Memuskahkan guna-guna pemikat sukma - 3

"Cukup!" suara itu menghentikan hisapanku.
Mbah Purwo mengeluarkan jarinya dari mulutku, lalu memasukkannya ke mulutnya sendiri sambil memejamkan mata. Tubuhnya nampak berkeringat dan licin.
"Masih tidak terlacak, Mbak," desahnya sambil geleng-geleng kepala.
"Kita sekarang harus coba di bagian leher dan dada. Maaf, Mbak.."

Kali ini kulihat Mbah Purwo menggerakkan kaki, sehingga mengangkangiku di atas kasur, lalu meletakkan kedua telapak tangannya di dadaku. Jari-jarinya lurus berada di bawah daguku. Agak geli juga aku ketika jari-jari itu bergerak-gerak seperti memijat atau mengelus dagu hingga leher. Kemudian terasa tangan itu bergeser turun, dan terus turun hingga penutup dadaku pun ikut merosot terbuka. Getar-getar aneh tapi nikmat kurasakan sewaktu kedua telapak tangan itu menelangkup tepat di kedua payudaraku yang sudah telanjang. Mata kupejamkan lagi, dan kurasakan pijatan-pijatan lembut itu. Berkali-kali ludah kutelan membayangkan kemesraan dan kenikmatan.

"Apa Mbak juga merasakan yang begini ini dengan Pak Kosim?" tanya Mbah Purwo.
"Ii.. iya, Mbah," jawabku malu-malu sambil mendesah nikmat tanpa sadar.
Tubuhku pun menggelinjang. Birahiku melonjak-lonjak. Hal ini berlangsung cukup lama, selama pijatan-pijatan di sekitar dada dan payudaraku terus dilakukannya. Lama sekali rasanya sampai aku terlena setengah mengantuk. Sekonyong-konyong kurasakan hisapan pada puting kananku. Keras sekali. Aku terlonjak, tapi lenganku kiri-kanan segera ditekannya dengan kedua tangan hingga tidak dapat bergerak. Hisapan itu lalu berpindah ke kiri. Begitu dilakukannya berkali-kali sampai kurasakan payudaraku menggembung kian besar, seperti birahiku.

"Maaf, saya terpaksa harus mengambil cairan yang di bawah, Mbak Surti!" pintanya setelah menghentikan hisapannya.
Belum sempat kujawab, dengan cepat salah satu tangannya turun dan terus turun menelusupi celana dalamku hingga terlepas. Aku tersentak ketika salah satu jarinya menyentuh, membelai dan memasukiku. Aku tambah tersentak-sentak manakala jari itu semakin nakal dan liar seperti ular.. menjadi besar dan panjang. Tanpa sadar kubuka pahaku lebar-lebar. Mataku yang semula terpejam jadi terbeliak menahan kenikmatan.

Entah kapan dilakukan, ternyata kulihat milik Mbah Purwo lah yang telah memasukiku. Tidak tahu pula kapan ia menanggalkan busananya hingga bugil sepertiku. Ia menikamku bertubi-tubi dengan bertumpu pada lututnya. Mencangkul dan memasak diriku dengan gencar. Gerakannya yang lihai membuatku terlonjak-lonjak, dan aku terpaksa harus bangkit terduduk berpegangan pundaknya karena tidak tahan gempurannya.

"Bertahanlah.. Kita harus keluar bersamaan.." bisiknya ke telingaku sambil memeluk tubuhku dan terus membuatku kelojotan.
"Ampun, Mbah.." antara sadar dan tidak aku mengeluh karena merasakan kenikmatan sekaligus sedikit rasa sakit bersamaan.
"Tahan sebentar sakitnya, kau pasti akan mengalami puncak kenikmatan yang belum pernah kaurasakan seumur hidup.. Paku Bumiku terkenal paling hebat."

Setelah ucapan ini, dia membaringkanku dan menindihku dengan berat tubuhnya yang laksana tiga karung beras. Aku tidak dapat bergerak selain membuka paha semakin lebar dan merangkulkan kaki ke pahanya. Puluhan menit lamanya kami bertahan dalam posisi menggairahkan itu. Hebat sekali pria ini mengolah gerak tubuhnya memuasiku dan dirinya sendiri tanpa kenal lelah. Menikam. Menghantam. Memacu dan terus memacu. Akhirnya kurasakan dia bagaikan seorang joki yang hendak mencapai garis finish. Dipacunya kuda sekencang-kencangnya. Nafasnya memburu menyapu wajahku. Dipagutnya bibirku.

