Sonny amulet - Roman picisan - 4

"Eh Den, kamu oke-oke aja kan kalau pulang malam?" tanyaku.
"Nggak apa-apa kok.. Kenapa? ini juga khan sudah malam," jawabnya sambil memperlihatkan jam tangannya padaku.
"Maksudku tuh sampai after midnite gitu" kataku dengan penuh hati-hati (maksudnya sih ingin mancing dia).
"What? Memangnya mau kemana sampai jam segitu?" ucapnya dengan pandangan penuh selidik.
"Ya.. Ehm nggak kemana-mana sih.. Cuman nanya aja boleh kan?" jawabku membelokan pembicaraan.
"Maksudku tuh kenapa cuma sampai after midnite? Kenapa nggak sampai pagi aja khan nanggung tuh" ujarnya dengan senyuman.
"Wah!" kata itu keluar dengan spontan dari mulutku.
"Huu.. Maunya! Memang gitu yah maksud kamu mau ngajakin pulang pagi yah?" kata denita sambil mencubit tanganku.

Aku malah gugup mencari jawabannya. "2-0! Hihi" katanya dengan manja.

Denita rupanya ngerjain aku, dia tertawa renyah sambil menatapku menggoda.

"Yee kamu tuh Den.. Itu aja di'itungin" jawabku agak 'salting (malah nyaris salto).
"Ok.. kalau kamu masih mau ngajakin jalan lagi setelah ini boleh aja tuh.. Mau kemana kita?" ucapan Denita yang 'menantang' itu bikin aku berpikir keras mencari jawaban yang 'menjurus' tapi 'aman' agak tidak kecele lagi.
"Hmm.. Terus terang aku senang banget malam ini Den, dan kayaknya aku masih mau ngomong banyak sama kamu" lalu aku melanjutkan lagi.
"Tapi enaknya kita cari tempat yang lebih tenang buat kita berdua.."

Aku sengaja menunjukan maksudku dengan cara halus, agar bila Denita menolak, pasti dengan cara halus juga. Dengan begitu tidak akan merusak suasana romantis yang telah terbina. Terlihat bola mata Denita bersinar dan menatapku dengan tatapan penuh gairah.

"Sonny kamu serius nih?" ujarnya minta kepastian.
"Yup.. Hmm maksudku kalau kamu keberatan sih its ok.. Mungkin aku terlalu cepat sih tapi ya.." belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Denita memotong dengan berkata.
"Ya kemana dong? Tepatnya mau ngapain?".

Walah pertanyaan itu membuatku makin terpojok. Ibarat petinju yang sedang terpojok di sudut ring, aku memiliki tiga pilihan. Pertama adalah merapatkan double-cover menangkis serangan, kedua menyerang balik dan terakhir adalah lari keluar ring. Dengan segala pertimbangan akhirnya aku memutuskan untuk menyerang balik dengan frontal. Soalnya sudah kepalang tanggung dan kupikir Denita juga sudah memahami maksudku. Dia cuma sedang memancingku supaya aku yang lebih dulu mengutarakan maksudku. Sebagai cewek khan dia nggak mungkin ngajak ebih dulu, jadi sebagai cowok aku yang harus berani melontarkan 'hasrat' itu lebih dulu.

Entah kenapa aku memiliki keyakinan bahwa apa yang kupikirkan juga ada dlm pikiran Denita dan yang aku inginkan juga merupakan keinginan Denita. Maka aku menarik nafas panjang, menghisap rokok-ku dalam-dalam lalu menghembuskannya sambil berkata..

"Check-in yuk"..

Terus terang aku tidak yakin dengan penggunaan istilah itu tapi sepertinya itu lebih tepat daripada bilang 'ML yuk'. Selanjutnya waktu terasa berhenti berputar dan aku menahan nafas ketika menantikan reaksinya. Denita menatapku dalam-dalam, matanya yang cerdas itu terlihat bersinar riang. Senyum yang tersungging di bibirnya jelas menunjukan kemenangan baginya.

"Ok.. Siapa takut" katanya singkat sambil menghembuskan asap rokok putihnya.

Lega bercampur gembira saat mendengar jawabannya itu. Ibarat pemain sepak bola yang baru saja mencetak gol, ingin rasanya aku melakukan victory lap mengelilingi meja saking senangnya. Tapi jelas aku nggak melakukannya malahan aku menanggapinya dengan cool dan penuh ketenangan (maklum rasa percaya diri langsung terkatrol saat itu).

