Suami, kekasih dan anak kost - 6

'Merasakan' Tono memang agak berbeda. Ada sentuhan 'baru' di dalam sana yang selama ini tidak terjamah oleh suamiku dan Mas Narto. Pendakian serasa lebih mudah oleh sensasi-sensasi baru ini. Begitu tampaknya. Tapi kenyataannya tidak. Tidak berbeda dengan Bang Mamat Sabtu lalu. Aku ditinggal di lereng, sementara Tono berlarian ngos-ngosan menuju puncak. Untung Tono masih sempat mencabut dan menumpahkan cairannya ke perutku.

"Maafkan saya Mbak," Tono membaca kekecewaanku.
"Mbak begitu seksi membuat saya jadi bernafsu banget," tambahnya lagi.
Aku diam saja, musti komentar apa? Dalam foreplay tadi kelihatan sekali dia telah pengalaman, tapi kenapa dia cepat selesai? Setelah beberapa malam berperang batin hingga sampai pada keputusan berat untuk mengkhianati Bang Mamat, hasilnya ternyata hampir sama, tidak memuaskan. Merindukan pungguk di bulan burung dara di tangan dilepaskan. Aku memang perempuan konyol, isteri yang konyol, tepatnya. Nasib..

***

Aku masih tergolek di sofa dengan t-shirt tersingkap sampai di bawah dada. Tono mengelap ceceran maninya di perutku dengan tissu. Aku mengamati kerjanya. Penisnya yang masih mengacung berkilat ikut berguncang seirama gerakan tubuhnya. Selesai mengelap, dia minta ijin menggunakan kamar mandi di dalam, kuijinkan, toh tidak ada siapa-siapa. Keluar dari kamar mandi anak ini masih telanjang bulat melangkah mendekatiku lalu menggeser pahaku dan duduk. Penisnya tidak lagi mengacung. Aku masih tergeletak di posisi semula.

"Jangan gitu dong Mbak.. saya jadi engga enak.." katanya melihatku mematung.
Aku tersenyum. Nafsuku sedikit mereda.
"Nah.. gitu dong..!"
"Trus Mbak harus gimana..?"
"Senyum gitu aja cukup," lalu matanya turun menatapi kewanitaanku.
Refleks aku menurunkan kaos menutupinya. Tono mencegah tanganku.
"Bentar Mbak.. Emm.. lebat," dielus-elusnya bulu-bulu kelaminku.
Lalu mulai menyentuh klit-ku. Anak ini mau mulai lagi? Sanggupkah 'menuntaskan'-ku? Tiba-tiba Aku punya ide.

"Ciumin Ton," perintahku.
Tono menurut, padahal aku belum membasuhnya. Bulu-bulu itu diciuminya, bahkan sesekali menggigiti 'daging'-nya. Tanpa kuminta Tono telah mengerti kelanjutannya. Lidahnya mengulik klit-ku. Nafsuku mulai naik. Lalu pindah ke labia-ku. Aku makin gerah, bangkit duduk dan melepas t-shirt, pakaianku satu-satunya. Aksiku ini membuat Tono melepaskan kilikannya dan mendongak.

"Oohh.. bukan main..!" serunya menatap ketelanjangan kedua bukit kembarku.
Mulutnya langsung menyerbu dadaku.
"Gila kamu Ton," kataku mendorong kepalanya.
Buah dadaku digigitnya, kalau sampai ada bekas gigitan kan gawat.
"Sorry Mbak.. habis gemes sih..!"
"Teruskan yang ini dulu Ton.." kataku menunjuk selangkanganku.
Tono menurut, kembali dengan rakus mulutnya mengerjai vaginaku.

Demikian intens-nya mulut Tono bekerja sampai aku hampir sampai.
"Udah.. udah.." kataku terengah-engah.
Tono bangkit, penisnya sudah tegang mengacung, ujungnya melengkung ke atas dan berkilat menarik perhatianku. Aku mendekat dan penisnya kuelus-elus. Tiba-tiba tubuhnya maju, penisnya diangsurkan ke wajahku.

"Mbak..," katanya memandangku penuh arti.
"Kenapa..?"
Tono tidak menjawab, hanya mendorong tubuhnya lagi makin dekat sehingga kepala penisnya beberapa senti di depan mulutku.
"Kulum..!"
"Gila.. engga mau..!" tegasku.

Dengan suamiku sendiri saja aku tidak pernah mengulum. Juga dengan Mas Narto. Kenapa begitu sebab mereka berdua memang tidak pernah minta dikulum, entah kenapa. Seandainya Bang Mamat minta mungkin aku akan mau. Tapi ini, bukan suami dan bukan pacar minta oral sex.
"Ayolah Mbak.. sebentar aja."
Aku mulai bimbang. Tidak ada salahnya mencoba, bukan? Apalagi milik Tono ini kelihatan 'cute'.
"Okay, jangan sampai keluar ya.."

