetik. Seperti biasa kujelaskan panjang lebar. Akhirnya dia mengerti. Saat dia sedang mengerjakan tugas, kuperhatikan seluruh tubuhnya. Dia duduk di sebelahku. Kok dia tidak memakai kaos dalam lagi? Apa masih basah?Sambil dia mengerjakan tugas, kutanya dia, "Tin, kaos dalemmu masih basah ya.. kok nggak dipake?" tanyaku.
"Lho Mas Pri kok merhatiin Titin siihh.."
Aku diam saja. Bingung mau ngomong apa. Hening karena masing-masing mengerjakan tugasnya.
Setelah selesai semua, Titin membuka pembicaraan.
"Maasss.. Titin sengaja nggak pake kaos karena Titin pengen Mas Pri pegang susu Titin seperti kemarin. Abis enak lhoo.. Mas.. Mas mau khaannn.." kata Titin.
"Mas kan sayang aku," sambungnya.
Penisku mengeras dengan perlahan-lahan mendengar permintaan Titin.
"Eeee.. mmm gimana yaa.." jawabku bingung dan senang.
"Oke deh Mas mau. Tapi Mas mau tutup dulu pintunya. Takut ada yang liat.."
Setelah menutup pintu, aku berkata, "Sekarang Titin duduknya mepet Mas.."
Dia menggeser duduknya, kurengkuh pundaknya, dia menatapku. Kukatakan, "Mas sayang sama Titin.." Lalu dengan penuh perasaan kucium pipi, kening, mata, hidung akhirnya bibirnya. Dia hanya merem saja. Seperti biasa kami hanya berciuman bibir. Tangan kananku memeluknya, tangan kiriku ke dadanya. Kuremas perlahan-lahan kiri dan kanan bergantian. "Aaacchhh.. Enak banget Masss.. aaaccchh.." desahnya. Saat dia mendesah, tanpa sengaja lidahnya bertemu dengan lidahku. Aku memainkan lidahnya dengan lidahku. Dan dia sepertinya mengerti dan membalas. Lidah kami saling membelit. Senjataku sekarang sudah keras sekali. Agak sakit karena posisinya miring. Aku biarkan. Terbayang semua adegan Mbak Nunung. Kuturunkan ciumanku ke lehernya. Dia makin mendesah-desah. "Aduuuhh.. Maasss.. ooohh.. ooohh.."
Aku ingin memegang susunya langsung tapi Titin marah nggak ya?. Kucoba telesupkan tangan kiriku melalui celah ketiak dasternya. Oh halusnya daging kenyal itu. Besarnya kira-kira sebesar bola tennis. Ternyata Titin tidak marah. Malah dadanya makin dibusungkan ke depan. Kurasakan putingnya makin menonjol. Aku sentuh. Dia tersentak dan mendesah, "Ya.. ya.. Mas.. yang sebelah situ enak Mass. Terusin Mass.. aaacchhh.." Kupuntir puttingnya, dia makin menggelinjang.
Akhirnya aku tak tahan lagi. Aku bilang ke Titin, "Tin, Mas mau cium susumu boleh khaann?" Titin diam saja sambil memandangiku tapi jawabannya adalah dia melepaskan dasternya. Aku kaget atas reaksi Titin. Di hadapanku sekarang Titin sudah telanjang dada. Dadanya bagus sekali bentuknya. Susunya bulat. Kira-kira sebesar bola tennis. Putingnya merah muda agak ke atas dengan putingnya yang menonjol keluar. Aku terpana.
"Mass.. ayo dong jangan diliatin aja. Katanya mau nyusu.." Aku tersadar dan langsung mencium susunya. Kulumat putingnya bergantian. Kurebahkan dia di bangku. Nafasnya semakin memburu. Susunya semakin keras. "Ochh.. Masss. ooohh.. aaahh.. aduuhhh.. aaahh Mass nakaalll.."Tanganku yang tadinya memeluknya, secara refleks mulai mengusap-usap pahanya. Dari dengkul sampai selangkangan. Berkali-kali kulakukan hal itu. Setiap sampai di selangkangannya, pahanya membuka. Kusentuh vaginanya dari luar CD-nya. Dia makin menggelinjang dan makin keras pula desahannya. Kok basah? Ah paling-paling keringat. Memang saat itu badannya sudah basah dengan keringat. "Mass.. oohhhh.. hhaahh.. oohh ahhh.."
