Damned true story - 7

Di mataku, Qra mendadak berubah menjadi Qra yang dulu. Yang masih kekanak-kanakan saat pertama aku berjumpa dengannya. Gayanya saat mengusap air mata, terlihat begitu lucu dan menggemaskan. Senyuman di wajahnya mirip senyum anak kecil yang baru saja dapat mainan setelah merengek berjam-jam sambil menangis-nangis. Sesaat aku kembali merasakan kasih sayang itu di dadaku.

"Kamu tahu sesuatu, Ray?" Qra bertanya, sambil sesekali mengusap sudut matanya.
"Hmm..?" gumamku dengan nada bertanya.
"Susah mencari penggantimu. Lebih susah daripada menghitung sample skripsi."
Aku tergelak mendengar komparasi yang diajukannya.
"Hahaha, jangan begitu. Itu kan hanya kamunya sendiri yang mematok sesuatu sebagai standar untuk memperoleh yang lain. Itu salah, Qra. Tak ada yang sempurna di dunia ini."
Qra mengangguk. Kali ini aku melihat senyumnya benar-benar sebuah senyuman.

"Yang penting," lanjutku, "Aku kan sekarang ada di sini untuk menemani kamu."
Dalam hati aku mulai memaki diriku sendiri. Ray..! Mulutmu itu..! Kulihat Qra tersenyum.
"Iya. Aku tahu itu. Aku sudah bilang, kamu baik walau pada saat jahat."
Aku tergelak sekali lagi, "Kamu belum bisa memaafkanku, ya?" tanyaku dengan nada serius.
Qra menggelengkan kepalanya, "Belum."
"Aku sudah menduganya," senyumku kemudian.

"Ray..!" Qra memanggil namaku, beberapa saat setelah keheningan muncul.
"Ya..?"
"Bagaimana dengan tunanganmu yang dari Yogya itu?"
Kalau ada kilat menyambar saat itu juga, pasti takkan membuatku sekaku ketika Qra menanyakan hal itu. Aku tidak dapat menjawabnya. Otakku berputar.

"Ini tunanganku," begitu kataku seraya melirik ke arah Enni yang duduk di dalam mobil.
Saat itu Qra memandang dengan wajah berkerut. Kurasa ia sangat bingung waktu itu. Tidak ada baku hantam, tidak ada saling memaki, mendadak aku siang-siang datang bertamu dengan membawa seorang gadis lain dan mengakuinya sebagai tunanganku.
"Aku ngga tahu..," waktu itu ia berkata, "..aku ngga jelas.. Ray.."
"Aku pulang dulu. Sori," ucapku cepat saat itu, lalu membalikkan tubuh.

Qra berlari mengitari mobil dan menghentikan langkahku. Jemarinya mencengkeram lengan bajuku.
"Ray.. aku.. aku tak mengerti..!"
Saat itu aku menepis lengannya, tapi ia kembali mencengkeram. Akhirnya kugenggam pergelangan tangannya dengan kasar, menariknya, dan menyentak.
"Aku pergi..!" ucapku pendek saat itu.
Beberapa orang keluar dari rumah mereka untuk mendengar dan menyaksikan seluruh kejadian itu.

Qra menggerung saat itu, meneriakkan namaku. Tubuhnya terlipat dan ia tersungkur ke tanah, jemarinya mengais kerikil. Aku menatapnya dengan dingin, aku lupa bagaimana rasanya waktu itu. Yang kuingat hanyalah, bahwa aku melangkah masuk ke dalam mobil, menutup pintu, melipat spion dan menekan pedal gas. Melewati deretan orang-orang yang menatap bingung.

Selang beberapa saat. Aku berpaling dan menatap Enni dengan pandangan kosong. Seingatku, saat itu aku menangis. Percayalah, aku memang seorang yang cengeng.
"Puas?" tanyaku waktu itu. Dan gadisku hanya mengangkat bahu.
"Entahlah," ia berkata, "Kalau kamu ngga rela. Kita bisa putar sekarang."
Dan saat itu aku hanya terdiam. Permainan kotor yang kulakukan saat itu, permainan dosa.

Kembali pada saat aku terdiam. Benakku mulai ribut menyusun kata demi kata. Tapi tidak satu pun terangkai dengan baik.
"Aku tahu," mendadak aku mendengar Qra berbisik.
"Tahu..?" tanyaku mengulang. Kutatap matanya.
"Iya," desisnya, "Semua bohong, kan?"
"Aku.."
"Dan kekasih tunanganmu, tanda petik, itu sudah meninggalkanmu kan, Ray? Karena memang ia tak pernah kau miliki."
"Aku.."

Kengerian yang amat sangat merasukiku. Di hadapanku, mendadak Qra berubah menjadi sosok momok yang mengerikan. Jemari berkerutnya menuding ke arahku. Seolah mendesis menuduh dengan lidah bercabang, "Penipu.. penipu.. pen.. ni.. pu..!"

