The birth of a hunter - 2

Pagi menjelang. Sinarnya masuk melalui jendela, menusuk-nusuk kelopak mataku, memaksaku untuk terjaga. Sekilas mataku melirik dan kutemui tempat itu kosong. Semakin diriku bertanya apakah semua ini cuma mimpi adanya? Kutekan tombol merah yang ada di samping tempat tidurku. Beberapa saat kemudian seseorang datang. Seorang malaikat berwajah pualam dalam seragam dinasnya. Dengan agak segan aku bertanya tentang kejadian semalam. Sang malaikat tersenyum. Hanya tersenyum. Pertanyaanku dibalasnya dengan serangkaian pertanyaan dalam bahasa yang tidak kumengerti dan aku terdiam. Aku tetap terpaku dalam kebisuan itu. Segala sesuatunya terasa begitu asing dan aku mulai merasa terperangkap. Namun tubuhku menolak bekerjasama. Kedua kakiku terasa begitu kelu. Aku terperangkap dalam diriku sendiri. Is this the price? Pikirku. Apa yang telah terjadi? Begitu banyak pertanyaan yang tak terjawab dan kulewati hari itu dalam kekosongan.

Malam menjelang. Sinar-sinar sang surya yang terakhir menghias langit dalam semburat lembayung senja dan kemudian berangsur-angsur pudar. Kupalingkan wajahku dari kemegahannya dalam kebencian. Dan kulihat ia kembali berdiri disana. Venus. Samar-samar kulihat sosoknya melayang mendekatiku sebelum pengaruh obat yang dipaksakan ke dalam kerongkonganku menelan diriku dalam kegelapan.

Tiga hari berlalu. Tiga hari dalam kebencian, Tiga hari dalam kepedihan. Sejak kemarin, aku telah mendapatkan sebuah mainan baru. Sebuah mainan yang akan menemaniku untuk beberapa waktu lamanya. Sebuah kursi roda. Luka yang mengakibatkan aku harus kehilangan fungsi kedua kakiku. Sebuah harga yang teramat mahal. Namun, semua itu akan dapat kulalui dengan tenang seandainya keberadaan dewi-ku benar nyata adanya. Tiga hari lamanya ia selalu datang. Sosok itu. Wajah itu. Kehadirannya menimbulkan rasa damai dan sekaligus pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Dan kulalui hari-hariku dalam kesunyian.

Satu minggu telah berlalu. Aku telah menguasai seni bermain dengan sahabat baruku. Ada sedikit rasa senang yang menguak. Paling tidak kini aku tak lagi terkurung dan tergantung pada kehadiran orang lain. Kami tengah bermain. Berputar putar mengelilingi ruangan tempat jasadku terpenjara saat mereka muncul. Empat orang pria berseragam coklat hadir mengusik kesenanganku. Salah seorang dari mereka menghampiriku. Menghujaniku dengan serangkaian pertanyaan yang tidak kumengerti. Aku tetap dalam keheninganku. Biarlah sorot mataku yang menjawab semua pertanyaan mereka. Aku berpaling. Kembali ke dalam dunia kecilku. Kembali bersama dengan sahabatku. Berdua bermain dalam kungkungan jasad manusia yang lemah ini.

Hari demi hari berlalu. Luka yang menghantui diriku telah mengering. Meninggalkan bekas yang tak akan pernah terhapus dalam sejarah hidupku. Terdengar suara berderit di belakangku. Suara gerbang besar yang menghubungkan duniaku dengan dunia luar. Seorang wanita berambut emas datang diikuti oleh beberapa malaikat dengan seragam putih-putihnya. Ia menghampiriku, memeriksa diriku. Kubiarkan ia melakukannya. Kutatap bola matanya yang biru dalam-dalam, tetapi mulutku terkunci. Dan kulalui hari hariku dalam kebisuan.

Ruangan itu penuh dengan kepala-kepala yang berambut pendek diatas badan-badan tegap terbungkus warna hijau. Aku terdiam di tengah-tengah ruangan bersama sahabatku. Ada beberapa wajah yang kukenal, namun tak kulihat dirinya. Venus, where are you? Batinku. Tak kudengarkan celotehan para jagal dalam seragam hitamnya. Tak kupedulikan suara ketukan palu yang terus-menerus mendera telingaku. Mereka semua berbicara dalam dialek yang tak kumengerti dan aku tak peduli. Yang kuinginkan hanya satu. Aku ingin bertemu dengan Venus-ku.

