There he goes - 3

Chap VII

"Papamu boleh juga," senyum Lucas di dalam mobil.
Iya, Lucas membawa mobil ayahnya. Bahkan aku sama sekali tidak menduganya. Sempat tadi kukira teman Papa yang ingin membicarakan masalah bisnis.
"Yuk, ikut aku," mendadak Lucas berkata.
"Ke mana?"
"Ada deh." Lucas hanya tersenyum dan melajukan mobilnya.
"Hai," Lucas menyapa semua anak muda berpakaian seadanya yang berjejer di pinggir jalan itu.
Dengan khawatir dan sedikit takut-takut, kuikuti Lucas mendekati anak-anak muda itu.

"Hai, Luke," salah seorang dari mereka yang berambut panjang menyapa.
"Wah, ada cewek. Cewek kamu, Luke?"
Lucas menatapku dan tersenyum, "Oh, iya. Kenalin ini Dita."
Keenam anak muda itu, empat cowok dan dua cewek masing masing mengenalkan diri mereka padaku. Setelah saling berkenalan, aku baru tahu bahwa anak-anak itu ternyata tidak seburuk penampilan mereka yang awut-awutan.

"Sudah siap?" mendadak Lucas berkata.
"Yo'a, maan."
"Ke mana, Luke?" tanyaku saat Lucas membukakan pintu mobil.
"Look and see?" jawab Lucas pendek.
Lucas menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah dengan garasi besar. Dengan bertanya-tanya kuikuti Lucas dan anak-anak lainnya, yang sudah datang dengan sepeda motor, ke dalam. Seorang bapak setengah baya menemui kami sambil memerlihatkan deretan gigi yang bersih.

"Mau dipakai sekarang?"
"Yap," sahut Lucas, mengeluarkan selembar lima puluh ribuan dari saku bajunya dan menyerahkannya pada si Bapak.
"Allrighty," salah seorang dari keenam anak muda di sebelahku berseru girang.
"Let's hit the road!" Lucas menyahut dengan tertawa-tawa lalu membuka pintu kecil di sebelah ruang tamu.

Dengan ragu kuikuti anak-anak muda itu dan Lucas masuk ke dalam pintu kecil tersebut. Ruangan kedap suara itu membuatku kagum. Baru pertama kali ini aku melihat perangkat musik sekian banyaknya menumpuk dan berjejer rapi dari dinding yang satu sampai dinding yang lain di depan mata.

"Lucas, ini.."
"Ssshh," Lucas meletakkan telunjuknya di bibirku dan menuju ke kursi di belakang drum set.
Lucas mengambil dua batang tongkat kayu kecil dan menggerakkan tangannya secepat kilat, memukuli semua tabung drum set itu menimbulkan irama yang terdengar menarik di telingaku. Keenam anak muda itu tertawa-tawa dan tiga di antara mereka langsung mengambil perangkat musik lain dan mulai memainkannya mengiringi Lucas. Ternyata.
"Dee," mendadak Lucas berseru di tengah hingar bingar suara musik, "Yang satu ini judulnya Patch the Dreams. Karangan anak-anak."
Kupasang telingaku baik-baik.

So it told that when dreams come true Then the sadness be blown away When the path is clear and the dream patched Suddenly happiness answers the pray So it told that when dreams come true Your hopes be bloom and will never dry Then let's keep it's way and the dream patched Cause it's the only need so you'll always sway And so it's told (Then let the dreams..dreams..) And so it answered (Then let it be patched..patched..) And so goes sad (Then let the dreams..dreams..) And so be sway (Then let it be patched..patched..)Tanpa terasa irama melodi gitar blues mulai membuai dan mengajakku terseret ke dalam nyanyian itu. Tanpa sadar pula bibirku mulai bergerak dan ikut bernyanyi.
"Then let the dreams..dreams..Then let it be patched..patched.."

"Kamu suka?" tanya Lucas di dalam mobil.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kuanggukkan kepalaku sambil tersenyum. Kuraih tissue di atas dasboard dan mengusapkannya ke kening Lucas yang masih tampak sedikit berminyak. Pemuda itu ikut tersenyum.
"Kenapa bukan masalah cinta?" tanyaku sekedar ingin tahu.
"They said 'life is but a dream, and so does love'."
Kutundukkan kepalaku dan mulai merasakan keraguan dalam hatiku. Apakah mungkin itu yang dipersepsikan oleh Lucas sehingga ia menjadi begitu dingin? Lalu adakah cintanya padaku? "Dee..?"
"Ya?" tanyaku, tanpa sadar air mata mulai menyesak keluar.
"Yeh kamu kok nangis. Aku ngga jadi bilang deh."
Kuseka air di mataku dan menatapnya lagi. Lucas tertawa.
"Belum meyakinkan. Nanti saja deh." Aku jadi ikut tertawa.