Aku tidak tahan lagi. Seerr.. Bentengku jebol sudah.. kenikmatan yang dikatakan tadi benar-benar kualami. Bersamaan dengan itu tubuh di atasku pun mendadak tersentak-sentak belasan kali, sebelum akhirnya terpuruk lunglai. Keringat yang berleleran tidak kami hiraukan. Kami berpelukan meredakan nafas yang menderu.

"Mandilah di belakang," suruh Mbah Purwo sambil mengenakan pakaianya kembali.
Ia ternyata cepat pulih lagi.
"Aku sudah memasang penangkal Paku Bumi pada kelaminmu. Nanti kau akan kuberi penangkal guna-guna Pak Kosim dan obat kuat untuk menyembuhkan rasa capai," lanjutnya sambil keluar dari bilik.

Perlahan aku bangkit. Tubuhku terasa hancur sama seperti setelah digilir ketiga pemuda itu. Bisa kubayangkan kekuatan Mbah Purwo. Setelah mandi dan merapikan diri, aku kembali menghadap Mbah Purwo.
Dengan agak malu-malu aku bertanya, "Untuk apa penangkal di dalam kelamin saya ini, Mbah?"
"Oh, itu supaya Mbak tidak mudah terangsang. Saya rasakan tadi Mbak memiliki nafsu syahwat yang sangat kuat. Rangsangan sedikit saja sudah bisa membangkitkannya. Sengaja aku tidak beritahu sebelumnya bahwa untuk memasang penangkal Paku Bumi harus dalam keadaan orgasme. Kalau sebelumnya diberitahu, biasanya malah susah mencapai orgasme, dan mana mungkin Mbak mau saya begitukan, kan?" goda Mbah Purwo sambil tersenyum padaku.
Aku menunduk malu teringat ekspresiku sewaktu kesakitan tadi.

"Sampai berapa lama penangkal ini berfungsi, Mbah?" tanyaku masih penasaran.
"Selama belum diambil. Selama Mbak masih mudah terangsang, maka ia otomatis akan bekerja. Ia akan mengingatkan Mbak dengan sedikit rasa tidak enak seperti orang sedang menstruasi.."
"Apa ini berarti saya akan merasakan sakit itu setiap akan berhubungan dengan pria?" kejarku lagi.
"Lho, bukankah Mbak ini janda? Mau berhubungan dengan siapa?"
Pertanyaannya yang tidak terduga ini membuatku malu besar.
"Oh.. eh.. maaf, Mbah.."

"Ngg.. ya saya tahu," ujarnya penuh pengertian," wanita seusia Mbak dengan nafsu sangat kuat pasti masih membutuhkan hubungan seks dengan lawan jenis, tidak perduli janda atau bukan. Jangan kuatir, penangkal saya cuma akan memberi rasa tidak enak sekitar lima menit. Hal ini cuma untuk mengingatkan saja. Kalau suatu ketika Mbak benar-benar sudah tidak tahan dan harus bersetubuh dengan pria, maka lakukanlah setelah lima menit itu berlalu, maka rasa tidak enak itu akan hilang sendiri. Paku Bumi memang cuma untuk mengingatkan. Kalau yang diingatkan tidak mau maka penangkal ini akan melemah sendiri dan membiarkan segalanya terjadi." Panjang lebar Mbah Purwo menjelaskan.

"Oh ya, kalau nanti sewaktu-waktu Mbak menikah lagi, penangkal itu sebaiknya diambil supaya tidak mengganggu. Datanglah ke sini karena yang bisa mengambil hanyalah orang yang memasangnya.."
"Bagaimana mengambilnya, Mbah?" tanyaku bodoh.
"Yah, kira-kira sama seperti waktu memasangnya. Harus dalam keadaan.. orgasme. Tidak susah kan, Mbak, wong cuma tidur telentang sebentar dan merasakan kenikmatan?" lagi-lagi Mbah Purwo menggodaku sambil tersenyum nakal.
Aku tersipu-sipu.

Mbah Purwo masih melanjutkan, "Atau kalau Mbak Surti sewaktu-waktu tidak tahan dan cuma butuh kenikmatannya saja, boleh kapan saja datang ke sini. Pasti saya layani tanpa resiko kehamilan dan tak perlu bayar he.. he.. he.."
"Sudah.. sudah, Mbah, saya tahu. Sekarang saya mau pulang," aku memutuskan obrolan ngeresnya.
"Ini obat penyembuh rasa sakitnya tadi, sekaligus pencegah kehamilan. Diminum dua kali sehari selama tiga hari," diberikannya enam butir kapsul padaku dan sebungkus kain hijau.