Entah berapa lama waktu yang terbuang dalam monolog yang dimainkan teater keadilan di hadapanku. Tapi aku tak peduli. Jiwaku melayang jauh melintasi batas angan. Menggapai keabadian. Kehidupan yang pernah kukenal telah berakhir. Dan aku terdiam.

Riuh rendah suara memenuhi ruangan itu. Ada cemoohan. Ada ungkapan syukur. Ada ucapan selamat. Aku tak mengerti. Wajah-wajah keras dalam selubung hijaunya meninggalkan ruangan, tinggallah aku bersama sahabatku. Sendiri. Menanti dalam kesunyian.

Entah berapa lama aku termenung, sampai kurasakan kehadirannya. Kehadiran yang menimbulkan rasa hangat di jiwaku saat kurasa tangannya menyentuh bahuku. Dan aku tahu bahwa ia telah datang. Venus. You're here at last. Roda-roda kecil berputar membawa jasadku ke hadapan kekasihku. Begitu banyak pertanyaan yang tersimpan. Begitu dalam hasrat yang terpancar lewat tatapannya. Aku terpana. Wajah ayu itu tampak lebih kurus. Matanya yang dulu berkilau-kilau penuh harapan, kini nampak kusam dan kehilangan binarnya. Namun ia masih tersenyum. Seulas senyum yang menghadirkan harapan baru. Membangkitkan gelora dan menghadirkan keinginan untuk menyatu kembali dengan dunia. Bibir-bibir indah itu bergerak dan aku terpesona. Nada-nada indah yang mengalun dari mulutnya mengantarkanku ke ambang nirwana. Usai sudah penantian panjang yang kuderita. Hangat kurasakan di pipiku saat kami bersatu. Ia menangis. Entah mengapa, tapi ia menangis. Aku terdiam tak tahu harus berbuat apa. Dan kupererat dekapanku.

Pagi menjelang. Dengan agak malas kubuka kedua mataku, dan kulihat wajahnya yang indah tersenyum mesra. Aku tertunduk malu. Venus, entah untuk berapa lama aku berada di sini dan selama itu pula ia selalu berada di sisiku. Memberiku semangat dan dorongan. Namun, aku tahu ada bara yang telah padam dalam dirinya. Tatapan mata indah yang dulu begitu kunantikan. Begitu kurindukan telah padam. Api itu telah redup. Seakan eksistensinya di dunia ini tergantung sepenuhnya pada sesuatu yang tak kumengerti. Namun, bibirku memilih untuk diam tak bertanya. Ada sesuatu diantara kami yang mengikat. Sesuatu yang menghubungkan kami dalam keabadian yang mulia. Sesuatu yang kuharap takkan pernah padam.

Hari ini aku akan menjalani fisioterapiku. Aku telah memutuskan untuk kembali melangkah di atas kakiku sendiri. Perlahan aku bangkit dan menggiring tubuh kaku ini ke atas kursi roda yang menerima dengan penuh rasa ikhlas. Aku tersenyum saat Venus membawaku keluar dari ruangan yang kini telah kuanggap menjadi milikku. Nada-nada riang dari suaranya membantu membuatku kembali ceria. Dan untuk pertama kalinya sejak peristiwa itu aku tertawa. Tertawa lepas yang berasal dari hati. Hancur sudah kebekuan yang selama ini membatasi kami. Kebekuan yang kubangun dari benih-benih amarah dan kebencian tergantikan oleh kehangatan beralaskan karpet merah bertahtakan cinta dan kehangatan.

Meja makan di tengah ruang telah diisi oleh dua sosok setengah baya. Sosok seorang lelaki dan wanita yang tersenyum melihat kehadiran kami. Mereka menyapa hangat yang kubalas dengan senyuman dan sedikit canda. Betapa beruntungnya diriku mendapatkan mereka, sementara aku ditolak oleh lingkunganku hanya karena aku sedikit berbeda. Tapi biarlah, semua itu telah berlalu dan kini kumulai hidup baru dengan kehadirannya disisiku.