Benda hangat keras-keras lunak memenuhi mulutku, terasa ganjil. Aku memang sudah gila. Mustinya milik Bang Mamatlah yang kukulumi begini, bukan milik anak kost ini. Baiklah, aku berjanji nanti akan kulakukan pada Bang Mamat, siapa tahu akan menambah gairahnya. Bokong Tono bergerak maju mundur seperti layaknya pompaan penis pada vagina, hanya mulutku yang jadi vaginanya.

Makin lama tusukannya makin dalam, sampai menyentuh kerongkonganku. Sampai suatu saat aku hampir terbatuk, penisnya kulepaskan.
"Lagi Mbak.."
"Engga..!"
"Bentar lagi aja.."
"Tidak..!"
Kupegang penisnya dan kutuntun mendekati selangkanganku. Aku ingin Tono masuk sekarang. Di bawah sana sudah kurasakan denyutan-denyutan minta diisi. Tono masuk. Dan langsung membenam. Seluruh panjang batangnya telah 'lenyap'. Ini baru sedap. Dan mulai mempompa. Dan ini lebih sedap.

Gerakan tubuh kami semakin liar. Aku heran, Tono sekarang berbeda dengan Tono sejam lalu. Yang tadi baru belasan gerakan tusuk-tarik dia telah sampai. Kini, entah sudah berapa lama dia masih perkasa memompa. Dari gerakan tusukannya yang amat bervariasi, aku jadi yakin Tono memang telah banyak pengalaman sex-intercourse. Hingga aku 'berani' berharap kali ini aku akan mampu mendapatkan orgasme. Rasanya yang sedang menyetubuhiku sekarang ini adalah Bang Mamat.

Ya, bayangan Bang Mamat muncul ketika aku memejamkan mata menikmati tusukan Tono. Tapi bayangan Bang Mamat beberapa tahun lalu, saat bulan-bulan pertama kami menikah. Saat Randi belum ada. Saat Bang Mamat mampu menghadiahkanku multiple orgasm. Entah karena bayangan Bang Mamat, atau keperkasaan pompaan Tono sekarang, atau karena milik Tono mampu mencapai kedalamanku yang 'untouchable', tubuhku mengejang dan lalu menggelepar. Rasanya aku sedang melayang-layang di awan kenikmatan.

Ya, Aku mendapatkan beberapa detik event yang kudamba-dambakan. Aku telah orgasme. Tono menghentikan gerakannya, kelihatannya memberi kesempatan padaku untuk menikmati saat-saat puncak ini. Tapi begitu kejanganku melemah, dia mulai memompa lagi.
"Ooh..!" teriakku.
Gila! Pompaannya makin cepat. Makin cepat.. Dan.. cepat pula dia mencabut. Air maninya berhamburan di dadaku, bahkan menciprati daguku.

***

Apa yang telah kamu lakukan, Ipeh? Pelanggaran janji sendiri, pengkhianatan pada suami, dan sebuah dosa besar! Itu semua hanya demi kenikmatan orgasme yang hanya beberapa saat. Isteri macam apa aku ini? Lihatlah apa yang kau korbankan untuk kenikmatan itu. Perang bathin berkelanjutan, kepura-puraan setiap hari, kebohongan demi kebohongan, dan tentu saja penumpukan dosa. Kini, memandang mata Bang Mamat pun kau tidak berani. Sementara anak kost itu dengan amannya memuaskan nafsunya, kapan pun dia mau. Teganya kau membiarkan tubuh mulusmu menjadi alat pemuas nafsu.

Ah.. toh hanya tubuhku saja yang dinikmatinya, hati dan jiwaku tetap milik Bang Mamat. Tidak bisa. Sekali kau mengikatkan diri dengan suatu pernikahan, jiwa dan ragamu telah dimiliki pasanganmu. Demikian pula sebaliknya. Baiklah, hal ini tidak boleh berlanjut. Aku telah membuat keputusan final. Aku harus menghentikan ini. Aku lelah berpura-pura terus, aku capek mengarang kebohongan demi kebohongan, dan aku letih merasakan perang di dalam dada. Dua hari lalu aku bahkan mendatangi kamar kost-nya untuk minta disetubuhi. Sungguh memalukan dan menjijikan. Biarlah itu merupakan hubungan seks-ku yang terakhir dengan Tono.

Kemarin aku sengaja minta pengasuh anakku untuk tidak keluar rumah seperti biasanya dan lalu aku mengurung di dalam kamar. Aku dengar suara Tono menanyakan aku dan pengasuh itu melaksanakan instruksiku dengan baik.
"Ibu tak boleh diganggu," katanya.

Pagi ini aku menunggu kedatangan Tono. Bukan untuk saling mengumbar nafsu, tapi 'dalam rangka penyampaian keputusan penting' (uh, kaya bahasa kantoran saja) yang akan menjadi titik balik kehidupanku.

