Memuskahkan guna-guna pemikat sukma - 1

Berikut ini adalah kisah hidupku yang penuh dilumuri nafsu seks. Gara-gara menghindari guna-guna seksual majikanku, aku malah terjerumus jadi pemuas nafsu mbah dukun.

Sejak suamiku meninggal karena sakit pada akhir Oktober 1994, aku tinggal di rumah sendirian. Kedua anak kami, Basuki dan Nina, telah dua tahun ini bekerja di Jakarta setelah lulus SMA-nya. Sewaktu ayahnya meninggal, praktis mereka hanya satu minggu tinggal di rumah menemaniku. Setelah itu mereka harus kembali bekerja karena izin cutinya habis. Ya, bagaimana pun kesedihan tak boleh berlarut-larut. Satu minggu cukuplah sudah menangisi kepergian orang yang sangat kami cintai itu. Selanjutnya kami kembali harus berjuang mempertahankan hidup, mengisi perut.

Kami tergolong keluarga kurang mampu. Suamiku yang bekerja sebagai makelar tidak setiap hari membawa hasil. Ia jadi makelar apa saja. Dari sepeda motor, mobil, rumah, tanah bahkan kalau perlu jual sepeda sekalipun. Prinsipnya, yang penting halal dan menghasilkan. Aku kagum oleh semangat kerja dan keuletannya. Dan hasilnya tidak mengecewakan, terbukti dengan berhasilnya kedua anak kami menyelesaikan studi di SMA. Tidak sia-sia hasil jerih payah suamiku yang hanya lulusan SMP itu. Aku, yang SMP pun tidak lulus, hanya mendukungnya dengan sepandai mungkin mengatur keuangan keluarga sejak kami menikah sekitar 20 tahun yang lalu.

Waktu naik ke pelaminan, usiaku masih 18 tahun, sedangkan suami sudah 25 tahun. Sementara itu, aku sendiri juga tidak mau diam menganggur di rumah. Aku jadi buruh cuci pada keluarga-keluarga yang memerlukan. Kadang cucian kubawa ke rumah, tidak jarang pula aku harus mencuci di rumah pelangganku. Gabungan penghasilan kami cukuplah untuk kehidupan sehari-hari dan menyekolahkan Basuki dan Nina meski hanya sampai SMA. Bersyukur pula kami dikaruniai dua anak yang penuh pengertian. Yang tidak menuntut studi terlalu tinggi mengingat ketiadaan biaya.

"Kami akan bekerja dulu mengumpulkan uang, Bu. Nanti kalau ingin kuliah akan kami biayai sendiri," kata kedua anakku membuat hatiku terharu sewaktu melepas keberangkatan mereka bekerja di Tangerang.
Basuki bekerja menjadi buruh pabrik sepatu, sementara Nina yang dijemputnya setelah lulus SMA tahun berikutnya bekerja jadi karyawati di salah satu supermarket. Untuk menghemat biaya mereka tinggal di satu kamar kos kecil di perkampungan Tangerang yang sewanya 50 ribu rupiah per bulan. Bila ada rejeki dan waktu senggang mereka jalan-jalan ke Jakarta yang jaraknya tidak terlalu jauh.

Suatu malam, beberapa minggu setelah peringatan seratus hari meninggalnya suamiku, mendadak aku terbangun dari tidur. Udara kurasakan panas sekali saat itu. Padahal jam weaker waktu itu baru menunjukkan pukul satu dini hari lewat beberapa menit, namun panasnya serasa kalau kita berdiri di jalan raya pukul 12 siang. Keringatku berleleran di seluruh tubuh. Daster tidurku rasanya sudah basah kuyup dan bisa diperas. Meski aku tinggal di perkampungan padat penduduk, tapi tidak pernah udaranya sepanas ini. Terpaksa daster kulepas dan kukeringkan tubuhku dengan handuk sebelum mengenakan daster baru. Namun sebentar saja tubuhku sudah basah lagi oleh keringat.

Jendela kamar kubuka supaya udara masuk. Ini pun tidak menolong, karena rumahku yang kecil berada di sela-sela rumah besar lainnya yang bertembok rapat. Tidak banyak angin yang masuk melalui jendela. Akhirnya, setelah jendela kututup kembali, kuputuskan keluar rumah. Kututup pintu perlahan di belakangku tanpa menguncinya. Kuperhatikan sekitar, malu kalau ketahuan malam-malam seperti ini keluar rumah karena aku wanita.