Venus, ia dengan setia menunggu setiap detik fisioterapiku, memberiku semangat, membantuku menghadapi galaunya rasa kecewa yang kadang melanda sehingga pada akhirnya aku kembali dapat berjalan, walaupun tertatih-tatih, dengan kakiku sendiri. Kemenanganku hari itu dirayakan dengan sebuah pesta kecil dan kuucapkan selamat tinggal pada sahabat setiaku, yang kini harus puas menerima nasibnya teronggok tak berdaya berselimut debu di salah satu sudut kamarku. Dan aku tersenyum, menatapnya. Ada binar bahagia terpancar disana. Ada hangat yang kurasakan merambat pelan ke sekujur tubuhku. Membasahi jiwaku. Ada pengabdian yang terbaca disana. Dan kulihat bara api yang dulu sirna, perlahan kembali menyala dalam sorot matanya yang indah.

Beberapa bulan telah berlalu sejak peristiwa itu. Kini aku telah kembali berada dalam kondisi prima, walaupun kadang rasa sakit itu masih datang. Sering kali diam-diam kuelus bekas luka yang ada di perutku, dan berterima kasih kepada-Nya atas semua nikmat yang telah diberikan kepadaku. A blessing in disguise. Dan aku tersenyum bila mengingat semuanya. Pendidikanku yang sempat terhenti telah kulanjutkan kembali. Hidup berjalan seperti semestinya. Kuyakini diriku bahwa aku akan sanggup menghadapi semua rintangan selama dirinya bersamaku. Hari-hari yang kami jalani penuh dengan kehangatan. Dan saat itu aku merasa benar-benar hidup.

Hari itu tiba. 12 Pebruari di tahun 1993. Sebuah hari yang kuyakini sebagai saat pertama aku menjenguk dunia. Seperti yang biasa kulakukan, hari itu aku ingin menghilang untuk merenung. Sekedar me-review langkah-langkahku dalam menjalani hidup ini, namun sepucuk kertas merah muda yang diselipkan di atas meja kecil di samping peraduanku, membuat aku mengurungkan niat tersebut. Sepucuk surat dengan lukisan hati bertahtakan tinta emas, membuatku tersenyum. Betapa tidak? Belum pernah ada orang yang mengingat hari kelahiranku dengan cara seperti ini. Kembali kurasakan ada hangat yang mengalir mengisi relung hati ini. Dan kuterlena dalam hangat buaiannya.

Malam datang menjelang. Istana kecil tempat kuberdiam selama ini tampak sunyi. Namun, ada kehangatan dibalik dinding-dindingnya. Kusapa para penjaga yang dengan setia menjalankan tugasnya sebelum kumasuki pekarangan itu. Dan aku terkejut menyaksikan pemandangan yang terpampang di hadapan kedua mataku.

Seluruh ruangan dipenuhi oleh cahaya lilin yang menari-nari dalam keremangannya. Ruangan itu dihiasi oleh segarnya wewangian bunga mawar. Aku terpana. Tak mampu bergerak. Suasana malam itu begitu indah untuk dilukiskan dengan kata-kata. Lirih terdengar lagu-lagu cinta mengalun lembut mengisi suasana. Dan kulihat ia datang menghampiriku. Venus. Dalam balutan gaun malam hitam yang semakin menambah keindahannya. Rambut hitam yang sehari-hari dibiarkan tergerai lepas menutupi lehernya yang jenjang malam ini terangkat menampilkan keindahan leher dan bahunya. Senyum dari bibir merah itu semakin membuatku terpana.

Hati ini berdesir saat ia mengecup kedua pipiku. Mengucapkan selamat ulang tahun. Jemarinya yang lentik mengapai tanganku membawaku melangkah ke kamarku. Venus. Aku terdiam tak mampu bicara. Kuikuti seluruh gerakannya. Kunikmati seluruh gerak bibirnya saat ia berkata. Kucoba untuk menyelami setiap nada dalam suaranya. Dan saat ia melangkah ke luar kamarku, aku masih terpersona oleh bayangnya. Venus. Apakah maksud dari semua ini, pikirku.

Kubersihkan diriku dalam kucuran air hangat dari shower. Kurasakan seluruh tubuhku memberikan respons. Kesegaran itu muncul kembali. Saat aku beranjak dari shower untuk mengeringkan tubuh masih tergiang di telingaku akan ucapan-ucapannya. Dan hatiku berdesir.. Ada getaran asing yang kurasakan membelai seluruh indraku. Dan aku menikmatinya. Kukenakan pakaian yang telah disiapkan di ujung tempat tidurku. Sebuah kemeja putih dari bahan satin dengan paduan celana panjam hitam. Hmm.. Belum pernah aku melihat pakaian ini sebelumnya. Kukenakan sepatu hitamku, dan kusisir rambutku. Aku tersenyum menatap sosok diriku yang lain di dunia sana. Sosok yang menggambarkan seorang pemuda yang tidak dapat dikatakan jelek. Bola mata birunya berkedip dan bibirnya mengulaskan seuntai senyuman. Ada hasrat yang melanda. Kukedipkan kedua mataku mencoba untuk membuang semua angan itu. Dan aku melangkah keluar ke dalam tebaran cahaya lilin.

