There he goes - 4

Chap IV

"Lucas berubah, Van."
"Berubah?" Vanka menatapku dengan pandangan heran.
"Maksud kamu?"
Kutatap siswa-siswa lain yang lalu lalang di depanku.
"Entahlah.." jawabku lirih.
"Dee, kamu kenapa..?"
"Nope. Nothing," jawabku mengelak.

"Aku buka, ya?" Dengan nafas tersengal Luke berbisik di telingaku.
"Jangan, Luke.." desahku mengerenyitkan alis.
Kulihat kaca mobil sudah dipenuhi embun. Keringat menetes di keningku.
"Please.." matanya memohon. Memohon lagi.
"Sudah, ya..?" bisikku seraya memeluk lehernya, berharap Lucas menghentikan semua kegilaannya. Tapi Lucas menarik tubuhnya dan melepaskan rangkulanku.
"Oke kalau begitu.." pemuda itu meraih dan menarik retsleting celananya.
"Ngga mau!" seruku seraya memalingkan wajah.
Lucas sudah gila!

"Dee.." kudengar Lucas mendesah di samping telingaku.
Tidak! Mendadak Lucas meraih tanganku dan kurasakan jemariku menyentuh sesuatu yang keras. Ya Tuhan! Kutarik cepat-cepat tanganku. Tapi Lucas meraih pundakku dan membalikkan tubuhku, melumat bibirku liar dan membaringkanku di jok. Sejenak kurasakan benda keras itu menusuk celana dalamku.
"Lepaskan! Lepaskan, Luke..!"
Tapi lucas menahan tanganku, menindih tubuhku dengan berat tubuhnya, membuka kedua pahaku dan menekan benda keras itu ke kemaluanku.
"Ahk! Sakit, Luke!"
Lucas seolah tak mendengar teriakanku. Benda itu masih menekan dan menggesek. Akhirnya dengan sekuat tenaga kutekuk lututku dan menendang pundaknya.

"Lepaskan..!"
Luke terlempar ke sisi lain mobil. Suara berdebuk terdengar saat kepalanya membentur jandela. Kulihat Lucas meringis dan memegangi kepalanya. Air mata mulai mengalir ke pipiku. Kutekuk tubuhku dan menutupi mulutku tanpa menatapnya.
"Aku ngga mau, Luke."
Kudengar Lucas mendesah lau menjatuhkan kepalanya di pahaku.
"Maafkan aku, Dee."
"Jangan, Luke. Aku ngga mau."
Lucas mengangat tubuhnya dan menempelkan kepalanya di bahuku.
"Aku tahu, Dee. Aku juga ngga mau. Aku hanya ingin menunjukkan padamu tentang segala sesuatunya aku.." pemuda itu berbisik dan mengecup daun telingaku.
"Dee.." bisiknya setelah aku tetap diam tanpa reaksi.
Lucas meraih pundakku dan mendekapku.

Masih tak berani kutatap dirinya. Lucas meraih tanganku sambil berbisik, "Please," dan meletakkannya lagi di atas benda keras itu. Kututup mataku dan mulai menangis lebih keras.
"Touch me, Dee. It's me. Aku, Lucas."
Kurasakan jemarinya melipat jemariku hingga menggenggam benda keras itu. Sesuatu menghalangiku untuk menolak. Apa maksudnya semua ini? Mengapa aku jadi begini?
"Look at me, Dee. Buka matamu."
Aku tak mau melihatmu!
"Dee, please," Lucas menarik daguku dan mengecup bibirku.
"Aku mau kamu tahu semua tentangku, Dee. Tanpa apapun yang harus dirahasiakan."
Kubuka mataku dan menatap matanya. Lucas tersenyum dan mengecup kedua mataku.

"Lihat ke bawah. Yang itu milikku." Suaranya terdengar begitu lembut.
Kutundukkan kepalaku, dan pertama kali itulah dalam hidupku kulihat alat kelamin seorang lelaki, selain kepunyaan Alex yang masih kuingat saat kami dulu sering mandi bersama waktu kecil. Bentuknya besar dan panjang dengan urat-urat yang melingkar. Sesuatu di ujungnya seolah tersenyum dan mengajakku berkenalan.
"Sudah..?" tanyaku pada Lucas.
Lucas mendesah. "Kamu sama sekali tidak tertarik, ya?"
"Ngga.." jawabku terus terang.
"Tapi itu aku, Dee. It's part of Lucas too."
Kutatap lagi benda yang masih kugenggam itu.
"Lalu..?" Pikiranku kosong. Sesuatu membuatu sakit hati dan kehilangan nalar. Dan Lucas menunjukkan cara memainkan batang penisnya. Menjijikkan.