Malam itu setelah berpamitan pada Papa dan saat aku mengantarnya keluar pagar, Lucas mendadak meraih lenganku mendekat.
"Dee..?"
"Ya?" tanyaku dengan jantung berdebar.
"Be my dreampatcher," Lucas mendesis dan mencium bibirku, membuat tubuhku bergetar, nafasku tersengal dan kakiku melemas.
Entah mengapa aku merasa sangat lega mendengarnya.

Chap IX

"APAA..!?" Vanka membelalakkan matanya dan membuka mulutnya.
Dengan wajah memerah kuanggukkan kepalaku, "He eh."
"Gila! Kamu gila! Dia gila! Kalian gila!" Kami berdua tertawa bersamaan.
"Apa itu dreampatcher?"
"Apa ya?" sejenak aku merasa bingung juga.
"Dream.. patch.. dream.." Vanka berkomat-kamit sendiri.
"Penempat.. mimpi?" tanyaku dengan alis terangkat.
Vanka menatapku dengan heran. "Penempat mimpi? Bahasa apa itu? Apa pula itu?"
"Entahlah," sahutku.

Tapi persepsiku sendiri membuatku melayang ke langit ketujuh. I'll patch his dreams, make it come true. How lovely.

ACT TWO

Sejak kejadian itu aku menyadari bahwa memang Lucas memiliki dunianya sendiri. Jadi aku tak bisa menyalahkannya seandainya dia jarang sekali main ke rumah. Itulah Lucas, pemuda dingin yang kusayangi segenap hatiku. Dan tanpa terasa hubungan kami sudah menginjak akhir bulan yang kedua.

Chap I

Hari ini benar-benar mengejutkan. Lucas mengajakku keluar malam di atas jam sembilan untuk yang pertama kalinya. Untung Papa mengijinkan setelah aku memohon-mohon. Tetap dengan syarat bahwa Lucas harus berani meminta ijin sendiri. Dan Lucas melakukannya, seperti pada saat pertama kali pemuda itu mengajakku keluar, dan juga seperti saat-saat lain.

"Kita kemana?" tanyaku di perjalanan.
Lukas hanya diam dan tersenyum. Mobil meluncur melintasi jalan raya.
"Hotel?" tanyaku saat mobil yang kami naiki membelok memasuki pelataran sebuah hotel yang terlihat mewah.
Sempat terlintas di benakku segala sesuatu yang buruk.
"Take it easy," ucap Lucas menenangkanku, seolah mengingatkan bahwa modal utama untuk menjalin sebuah hubungan adalah kepercayaan. Dan aku percaya.

Lucas membawaku masuk ke dalam lift dan menekan tombol 22.
"Dua dua?" tanyaku heran. Lucas lagi-lagi hanya tersenyum penuh arti.
Lift berhenti dan membuka. Lucas menggandeng lenganku dan melintasi koridor menuju sebuah pintu yang terbuat dari kaca. Lucas membukakan pintu dan mempersilahkan aku masuk. Begitu aku melangkah masuk, angin malam menerpa wajahku. Saat kupandang sekeliling, ternyata aku ada di atas balkon dengan sebuah meja kecil di tengah dan dua kursi. Di kejauhan terlihat lampu-lampu kota seperti bintang di langit.

"Luke," desahku dan membalikkan tubuh.
"Ssshh," Lucas memelukku dari belakang dan mencium telingaku.
"Indah sekali," bisikku lirih.
"Aku tahu kamu pasti suka."

Mendadak terdengar suara pintu kaca terbuka.
"Starguest service. Tuan Lucas?" terdengar suara laki-laki di belakang kami.
Lucas melepaskan pelukannya dan berbalik. Kutolehkan wajahku dan terkejut melihat seorang pelayan hotel sudah berdiri di depan Lucas dengan memegang gerobak besi berisi makanan dan tempat lilin. Dengan cekatan pelayan itu meletakkan taplak pada meja yang ada di antara kami, menyiapkan sajian dan menyalakan lilin.