"Gimana kalau sekarang aja kita jalan" kataku meminta persetujuannya.
"Hmm.. Your place or my place?" balas Denita dengan santai.

Sepertinya dia sudah biasa dan cukup pengalaman dalam hal 'itu'. Jelas nggak mungkin di tempatku soalnya aku nggak enak sama Mbak Ratri kalau dia sampai tahu. Akupun mengajak Denita ke motel tempat biasanya aku check-in.

"Tapi Son, aku mau save sex.. So.."
"Sama koq Den, aku juga selalu prepare buat itu" jawabku sambil mengatakan kalau aku membawa kondom di dompetku.

Padahal sih sebenarnya bukan di dompet aja tapi di laci mobil juga ada soalnya tadi sebelum jemput dia aku sempat mampir ke apotik Melawai beli satu Pak (sekalian buat stock.. Hehehe).

Kemudian kami berdua segera beranjak menuju ke tempat yang aku maksud. Motel itu terletak di pinggir jalan layang di daerah bypass. Sebenarnya banyak tempat untuk itu di selatan, namun aku lebih suka ke tempat dimana aku sudah familiar jadi tetap kupilih tempat 'langganan' itu.

Sepanjang perjalanan Denita tidak henti-hentinya bercanda dan menggodaku. Aku menanggapinya sekenanya saja karena dalam hati aku sudah tidak sabar ingin segera sampai di tempat tujuan. Tidak sabar ingin memuaskan hasrat yang menggelora sejak pertama kali aku melihat Denita.

Tidak lama sesudah keluar dari jalan tol, motel itu sudah terlihat di seberang jalan dan akupun tinggal berbalik arah untuk mencapainya." Tuh dia tempatnya Den" kataku dengan penuh keyakinan. Denita teridam sesaat kemudian di merubah posisi duduknya hingga mengarah kepadaku lalu barkata,

"Ehm.. Son.. benar kamu mau ngajakin aku check-in?". Walah masih saja dia ingin memancingku. Lalu dengan tersenyum aku menjawab..
"Iya lah sudah sampai disini masak kamu belum percaya juga sih Den" .

Begitu aku menoleh ke arahnya tiba-tiba aku melihat ekspresi aneh di wajah Denita. Dia memandangku dengan tatapan yang serius.

"Ya Ampun.. Koq jadi beneran sih?" nada suaranya meninggi membuatku tiba-tiba merasa cemas.
"Lho memangnya kenapa? Something wrong?" tanyaku heran.

Aku masih merasa kalau Denita hanya sedang menggodaku. Dia menatapku lama lalu kemudian ekspresi wajahnya berubah, kali ini ada rona kekecewaan di matanya. Jantungku berdetak keras dan pikiran terburuk segera menghantuiku.

"Nggak sih.. Nggak ada yang salah.. Mungkin aku yang salah" katanya sambil melepas tatapannya dariku dan menatap jauh ke dapan. Karena pintu gerbang motel itu sudah makin dekat, aku segera menepi dan melambatkan kecepatan mobil.
"Sorry ya Son aku tuh sama sekali nggak nyangka kalau kamu betul-betul mau ngajakin check-in.. Kupikir kamu cuma becanda aja".

Rasa malu bercampur bingung melanda diriku dengan seketika! Walah! aku telah terjebak dalam obsesiku sendiri!

"Ehm.. Eh.. Maksud kamu.. Kamu belum pernah.."

Aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku karena lidahku mendadak kelu dan pita suaraku seperti menolak untuk berbunyi.

"Hmm bukan gitu.. Ya aku ngerti sih maksud kamu tapi.. Aku nggak bisa.." suara Denita terhenti sejenak lalu melanjutkan.
"Aku nggak bisa.. You know, sleep with someone yang baru aku kenal.. Maksudku this is our first date.. Aku nggak bisa.. Belum siap aja.. Sorry yah Son" Kalimat terakhir itu terdengar bagai sangkakala hari kiamat buatku.

