There he goes - 2

Chap IV

"Untung bukan demam berdarah, hanya panas biasa.." Mama membelai keningku dan tersenyum.
"Kapan Dee boleh masuk sekolah lagi, Ma..?"
"Mungkin besok.." jawab Mama lalu menyodorkan piring nasi ke pangkuanku, "Makan dulu. Atau mau Mama suapin..?"
"Suapin.." jawabku dengan nada manja.
Mama tertawa kecil lalu mulai menyendok suap demi suap ke mulutku.
Sejujurnya, aku paling suka bila Mama menyuapiku, mengingatkanku pada masa kecil yang indah, dan mengingatkan betapa besar kasih sayangnya padaku.

"Nah, loh anak manja!" mendadak Vanka 'nongol' dari balik pintu.
"Aduh, Vanka. Ketuk pintu dong lain kali..!" Mama menegur sambil tersenyum.
"Iya deh, Tan. Maaf.." senyum Vanka dengan wajah tak berdosa.
Mama mengangkat tubuhnya dari sisiku dan memberikan piring nasi pada Vanka, "Sebagai hukuman, kamu yang nyuapin Dee, soalnya Tante mau kembali ke kantor. Masih banyak urusan."
"Yah, Tante?"
"Yah, Mama?"

Setelah Mama menutup pintu Vanka menghampiriku dan mendudukkan dirinya di pinggir tempat tidur, lalu mulai menyuapan nasi di piring ke dirinya sendiri.
"Laper, yeh?" tanyaku sambil tertawa.
Vanka mengangguk-anggukkan kepalanya dan menggumam, "Inyah."
"Jadi gimana?" tanyaku ingin tahu.
"Mmh," Vanka langsung meletakkan piring nasi di atas meja rias dan berusaha cepat-cepat menelan makanan yang masih dikunyahnya, "gempar.. mm.. geger."
"Gempar gimana? Geger gimana?" tanyaku was-was.
"Nih, ada oleh-oleh buat kamu dari sekolah," Vanka merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop berukuran kartu pos.

Dengan tergesa-gesa kubuka amplop itu dan meraih keluar selembar foto.
"Waa," wajahku langsung memanas melihat foto itu.
Di dalam foto itu tampak beberapa anak yang berdiri berjejer, semuanya menatap dan tersenyum ke arah kamera. Semua. Kecuali aku dan Lucas yang saling pandang satu sama lain.
"Itu gosip satu," Vanka meraih gelas di atas meja dan meminum setengah isinya.
"Satu?" tanyaku penasaran.
"Yang kedua," Vanka menghela nafasnya lega, "tadi aku ngasi'in cokelat kamu waktu jam istirahat di kantin. Dan semuanya langsung 'gerr'. Alias geger."
Aku tak mampu berkata apa-apa. Hanya membelalakkan mata.

"Iya," Vanka meneruskan ceritanya sambil tersenyum-senyum, "Bahkan ada yang langsung menuduh kalau Lucas sudah punya pacar baru. Bayangkan!"
"Vankaa..! Tega nian kamuu..!" Kuraih leher sahabatku dan menggulungnya di atas tempat tidur.
"Huff.. huff.." Vanka berusaha melepaskan dirinya, "Kalo ngga kamu lepaskan aku ngga ngasih tahu apa komentar Lucas..!"
Aku langsung melepaskannya, "Apa? Apa?"
"Tenang, tenang," Vanka langsung mengambil sikap di atas angin.
"Ayo dong, Vanka!" pintaku tak sabar.
"Dia bilang.." Vanka menarik nafasnya panjang, membuatku semakin penasaran, "dia bilang.. 'akhirnya ketahuan juga'."
Nafasku tercekat di tenggorokan. "Yang benar?"
"Benar, seratus persen benar," Vanka melirikku sambil tersenyum.
"Waa..!" aku dan Vanka langsung bersamaan berteriak histeris.

Bagaimana aku bisa menemuinya besok? Apa maksud kata-katanya itu? Apakah..

Chap V

"Kamu yakin ngga apa-apa?" tanya Alex di depan sekolah.
Kuanggukkan kepalaku dan Alex berkata lagi, "Nanti kalau ada apa-apa kamu telepon ke rumah saja, biar si Oto yang jemput. Atau kamu telepon hape-ku, kalau aku tidak kuliah nanti aku yang jemput."
"Iya, aku tahu."
"Dan salam peluk cium muah muah buat Vanka."
"Apa?" Alex hanya tertawa lalu melajukan mobilnya.
Dasar, umpatku dalam hati lalu berbalik.