Setelah semuanya siap, pelayan itu tidak pergi, melainkan menunggu di sebelah pintu kaca.
"Luke, thanks."
"Nanti saja, sesudah makan."
"Enak?" Lucas bertanya setelah menghabiskan makanan di piringnya.
"Enak, thanks," sahutku membuat Lucas tertawa.
Lucas bangkit berdiri dan meraih tanganku. "Come."
Kuangkat tubuhku dan membiarkan Lucas memelukku erat.
"Aku sayang kamu, Dee."
"Aku juga, Luke." Bibirnya menggapai bibirku.
Tak perduli pelayan yang menunggu di depan pintu. Dan inilah aku, dalam dekapan pemuda yang kucintai, yang mencintaiku, di atas taburan bintang didesah angin malam. So romantic.

Chap II

"Lalu?" Vanka memandangku tak berkedip.
"Sudah, lalu kami pulang."
"Yaahh," Vanka melemaskan tubuhnya dan mengeluh, "cuma segitu."
"Maumu apa?" tawaku melihatnya.
"Masa ngga ada raba sana, raba sini?"
"Ih, jorok."
"Lho, siapa tahu. Kalian kan sudah gede?"
"Kalau kamu?" tanyaku penasaran.
"Aku? Oh, maksudmu Alex? Ya sudah, dong."
"Vankaa!!" seruku gusar lalu melempar sebuah bantal ke kepalanya.
Vanka tertawa dan menangkap bantal itu sebelum mengenai kepalanya.
"Masa kamu ngga ingin Dee?"
"Kayanya enggak deh," jawabku singkat.
"Enak loh."
"Orang kan beda-beda, Van. Ada yang doyan gituan, dan ada juga yang ngga doyan gituan. Yang pasti aku masih sopan kok."
"Kurang ajar! Nyindir nih!" Vanka melemparkan kembali bantal di pelukannya kepadaku.
Bagaimana rasanya disentuh pria? Mendadak aku jadi sedikit takut pada diriku sendiri.

Chap II

Siang itu kepalaku terasa pusing. Tadi aku nyaris pingsan saat melihat soal ulangan biologi yang begitu rumit. Untung saja aku masih bisa mengerjakan tiga dari lima soal yang diajukan essay.

"Wajahmu kusut," ucap Lucas di depan gerbang sekolah.
"Tadi bingung mikirin ulangan."
"Oh, kasihan.." ucap Lucas pendek.
Dan seperti yang kuduga, hanya begitu saja. Lucas meraih helm dan mengenakannya, lalu menyalakan mesin sepeda motor.
"Luke, mau ngga temani aku sebentar."
"Hmh? Ada apa?"
"Ngga ada orang di rumah."
Selain itu aku ingin dipeluk, setelah ujian tadi membuatku menderita.
"Oh, okay.." sahutnya lalu memasukkan sepeda motor.

"Luke, duduk.." perintahku padanya.
Lucas tersenyum dan mendudukkan dirinya di atas sofa. Langsung kubaringkan kepalaku di pangkuannya, "Aku capek."
Lukas membelai rambutku. Pemuda itu selalu diam dalam melakukan sesuatu. Terkadang kuharapkan rayuan keluar dari bibirnya, tapi tangannya lebih banyak bekerja mengungkapkan isi hatinya.
"Mukamu berminyak," Lucas meraba pipiku. Akhirnya sepatah kata keluar dari bibirnya.
"Mmhh," gumamku malas.
Lucas tertawa dan mengangkat pahanya lalu mencium pipiku.
"Aaahh, orang mau tidur," gumamku sebal.
"Sori. Habis kamu kelihatan sok imut banget sih."
Sok imut? "Sok imut? Biarin ah.." ucapku pendek lalu membalikkan tubuh dan menyusupkan lenganku di balik punggungnya.

"Apa ini?" kudengar Lucas bertanya.
"Ingin memeluk saja."
"Ah, Dee. Kamu memang aneh."
Tapi aku sudah berusaha terlelap. Entah berapa lama aku terlelap sampai aku merasakan sesuatu menyusup ke balik bajuku dan mengelus kulitku.
"Mmmhh.." gumamku seraya membuka mata.
Kulihat Lucas tersenyum menatapku lembut.
"Tutup mata.." pemuda itu berbisik lirih.
Dalam keadaan setengah ngantuk kututup mataku.

Sesuatu yang ada di dadaku bergerak lembut, seolah menyisiri seluruh kulit di tubuhku. Kini sesuatu itu bergerak di kulit dadaku dan perlahan menyusup ke balik bra kain yang kukenakan. Langsung kubuka mataku dan menatap Lucas.
"Luke..?"
"Katanya ngantuk?" Pemuda itu tersenyum menatapku. Matanya seolah menyiratkan permohonan yang tak bisa kutolak.
Kututup lagi mataku. Sesuatu itu menyusup ke balik cungkup braku dan menekan payudaraku dengan gerakan lembut. Satu rasa seolah menghalangiku untuk meronta. Satu rasa yang tak kuketahui apa. Sesuatu itu bergerak menyusup sampai menyentuh puting payudaraku. Dan kurasakan gelitik membuat bulu-buluku meremang.