"Bungkusan hijau ini gantungkan di atas pintu kamar. Bila Mbak berdiri di bawahnya, maka otomatis guna-guna Pak Kosim atau yang sejenisnya, pokoknya yang berkaitan dengan rangsangan birahi, akan tidak mempan dan hilang."
Aku pun pamit pulang setelah menerima benda-benda itu, dan memberikan selembar puluhan ribu pada Mbah Purwo. Hampir jam 11 waktu itu, berarti sekitar dua jam aku di ruang Mbah Purwo. Dan mungkin satu setengah jam lebih kami habiskan waktu di bilik kecil itu.

Oh.. bisakah kejadian dengan Mbah Purwo ini disebut guna-guna juga? Nyatanya toh aku melayaninya dalam keadaan sadar tanpa paksaan. Aku juga tidak disuruhnya minum atau makan pemberiannya yang mungkin dicampur obat perangsang. Apa benar nafsu syahwatku memang sangat besar? Seingatku dulu aku juga melakukannya dengan suamiku secara wajar-wajar saja. Seminggu tiga atau empat kali. Apa mungkin aroma harum di bilik kecil itu merupakan bau-bauan perangsang? Aku tidak sempat berpikir lebih lama, karena si tukang ojek kelihatan sudah menjemput datang. Aku bergegas pulang.

Hari-hari berlalu seperti biasa. Aku sudah kembali melakukan pekerjaan rutin mencuci. Penghasilan dari mencuci cukuplah untuk kehidupanku sehari-hari, bahkan kadang lebih. Lebihannya ini kutabung di bank. Kadang Basuki, anakku lelaki, mengirimiku beberapa puluh ribu rupiah, ini pun kutabung. Sementara Nina yang gajinya lebih kecil belum bisa mengirimiku. Aku maklum akan hal ini. Bekerja di Tangerang dengan standar hidup seperti Jakarta pasti memerlukan biaya besar. Untuk makan, bayar kost, dan keperluan hidup sehari-hari pasti menghabiskan sebagian besar gajinya.

Aku hanya berharap mereka dapat menimba pengalaman sebanyak-banyaknya dengan bekerja di kota besar.
Aku hanya berpesan pada Basuki dan Nina, "Kalau berhasil, kalian akan mencapai hidup lebih baik di sana. Kalau toh gagal, jangan malu untuk pulang, karena pengalaman yang didapat dari bekerja di kota besar dapat digunakan di sini."

Hari ini aku mendapat surat dari Nina. Ya, dia memang lebih sering menulis surat dibanding kakaknya. Maklum anak laki suka malas menyurati. Paling Basuki hanya titip salam lewat surat Nina. Ini pun bagiku sudah cukup. Asal mereka sehat dan bahagia, senanglah aku. Tentu saja dalam surat balasanku selalu kuceritakan kesehatanku dan hal-hal lain yang baik-baik, supaya mereka pun senang dan tidak kuatir dalam bekerja. Sedangkan kejadian memalukan dengan Pak Kosim, ketiga pemuda dan Mbah Purwo tidak pernah kusinggung-singgung. Biarlah peristiwa itu kusimpan menjadi rahasiaku sendiri.

Meski demikian, dalam hati kecilku sebenarnya masih ada rasa penasaran untuk mencoba keampuhan penangkal Mbah Purwo. Enam butir kapsul yang diberikannya padaku dulu memang telah terbukti kemanjurannya. Bahkan pada hari kedua setelah kuminum, tubuhku sudah segar kembali. Dan haidku bulan ini juga lancar seperti biasa. Aku memang pernah kuatir terjadi kehamilan setelah pengalamanku dengan Pak Kosim. Apa jadinya kalau janda sepertiku yang baru ditinggal suaminya tiga bulan hamil? Pasti akan sangat memalukan. Pasti aku akan dikucilkan masyarakat. Untunglah kapsul pemberian Mbah Purwo sangat mujarab.

Sekarang yang masih ingin kubuktikan adalah penangkal berbungkus hijau yang sudah kugantung di atas pintu kamar. Katanya ini akan menangkal guna-guna yang sifatnya perangsang birahi. Sudah sebulan lebih sejak kudapat penangkal itu ternyata Pak Kosim tidak lagi mengguna-gunaiku. Aku tahu ini karena aku tidak pernah lagi terbangun di tengah malam dengan tubuh kepanasan.

Berkali-kali aku ke rumah Pak Kosim mengambil cucian atau mencuci di sana, dan ia nampak wajar-wajar saja. Apa mungkin karena anak-istrinya di rumah maka ia tidak mengguna-gunaiku lagi? Aku jadi teringat, dari dua kali pengalaman diguna-gunai, selalu rumah dalam keadaan sepi. Hanya ada Pak Kosim seorang diri. Istri dan anaknya sedang pergi.
"Akan kutunggu sampai mereka pergi," pikirku ingin mencoba.

