PTCO

Aku terbangun kedinginan. Selimut sudah jauh di bawah kakiku. Aku tidak tahu pukul berapa saat itu, yang pasti dari celah-celah jendela langit masih terlihat kelam. Aku mendengar dengkurannya yang lembut, mirip anak kucing. Senyumku mengembang, dan sejuta rasa sayang yang sudah kupupuk selama dua puluh tahun terakhir mengalir bagai anak sungai.

Aku beringsut mendekatinya, merapatkan tubuhku. Kuraih tepian selimut dengan ujung kakiku. Kuselimuti kami berdua. Dengkurannya berhenti, ia bergerak sedikit, hanya untuk mengangkat lengannya dan membiarkanku masuk dalam dekapannya. Aku tersipu, sadar kalau ia belum tidur.

"Sudah dua puluh tahun, Sayang. Tepat hari ini," kuberbisik padanya.
Ia bergumam lembut, "Aku tahu. Aku tahu."
Kurapatkan tubuhku, dan ia memberiku kehangatan.

Kalian tahu bagaimana aku dulu 'menemukan' suamiku?

*****

Aku benci laki-laki semacam dia. Ya! Dia yang sekarang sedang menggelutiku. Meraba sekujur tubuhku seperti singa kelaparan. Bagiku semua lelaki sama saja. Seks dulu sayang kemudian. Tidak ada seks, tidak ada sayang. Apakah memang tidak ada satu orang pun laki-laki yang tidak memikirkan seks sebelum ia sayang padaku?

Aku meninggalkan Henry setelahnya. Setelah ia berusaha merayuku untuk menyerahkan keperawananku malam itu. Aku menendangnya dari atas tempat tidur. Ia hanya meringis, seolah menganggapku seorang cewek murahan yang tidak layak menolak dirinya. Esok harinya, gossip hangat sudah menyebar ke seluruh sekolah. Bukan gossip bagaimana aku mencampakkannya, melainkan gossip bagaimana ia sudah menjilat buah dadaku. Gossip yang buru-buru (kurasa) disebarkannya pagi-pagi buta. Biasa, lelaki memang begitu.

Akhirnya, seharian itu aku jadi bahan lirikan seluruh penghuni di sekolah. Aku benar-benar benci. Tapi aku tetap saja tidak dapat menolak saat Jerry mendekatiku, dan mengajakku makan malam. Entah mengapa, aku merasa membutuhkan pria di sisiku. Menyedihkan, tapi itulah kenyataan seorang gadis sepertiku. Gadis yang terbiasa hidup dalam pergaulan 'anak-anak gaul'. Yang seolah tidak afdol bila tidak terlihat berpasangan dengan seseorang.

Tapi yang terjadi selalu seperti itu. Aku meninggalkan mereka, pemuda-pemuda itu, setelahnya. Itulah resiko yang harus kuambil apabila aku ikut dalam arus pergaulan 'anak-anak gaul', sementara aku sendiri tidak menganut free-sex-life-style.

"Kamu itu bodoh," kata Yonas kepadaku suatu hari.
Yonas adalah teman sebangkuku yang paling sering mengkritik apa saja yang kulakukan.
"Iya," lanjutnya, "Aku heran, kamu kok masih mau saja kumpul dengan orang-orang aneh itu. Sementara kamu tahu sendiri, kan? Kalau kamu memang tidak bisa mengikuti gaya main mereka, seperti yang sering kamu keluhkan padaku."

Memang, Yonas adalah satu-satunya tempatku bercerita. Bukan karena aku suka dia (mengingat tubuhnya yang tambun dan bukan tipeku sama sekali), melainkan karena Yonas lebih dapat mendengarkanku daripada orang-orang yang lain.

"Ya, asik lagi. Kamu saja yang tidak pernah tahu rasanya 'gaul'," sahutku seperti biasanya pula.
Dan ketika aku berkata demikian, Yonas pasti terdiam dan berlalu. Aku mungkin kasar padanya, tapi aku tahu, bahwa ia akan tersenyum lagi saat aku memberikannya sepotong coklat kegemarannya. Yonas memang gembul. Dia anak yang baik. Aku menyukainya.

Hari itu, Jerry datang ke kelasku, BIO 2, dengan wajah ganteng dan senyumannya. Ia mendorong Yonas yang malang ke samping.
"Minggir, Ndut, ada urusan."
Yonas dengan bersungut-sungut beringsut ke meja belakang. Aku hanya tertawa geli melihatnya.
"Apa, Jer..?" tanyaku kemudian.
"Ini," katanya, "Besok lusa, ada pesta ulang tahun Vonny. Kamu ikut?"
Aku berpikir sejenak.