"Met pagi Mbak.. ah makin cantik aja."
Aku memang tampil beda, pakaian 'sopan', blouse rapat menutup tubuh dipadu dan celana panjang.
"Kemana aja Mbak?"
"Duduk Ton, Mbak mau bicara."
"Eh, ada apa nih?"
"Kita harus menghentikan semua ini, Ton."
"Mbak.."
"Mbak yakin kamu bisa mengerti, kita tak boleh lagi melakukannya." kupotong perkataannya, Aku tidak ingin ada 'diskusi' panjang tentang hal ini.

"Ada apa Mbak sebenarnya?"
"Kamu udah tahu."
"Iya mbak, tahu, tapi kenapa tiba-tiba begitu?"
"Mbak tak ingin menambah dosa lagi."
Tono mendadak diam, matanya menatapku tajam, lalu menunduk, tidak bersuara. Sungguh suasana yang amat tidak enak, di luar dugaanku. Kukira Tono akan protes keras. Aku pun jadi diam juga.

"Ketahuilah Mbak.." akhirnya dia buka suara setelah beberapa menit hening.
"Saya bukan sekedar memuaskan nafsu saya saja."
Aku tidak komentar. Dia diam lagi.
"Saya.. sayang.. sama Mbak."
Ah, kalimat seorang playboy yang akan kehilangan mangsa. Aku tetap diam.
"Okay Mbak, kalau itu kehendak Mbak, saya nurut," dia bangkit lalu ngeloyor pergi.
Aku tidak dapat menduga apa yang berkecamuk di dalam hatinya. Roman wajahnya aneh, susah dibaca. Tapi Aku kini lega..!

***

Aku lebih tenang sekarang. Tidak perlu berpura-pura lagi, tidak perlu mengarang kebohongan. Aku berusaha menjadi isteri setia. Aku menerima saja apa yang diberikan Bang Mamat. Aku melayaninya dengan ikhlas, walaupun tidak pernah mencapai puncak. Toh seks bukan satu-satunya kenikmatan dalan perkawinan. Masih banyak kenikmatan yang lain apabila kita ikhlas menjalankannya. Tampaknya kehidupan kami kembali normal lagi.

Bagaimana dengan Tono? Tiga minggu setelah aku memutuskan hubungan itu, Tono pindah kost. Yang agak menggangguku adalah dia tidak pamitan kepadaku. Hanya menitipkan secarik surat tertutup yang isinya singkat.
"Mbak, saya pergi. Saya tetap sayang sama Mbak dan berharap suatu saat kita bisa bersama lagi. Tono."

Yah.. mungkin dia marah, tidak lagi dapat mengumbar nafsu seksualnya. Tidak masalah benar bagiku. Bergegas aku mengarahkan mobilku menuju rumah. Aku baru saja berbelanja kebutuhan sehari-hari di supermarket terdekat. Sabtu sore itu aku seperti biasa harus mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kedatangan Bang Mamat. Minggu lalu aku mencoba mengoral Bang Mamat dan tampaknya dia menikmatinya. Kali ini aku akan melakukannya lagi. Aku terburu-buru pulang karena aku masih butuh waktu lagi untuk mandi dan lain-lainnya.

Begitu masuk rumah aku langsung ke kamar bersiap-siap mandi. Randi dan pengasuhnya tadi tidak kelihatan. Mungkin masih di luar, pikirku. Sepucuk sampul yang diletakkan di meja rias menarik perhatianku.
"Ipeh." hanya itu yang tertulis di sampul itu. Tulisan Bang Mamat.
Tiba-tiba dadaku berdebar keras. Tidak biasanya Bang Mamat menulis surat seperti ini. Kalaupun ingin menyampaikan pesan biasanya dia menelpon dari kantor, atau pesan ke orang rumah bila aku sedang keluar.

Tergesa-gesa Aku membukanya.
"Ipeh sayang, Singkat saja, Abang pergi dengan membawa Randi untuk waktu yang tidak tertentu. Abang telah tahu semuanya. Abang begitu kaget, sedih, dan marah."
Mendadak aku berkeringat dingin, deras mengucur. Jantung tambah berdegup kencang.

"Abang berusaha keras menahan diri, tapi akhirnya tidak kuat lagi. Setelah Abang mengasingkan Narto ke Kaltim, Abang pikir Ipeh menjadi sadar, tapi ternyata tidak. Kalau tidak mengingat dia itu bekas kekasihmu, entah jadi apa dia. Kamu memang keterlaluan, hampir saja Abang membunuh anak kost yang tidak tahu diuntung itu. Untunglah Abang ingat Randi dan tahu benar tidak enaknya hidup di penjara.
Selamat tinggal, jangan khawatir, Randi baik-baik saja. Abang."
Pandanganku mendadak gelap, lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.

TAMAT