The Angels - 2

Suasana kembali terang benderang, jeritan klakson mobil terdengar bersahutan di jalan besar di ujung lain lorong kumuh ini. Aku dan Eric berjalan meninggalkan kawasan itu.
"Siapa tadi itu?" tanya Eric padaku, sambil matanya tetap menunduk ke bawah.
"Death." jawabku singkat, "Aku berhutang satu nyawa padanya sampai besok pagi."
"Oh.. dia yang.." Eric ragu.
"Ya. Dia yang mengirimkanmu ke kamar kerjaku semalam." jawabku menjelaskan, "Dan mengembalikanmu ke sini sama saja dengan berhutang padanya."
"Eh.. terimakasih.. tapi kenapa?" terdengar nada bingung Eric lagi.
"Sebaiknya cepat selesaikan apa yang menurutmu belum selesai!" jawabku, "Waktumu terbatas!"
Sejenak langkah kami terhenti di depan etalase sebuah toko karena percakapan itu. Aku melirik ke kaca etalase itu, mengamati bayangan wajahku hingga Eric ikut melihat ke kaca. Ketika Eric menengok kembali ke arahku, ia tidak menemukan siapa-siapa lagi.

Cindy, gadis muda itu tampak gembira sekali bergoyang mengikuti irama house music di kamarnya. Rambutnya yang dicat kemerahan dengan lemasnya terurai-urai mengikuti gerakan kepalanya. Kaos pendek merah muda dan celana dalam yang melekat di tubuhnya jelas tidak mampu menyembunyikan lekuk liku indah tubuhnya. Di depan cermin riasnya ia berdiri sambil terus bergoyang. Tampak pinggulnya yang ramping itu bergoyang sensual, bahu-bahunya terangkat bergantian, sesekali leher jenjangnya menengadah ke atas sambil matanya setengah terpejam. Membuat pria manapun akan menggerakkan jakun, menelan liur menyaksikan gerak-geriknya. Tetapi memang tidak ada siapapun di kamar tidurnya. Kamar tidur yang dindingnya dipenuhi oleh poster-poster artis pria terkenal, dengan sebuah meja kerja berwarna putih penuh dengan tumpukan kertas-kertas kerja dan majalah-majalah mode. Di sisi meja belajar mungil itu tergolek sebuah keranjang sampah biru tua yang kontras dengan seisi ruangan yang bersih dan ceria. Di dalamnya, di antara tisu bekas dan sejumlah pembalut wanita itu teronggok beberapa lembar foto. Foto Cindy berpelukan mesra dengan seorang pemuda tampan.

"Cindy!" terdengar suara seorang wanita dari luar pintu kamar, namun tertelan oleh berisiknya dentuman house music.
Cindy terus bergoyang di depan cermin rias. Dengan fantasi yang melambai-lambai ke angkasa. Sampai seluruh keceriaannya terhenti ketika jari telunjuk ibunya menekan tombol stop di BoomBox CD Player di sudut kamar.
"Eh.. ada apa, Ma?" tanya Cindy dengan wajah agak jengkel.
"Udah mau kawin kok masih kayak anak kecil!" gerutu ibunya jengkel, "Ditunggu Neo tuh!"
"Kak Neo!" Cindy agak kaget, "Dia udah siap rupanya?"
Cindy segera meraih celana jeans yang tergantung di balik pintu, mengenakannya, dan berlari keluar kamar, meninggalkan ibunya yang menggelengkan kepala dan mengurut dada menyaksikan ulah anaknya.

Ibu setengah baya itu dengan ikhlas dan sukarelanya memunguti kertas-kertas dan majalah yang terserak di lantai kamar putri bungsunya. Sampai kemudian ketika ia hendak meletakkan segenggam tisu kotor ke tempat sampah, ia melihat beberapa lembar foto di situ. Kembali ibu itu menggelengkan kepala sambil mengurut dada. Mungkin sebuah penyesalan, bisa juga sebuah kekhawatiran. Khas seorang ibu.