Takut ibuku bangun, kucium mulutnya. Kami saling melumat lagi. Lumatannya sudah seperti orang yang kesetanan. Tangan kiriku di dadanya, dan tangan kananku di atas vaginanya. Tanganku mulai menyelusup ke dalam CD-nya. Terasa olehku bulu-bulu halus. Makin ke bawah kutemukan garis belahan. Kumasukkan jari tengahku ke belahan vaginanya. Basah dan licin. "Ooohh.. ternyata basahnya dari sini," pikirku. Kumainkan jari tengahku. Kutekan dan kugosok dengan pelan, makin lama makin cepat. Pantatnya bergerak-gerak seirama dengan gosokanku. Tak lama, tiba-tiba dia menjerit dan tersentak, "Maasss.. aku pipiisss.. aaahh.." Tanganku basah dengan cairan lengket licin. Dia langsung terlentang lemas dengan nafas yang tersengal-sengal seperti orang yang habis dikejar anjing.
Wajah Titin merah, berkeringat dan terlihat amat cantik dengan senyumnya yang mengembang.Saat itu aku tidak tahu apa itu orgasme, G-spot, atau istilah seks lainnya.
"Maass.. Titin lemeesss.." katanya.
"Mas.. tangannya ada pipis Titin tuuhh.." sambungnya lagi.
Kutarik tanganku dari celana dalamnya. Aku bingung. Kok pipisnya lengket begini? kucium. Kok nggak pesing yaa?
Aku teringat lelaki yang bersama Mbak Nunung. Dia saja mau jilatin punyanya Mbak Nunung. Kucoba jilat cairan yang ada di tanganku. Rasanya asin semu manis gurih dan agak sepet. Ini apa ya..? Kucoba jilat lagi. Enak kok.
"Mas Pri joroookkk.. pipis Titin kok dijilat.."
"Tin, pipismu kok lengket begini?" tanyaku pada Titin sambil kudekatkan tangan kananku ke wajahnya.
Dia perhatikan dengan seksama tanganku.
"Biasanya nggak begini Mass.. biasanya seperti air. Tapi yang ini kok lengket ya..?" gumannya dengan bingung.
"Dan waktu Titin pipis tadi, Titin rasanya seperti melayang-layang lho Mas. Enaakkk banget. Sekarang Titin lemes," sambungnya.
Tiba-tiba dia bangkit seperti teringat sesuatu. Padahal tadi dia mengaku masih lemes.
"Singkongnya Mas Pri keras nggak?" tanyanya sambil tangannya masuk ke dalam sarungku. Aku kaget karena tiba-tiba Titin memegangnya, kutepiskan tangannya. Tapi sepertinya dia tidak rela.
"Tadi Mas Pri megang-megang tempekku, aku diemin. Sekarang kok aku pegang singkong Mas Pri Masa nggak boleh?" rajuknya.
Aku bingung. Akhirnya kudiamkan, dia pegang penisku. Aku didorongnya supaya tiduran terlentang.Dia mengangkat sarungku, dia pegang dari luar CD-ku.
"Besar sekali Maass.." katanya.
"Kok celana dalemnya basah? Mas Pri pipis ya?" sambungnya.
Mungkin dia membandingkan dengan saat kita mandi bersama dulu. Dulu memang penisku tidak tegang karena sudah terbiasa bersama. Dielus-elus penisku. Waaahh.. rasanya penisku jadi tegang lagi setelah agak melunak.
"Waahh.. Mass makin besar tuuhhh.. sakit nggak?" katanya sambil terus mengelus.
"Aaahh.." aku mengerang keenakan dielus seperti itu.
Karena semakin tegang, kepala penisku akhirnya nongol di atas karet celana dalamku. Kepala penisku diusapnya.
"Aaahh.." aku seperti kena setrum listrik.
"Air apa ini Mas, kok bening, agak licin?" tanyanya.
"Akuuu nggak tttaaauuu.. ooohh.." sahutku keenakan.
Ditariknya celana dalamku sehingga penisku pun berdiri tegak.
"Maaass lucu seperti tiang listrik," katanya.
Lalu penisku digenggamnya, diremasnya.
