Pewaris pertama - 2

"Pertama, jangan pakai poni. Menjijikkan."
Aku hanya bisa mengiyakan saat Kak Ray membawaku ke salon. Beberapa saat kemudian aku sudah memandangi rambutku yang baru. Cepak dan berdiri seperti kaktus. Wajahku malah nampak bundar. Kak Ray tersenyum menatapku.
"Begini lebih bagus."
Masa?

"Kedua, berpakaian lebih funky. Jangan semua dimasukkan seperti anak kura-kura." Kak Ray menarik baju belakangku dan menyelipkan sedikit ujung baju ke celanaku. Aku yakin, kalau mama melihatku saat ini, pasti beliau akan sangat marah.

"Ketiga, tunjukkan bahwa kamu memiliki jati diri yang pasti." Kak Ray memasangkan gelang-gelang kain itu ke pergelanganku. Kuhitung-hitung semuanya berjumlah lima biji. Tiga di kanan, dan dua di kiri.

"Keempat, ayo ikut aku."
"Ke mana, Kak?"
"Ekskul Basket. Khusus kakak kelasmu."
"Hah?"
Dan baru aku ketahui bahwa basket itu menyenangkan. Kak Ray meyakinkan sahabat-sahabatnya bahwa aku 'harus' diterima mulai saat itu. Kurasakan keringat menetes membanjiri sekujur tubuhku saat aku berlari, melompat. Kakak-kakak yang lain dengan ramah mengajariku cara melakukan dribbling, pivot, shooting, dan berbagai atraksi lainnya. Aku sedikit kecewa saat ekskul berakhir. Sementara aku masih belum menghapal benar setiap gerakan yang mereka ajarkan.
"Nih. Bawa pulang. Main di rumah saja."
Kutangkap bola basket itu. Luar biasa. Semua kakak pelatih menatapku dan tersenyum mengangguk.Aku kini salah seorang dari mereka. Luar biasa.

Setelah mengantarku sampai ke depan rumah, Kak Ray menyodorkan tas sekolahku. Katanya, tas ini tadi dititipkannya pada salah seorang sahabatnya. Mungkin lebih tepat disebut 'bawahannya'?
"Di sini pelajaran ke lima, jangan lupa mempelajarinya di rumah nanti." Kutatap pandangannya yang ramah. Sekejap aku mulai merasa ingin menangis. Tapi Kak Ray meninju lenganku dengan keras.
"Pelajaran selingan, jangan menangis seperti banci."
Kubusungkan dadaku dan berusaha menahan air mataku. Kak Ray tertawa dan berlalu sambil melambaikan tangannya.
"Jangan lupa, pelajari baik-baik."
Tentu saja, Kak.

Mama sekejap merasa heran dengan penampilanku yang begitu aneh. Tapi beliau lebih memilih untuk menggelengkan kepalanya. Papa malah menatapku dengan tersenyum.
"Kamu tampak seperti laki-laki."
Dan aku merasa benar-benar bangga. Ingin rasanya aku berteriak sekeras mungkin. Tapi aku segera berlari ke kamar dan membuka tasku dengan penuh penasaran.

"Teka-teki Kepribadian oleh bla bla bla."
Hanya ini?? Sebersit rasa kecewa merasukiku. Kubuka halaman pertama. Dan secarik kertas terjatuh. Segera kupungut dan kubaca. Akhirnya. Aku ingin menangis lagi. Tapi kubusungkan dadaku dan berlari ke depan cermin. Kutiru gerakan Kak Ray saat menjadi guard di ekskul basket tadi sore.
"Dan kalian gadis-gadis. Akan segera kujilat. Satu-persatu."

Rasa percaya diriku terasa surut seketika saat menyaksikan bayangan di depan cermin itu. Awut-awutan mungkin sebuah kata yang tepat. Tapi seperti kata buku semalam. Aku seorang sanguinis. Penuh percaya diri. Tapi mama tak boleh melihatku. Jadi kularikan saja tubuhku keluar tanpa berpamitan. Di sepanjang trotoar kupraktekkan gaya berjalan John Travolta dalam film Grease--persis gaya berjalan Kak Ray saat menelusuri lorong sekolah. Stylish. Penuh gaya. Kukunyah permen karet di mulutku dengan berirama.
It's a new me.
Ray Junior.
Si pewaris.
"Hahahaha.. huahahaha.."
Gendang telingaku terasa sakit. Semua anak menatapku dengan tertawa. Mata mereka menyipit seperti mata setan. Aku gila. Aku gila. Kulihat Mela menutupi mulutnya dan terbahak-bahak sampai mengeluarkan selembar tissue dari tasnya. Apakah aku sekonyol itu? Apakah kakak-kakak itu mempermainkanku? Tak mungkin. Kak Ray begitu baik. Buku itu. Aku harus cuek. Kutegakkan tubuhku dan melangkah mendekati salah seorang anak yang tertawa paling keras. Kudekatkan wajahku dan mendesis.