"Ini bukan waktunya untuk kembali ke rumah atau menelpon teman-teman!" pikir Eric sambil mempercepat langkahnya.
Sepatu ketsnya yang sudah butut dipaksa bekerja keras mengantarkan pemiliknya. Sengatan panasnya matahari menyempurnakan penderitaan pemuda itu, ditambah dengan sesaknya udara oleh asap dari mobil yang lalu lalang di jalan raya itu. Pemuda itu sempat bingung mengingat apa yang baru terjadi semalam. Saat ia berkencan dengan kekasihnya tercinta, lalu dua orang pria tidak dikenal, mengacaukan kencan itu. Tergambar lagi dengan jelas saat kedua pria itu menghajarnya di sebuah lorong sempit hingga tidak berdaya, sampai muncul seseorang lagi, yang tidak begitu jelas terlihat wajahnya, menghampiri dan menyelesaikan semuanya dengan sabetan sebuah pipa besi ke kepala.

"Ah.." kekasihku dalam bahaya!
Pikiran itu terus berkecamuk di otaknya. Namun apa yang harus dilakukannya kini? Kemana ia harus mencari kekasihnya itu? Kalau menemukannya saja tidak mampu, bagaimana ia hendak menolong?
"Cobalah main ke rumahnya!" terdengar bisikan kecil di hati Eric. Ia segera melangkahkan kaki dengan cepat ke arah rumah kekasihnya.

"Apa maksudmu memberi tahu dia?" tanyaku pada seorang teman yang duduk di atap sebuah pencakar langit.
"Itu hakku untuk menolong atau menjerumuskan." jawab temanku itu.
"Memangnya, apa yang kamu harapkan?" tanyaku lagi.
"Hahahaha!" tawanya yang macho terdengar nyaring, "Aku hanya memberinya petunjuk kecil, selanjutnya terserah dia!"
"Itu justru akan membuatnya mengulangi kesalahan dan tidak menyelesaikan masalah!" jawabku membantah.
"Hmm.. bidadari kecilku!" sapanya lagi, "Kesalahan, dosa, dan kematian adalah urusanku!"
Aku terdiam menyadari kebenaran kata-katanya.

"Tapi kesalahan yang baru kamu lakukan.." terdengar lagi kata-katanya, "Itu murni kesalahanmu! Bukan karena aku."
"Aku kan ingin menolongnya!" jawabku keras-keras karena angin di atap pencakar langit itu bertiup makin kencang.
"Tidakkah kamu tahu kalau Death marah besar?" jawabnya lagi, dengan nada menjengkelkan.
"Itu urusannya sendiri!" jawabku, "Dia hanya menjalankan tugas. Untuk apa marah?"
"Oh?" jawab temanku lagi, "Apakah mengembalikan pria itu kemari adalah wewenangmu?"
"Ya!" jawabku lantang, "Memang aku jarang melakukannya, tapi aku tahu mana yang benar mana yang salah!"
"Hahaha..!" terdengar tawa panjang dari temanku lagi, "Selagi ada aku, mana mungkin kebenaran akan muncul?"

Setelah hening sejenak, terasa temanku itu berdiri begitu dekat di belakangku. Aku berbalik menatap wajahnya. Wajah yang sangat tampan dan rupawan. Dengan rambut panjang sebahu yang lurus tergerai dan poni pendek belah tengah agak menyembunyikan matanya yang tajam dan dingin. Jas panjang berwarna hitam yang dikenakannya agak berkibar-kibar tertiup angin kencang di puncak gedung pencakar langit ini.
"Demon.." ujarku menyebut panggilannya.
"Ya, bidadariku?" jawabnya lembut.
Sorot matanya yang dingin dan tajam itu terasa begitu menghanyutkan. Jiwaku serasa terbawa ke awang-awang. Terasa kedua tungkai ini tidak mampu menahan berat tubuhku, aku melangkah mundur dengan gontai, Demon melangkah mendekat. Tiba-tiba Demon merentangkan kedua tangannya ke atas, dan kancing-kancing pada jas panjangku tiba-tiba terbuka mengikuti gerakan tangannya.