"Aaahh.." aku mendesah-desah keenakan. Didekatkan wajahnya ke penisku, diperhatikan denganseksama.
"Maasss.. yang coklat-coklat ini isinya apa?" katanya sambil telunjuk tangan kirinya menusuk-nusuk bijiku. Tangan kanannya tetap menggenggam penisku. Lalu digenggamnya bijiku dan diremas-remas.
"Lho.. lho.. kok isinya lari-lari.. lucuuu.. Maasss.." katanya lagi.
Aku sudah kehabisan kata-kata untuk menimpalinya karena keenakan.
Mungkin waktu dia mengintip, dia melihat Mbak Nunung mengocok-ngocok penis, dia bertanya, "Mas, kalau aku giniin sakit nggaakkk?" katanya sambil tangannya mengurut penisku naik turun.
"Aaahh.. Tiiinnn eeennnuuaaak baangeeettt Tiinnn.." kataku sambil mendesah.
"Ya.. ya.. gitu Tiiinnn.. ennaakkk Tiiinnn.."
"Dicepetin doonngg Tiiinnn.."
Aku merasakan penisku seperti diurut-urut. Sakit sedikit, geli, enak rasanya jadi satu.
Tiba-tiba aku merasakan ada yang mau keluar dari dalam, lalu aku teriak, "Cepeettiinn.. Tiiinnn.. aku.. akuuu.." Dan belum selesai aku ngomong, "Croot.. crooott.. crooottt.." tiga kali spermaku muncrat ke wajahnya. Dia kaget, langsung mengelap wajahnya dengan sarungku.
"Mas.. Mas.. kenapa Mas.. sakit ya.." tanyanya sambil menatap wajahku.
"Nggak Tiinn.. Enaakkk banget Tiinnn.." kataku sambil terengah-engah.
Lalu dia melihat ke penisku.
"Lho, Mas kok jadi kecil siich.." tanyanya heran.
"Nggak tau kenapa," sahutku.
Kemudian kurangkul dia dan kupeluk sambil kucium pipinya. Kami tiduran sambil berangkulan.
"Terima kasih Tiinn. Tadi itu enaaakkk sekali. Mas Pri sekarang lemas."
"Sekarang Titin pulang gih.. udah malam. Besok kesiangan.."
Lalu kucium pipinya, keningnya dan bibirnya. Dia bangkit dan memakai dasternya. Lalu mencium pipiku dan pamit pulang.
"Da..da Maaasss.. Titin pulang dulu yaa. Terima kasih Maasss.."
Aku bangun memakai celana dalamku yang tadi dipelorotkan Titin, dan tidur karena kelelahan.
Seperti biasa, setelah aku pulang dari pasar, kucari Titin.
"Kemana lagi ini anak.. pasti ketiduran lagi," pikirku.
Aku masuk ke dalam rumahnya. Benar, dia lagi tidur memakai selimut.
"Ngapain ini orang siang-siang tidurnya kok selimutan? Apa sakit?" batinku. "Jendelanya juga ditutup?"
Kupegang keningnya, "Nggak panas kok.. kuperhatikan tubuhnya. Kok putingnya kelihatan menonjol? Dia selimutan memakai kain jarik tipis. Jadi aku tahu kalau putingnya menonjol. Aku sibakkan selimutnya pelan-pelan. "Lho.. kok nggak pake baju..?" batinku. Kutarik selimutnya semua. Melihat tubuh indah terpampang di hadapanku, penisku mulai berkedut. "Kok tangan kanannya ada di dalem celana dalemnya? Abis ngapain dia?" batinku. Melihat dadanya, penisku mulai tegang, kudekatkan wajahku, kucium pipinya, hidungnya, matanya. Eh.. dia menggeliat bangun. Mungkin kena angin. Jadi terasa dingin.
Dia kaget melihatku. Langsung menarik selimutnya untuk menutupi tubuhnya.
"Eh.. Mas Pri. Lagi ngapain," katanya.
"Tadi kamu aku panggil-panggil tapi nggak jawab, lalu aku masuk. Aku kaget liat kamu tidur kok telanjang, selimutnya berantakan. Mas mau betulin selimut kamu," kataku membela diri.
"Jadi Mas udah ngeliatin aku tidur dari tadi?"