"Sudah?"
"Kok nanya begitu terus?"
"Capek.." ucapku pendek seraya masih menggerakkan jemariku menarik-narik batang kemaluannya.
Lucas tertawa. Dan aku membenci tawa itu.
"Kalau begitu ya sudah. Tapi.."
"Apa lagi..?" tanyaku memalingkan wajah.
"I want to see you too."
Jadi begitu ceritanya. Tersenyum kutatap matanya. Benakku benar-benar kosong. Dan sesuatu merasukiku.

Kujauhkan tubuhku sampai bersandar ke pintu belakang dan mengangkat kakiku ke atas jok. Kutatap mata Lucas dalam sebelum memejamkan mataku dan menarik kepalaku ke belakang. Kurasakan jemari Lucas menyusup ke dalam rok yang kukenakan, menyingkapnya dan.. "Sshh," desisku saat jemari Lucas meraba kemaluanku. Rasa geli yang aneh menyusup ke tulang punggungku sampai ke otak.
"Ahh.." kudengar Lucas mendesah.
"Dee.."
Nyaris kumenjerit saat merasakan Lucas mulai menjilat kemaluanku dengan lidahnya. Rasa geli yang amat sangat membuatku mengangkat paha dan menjepit kepalanya di selangkanganku. Lidah Lucas bergerak-gerak di kemaluanku.
"Ahk.." jeritan-jeritan tertahan keluar dari bibirku.

Lucas mengulurkan lengannya dan meremas dada telanjangku dengan gerakan liar. Tanpa sadar aku mulai menggelinjang dan bergerak ke sana ke mari. Lucas mengangkat kepalaku, menarik kedua kakiku hingga kepalaku terjatuh di atas jok. Pemuda itu menarik tubuhnya sendiri dan menindih kemaluanku dengan kemaluannya. Rasa sakit mulai terasa di perut bagian bawahku.
"Jangan lakukan, Luke..!" desahku.
"Ngga kok.." Lucas mengecup kening dan bibirku, meninggalkan rasa hambar yang aneh, lalu mulai menggerakkan pinggulnya, menggesek dan menekan, menimbulkan rasa sakit dan geli yang menyengat seluruh syaraf di tubuhku. Membuat tubuhku meronta dan menggelinjang, dan suara-suara desahan keluar dari mulutku. Lucas menunduk dan mengecup bergantian kedua payudaraku, sementara pinggulnya terus bergerak.

Akhirnya kurasakan pinggulnya menekan dalam permukaan liang kemaluanku. Semula kukira batang kemaluannya sudah memasukiku, sehingga aku sempat tersentak kaget. Namun dalam hati aku bersyukur karena ternyata tidak. Tapi perutku terasa panas. Lucas mengangkat tubuhnya dan melirik ke bawah lalu tertawa. Keringatnya menetes di dadaku. Ingin tahu, kuangkat pinggangku dan melihat di atas bulu-bulu kemaluanku menempel cairan lenget berwarna keputihan.
"I love you, Dee.." Lucas mengecup lagi bibirku.
Hatiku hancur.

Chap V

"Kamu kok diam sekali hari ini, Dee? Bukan hari ini saja sih, sejak beberapa hari yang lalu." Vanka mengomel panjang lebar keesokan harinya di sekolah.
Kulirik sahabatku dan tersenyum pahit. "Entahlah."
"Dee..? Cerita dong..! Kamu kan tahu aku sahabat kamu. Dan calon kakak ipar kamu juga sih.." sahut Vanka membuatku merasa geli juga.
"Aku mau memutuskan hubunganku dengan Lucas."
"Hahh..?" Vanka terlihat terperanjat.
"Iya. Mumpung belum keterusan."
"Keterusan? KETERUSAN..?" Dan dengan air mata kuceritakan semua kejadian itu padanya.
Vanka mendengarkan dengan mata membelalak.

"Van, kamu apain si Dita kok nangis..?" mendadak salah seorang teman sekelasku menyeletuk.
Anak itu langsung kaget ketika Vanka berdiri tiba-tiba dan memukulkan tangannya ke meja.
"BANGSAT..! Akan kubunuh jahanam itu..!"
"Van.." isakku menahan, beberapa anak mulai menghampiri kami.