Mendadak, seperti ada yang menarikku, kakiku melangkah meninggalkan rumah. Aku yang semula hanya ingin berangin-angin di depan rumah tidak kuasa menahan kakiku yang berjalan dan terus berjalan melewati jalan-jalan kecil berkelok-kelok. Beberapa rumah tetangga sudah terlewati. Hatiku menyatakan ingin berhenti dan pulang ke rumah, namun pikiranku seperti kosong dan terus mengikuti kemana kaki melangkah. Akhirnya setelah beberapa puluh meter berjalan, aku sampai di depan rumah Pak Kosim, pria berusia 50 tahunan. Selama ini keluarganya juga menyuruhku membantu mencuci pakaian.

Tidak lama aku berdiri, pintu rumah Pak Kosim terbuka dan nampak pria itu menyambut kedatanganku.
"Silakan masuk Surti," langsung saja Pak Kosim mempersilakanku masuk ke rumahnya.
Entah kenapa, aku pun tidak canggung lagi melangkah masuk. Setelah menutup dan mengunci pintu, Pak Kosim menuntunku ke dalam. Kemudian aku tahu, karena sudah sering memasuki rumah ini, bahwa kami sedang menuju ke kamar Pak Kosim. Pintu kamar dibuka dan di dalamnya kosong.
"Kemana Bu Kosim?" hatiku bertanya.
Gilanya aku menurut saja ketika tanganku ditarik Pak Kosim memasuki kamar itu dan dibimbingnya ke tempat tidur.

"Ini diminum dulu, Sur."
Entah kapan dibuat, ternyata di kamarnya sudah tersedia segelas air teh yang sepertinya memang disediakan untukku. Aku yang kepanasan segera meminumnya habis.
"Tolong pijiti aku, Sur," pinta Pak Kosim lalu membuka kaos yang dikenakan dan merebahkan diri ke ranjang.
Seperti terhipnotis, aku yang seumur hidup belum pernah memijati orang lain selain suamiku, segera saja melaksanakan perintah itu. Gila! Mulutku pun rasanya kelu untuk berkata-kata menanyakan kejanggalan ini. Sementara tanganku terus sibuk memijat.

"Kamu kepanasan ya, Sur? Keringatmu sampai keluar banyak sekali?" Pak Kosim melihatku sambil membalik tubuhnya jadi telentang.
Aku hanya mengangguk. Tubuhku memang rasanya bertambah panas saja.
"Buka saja dastermu kalau panas.." ucapnya lagi sambil bangkit dan berupaya membantuku membuka daster.
Herannya, aku yang tetap yakin ada yang tidak beres, tidak menolaknya. Malahan diam saja ketika Pak Kosim tidak hanya membuka dasterku, namun juga seluruh yang melekat di tubuhku. Lalu membaringkanku ke ranjangnya, dan ganti dia yang memijatiku. Sebentar kemudian kurasakan tubuhku sudah digelutinya.

"Ini perzinahan!" teriak bathinku.
Tapi lagi-lagi semua nuraniku melayang entah kemana. Tambahan lagi aku yang sudah berbulan-bulan "puasa" dari nafkah bathin mendadak merasakan desakan kebutuhan itu meletup-letup. Seperti kesetanan aku pun melayani kegilaan Pak Kosim. Tubuh kami pun segera mandi keringat.

Aku tersadar ketika tubuhku digoyang-goyangkan.
"Bangun, Mbak. Bangun..!" samar-samar kudengar suara beberapa orang.
Geragapan aku terbangun dan betapa kaget mendapati diri tergeletak di pinggir jalan di bawah pohon besar. Beberapa penduduk yang tugas ronda menemukanku tertidur di situ sekitar pukul empat pagi.

"Ini Mbak Surti, kan? Kenapa tidur di sini?" tanya mereka.
"Ak.. aku sendiri juga tidak tahu," sahutku bingung.
"Mbak dari bepergian ya?" tanya seseorang.
"Ti.. tidak," jawabku.
Aku masih nanar, dan tidak begitu yakin apakah pengalamanku dengan Pak Kosim itu kenyataan atau bukan.
"Tadi aku tidur di rumah," sambungku.
"Jangan-jangan..," bisik yang lain, "Mbak Surti dipindahkan setan penunggu pohon ini! Katanya pohon ini memang agak angker."

Aku jadi merinding mendengarnya. Meski begitu aku diam saja. Demikian juga ketika mereka mengantarku ke rumah. Aku tetap bungkam, dan tidak hendak menceritakan pengalamanku tadi. Pertimbanganku, kalau kejadian yang kualami tadi hanya mimpi, pasti aku akan ditertawakan. Sebaliknya kalau sungguh-sungguh terjadi aku akan lebih malu lagi.