Vonny, adalah salah seorang anak pejabat yang terkenal suka menghamburkan duit bapaknya. Sahabatnya banyak, dari kalangan menengah ke atas. Berteman dengan Vonny, sama saja layaknya berteman dengan artis.

"Ikut..!" kataku.
Kudengar Yonas menggeram di belakang.
Jerry tertawa dan berkata, "Oke, aku jemput besok pukul setengah delapan. Dan, oh ya..!"
Jerry bangkit berdiri, membalikkan tubuh, dan mengelus kepala Yonas.
"Kasihan, jangan menggerutu dong, Ndut. Fitness dulu, baru ikutan."
Aku terkekeh geli mendengarnya. Sementara Yonas menepis lengan Jerry yang tertawa-tawa. Yonas yang malang, pikirku.

Esok lusanya, sekitar pukul enam sore, Yonas meneleponku.
"Kamu jadi berangkat?"
"Kenapa, Nas? Mau ikutan?"
Aku mendengar Yonas tertawa. Aku juga terkekeh, membayangkan bagaimana reaksi Vonny saat melihat si gendut Yonas datang ke pestanya.

"Ngga, Cher. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja."
"Aduh, Nas," sahutku geli, "Kamu tuh ya. Jangan terlalu khawatir sama aku."
"Hmm, ngga. Aku mendengar beberapa gossip.. tentang Jerry.. dan.."
"Ah, Nas..," tukasku tanpa ingin mendengar lagi, "Kamu tak perlu iri begitu dong. Lagipula kan kamu bukan apa-apaku. Nggak usah larang-larang."

Beberapa saat aku hanya mendengar suara napasnya.
"Nas..? Nas..?" Mau tidak mau aku merasa sedikit bersalah juga, menyentaknya seperti itu. Yonas bagaimanapun salah seorang sahabat terbaikku.

"Cherry..! Ada Jerry di depan..!" seruan Mama memaksaku meletakkan gagang telepon.
Aku berpikir untuk menelepon Yonas besok pagi dan meminta maaf. Dia akan suka kalau aku membawakan coklat kesukaannya.

"Kamu cantik sekali," kata Jerry sambil tersenyum.
Aku merasa bangga. Tidak salah tadi Mama memilihkanku gaun malam merah ini. Baju terusan, tanpa lengan, dengan punggung sedikit terbuka. Aku akan jadi istimewa malam ini.

Suasana di rumah Vonny terlihat meriah. Semua tampak bergaya malam itu. Baju-baju mahal dimana-mana sejauh mata memandang. Semua cantik-cantik. Semua tampan-tampan. Aku merasa senang. Inilah duniaku. Dunia anak muda jaman sekarang. Penuh gemerlap dan suka-suka. Jerry menggandengku selama acara berlangsung. Vonny juga menyambutku dengan mengecup kedua pipiku. Aku bangga karenanya. Semua orang akan lebih mengenalku lagi setelah malam ini berlalu.

Tepat pukul sembilan, Jerry menggandengku ke teras rumah. Beberapa pasangan tampak di sekitar kami, saling menikmati suasana meriah. Jerry menuntunku sampai ke sebuah kursi taman, di bawah sebuah pohon cemara. Di sana, Jerry menggenggam tanganku erat. Aku merasa jantungku berdegup. Kejadian seperti ini, aku mungkin sudah dapat menebak ke mana larinya.

"Cher, kamu tahu kalau aku sayang kamu."
"Hmm," anggukku mengiyakan.
"Aku ingin malam ini sedikit lebih panjang untuk kita."
"Hhh..," aku mendesah.

Aku tahu apa yang ia mau. Sama seperti perayu-perayu lainnya. Apa lagi kalau bukan sexual embracement. Mungkin di mobil, di jok belakang. Atau bahkan di rumahnya. Dasar lelaki. Jerry akan menjadi yang kesekian kalinya yang kutinggalkan, pikirku dalam hati.

"Terserah..," bisikku sambil berusaha tersenyum semanis mungkin.
Wajah Jerry tampak cerah seketika. Ia mengecup bibirku.

*****

"Rumah kamu..?" tanyaku setelah mobil yang kami naiki berhenti.
Jerry tersenyum dan mengangguk. Pemuda itu lalu melangkah turun dan membukakan pintu mobil untukku.
"Ayo, masuk..!" katanya kemudian seraya menggandeng lenganku.
Aku menurut saja. Pikirku, aku pasti dapat mengontrol diriku sendiri. Paling-paling juga sama seperti pemuda-pemuda yang lain.

"Cher, hh..," Jerry mendesah dan mengecup bibirku di ruang tamu, sementara lengannya memelukku erat.
Aku memejamkan mata dan menikmatinya. Tidak berapa lama kemudian, kakinya melangkah dan mendorong tubuhku hingga terduduk di atas sebuah sofa empuk berwarna coklat tua. Aku sempat berpikir, kenapa tidak ada seorang pun di rumah ini. Tapi Jerry memotong pikiran itu dengan merengkuhkan telapak tangannya pada buah dada kiriku.