"Putus..?" Lucas menatapku terkejut.
"Yap..!" ucapku pendek menoleh ke arah lain.
Mungkin lebih tepat disebut mengalihkan pandanganku daripada aku melihatnya dan menangis.
"Dee, aku.. aku.." Lucas memegang bahuku tapi kusentakkan.
"Sory, Luke. Semuanya sudah berakhir."
Kulangkahkan kakiku menghampiri Pak Oto yang sudah menepikan mobil di trotoar.

"Dee..! DEE..!" Lucas memanggil-manggil dari balik jendela mobil.
"Jalan, Pak..!" ucapku pada Pak Oto.
Kudengar Lucas masih berusaha mengejar laju mobil seraya mengetuk-ngetuk jendela di samping tempatku duduk. Kupalingkan wajahku ke arah lain dan mulai menangis. Lucas masih mengetuk.
"Mau saya hajar, Non..?" Pak Oto berkata gusar.
Kugelengkan kepalaku lemah. Akhirnya suara ketukan itu hilang. Kubiarkan tangisku membanjir.

Bagaimanapun, setelah semua yang dialami walaupun hanya dua setengah bulan. Rasa suka dan cinta yang sudah ada sejak dua tahun yang lalu. Mimpi-mimpi yang jadi kenyataan. Patched dreams that became true.. Semuanya berakhir sampai di sini. Hancur lebur sudah.

Chap VI

Dear Dita, Mungkin kamu tidak mau membaca surat ini, atau mungkin bahkan tidak mau menerimanya sama sekali. Tapi, seandainya kamu mau.. tidak.. bahkan seandainya ada seseorang yang menemukan surat ini setelah kamu membuangnya, membacanya, dan membertahukan isinya kepadamu, aku akan sangat-sangat bersyukur. Dita, sekian lama hatiku lebur saat kamu memutuskan hubungan kita. Semuanya terasa begitu indah walaupun tak sampai tiga bulan. Dan aku.. aku telah merusaknya. Aku tahu itu. Tapi bahkan kamu tidak mau menerima maafku. Tidak bahkan surat-surat dan telepon yang kutujukan padamu. Dita, aku minta maaf. Sedalam-dalamnya. Dari lubuk hatiku. Ini surat terakhir yang mungkin kualamatkan padamu. Aku ingin menemuimu saat pembagian STTB, tapi teman-temanmu melindungimu dariku. Kamu selalu 'tidak ada' di rumah. Ah, aku tak tahu harus berbuat apa. Aku akan pergi ke London lewat Jakarta. Pesawatku berangkat pukul 15:40 WIB Rabu ini. Mungkin aku takkan pernah bisa menemui kamu lagi. Dita, kuharap kamu ada di sana mengantarkanku. Aku tahu itu tak mungkin, mengingat kebencianmu yang sebegitu dalamnya padaku. Tapi tak ada salahnya bermimpi, bukan? Mengingat segala yang lalu, aku mungkin tak berharga bagimu. Tapi.. sekali saja. Yang terakhir. Karena aku masih mencintai kamu.. Lucas.

Luke, aku tak pernah tidak membaca surat yang kamu berikan padaku. Bahkan surat bunuh diri yang kamu kirim sebelum kamu overdosis dan masuk rumah sakit. Aku tahu, Luke. Aku tahu semua tentangmu. Tapi aku takut, Luke. Aku takut. Kuremas surat itu dan mulai menangis lagi. Kutatap foto di atas meja. Saat benih terasa begitu indah. Ya Tuhan, mengapa aku tak bisa melupakannya. Bahkan setelah berbulan- bulan? Apakah aku masih mencintainya? Malam itu aku menangis sendirian. Dan aku merasakan kesepian yang dalam itu. Kesepian sejak Lucas tak lagi dalam kehidupanku. Ya Tuhan, katakan kalau aku salah mengambil keputusan.

Chap VII

"Alex, aku sendirian sampai di sini."
Alex menatapku dengan sendu, tatapan mata yang terlau sering kulihat akhir-akhir ini.
"Take care, Dee."
"Kalau dia memintamu kembali, tolak saja!" Vanka mendesis seraya memelukku.
"Vanka!" Alex menyergah.
Dengan mengusap air mata aku tersenyum dan berlari memasuki hall keberangkatan. Ya Tuhan, sekali lagi kumohon. Jangan sampai aku salah.