"Ohh," entah mengapa kakiku terasa lemas dan aku terjatuh berlutut di hadapan Demon yang segera menangkap bahuku, membaringkanku telentang di atap itu, menindih tubuhku sambil menatap dalam.
"Uhh.."
Demon tampak begitu tampan di hadapanku kini. Hanya dengan tatapannya yang tajam dan dingin itu, seluruh tubuhku seperti mendapat jilatan dan belaian seribu lidah.
"Uhh.." leherku, punggungku, pahaku dan, "Ohh.." dadaku, semuanya terasa dibelai dan dicumbu lembut oleh lidah-lidah yang tidak terlihat.
"Aduhh.." aku menggelinjang-gelinjang seperti cacing kepanasan di atas atap gedung berlantai lima puluh itu.
Keringat dingin mulai membasahi tubuh ini.
"Uhh.." mataku terpejam-pejam dan keningku berkerut menahan kegelian dan birahi yang kini memenuhi pikiranku.

"Ohh.. Demonn.. kamu apakan akuuhh?" rintihku memelas.
"Nikmati saja bidadariku." suaranya yang mengejek itu terdengar begitu jantan dan merdu.
Aku makin mabuk kepayang mendapatkan perlakuan begini. Ribuan lidah ini terasa seperti membuat tubuhku dipanggang di atas api nafsu yang membara. Aku menggeliat-geliat tidak mampu bertahan. Kedua puting susuku terasa mengejang kencang, buah-buah dadaku seperti diolesi oleh lidah hangat yang menggairahkan, tengkuk ini seperti dijilat-jilat mesra oleh seorang kekasih.
"Ohh.."
Demon sengaja menyiksaku. Ia tidak memberikan satu sentuhan pun pada kemaluanku yang kini menggelegakkan madunya dan berdenyut meminta perhatian.
"Uhh.." aku begitu terangsang dan pasrah di hadapan Demon, namun ia tetap berdiri tegak melipat tangan di depan dada sambil menatapku dalam-dalam.
"Oughh.." akhirnya tanganku mengusap sendiri kemaluanku.
Kutekan, kugosok, dan kuusap-usap, mengimbangi kenikmatan dari ribuan lidah maya yang terus menjilati sekujur badanku. Karena tidak lagi sabar, jari tengahku menyusup masuk, menyempurnakan kenikmatan ini. Demon mengerdipkan matanya, dan tanpa mampu kukendalikan, tiba-tiba hentakan keras menyambar tubuhku. Hentakan puncak kenikmatan yang membuatku kehabisan seluruh tenaga.

Hingga kini aku hanya bisa terkapar terengah-engah dengan tubuh penuh peluh. Menatap lemah Demon yang berjalan mendekat. Tampak ujung sepatu larsnya berada begitu dekat dengan wajahku kini.
"Hahaha.., Bidadariku!" uh, suaranya kembali menjengkelkan, "Kini tahukah kamu kalau tak ada yang mampu menahan godaanku? Godaan Iblis?"
"Ohh.." aku tidak mampu menjawab karena masih terbuai kenikmatan semu yang baru saja menyambarku.
"Hahaha.." terdengar tawa Demon lagi, panjang dan menggema.
Dengan mataku yang sayu dan pandangan yang kabur, kulihat Demon merentangkan tangannya sekali lagi, jas panjangnya yang hitam kini tampak mengetat, menampilkan sosok tubuhnya yang terbalut tonjolan otot liat. Wajah tampannya yang begitu dingin kini tampak menyeringai kejam menunjukkan sepasang taring panjang yang berkilau, dan sepasang tanduk kembali tampak menghiasi pelipis-pelipisnya.
"Uhh.." bentuk aslinya. Namun aku tidak mampu lagi melihat kelanjutannya, karena ia keburu menghilang. Meninggalkanku tergeletak terengah-engah di atas atap pencakar langit itu, dengan jas panjang kelabu kembali menutupi tubuhku.