Dengan kata lain, alangkah kurangajar-nya diriku karena belum dua hari kenalan terus baru jalan sekali sudah ngajak tidur bareng. Bahkan mungkin di Aussie sekalipun nggak ada cowok yang segila aku ini, main tembak aja. Walah' gawat nih Denita pasti berpikir kalau aku mengira dia cewek murahan. Atau malah jangan-jangan dia tuh belum pernah 'ML' dan aku tertipu oleh penampilannya yang dewasa dan stereotip yang ada dalam benakku bahwa cewek yang tinggal diluar negeri tuh biasa freesex. Ingin rasanya aku berteriak agar tersadar dari 'mimpi buruk' ini tapi tidak bisa, karena ini adalah kenyataan. Aku terbawa suasana sehingga tidak bisa membedakan mana obsesiku dan mana kenyataan.

Bahkan aku tidak paham kalau tadi Denita hanya bercanda saat meng-iyakan ajakanku.

"Tadinya kupikir kamu mau ngajakin aku kemana gitu.. Sekedar jalan-jalan aja khan sudah lama aku nggak tahu kemajuan di jakarta" suara Denita kali ini terdengar kembali friendly.

Sepertinya dia membaca ekspresi menyesal dan malu di wajahku dan tidak ingin membuatku tambah kikuk di depannya.

"Maaf banget nih Den.. Soryy banget soalnya kupikir kamu tadi serius" kataku dengan suara kering (Kering dan gersang!).
"Aku benar-benar nggak menyangka kalau disini juga sudah umum ngajak check-in saat nge-date pertama kali" suaranya halus namun bagiku itu sebuah sindiran yang menampar wajahku dengan telak!
"Benar lho aku nih malu banget.. Soalnya kamu serius sih pas ngomong tadi" jawabku dengan pasrah diiringi senyum kecut.
"But its ok koq.. Aku salut sama keberanian kamu ini" katanya memuji namun tetap saja pujian itu tidak sanggup mengatrol rasa percaya diriku yang telah terbang bersama angin malam (Oh angin malam bawa daku.. Seperti kata almarhum Broery Pesolima dalam lagunya Berhembus angin malam).

"Wah jadi 3-0 deh sekarang" jawabku menghitung skor 'kekalahanku'.
"Nggak koq.. Yang ini nggak dihitung.. Cuma salah paham aja koq" kata Denita sambil tersenyum menepuk pundaku.

Tepukan di pundak itu justru membuatku makin merasa bersalah dan tidak berarti sama sekali.

"Sudah lah.. Mending kamu anterin aku pulang sekarang.. Nanti aja kita bahas lagi masalah ini"

Waduh berat rasanya mengarungi perjalanan ke rumah Denita yang terletak di daerah Kebayoran. Kami kembali melewati jalan tol yang sama, hanya kali ini ke arah yang berlawanan dan juga dengan perasaan yang berlawanan. Kalau tadi aku melewatinya dengan perasaan 'exited', sekarang aku lewati dengan mati rasa sama sekali. Denita terus saja mengajaku ngobrol tentang hal-hal lain. Dia seperti ingin menghiburku dengan tidak mengungkit masalah tadi. Aku malah ingin mengubur diri karena merasa perjalanan ke rumah Denita begaikan hukuman dari kebodohanku tadi. Aku sempat berpikir jangan-jangan aku kualat dan ketiban sial akibat ngintipin Mbak Widya tadi sore. Baru kali ini aku kecele mentah-mentah dalam hal seperti ini. Atau mungkin kali ini sudah saat aku kena 'batunya'.

Sepandai-pandainya tupai melompat, bla bla bla bla.. Itu adalah peribahasa yang terlintas dalam benakku saat mencoba ber-introspeksi akan kegagalanku saat itu. Ini mungkin yang dimaksud dengan istilah " Total Humiliation". Aku cuma bisa berbisik dalam hati.. 'There goes my romantic evening'.

*.. Aku berdansa diujung gelisah.. Diiringi merdu lembut lagumu.. *

Pukul 00:25 Wib tengah malam,

Kami tiba di depan rumah Denita yang terlihat mewah (kalau bisa disebut megah) di kawasan Kebayoran lama Jakarta Selatan. Satpam penjaga rumahnya menyambut kami dengan ramah (jelas lah, soalnya ada Denita coba kalau aku datang sendirian malam-malam begitu pasti dipelototin). Aku merasa nggak enak dan ingin segera pamit padanya namun Denita memintaku turun dulu dan mampir sejenak dirumahnya.

"Nggak sopan lho kalau nolak permintaan tuan rumah," begitu katanya dengan nada agak genit.

Bersambung . . .