Setelah para peronda yang mengantarku pergi, cepat-cepat kukunci pintu rumah, lalu bergegas ke kamar mandi. Kuperiksa diriku, dan benar saja.., masih terasa ada bercak-bercak cairan di sekitar pahaku. Segera kubersihkan tubuhku dan mandi keramas. Namun toh bayangan kejadian dengan Pak Kosim itu tidak dapat lepas dari benakku. Bahkan aku akhirnya meyakini perzinahan itu sungguh-sungguh terjadi, meski tidak pernah tahu bagaimana hal itu dapat berlangsung.

Beberapa hari setelah itu aku merasa sangat malas keluar rumah. Pekerjaan mencuci kukerjakan di rumah. Aku hanya mengambilnya dari rumah ke rumah, lalu segera pulang. Untuk kemudian mengembalikannya sore hari setelah rapih kuseterika. Begitu pula dengan cucian keluarga Pak Kosim yang sudah langganan tiga hari sekali harus dicucikan. Aku agak jengah juga ketika mengambil cucian ke rumahnya. Di sana kutemui Bu Kosim dan anak-anaknya ada di rumah. Sementara Pak Kosim seperti biasa tidak mau ikut-ikutan urusan cucian. Aku sempat melirik kepadanya, tapi ia nampak biasa saja membaca koran seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Hal ini membuatku jadi meragukan kesimpulanku mengenai peristiwa memalukan dengan Pak Kosim itu.

"Apa aku cuma mimpi ya?" bathinku bertanya.
Pertanyaan itu terjawab ketika tiga minggu kemudian kualami kejadian serupa. Aku terbangun dari tidur di tengah malam dengan tubuh mandi keringat. Aku juga sadar sesadar-sadarnya sewaktu membuka pintu, keluar rumah dan.. lagi-lagi berjalan menuju ke rumah Pak Kosim. Namun sejak minggu lalu aku sudah menyiapkan beberapa potong kayu kecil dan selalu menaruhnya di meja kamar. Kubawa kayu-kayu itu dan kuselipkan di beberapa cabang pohon yang kulewati.

Kembali Pak Kosim menyambutku di pintu rumahnya dan membawaku ke kamarnya, lalu memberiku segelas teh manis. Gilanya, begitu teh habis kuminum, mendadak birahiku meledak-ledak menuntut pemuasan. Tanpa malu-malu kulepas daster dan seluruh yang menempel di tubuh, lalu serta-merta kutarik Pak Kosim. Sejenak kemudian kami sudah berpacu di dalam nafsu. Entah berapa kali aku minta dipuasi, yang jelas kurasakan Pak Kosim berkekuatan bak kuda jantan, padahal sehari-hari ia nampak seperti orang tua yang lemah. Mungkin ia minum obat atau jamu tertentu?

Samar-samar kudengar jam dinding kuno berdentang tiga kali ketika kami menyelesaikan ronde yang entah keberapa. Meski masih ingin terus berpacu, namun rasa kantuk yang amat sangat memberatkan mataku. Aku terlelap dengan mimpi indah bersama Pak Kosim. Sekonyong-konyong mimpi indahku berantakan sewaktu kurasakan tubuhku digoyang-goyang. Aku terbangun dan mendapati diri tertidur di bawah pohon besar itu lagi!

"Jangan tidur di sini, Mbak," ucap yang membangunkanku.
Aku terkejut. Di hadapanku berjongkok seorang pemuda berjaket kulit dengan tubuh besar dan atletis. Sedangkan dua temannya yang berpostur hampir sama ikut pula berdiri mengelilingiku. Lampu jalan yang tidak terlalu terang membuatku tidak mampu mengenali wajah mereka yang membelakangi lampu itu.

"Mari ke rumah saya saja, Mbak. Nggak jauh kok. Besok pagi baru saya antar pulang," ajaknya sambil memegang lenganku dan membantuku berdiri.
Aku menurut saja ketika dia menuntunku, bahkan memakaikan jaketnya, lalu merangkulkan tangannya ke pundakku. Dalam keadaan yang masih nanar, aku justru tidak memilih diantar pulang. Kuikuti mereka hingga sampai ke sebuah rumah kecil di sudut kampung. Pernah beberapa kali aku melewati rumah itu di waktu siang, tetapi keadaannya selalu tertutup. Rupanya pemuda ini pemiliknya, pikirku. Aku pun jadi tidak kuatir pada mereka. Mereka pastilah anak-anak kampung sini juga.

Bersambung . . . .