"Lhaaa.. abis kamu tidur kok nggak pake baju. Salah kamu doong."
"Lho.. Mas aja yang masuk ke rumah orang nggak permisi.."
"Yaa.. udah Maass pulang. Bangun sana nyuci sama masak." kataku sambil meninggalkannya.
"Yee.. gitu aja Mas marah. Sini dulu dong Maasss.." katanya manja sambil menarik tanganku agar duduk di dipannya.
"Maaass aku kepingin seperti semalem doongg." katanya sambil menatapku.
"Nggak ah.. masak siang-siang gini. Entar malem aja ya."
"Nggak.. maunya sekarang.." rengeknya.
Tau-tau dia merangkulku dan mencium bibirku. Aku tidak bisa menolaknya, kubales, kumainkanlidahku di mulutnya. Dia membalas. Nafasnya mulai tersengal-sengal. Selimutnya kusingkirkan, kuremas-remas susunya. Ciumanku mulai turun ke lehernya, turun lagi ke pundaknya, lalu mulutku melumat puting kanannya. Kepalanya menengadah sambil mendesis-desis. Persis seperti suara Mbak Nunung. "Oohhh.. Mas Pri.. enak Maasss.."
Lalu kurebahkan dia ke dipan. Tangannya mulai masuk ke dalam celanaku. Memegang penisku di dalam celana. Mungkin karena kurang leluasa, Titin mulai menurunkan celana pendekku dengan CD-nya sekalian. Aku bantu dengan mengangkat pantatku. Tanganku pun mulai menurunkan celana dalamnya. Akhirnya dia bugil di depanku.
"Mas curaaang.. kok kaosnya nggak dilepas.."
"Lho.. usaha doong."
Lalu dia melepas kaosku. Kami lalu berguling-guling di dipan sempit tersebut, kutindih badannya. Mulut kami saling mengunci tidak bisa berkata apa-apa. Tangannya memegang penisku. Agak sakit. Kuraba seluruh badannya termasuk paha, punggung, perut. Setiap kuraba vaginanya, pahanya selalu direnggangkan.
Aku lalu teringat Mbak Nunung. Dulu si lelaki kok menjilati kelamin Mbak Nunung. "Kucoba ke Titin aahhh.." batinku. Lalu ciuman kuturunkan ke lehernya, kedua susunya. Jari tengah tangan kananku masuk ke belahan vaginanya. Sudah basah. "Aaahh.. ooohh.. sshhh.. ssshh.." dia mendesah agak keras, kudiamkan karena aku yakin saat sekarang di sekeliling kontrakanku pasti sepi.Lalu ciumanku turun ke perutnya. Kujilat-jilat pusarnya. Dia makin menggelinjang. Ciumanku terus turun sampai akhirnya wajahku tepat di depan vaginanya. Aku tak peduli gimana rasanya, kucium vaginanya. Baunya segar sekali.
Titin kaget sekali saat kucium kewanitaannya. Dia bangun dan melihat saja. "Mas Pri.. Joroookk.. tempppeeek Tittiiin kok dicium.." desahnya tapi tidak tampak adanya penolakan. Saat kumasukkan lidahku, Titin mendesah, "Aaahh.. Maaass.. tempek Titiinn diapainn.. aaahh Masss.. jangan.. adduuuhh.." Aku terus saja menjilat benjolan kecil di dalam kemaluan Titin. Sementara Titin menggelinjang tidak karuan.
Kira-kira lima menit, tiba-tiba Titin menekan kepalaku dan mengangkat pantatnya sehingga aku agak sulit bernafas. "Maaasss.. Titin mau piippiiiss.." Menyemburlah cairan hangat seperti tadi malam. Karena aku sudah tahu rasanya, kujilat semuanya sampai habis. Uh, enak sekali rasanya.Manis, asin, gurih jadi satu. Aku naik ke atas dan memeluknya sambil tiduran.
"Mas.. Titin capek.." sambil wajahnya ditaruh di dadaku.
"Mas kok nggak jijik sih jilatin tempek Titin?" tanyanya.
"Mas kan sayang Titin. Jadi Mas nggak akan jijik." sahutku sekenanya.
"Terus, pipis Titin juga dijilat? emang enak?"
"Enak kok.. kayak tajin."
Bersambung ke bagian 03