"Ach..," jeritku tertahan, merasa geli saat ia meremas.
Tapi aku tidak melawan. Jerry juga hanya tersenyum simpul, lalu mulai memaguti leherku penuh nafsu. Selang beberapa saat kemudian, pemuda itu menarik tepian rok bawahku ke atas, lalu mulai meremas kesana kemari.
"Jerry, jangan..!" bisikku padanya.
"Aku sayang kamu..," bisiknya pula.
Cuih, pikirku, tentu saja kamu akan mencoba meyakinkanku dengan berbagai cara. Tapi bagaimanapun juga, sentuhannya pada pangkal pahaku membuatku menggelinjang.

Lalu bibir pemuda itu mulai merayapi permukaan dadaku. Jemarinya mengait tepian atas bahuku, dan entah bagaimana, bajuku sudah turun sampai ke pinggang.
"Ahh..," ia tersenyum dan mendesah saat melihat buah dadaku yang menggumpal dari balik bra tanpa tali yang kukenakan. Lidahnya lalu mulai menjilat.
"Luar biasa, Cher..," aku mendengarnya berbisik saat jemarinya menyusup ke balik celana dalamku.
Aku tersenyum. Cukup sudah.

"Lepaskan..!" seruku seraya mendorong tubuhnya jauh-jauh.
Pemuda itu terhuyung dan menatapku bertanya, "Kenapa..? Kamu tak suka..?" ia bertanya.
Aku membetulkan letak bajuku. "Iya," kataku, "Aku tak suka."
"Lalu..? Kamu akan pulang? Begitu saja..?"
"Yap. Dan kurasa kamu tidak keberatan mengantarku pulang, kan?"
Jerry menatapku dengan alis berkerut.

"Iya, kan? Sudah kubilang..!" mendadak aku mendengar seseorang berkata.
Jantungku terasa berhenti berdetak saat kulihat Henry melangkah keluar dari balik lemari kaca. Disusul oleh beberapa pemuda lain, yang kukira bukan siswa sekolah kami. Saat aku menoleh kembali ke arah Jerry, pemuda itu sudah tersenyum-senyum seraya menggosokkan telunjuk ke hidungnya.
"Betul juga, Hen. Sial benar." Kudengar Jerry tertawa.

"Huh..!" dengusku dengan jantung berdebar.
Kubalikkan tubuh dan bergegas menuju pintu ruang tamu. Tapi seseorang meraih lenganku.
"Eit, jangan buru-buru. Mau kemana? Sini, kita main-main dulu." kudengar Henry berkata dengan hidung begitu dekat di telingaku.
Aku menjerit, tapi mereka lebih kuat. Aku merasa tubuhku diseret ke sofa. Lalu mereka meremasi tubuhku bersamaan.

"Jangan..! Jangan..!" seruku, air mataku mulai keluar. Aku takut.
Salah seorang dari mereka mengangkat rokku.
"Asik..!" seseorang berseru.
Aku menjerit, tapi Jerry membungkam mulutku dengan bibirnya.
"Wah, dia ketakutan," salah seorang berkata.

Aku mendelik saat merasakan seseorang menyentuh kemaluanku.
"Pahanya dikencengin. Hehehe..," orang itu terkekeh, jemarinya memaksa masuk.
Henry meremas-remas dadaku. Cengiran di wajahnya. Aku meronta sekuat tenaga. Menendang kesana kemari.
"Tom! Pintunya! Awas!"

Terlambat! Aku sudah berlari meraih gagang pintu, sementara Jerry dan kawan-kawannya masih berusaha bangkit dari karpet. Dalam hati aku bersyukur, karena pintu itu tidak terkunci. Sambil menangis kuputar kenop pintu, membukanya dan segera melangkah keluar.
Seseorang meraihku dari luar. "Jangan..!" pekikku, "Lepaskan aku..!"
"Sshh..!" aku mendengar suara orang itu mendesis.
Orang itu menarikku keluar dari ambang pintu.

"Lihat ini..!" orang itu berkata sambil tertawa.
Aku melirik ke belakang dan melihat Henry sudah nyaris sampai ke pintu.
BLAM..! Orang yang memegangku membanting pintu. Suara mengaduh terdengar di baliknya.
"Ayo, cepat..!" orang itu menarik lenganku dan setengah menyeret membawaku keluar dari pagar.