"Kamu..sirik, ya?"
Tawa-tawa itu terhenti seketika. Aku merasa sedikit lebih tangguh dari yang kukira. Tentu saja sebelum lengan-lengan itu meraihku dan menempelkan punggungku ke tembok.
"Heheh.. si Helm.. eh.. Kaktus ini sudah mulai rewel."
Aku tak boleh gemetar sekarang. Aku harus berani. Kuayunkan dengkulku sekuat tenaga dan menyaksikan anak di depanku terjatuh. Darahku tersirap, sejenak keringat dingin menyeruak tengkukku. Kurasakan anak-anak lain yang memegangiku sejenak ikut terdiam melihat reaksiku yang tak terduga. Mendadak suasana menjadi riuh rendah. Kupejamkan mataku saat kepalan tangan itu terangkat.

"Hey, Rik. Kok tidak segera datang? Kamu ditunggu loh."
Kubuka mataku perlahan. Kerumunan anak itu mendadak menyeruak. Seseorang berdiri dan bersandar di ambang pintu.
"Ayo, tunggu apa lagi?"
Kukembangkan senyumku melihat Kak Ray yang mengerutkan alisnya tak sabar. Beberapa gadis mulai kasak-kusuk di sebelahku. Anak yang terjatuh tadi tak mengucapkan sepatah katapun. Begitupula anak-anak yang memegangiku. Kalian baru tahu, ya? Aku salah seorang dari mereka. Kulangkahkan kakiku keluar kelas, bergabung dengan Kak Ray dan teman-temannya. Tak berapa jauh dari kelas, Kak Ray berbisik di telingaku.
"Bodoh. Jangan pernah memejamkan mata."
Beberapa kakak yang menguping tertawa. Kurasakan wajahku memerah.

Hubunganku dengan Kak Ray semakin dekat. Kak Ray mulai menjemputku sebelum ekskul basket, dan mengantarku pulang setelahnya. Aku sangat mengagumi kemampuan Kak Ray berkomunikasi dengan papa dan mama. Kedua orang tuaku sering membincangkan kebaikan-kebaikannya di meja makan. Aku merasa semakin bangga saat mereka menganjurkanku untuk bisa menjadikan Kak Ray sebagai teladanku.Anak-anak itu? Mereka tak pernah lagi mencemoohku setelah kejadian itu. Mereka justeru berubah seratus delapan puluh derajat. Anak-anak pria selalu mengerubungiku dan bertanya-taya tentang informasi terbaru di dunia elite kakak kelas. Gadis-gadis mulai melirik ke arahku dengan malu-malu. Beberapa dari mereka bahkan mulai dijodoh-jodohkan denganku. Aku sendiri tak menyadari perubahan yang terjadi padaku. Semenjak ikut ekskul basket beratku berkurang jauh. Pipiku yang semula seperti bakpao sekarang sudah mengempis--setidaknya istilah yang tepat menurutku. Buku yang diberikan Kak Ray padaku tempo hari sangat bermanfaat. Apalagi setelah aku berhasil memasuki kamarnya --yang ternyata sangat berantakan-- aku bisa membaca apapun yang aku inginkan. Mulai dari cara menjadi pendengar yang baik, cara berkomunikasi dengan orang-orang dengan keaneka ragaman mereka. Aku mulai bisa membuat mereka tertawa. Aku mulai bisa memberikan nuansa kehadiranku di tengah-tengah mereka. Dan itu sungguh menceriakan hidupku dari sisi yang belum pernah kualami sebelumnya. Sampai tiba pelajaran ke-enam. Wanita dan Cinta.

"Ehm, Rik. Mau temani aku ke tata usaha?"
"Huh?" Kupandangi wajah gadis itu dengan seksama. Dalam hati aku tertawa. Alangkah konyolnya gadis ini. Ternyata masih banyak gadis yang lebih cantik darimu. Lalu kenapa aku harus mau?
"Aku ma.."
"Please."
Dan kini aku berjalan mengiringinya ke ruang tata usaha. Menyebalkan. Mengingat betapa enam bulan lalu gadis ini menamparku di depan teman-temannya. Dan inilah. Dan itulah. Konyol benar.

"Rik, maafkan aku waktu itu."
"Oh, yang mana?"
"Jangan menggodaku," Mela menundukkan kepalanya, "Kamu tahu."
"Aku sudah lupa."
"Rik."
"Yang kamu menamparku? Wah, aku barusan lupa."
Kubiarkan gadis itu mencubit lenganku dan berlari malu-malu. Mendadak rasa suka itu datang lagi.

Pelajaran ke-enam kuhabiskan semalaman bersama Kak Ray di kamarnya. Kak Ray menunjukkan foto-foto gadis yang pernah dikencaninya. Aku terkagum-kagum melihat beberapa gadis yang berasal dari SMP lain. Selebihnya, aku berusaha keras mencerna semua yang dikatakannya dalam otakku. Semua. Sampai aku hapal.