Baru saja sampai di pintu gerbang, seseorang menarik tali tas yang tergantung di bahuku.
"Biar aku yang bawakan."
Jantungku berdebar tak karuan. Astaga, ini.. ini.. Tapi pemuda itu sudah melepaskan tasku dari bahu dan menentengnya sambil melangkah menuju ke daerah kelas dua. Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan? Lucas menghentikan langkah dan membalik tubuhnya.
"Ayo..!"
Lucas..? Semua anak kelas dua memandangi kami dengan pandangan yang aneh. Kutundukkan kepalaku dan mengikuti punggung Lucas yang berjalan di depanku. Aku merasa begitu tak berdaya saat itu. Nyaris saja kutabrak punggung pemuda itu saat mendadak Lucas menghentikan langkahnya.
"Nih..!" Lucas mengalungkan tali tas di leherku sambil tersenyum.
Wajahku pasti merah sekali saat itu.
"Thanks.." desisku lirih.
"Aku antar kamu pulang..?"
Apa? Antar pulang? Ya! YA..! Kuanggukkan kepalaku.
"Senyum dong..!"
Kuangkat kepalaku dan tersenyum. Persis robot. Lucas tertawa dan berlalu.

"Yang jatuh cintaa..!"
Mendadak Vanka dan anak-anak sekelas bersorak sorai dari dalam ruangan. Kurasakan wajahku memanas. Panas sekali. Jadi seharian itu semua anak, dikomandani oleh Vanka, menggodaku habis- habisan. Aku sama sekali tidak berani keluar kelas, malu kalau bertemu dengan Lucas. Apakah Lucas begitu juga di kelasnya..?

Chap VI

Angin dingin menerpa sisi wajahku. Kulihat dari sudut mataku pepohonan dan kendaraan-kendaraan lain seolah berlari di sampingku. Dan saat ini adalah pengalaman pertamaku pulang naik sepeda motor. Dan juga, ini pertama kalinya seorang pemuda mengantarkanku pulang. Dan pemuda itu adalah Lucas. Keajaiban? Pasti! Yang penting saat ini aku bingung harus bagaimana.

"Eh," Lucas memperlambat laju sepeda motornya, "pegangan dong."
"Hah?" tanyaku tak jelas, lagipula helm ini menutupi telingaku.
"Pegangan," ucap Lucas dengan nada lebih keras.
Pegangan? Yang benar saja?
"Ayo, nanti kamu jatuh."
Dengan ragu kulingkarkan lenganku di pinggangnya.

Jantungku berdebar sangat kencang saat sebuah perasaan yang hangat menjalari tubuhku.
"Yang erat," kudengar Lucas berseru.
Sepeda motor melaju lebih kencang. Kupererat pelukanku sampai pipiku menempel di punggungnya. Kudengar lucas tertawa dan mendadak sepeda motor yang kunaiki melompat dan melaju melesat melewati kendaraan-kendaraan lain. Kupejamkan mataku dan berusaha setenang mungkin. Lucas gila, umpatku dalam hati. Tapi pelukan ini hangat.

"Ini rumah kamu kan?" tanya Lucas setelah kami berhenti.
Kuturunkan tubuhku dari sepeda motor, melepas helm dan berteriak marah, "Kamu gila, ya?"
Lucas memandangku tak berkedip. Jangankan dia, aku sendiri terkejut mengapa aku bisa semarah ini. Apakah karena Lucas memang menjalankan sepeda motor itu terlalu kencang, ataukah karena pelukan itu terasa terlalu cepat berlalu. Lucas membuka helm yang dikenakannya, dan baru kulihat kalau pemuda itu ternyata tersenyum. Ya Tuhan, senyumnya manis sekali.

"Kamu cantik kalau marah," ucapnya padaku.
Wajahku langsung memanas.
"Simpan helmnya. Aku pulang dulu." hanya itu yang diucapkannya kemudian sebelum mengenakan helmnya kembali dan berlalu dari hadapanku.
Lucas.. ah, mengapa aku begitu tak berdaya menghadapinya?