Kulihat pemuda itu memeluk kedua mama dan papanya. Ah, betapa kurusnya pemuda itu sekarang. Tulang pipinya tampak cekung dan kantung matanya menghitam. Tanpa sadar air mata keluar lagi membasahi pipiku. Tapi aku masih tidak juga berani keluar dari baik tembok ini. Aku hanya berharap pemuda itu melirik ke arahku. Tapi pemuda itu tidak meluruskan kepalanya sama sekali. Menunduk dan tetap menunduk, seolah tak ingin menatap dunia. Apa yang sudah kulakukan padanya? Apa?? Apa yang kulakukan sekarang?!!

"Dee.." bibir pemuda itu bergerak saat menatapku melangkah ke arahnya.
Kuhentikan langkahku dan tak tahan lagi tubuhku terjatuh. Orang-orang mulai mengerumuniku. Seorang penjaga toko membantuku berdiri.
"Dee.." kurasakan telingaku basah saat pemuda itu menyahutku dan memelukku erat. Erat sekali.
Semua kerinduan dalam hatiku tumpah serentak. Aku masih mencintainya! Sekian lamanya kami berpelukan seolah tak ingin terlepas.
"Aku mencintaimu, Dee. Aku minta maaf. Aku minta maaf." Lucas menangis di bahuku seperti seorang anak kecil.
Kupejamkan mataku dan membelai rambutnya. "Aku juga, Luke," desisku lirih, "Aku juga."

"Pesawat Garuda jurusan Jakarta dengan nomor penerbangan GA 718 akan segera diberangkatkan. Bagi seluruh penumpang diharapkan segera menuju ke ruang keberangkatan."

Kudorong pundak pemuda itu menjauh dan menganggukkan kepalaku. Sebuah tangan menepuk pundak Lucas.
"Ayo, Luke. Kamu harus berangkat sekarang."
Kuangkat kepalaku dan menatap wajah ayah Lucas, pria itu tersenyum dan mengangguk ke arahku seolah ingin mengucapkan terima kasih tanpa kata-kata.
"Dee.." Lucas menghapus air matanya dan tersenyum menatapku.
"Apa, Luke..?"
Lepasnya kerinduan ini begitu singkat.
"Kamu menungguku? Aku akan mencoba berubah."
"Ssshh.." bisikku lalu mengecup pipinya, tak perduli ada kedua orangtuanya di situ, dan mata-mata yang menatap kami.
"I'm your dreampatcher, remember that..?"
Lucas mengangguk, tersenyum, lalu merangkul kedua orangtuanya. Kulihat ibu Lucas menangis, sementara ayahnya memeluk dan menenangkan.

"Bye, Dee." Lucas menatap terakhir kalinya ke arahku sebelum melangkah tanpa menoleh lagi menuju ruang keberangkatan.
"Ayo, Nak. Kita pulang," kudengar ayah Lucas memanggilku 'nak' serasa sebuah simfoni indah yang mengalun lembut di telingaku.
"Permisi, Pak.." ucapku lalu segera berlari menembus penjaga ruang keberangkatan.
"Loh, Mbak! Mbak..!"
Mereka mengejarku. Aku tak perduli. Kucari Lucas dengan pandangan mataku.
"LUKE!! AKU MENCINTAIMU!!" teriakku yang membuat orang-orang memandang ke arahku.
Lucas menolehkan kepalanya dan berlari memelukku, berputar dan mengecup keningku.
"Aku juga, Dreampatcher. Aku juga."
Dan aku menangis di dadanya. Petugas keamanan hanya menggaruk-garuk kepala mereka sambil tersenyum-senyum.

Akhirnya mereka membiarkanku menatap keberangkatan pesawat yang ditumpangi Lucas, sampai akhirnya pesawat itu menghilang di balik awan. Cintaku berangkat jauh, tapi tidak sejauh itu di hatiku. Kutunggu dia pulang untuk bersama membaca mimpi-mimpinya. Dan akan kuwujudkan dengan cinta dan kasih sayangku. Karena aku adalah.. dreampatcher-nya. So it told that when dreams come true Then the sadness be blown away When the path is clear and the dream patched Suddenly happiness answers the pray How long will it still I think it's forever [END OF There He Goes - the dreampatcher story] Dee, sobbing I have nothing to say..

TAMAT