Venus. Ia tersenyum menatapku. Menarikku ke dalam dekapannya lewat tatapan. Aku bertanya mengapa? Dan dijawabnya dengan derai tawa khasnya yang manja. Derai tawa yang dahulu telah membuat diriku tersihir saat pertama berjumpa dengan dirinya. Dan aku pun tersenyum. Malam terasa begitu indah. Enggan rasanya bagiku untuk mengakhirinya.

Ditengah cahaya lilin itu kami bercanda. Tertawa. Bercerita tentang segalanya. Tentang harapan. Tentang kenangan. Tentang kepedihan dan tentang cinta. Entah berapa lama kami bercanda, dan aku bahkan tak sadar siapa yang memulainya. Yang kusadari adalah bibir-bibir kami saling bertemu, lidah kami saling mengait, ingin memuaskan dahaganya. Dan aku terlena dalam buaian kehangatan malam itu. Ada desahan lirih di bibirnya saat kukecup leher jenjang itu. Kuhirup dalam-dalam wangi tubuhnya. Venus. Didekapnya tubuhku erat-erat. Ada permintaan yang kubaca disana. Ada hasrat yang terpancar diantara spektrum pelangi yang terpantul dalam bola mata indah itu. Kutatap matanya yang sayu dengan penuh tanya. Pertanyaan yang dijawabnya dengan satu kecupan lembut di bibirku. Satu kecupan yang menjawab semua tanya dan menghapus semua keraguan. Dan aku mengerti.. Aku mengerti apa yang diinginkannya.

Pasir putih dan angin pantai. Pemuda berbaju besi berlari dengan gadis molek bergaun putih dalam gendongannya. Menelusuri garis buih-buih yang terhempas ke tepian. Tawa kecil penuh keriangan terdengar dari bibir gadis. Kebencian dan kesedihan yang menyatu dalam dirinya dan membuatnya bisu akan kata-kata sudah sirna. Dekapan kehangatan dan kemesraan pemuda berbaju besi menyapu awan-awan kelabu itu. Pemuda berhenti dan meletakkan tubuh gadis di atas pasir. Kepalanya menunduk dan mengecup mesra bibir gadis.

"Aku mencintaimu. Sekarang, selamanya."
"Tapi aku.."
"Apa adanya."

Gadis molek bergaun putih membiarkan bibir pemuda berbaju besi melumat bibirnya. Pasir putih dan angin pantai menjadi saksi dua tubuh yang saling menggapai kecintaan itu. Erangan, desahan, dan rintihan menyatu dengan debur ombak dan desau angin. Pemuda bercinta dengan si gadis bagaikan di alam mimpi. Sentuhan demi sentuhan, tekanan demi tekanan. Gadis merintih memuncakkan kenikmatan. Pemuda tersentak, mengejang dan terkulai. Matahari yang semakin tenggelam dan langit yang menghitam tersenyum dan tertawa riang. Tiang api turun dari angkasa, membelah langit, bergemuruh dan memamerkan eksistensinya. Gadis molek bergaun putih tersenyum dan terharu. Pemuda berbaju besi mengecup pipi gadis dan menatap tiang api yang perlahan membuyar.
"Ternyata Kau masih di atas sana.."

Somewhere in Jakarta, 1995

Tanah itu masih merah. Masih basah. Ciri khas tanah yang baru digali. Sebuah gundukan tanah merah dengan batu nisannya. Sebuah nisan batu pualam dengan ukiran sebuah nama di sana. Sebuah nama yang akan selalu terkenang. Seorang lelaki muda berambut panjang berpakaian hitam-hitam berdiri terpaku di hadapan nisan itu. Seorang lelaki yang datang dengan penuh harap hanya untuk menemukan bahwa harapan itu telah sirna. Hancur bagaikan debu yang tertiup angin lalu. Venus. Selamat jalan kekasihku. Sang pria berlutut. Sebuah cincin bermata berlian diselipkannya di antara tanah merah itu. Dan ia berbalik. Melangkah menuju matahari yang terbenam.

Tamat