"Geli.." desahku.
Lucas tertawa. "Dee..?"
"Mmm?"
Lucas mengagkat pahanya dan daguku lalu melumat bibirku. Lama dan jauh lebih lama dari yang pernah dilakukan Lucas sebelumnya.
"Luke.." desahku saat Lucas melepas kancing seragam sekolahku. Tapi Lucas membalasnya dengan melumat bibirku semakin erat.
Perlahan pemuda itu menyusupkan jemarinya ke balik celah bajuku yang terbuka dan mulai meremas buah dadaku. Desahan tanpa terasa keluar dari bibirku. Lukas mengangkat tubuhku dan menidurkanku di sofa lalu menciumi wajah, telinga dan leherku. Getaran demi getaran aneh membuat pori-pori tubuhku membuka. Aku tak mengerti apa yang membuatku tidak kuasa menolaknya. Hanya membiarkan Lucas menciumiku dan perlahan menelanjangi tubuh atasku.

"Ahh.." desahku saat bibirnya menyentuh puting payudaraku.
Dengan gerakan refleks kuraih kepalanya dan menjambak rambutnya. Rasa ini. Geli dan mengagumkan. Perasaan ingin berhenti namun tak kuasa. Lucas mengangkat wajahnya beberapa saat kemudian lalu mengecup bibirku.
"Aku sayang kamu, Dee."
"Luke.." kupejamkan mataku menikmati kecupannya.
Lucas menyusupkan tangannya ke balik rok sekolahku dan menyingkapnya sampai ke pinggang. Dalam terkejutku kubuka mataku dan menahan bahunya dengan lenganku.
"Jangan. Aku ngga mau."
Luke menatap dengan pandangan aneh. "Dee.."
"Nggak, Luke..!" ucapku tegas.

Lukas menarik tangannya dari bawah rok sekolahku dan membuka kancing bajunya. Rasa ingin tahu membuatku terdiam beberapa saat. Dada Lucas begitu putih dan liat. Baru pertama kali itu aku melihat dada pemuda lain di depan mata selain dada Alex dan Papa. Lucas memandangku dan menggelengkan kepalanya.
"Ngga kok. Aku juga tidak mau." Pemuda itu lalu menundukkan tubuhnya dan melumat bibirku. Kulit dadanya terasa hangat saat menyentuh dadaku. Lucas menggesekkan dadanya menyapu kedua payudaraku, membuatku mendesah. Tiba-tiba kurasakan tubuh Lucas terangkat ke atasku dan lututnya membuka pahaku.

"Luke..?" kubuka mataku dan menatapnya.
"Nggak, kok." Hanya itu jawabannya sebelum pemuda itu mendesah nafasnya dan menjatuhkan seluruh bobot tubuhnya ke atasku.
Sesuatu terasa menekan dan bergerak di pangkal pahaku. Menekan dan menggesek kemaluanku. Rasa sakit mulai menjalar di bawah perutku. Tapi lagi-lagi rasa sakit yang disertai oleh rasa tak ingin berhenti."Luke, achh..!" desahku saat kurasakan sesuatu yang menekan-nekan itu bergerak berirama.
Lucas meraih bibirku dan melumatnya.

Entah berapa lama kami berdua tenggelam dalam sesuatu yang begitu menakjubkan itu sampai akhirnya Lucas menghentikan gerakannya dan mengangkat tubuhnya dari atas tubuhku.
"Luke..?" tanyaku.
Entah mengapa seolah aku tak ingin lucas menghentikan gerakannya. Tapi Lucas sudah menyandarkan tubuhnya di lengan sofa. Kututup bajuku yang terbuka dan mengangkat punggungku. Lucas tertawa, membuatku merasa heran.
"Ada apa, Luke..?"
Lucas memandang ke bawah dan kulihat di celana seragamnya ada semacam noda basah. Dengan penuh rasa ingin tahu kutatap matanya dalam. Lucas mendekat dan mengecup keningku seraya berbisik, "Itu anak kita."
Ah. Rupanya begitu. Lucas membetulkan letak rok sekolahku dan memelukku hangat.
"Aku sayang kamu, Dee."
Sayang? Inikah perwujudan sayang itu? Inikah yang dimaksud Vanka tempo hari?
"Aku juga." Tapi sebuah perasaan bersalah menyelimutiku.

Bersambung . . .