Kutarik wajahku berpaling ke arah lain, mencoba menghapus imajinasi yang mengerikan itu. Kupejamkan mataku. Saat aku sudah melupakan kejadian beberapa minggu lalu, kini seseorang membukanya kembali.
"Kamu tahu dari mana..?" desahku tanpa berani memandangnya.
"Aku..," kudengar Qra berbisik, "..aku selalu di belakangmu, Ray. Selalu."
Hatiku hancur seketika. Sampai sebegitu besarkah efek yang dialaminya. Sampai ia harus mengetahui segalanya tentangku.

"Dan kamu di sini.. untuk mentertawaiku.. begitu kan?" desahku lirih.
"Salah," Qra berkata.
Aku terkesiap. Bukan? Kutolehkan kepalaku dan melihat gadis itu tersenyum.
"Untuk apa, Ray? Untuk apa aku membalasmu? Aku menyayangimu."
Aku tidak tahu lagi harus berkata apa.

"Sini, Ray. Aku kasih tahu kamu sesuatu."
Qra lalu mengulurkan lengan, menggapai lenganku dan melingkarkannya di lehernya. Lalu gadis itu menunduk dan mengecup bibirku. Tanpa sadar kecupannya membuat mataku terpejam. Terpejam..! Semacam kehangatan mengalir di sekujur tubuhku.

"Jangan, Qra..!" desahku.
Ironis, saat aku menuliskan kisah ini. Biasanya gadis-gadis itulah yang mengatakannya. Tapi kali ini, aku mengatakannya dengan mata terpejam! Hatiku benar-benar menderita saat itu. Aku sadar apa yang hendak ditunjukkannya padaku. Aku tahu sekali.
"Sshh..!" Qra berkata, "Jangan sampai kamu meronta. Aku ingin kamu dengar ini."
"Jangan, Qra! Tolong, jangan..! Aku tak mau mendengarnya!"
Aku berusaha mendorongnya menjauh, tapi ia menekanku dengan bobot tubuhnya.

"Ray, dua minggu yang lalu, aku masih mencintainya. Aku berusaha keras membangun cintaku padanya," Qra menarik napasnya, dan menghembuskannya di bibirku.
"Ray," lanjutnya masih mendesah, "Ia melamarku.."
Aku tercekat sampai di situ. Pusing melanda otakku. Luka bekas operasi di tengkukku terasa membuka dan berdarah-darah. Nyeri, aku meronta.

"Jangan bergerak!" mendadak suaranya terdengar tegas dan memerintah.
Aku terdiam dan meringis memejamkan mata. Ya Allah, bisikku, mengapa pertobatanku tidak kunjung beroleh restu dari-Mu?
"Ia melamarku," Qra kembali mendesah.
"Dan kamu tahu kan, Ray. Kalau orang sudah mengajak menikah, pasti ada maunya."
Jangan, pekikku dalam hati. Hentikan cerita ini sampai di sini. Tapi bahkan saat menuliskannya ulang, jemariku bersikeras hendak menuliskan semua detil kejahatanku dengan sempurna.

"Memang, Ray." Qra mendesis.
Gadis itu menempelkan bibirnya di bibirku. Bukan hangat lagi yang kurasa, melainkan sebuah kebekuan yang begitu luar biasa. Dan aku tersentak saat mendadak ia merogoh kemaluanku dan menekannya. Aku mengerang seketika.
"Ia meniduriku, Ray," dan suara Qra bergetar, "Ia meniduriku.. hhgg.."
Ya Tuhan! Hentikan jemari ini sekarang!

"Ia meniduriku semalam suntuk! Ray..!" Qra memekik di depan wajahku, kurasakan air liurnya menyembur.
"Qra! Stop..!" aku menjerit dan meringis.
"Dan ia mencampakkanku setelahnya! SEPERTI SEKANTUNG SAMPAH..!"
"QRA..!" aku berteriak sekuat tenaga, meronta dan meronta.
"AKU SUDAH BUKAN PERAWAN LAGI..! RAY..! WHAT HAVE YOU DONE..! APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN..? APA SALAHKU PADAMU..?"

Aku menangis! Aku menangis saat itu. Menggerung seperti seorang pesakitan yang tertembak. Meraung seperti anak bayi yang payudara ibunya dijauhkan dari bibirnya. Aku menangis saat menuliskan cerita ini.

Aku menghentak sekuat tenaga sambil meraung. Tubuh gadis itu terjengkang hingga terdengar suara 'jeduk' dari kaca. Kututupi semua telingaku. Tidak ingin mendengar gerungannya dan erangku sendiri. Kuratapi nasibku.., kuratapi dosa-dosaku di depan-Nya. Kurapal kalimat-kalimat syahadat itu. Ya Allah.. inikah balasannya..? Ampunilah.. ampunilah..!

"Aku tadi hendak membawamu menjumpainya, Ray. Berharap ia mau menjotos kepala busukmu itu." kudengar Qra mendesis.
Aku tercekat. Telapak tangan yang menempel di telingaku tidak kuasa menahan susupan suaranya.
"Tapi sayang, Ray..!" Qra mengeluh. Lalu ia tertawa terbahak-bahak.
"Karena ternyata ia sedang asyik meniduri gadis lain. Di depan mataku."
Kutarik seluruh rambutku ke belakang. Air mataku sudah membanjir keluar. Kusebut-sebut nama-Nya dalam ratapanku. Mohon ampunan-Nya.