Inikah rasanya?
Kubuka perlahan kancing baju gadis itu. Menelan air liurku saat menatap buah dada yang menyembul dari balik bra itu. Ingatanku melayang pada selorohan Kak Ray, "Payudara yang paling asyik adalah payudara muda yang sama sekali belum pernah tersentuh."
Itu sebuah kenyataan.
Kugerakkan lenganku dan menekan kulit payudara itu, merasakan kekenyalannya di jemariku. Mela mendesah dan meraba punggungku. Kujulurkan lidahku dan menjilat apapun yang bisa kujilat. Kususupkan jemariku ke balik cup bra-nya dan bergetar saat merasakan puting susunya. Luar biasa. Inikah yang dinamakan payudara? Inikah yang disebut puting susu? Kutarik cup itu ke atas dan membuka mataku lebar-lebar, mengamati setiap lekuk payudara di hadapanku. Mela mendesah saat kukecup puting susunya. Gadis itu menggeliat penuh kenikmatan. Kugerakkan lidahku seperti yang diajarkan Kak Ray padaku semalam. Letter U. Letter S. Letter O. Dan dapat kudengar desahan itu keluar dari bibirnya.

Itu yang pertama.
Sebulan berikutnya aku mulai sedikit jarang menghabiskan waktu bersama Kak Ray, kecuali saat ekskul basket seminggu dua kali. Aku lebih banyak menghabiskan waktuku bersama Mela. Menjelajahi dan menemukan apa yang belum pernah kualami sebelumnya. Saat itu aku sudah mulai berani menelanjangi tubuh atasku dan tubuh atasnya, menempelkan ketelanjangan dada kami satu dengan lainnya. Jemariku mulai beraksi dengan lebih mahir. Aku mulai bisa memagut bibirnya sementara tanganku beraksi di dadanya. Jilatan-jilatanku pada puting susunya mulai terasa mengalir seperti kebiasaan sarapan pagi.

Bulan kedua.

Aku mulai berani mempertontonkan kemaluanku padanya. Bersama kami mempelajari cara-cara melakukan masturbasi satu dengan lainnya. Ketakjubanku saat melihat vagina untuk yang pertama kalinya di depan mataku menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan. Aku menyukai kelembaban liang itu saat jemariku menyentuh dan memainkan bibir-bibirnya. Aku menikmati setiap desahan yang keluar dari bibirku saat jemari Mela memainkan batang penisku. Mela sempat menjerit kaget saat spermaku menyembur dan membasahi telapak tangannya. Tepat di minggu ke tiga bulan kedua aku bersamanya, aku sudah memberanikan diri untuk menjilat kemaluannya. membiarkan wajahku dibasahi oleh cairannya. Kata-kata Kak Kemal selalu terngiang di telingaku.
"..lalu.. menjilati kemaluan mereka dan meminum cairan mereka sepuasnya. Bergantian. Dari hari ke hari. Dan mereka begitu terpesona.."
Dan aku mengerang saat Mela mencium kemaluanku dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Benar-benar sebuah perasaan yang luar biasa. Apakah gadis-gadis yang lain juga serupa? Bergantian. Aku juga menginginkan mereka.

Bulan ketiga minggu kedua.

Saat itu aku bahkan masih bisa terkagum-kagum dengan Kak Ray, guruku dan sahabatku. Bahkan dengan kebengalannya, ia masih bisa menduduki rangking di sepuluh besar danem tertinggi di SMP kami. Walaupun bukan tiga besar, tapi tetap sebuah prestasi yang mengagumkan. Saat itu aku sudah positif memenangkan pemilihan Ketua OSIS. Temanku sudah begitu banyaknya. Mela juga semakin dekat denganku. Gadis-gadis sudah mulai bersuit saat aku lewat. Tak ada yang kurang dalam hidupku. Apalagi setelah papa membelikanku sebuah Honda Tiger hijau metalik. Persis seperti kepunyaan Kak Ray. Kudengar Kak Kemal juga sudah lulus dengan nilai memuaskan. Aku juga harus bisa. Kutekadkan itu. Pandai dalam bergaul dan cerdas akademik.

"Rik, mulai sekarang kamu sendiri. Sanggup?"
"Sanggup, Kak." Kupandangi STTB dan Danem yang terselip di lengannya. Aku ingin memeluknya saat itu juga.
"Aku setelah ini di kompleks. Kalau ada apa-apa, aku di Warung Ibu."
"Ya, Kak."
"Pelajaran selingan, jangan menangis."
Ia tahu. Tapi aku tak perduli. Kak Ray tersenyum dan menyeka air mata di pipiku, "Bodoh. Oh, ya. Pelajaran ketujuh. Tentang berhubungan seksual.."
"Aku tahu, Kak. Aku tahu," isakku.
"Oh, baguslah."
"Aku sudah melakukannya. Dengan Mela. Luar biasa."
Aku tersenyum, mengharapkan pujian darinya.
Tapi Kak Ray mengangkat lengan kanannya dan menepukkannya di dahinya sendiri. Wajahnya terlihat pucat dan matanya membelalak.
"K..kenapa, Kak?"

"Pelajaran terakhir.. jangan sampai terjebak dan terikat."
Kudengar Kak Ray mendesah menatapku.
Kurasakan jantungku berdegup kencang.

"Jangan terjebak. Jangan terikat."
Satu-satunya jurus yang tersisa.
Satu-satunya yang terlewatkan.

Masa depan mendadak terbentang terlalu jelas di depan mataku.

TAMAT