Sebuah Beamer seri 5 berwarna merah metalik terparkir rapih di pinggir jalan sepi. Sebuah pohon kayu tua melindunginya dari terik matahari siang dengan bayangan dedaunannya yang agak rimbun. Kaca berlapis V-Cool menyulitkan orang untuk melihat ke dalam, meski dari mesin yang menyala dapat dipastikan ada orang di dalamnya.
"Berikan aku informasi terakhir dong." ujar Cindy pada seorang pria yang duduk di belakang kemudi.
"Ahh, Cindy.." jawab pria muda bertampang perlente itu, "Sebentar lagi semua akan beres!"
"Beres gimana kak? Yang detail dong!" desak Cindy sambil menyandarkan kepala pada bahu Neo, pemuda berambut cepak, berkulit putih yang tampak tidak sabar mengetuk-ngetukkan jari di roda kemudi.

"Dreampatcher Inc. akan segera diserah terimakan ke aku." jawab Neo, "Tentunya setelah rencana siang ini dijalankan dengan sempurna oleh teman-teman."
"Semudah itukah?" tanya Cindy lagi.
Jemarinya yang lentik bermain di pangkal paha Neo yang terbungkus celana jeans hitam.
"Ya!" jawab Neo dengan girang, "Sejak pengganggu utama disingkirkan, semuanya begitu mudah."
"Pengganggu utama?" tanya Cindy ragu, "Maksud kamu..?"
"Tunanganmu itu." jawab Neo ketus namun ringan, "Hidungnya selalu mengendus semua rencana kita."
"Oh, si Eric?" bisik Cindy di telinga Neo, "Dia sih sok hati-hati aja, Neo."

Tangan Neo menggenggam tangan Cindy yang masih meremas-remas tonjolan di tengah selangkangnya dan mencium punggung tangan gadis itu. Cindy tersenyum renyah sambil menikmati kecupan itu.
"Yah, mungkin aja," ujar Neo meletakkan telapak tangan Cindy kembali ke tempatnya semula, "Tapi teman-teman sudah meyakinkan kalau dia ngga akan ganggu kita lagi."
Terdengar tawa cekikikan kedua kakak beradik itu, untuk beberapa saat kemudian berganti dengan erangan-erangan lirih. Cindy menidurkan sandaran joknya, membiarkan Neo dengan rakus menjalankan lidah menelusuri leher halusnya. Jemari Neo menyibakkan rambut Cindy yang kemerahan dan menggelitik telinga gadis itu dengan lidahnya. Cindy hanya sedikit meronta sambil bergaya malu-malu. Perut langsingnya yang mengintip melalui celah di bawah kaos pendeknya terasa hangat ketika lidah Neo mulai bermain di sana. Lebih hangat dan nyaman lagi ketika kaos itu perlahan tersingkap ke atas. Ke atas lagi. Ke atas lagi. Hingga kini Neo dapat melihat sepasang bukit kembar yang putih mulus dengan lingkaran kecoklatan di puncaknya, juga tonjolan kecil yang begitu menantang menghinggapi kedua lingkaran itu.

"Hm.. indah sekali," bisik Neo, "Inilah yang dibanggakan Eric selama ini, rupanya."
"Hihihi." Cindy tertawa geli mendengar pujian Neo, "Seperti perusahaan papa, ini semua akan jadi milik kamu."
"Apa maksudmu akan, eh?" goda Neo sambil mencolek putik coklat yang kanan.
"Ihh, geli dong, Neo!" Cindy memekik kecil.
Pekikan kecil itu kembali terdengar beberapa kali sebelum akhirnya berubah menjadi desahan-desahan panjang yang terdengar memelas saat Neo meletakkan putik mungil itu di antara kedua bibirnya dan mulai melumat-lumat ringan.

Bersambung . . . .