"Enak?" Vanka tersenyum menatapku.
"Luar biasa," desahku seraya memejamkan mata, berusaha mengingat semua rasa yang sudah kualami tadi siang.
Vanka tertawa. "Lalu dia pulang begitu saja?" Kuanggukkan kepalaku.
Vanka mendengus gusar. "Kok begitu? Dia nggak bilang kalau mau main ke sini atau apa begitu?" Kugelengkan kepalaku.
"Aneh. Cowok aneh," Vanka mendesah berulang-ulang, "tapi kalian positif sudah jadian?"
Kuangat bahuku. "Entahlah, Van."

Suara ketukan terdengar dari balik pintu.
"Ayo, Van. Nanti kita terlambat." Vanka bangkit berdiri dan berkata sebelum membuka pintu.
"Hati-hati deh sama cowok yang seperti itu. Siapkan pemanas ruangan."
Dengan tersenyum kuanggukkan kepalaku. Setelah Vanka menutup pintu baru aku bertanya-tanya. Vanka mau kemana? Astaga, Alex! Menyebalkan sekali kakak yang satu itu. Dan Vanka juga. Dan akhirnya Lucas juga. Menyebalkan? Kutatap helm hijau di sudut kamar dan tersenyum. Lucas memang dingin. Tapi hangat juga.

Chap VII

Selama dua minggu berikutnya Lucas tidak pernah absen menghampiri dan membawakan tasku sebelum masuk sekolah, juga mengantarkanku pulang. Untungnya Mama dan Papa tidak terlalu mempermasalahkannya. Lagipula aku kan sudah mulai dewasa. Dan Vanka semakin dekat dengan Alex, bahkan mereka seolah menjadian rumahku sebagai markas atau pos. Menyebalkan, tapi lagi-lagi Mama dan Papa tidak ambil pusing. Tapi hatiku mulai bertanya-tanya. Mengapa Lucas tidak pernah meneleponku? Mengapa ia tidak pernah bertandang ke rumah?

"Ya kamu mintalah sama dia," ucap Vanka lewat telepon.
"Minta? Kesannya kaya gimana begitu," desahku sedih.
"Aduh Dee," Vanka menyahut dengan nada gusar.
"Berani dikit dong."
"Bagaimana caranya?"
"Telepon. Kamu sudah tahu kan nomor teleponnya?"
"Sudah, tapi kenapa bukan dia yang telepon. Kan dia juga tahu nomorku."
"Cowok dingin begitu mesti diangetin, tau!"
"Bingung, nih."
Tapi Vanka tidak memberikan penyelesaian apa-apa. Hanya terus mengucapkan kalimat 'kamu harus berani' dan semacamnya.
Bagaimana dong caranya?

"Luke, aku mau nanya sesuatu pada kamu," ucapku padanya setelah ia megantarkanku pulang keesokan siangnya.
"Apa..?" tanya pemuda itu seraya tersenyum dan menatap mataku dalam.
Kukuatkan hatiku. "Kamu mau ke sini nanti malam?"
Dia pasti marah. Dia pasti menolak.
"Sori, tapi aku ngga bisa."
Hancur sudah. "Ya sudah kalau begitu," ucapku nyaris menangis lalu membalikkan tubuhku dan bergegas masuk ke dalam pekarangan.
"Dit.." mendadak terdengar Lucas memanggilku, "Kujemput nanti malam jam tujuh."
Hatiku bersorak girang. Kubalikkan tubuhku hendak tersenyum padanya. Tapi Lucas sudah berlalu. Tanpa menoleh. Anak dingin.

"Anak siapa itu?" tanya Papa di meja makan.
"Teman sekolah," jawabku dengan mata penuh harapan.
"Anak kelas berapa?"
"Kelas tiga, Pa."
"Mau keluar ke mana?"
"Aduh, Papa," sahutku kesal, "ya sudah kalau ngga boleh."
Rasanya ingin segera masuk kamar dan menangis.
"Sudahlah, Pa. Biarkan saja. Namanya anak muda. Lihat, air matanya sudah mengalir turun." kata Mama.
"Lho? Yang bilang nggak boleh siapa?" Mendadak Papa tertawa.
Dengan perasaan campur aduk kupeluk Papa dari belakang. Mama tersenyum melihat kami.
"Tapi ada syaratnya loh, Dee."
Syarat? Aduh, kok pakai syarat segala?

Bersambung . . .