"Ini, helm," aku mendengar orang itu berkata.
Tubuhnya membelakangiku. Aku memicingkan mata dan berbisik lirih, "Yonas?"
Pemuda gemuk itu menolehkan wajahnya dan tersenyum.
"Yonass..!" tidak tahan air mataku membanjir, seiring tubuhku yang menghambur ke dalam pelukannya. Kurasakan Yonas merangkulku dan menepuk-nepuk punggungku.
"Aku sudah mencoba mengatakan padamu tadi. Tapi kamu tak mau mendengar."
Yonas mendorong tubuhku hingga aku terduduk di jok sepeda motor.
"Kita harus pergi dari sini," katanya padaku. Aku mengangguk.

*****

Angin malam berhembus. Yonas mengenakan jaket parasutnya ke tubuhku. Aku tersenyum saat merasakan hangat pandangannya.
"Thanks..," hanya itu yang dapat kuucapkan.
Sebuah mobil melintas di belakang kami. Aku menoleh sejenak, lalu kembali menatap bintang yang bertaburan di langit.
"Kalau tidak ada kamu tadi.."
Aku melihat wajah Yonas memerah. Tapi ia tidak menggubrisku. Ia terlihat asyik memainkan tali celana training-nya.

"Nas..?" panggilku.
Yonas menoleh dengan gugup. Aku tertawa geli.
"Kamu kenapa?" tanyaku kemudian.
"Eh," wajah Yonas tampak memerah.
"Kenapa, Nas?"
"Aku suka kamu," kudengar ia berkata lirih.
Aku terhenyak.

Ini sebuah ungkapan berani mati, pikirku geli. Masa Yonas? Yonas si Gembul? Yang setiap hari kerjanya hanya ngomel dan ngomel ini? Aku tertawa tanpa sadar.
"Kenapa? Aku lucu ya? Hehehe..," kudengar Yonas tertawa. Aku terdiam.
"Maaf, Nas. Bukan maksudku."
"Tidak. Tidak apa-apa." Yonas menurunkan tubuhnya dari jok sepeda motor.

"Ayo..," aku mendengarnya berkata. Tapi aku tidak ingin segera berangkat.
Aku juga ikut turun dari jok, lalu mendekatinya. Ia menundukkan kepala.
"Nas, aku mau berterima kasih padamu," ucapku.
Ia hanya menunduk. Sambil tersenyum kupeluk ia. Tubuhnya bergetar sedikit, sebelum akhirnya melemas kembali.
"Aku sayang kamu, Nas. Kamu yang terbaik di antara mereka," bisikku jujur.
Aku tidak dapat mencintainya, pikirku, aku hanya dapat menjadi sahabatnya. Bagaimanapun Yonas tetaplah Yonas. Dan Cherry tetaplah Cherry.

"Cher..," aku mendengar ia berbisik, "Jangan menangis, Cher."
Aku melepaskan pelukanku dan menyurutkan tubuh. Kulihat ia tersenyum menatapku. Entah mengapa, seolah yang ada di depan mataku bukan Yonas si Gembul, melainkan sosok seseorang yang begitu hangat. Yonas menatapku dalam.
"Aku mungkin bukan siapa-siapa, Cher, buat kamu. Aku bukan seorang kaya, bahkan tampan pun tidak. Tapi aku tak bisa melihat kamu menangis."
Aku semakin tersedu saat ia berkata demikian. Jelas-jelas ia terluka.

"Cher..," Yonas berbisik lagi.
Aku terkejut saat ia merangkulku. Tapi sesuatu di dasar hatiku mencegahku untuk menolaknya.
"Yonas.." aku berbisik.
"Kamu tahu apa yang menjadi modal utamaku untuk mendekatimu?"
Aku hanya diam, menunggu ia menjawabnya sendiri.
"Karena aku punya ini. Pe-te-ce-o."

Aku mengangkat kepalaku dengan pandangan bertanya. Yonas menatapku geli.
"Kamu tak tahu apa itu..?" Aku menggeleng.
"Ini..," Yonas menepuk perut gendutnya. "Perut To Cry On."
Aku tertawa terbahak-bahak. Entah mengapa, aku merasa begitu sayang padanya.
"Kamu mau mencobanya?" ia bertanya sambil tetap tersenyum.
Aku menganggukkan kepala.

*****

Gemuruh lembut dan kehangatan itu masih dapat kurasakan sampai sekarang. Dua puluh tahun sudah lamanya. Gemuruh itu masih tetap gemuruh yang membuatku jatuh hati padanya. Yonas-ku. Si Gembul. My knight in shining armor.

Jerry dan Henry? Mereka dikeluarkan dari sekolah, setelah guru-guru menerima laporan dari kedua Mama dan Papa-ku. Polisi menyeret mereka beberapa hari kemudian, beserta kawan-kawan mereka. Kurasa mereka tidak susah menemukan PTCO di penjara, ya kan..?

Tamat