"Ray..!"
Aku nyaris tidak mendengar ia memanggil namaku. Tapi kemudian kurasakan jemarinya menjambak rambutku dan tangannya yang lain menepis kedua lenganku dari telinga. Ia menarik kelopak bawah mataku, memaksaku menatapnya. Ia tersenyum sinis, dan matanya menyala seperti mata kucing di malam hari.
"Aku rasa sudah cukup untukmu malam ini. Antar aku pulang. Cepat..!"
Aku tidak kuasa bergerak lagi. Sekujur tubuh dan sendiku terasa sakit dan lemas. Tengkukku berdenyut nyeri. Kurasa aku bisa mati saat itu juga.

"Pengecut lemah! Heran kenapa aku bisa menyukaimu dulu."
Aku mendengar ia mengumpat beberapa kata lagi, sebelum melempar kepalaku ke bawah, menghantam hand rem persis di hidungku. Tapi tidak ada sakit fisik yang dapat kurasakan saat itu, hanya sakit di jiwaku. Di dalam hati ini.

Lalu kudengar ia membuka pintu mobil, dan menutupnya kembali. Aku shock. Tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Aku terdiam beberapa saat lamanya. Terpekur seperti orang gila. Menatap jok mobil tanpa reaksi jelas dari sel-sel otakku. Saat kesadaran perlahan mulai timbul, aku terkesiap. Kuangkat tubuhku dan menekan pedal gas. Mobil meluncur perlahan, mataku menelusuri setiap meter bahu jalan tol. Mencari dan mencari. Tapi aku tidak menemukannya.

Dosaku hilang bersamanya. Tanpa terampuni. Kuharap ini semua selesai. Sebelum aku memejamkan mata besok malam. Pengakuan dosa ini, menyakitkan.

Sampai cerita ini selesai ditulis, aku bahkan tidak kuasa menghubungi Moogie setelahnya. Pagi ini aku ketakutan. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Qra. Aku hanya dapat berdoa, semoga nanti aku dapat menghubunginya. Semoga ia sudah pulang ke kost-nya.

'Sebuah pertobatan, bukanlah jalan keluar untuk lari dari tanggung jawab.' Satu hal yang kupelajari malam ini.

BAGIAN TERAKHIR.

Sebuah ruangan empat kali empat. Suasana seakan sekejap terang, sekejap gelap. Lampu bertopi itu bergoyang-goyang di gantungannya. Bayangan gelap berlari kesana kemari. Wajah-wajah yang tergubah dari ilusi bentuk gabus di tembok meringis menyeramkan. Dan dingin yang keluar dari lubang ventilasi AC terasa membekukan.

Mati.. hidup.. mati.. hidup.. mati..

Pemuda itu masih menjentikkan kuku-kukunya.
Cetik.. cetik.. cetik..
Kakinya selonjor di lantai. Tidak berkedip walau cahaya persis menerpa matanya. Rambut-rambut lengket menutupi sisi wajahnya bagaikan tirai kusut.

Hidup.. mati.. hidup.. mati.. hidup..

Gadis yang menelungkup di pinggir tempat tidur hanya mengamati. Ia tidak tersenyum, tidak pula menangis. Pandangannya menatap kosong. Jemarinya memainkan ujung rambutnya. Angannya seolah melayang. Jauh, jauh sekali. Keheningan menyelimuti suasana hati mereka yang sibuk dengan pemikiran masing-masing. Entah sudah berapa lama kondisi itu berlangsung. Sementara waktu tetap berlalu.

Lama kemudian, lalu mendadak mata mereka bertemu, si pemuda melengos.
"Pulang saja," ia berkata.
Si gadis mengangkat kepalanya, menggeleng lemah, lalu kembali menempelkan pipinya ke seprei.
"Aku akan tetap di sini."

Ray mengerutkan alisnya. Pemuda itu bangkit berdiri, hendak meraih jaket kulit di gantungan, seperti yang biasa ia lakukan. Tapi jaket itu tidak ada di sana. Ia membeliak seketika. Matanya mencari-cari liar. Keringatnya mengucur.
"Aku.. aku dimana?" bibirnya bergumam.
Gadis di atas tempat tidur menatap dengan sendu.
"HAARRGGHH..! AKU DI MANA..!"

Tapi ruangan empat kali empat itu tetap diam. Bahkan tidak ada gema. Si gadis menutup telinganya. Menguatkan batinnya. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia akan tetap aman. Apapun yang terjadi. Karena ia percaya pemuda itu mencintainya. Ray meloncat dari sudut ke sudut. Matanya merah, jemarinya meraba-raba. Gabus! Semua Gabus! Air liur keluar di bibirnya saat ia membalikkan tubuh. Dengan satu lompatan ia sudah mencengkeram pundak si gadis.

Bersambung . . . .