Dan saat itu pun tiba ketika hari itu aku mengantar cucian dan bertemu Bu Kosim.
"Mbak Surti, maaf ya, besok pagi libur dulu karena saya dan anak-anak akan pergi ke luar kota berlibur selama tiga hari. Di rumah tinggal Bapak sendiri, jadi cucian cuma sedikit. Nanti saja sekalian diambil kalau kami sudah kembali," ujarnya.
Aku pun mengiyakan.

Maka kumasuki hari-hari berikutnya dengan penuh kewaspadaan. Dua hari berlalu tanpa terjadi apa-apa. Baru pada hari ketiga malam, mendadak aku terbangun di tengah malam dengan mandi keringat.
"Inilah saatnya," pikirku.
Kubiarkan beberapa lama keadaan itu sebelum aku melangkah keluar kamar. Kusiapkan beberapa perlengkapan yang sengaja akan kubawa untuk memerangkap Pak Kosim.

Setelah merasa siap, aku pun berjalan keluar kamar. Tepat di ambang pintu, aku berhenti di bawah bungkusan penangkal yang pernah diberikan Mbah Purwo dan.. benar saja, perlahan-lahan tubuhku seperti ditiup kipas angin. Sejuk menyegarkan dan dengan cepat mengeringkan keringatku, sehingga suhu tubuhku pun normal kembali. Aku pun semakin yakin akan keampuhan penangkal Mbah Purwo. Namun sesuai rencanaku, aku tetap berjalan menuju ke rumah Pak Kosim dengan membawa beberapa perlengkapan yang kusembunyikan di saku daster. Aku ingin memberi pelajaran pada Pak Kosim supaya ia tidak mengulang perbuatannya lagi. Sengaja kulalui jalan yang sama yang pernah kulewati dua kali.

Sebelum sampai, dari kejauhan sudah kulihat Pak Kosim tengah berdiri di depan pintu rumahnya. Langkahku pun semakin yakin. Dengan ekspresi pura-pura terkena guna-guna, kudekati rumah itu.
"Mari, silakan masuk, Surti," sambut Pak Kosim seperti biasa sambil membuka pintu.
Tanpa bersuara aku masuk lalu menunggunya hingga selesai mengunci pintu. Setelah itu kuikuti dia ke kamarnya.

Ketika dia memberikan segelas teh manis, meski semula ragu-ragu, kuteguk habis juga. Benar saja, sebentar kemudian aku merasa birahiku mulai meronta minta pemuasan. Bersamaan dengan itu kurasakan pula rasa kurang enak di bawah pusarku seperti hendak menstruasi. Maka aku teringat kalau penangkal Mbah Purwo pasti sedang bekerja. Oleh karenanya aku pun bertahan sebisa mungkin untuk tidak dikuasai pengaruh jahat minuman Pak Kosim. Hanya dua menit gejolak itu mereda dan hilang sendiri.

Dalam hati aku semakin salut pada penangkal Mbah Purwo. Lalu mulailah Pak Kosim minta aku memijatnya. Aku pun pura-pura mematuhinya sambil mengamat-amati situasi. Juga ketika ia menyuruhku membuka daster, ini pun kuturuti. Supaya dia lebih terlena aku memijat dengan duduk setengah bugil di atas punggungnya. Aku harus tahan malu untuk membuka kedoknya. Toh hanya kami berdua yang tahu peristiwa ini.

"Silakan tidur dulu, Pak," bisikku ke dekat telinganya.
Ia hanya manggut sedikit, lalu memejamkan matanya. Nampaknya kali ini Pak Kosim tidak terburu-buru lagi. Ia merasa dirinya sudah cukup pengalaman dan dapat mengatur waktu kapan harus membawaku ke bawah pohon itu selagi aku tertidur.
"Biar cepat tidurnya matanya ditutup ya, Pak," bisikku lagi.
Ia tak bereaksi. Perlahan kuambil kain hitam yang sudah kusiapkan.

Sambil memijit-mijit pelipis dan keningnya, kututup mata Pak Kosim. Ia tersenyum merasakan ulahku. Mungkin menganggapku sedang bermain-main. Diam-diam kuambil cairan pewarna dari saku daster yang kuletakkan di dekatku. Sambil tetap memijit, tanganku asyik pula melumuri punggung Pak Kosim dengan pewarna merah itu. Kalau sudah kering, dalam waktu berhari-hari berulah pewarna itu bisa hilang. Di bagian punggung yang sulit terjangkau tangan kutulisi "Ini bukti aku main serong". Aku ingin hal ini menjadi bukti di depan istrinya nanti kalau Bu Kosim sudah pulang.

Bersambung . . . .