First time at the new office

Awal tahun 1997. Karena situasi krisis moneter yang tidak kunjung usai, maka perusahanku terpaksa harus melakukan penghematan di semua lini. Salah satu keputusan yang diambil oleh Direksi adalah kantorku terpaksa harus pindah dari lokasi segitiga emas ke daerah lain yang lebih murah. Setelah melakukan beberapa pertimbangan dan proses yang melelahkan, kini kantorku menempati sebuah ruko kecil di daerah Jakarta Utara. Tentu saja lay-out interior kantorku yang sekarang tidak semewah dahulu, selain itu kami pun juga harus sedikit mengorbankan privacy kerja. Ruang kerjaku dan ruang kerja Santi tidak lagi bersekat sehingga bisa saling melihat. Di samping lebih murah, juga lebih gampang berkomunikasi.

*****

Sejak kejadian terakhir dalam 'proposal yang tertunda' itu (Baca: Eksanti, Proposal yang Terunda 1, 2, dan 3) itu, hubunganku dengan Eksanti telah menjadi akrab kembali, setelah sebelumnya sempat sedikit menegang gara-gara 'cerita si manajer' itu kepadaku (Baca: Eksanti. The other Manager 1,2 dan 3)

Hari itu Kamis tanggal duapuluh dua April, hari itu Eksanti mengenakan baju kaos hitam ketat yang dibalut dengan blazer berwarna biru. Eksanti mengenakan rok mini warna hitam dengan motif bunga kecoklatan yang senada dengan warna kaosnya. Rambutnya yang terurai basah ia ikat dengan bando mutiara, sementara sapuan makeup tipis meronai wajahnya. Hari itu adalah hari pertama kami menempati meja-meja yang baru dipesan dan posisi tempat duduknya tepat diagonal berseberangan dengan tempat dudukku.

Sesekali aku melirik kearahnya yang lagi asyik mengetik, dan entah mengapa pandangan mataku senantiasa terpaku pada kakinya yang panjang dan indah itu. Sesekali betisnya terlihat jelas olehku ketika rok pendek yang ia kenakan tersingkap. Tanpa disadari, Eksanti seringkali menyilangkan kaki jenjangnya itu, dan setiap kali Eksanti melakukannya aku selalu memperhatikannya. Sungguh aku bisa menyaksikan urat nadinya yang berwarna hijau kebiruan itu menghias indah kontras sekali dengan warna putih pangkal pahanya. Fikiranku melayang jauh.. seandainya aku bisa mengelus lembut dirinya saat itu, seperti apa yang pernah kami alami.. dulu "Occhh..", aku cuma bisa menghela nafas panjang.

Saat Eksanti sedang membereskan tumpukan file di atas meja barunya, tiba-tiba, braakk.. setumpuk file yang semula berada di atas mejanya jatuh berserakan di lantai.
"Wauuwww..", Eksanti berteriak kaget, dan akupun ikut terkaget karena kejadian itu.
Aku melihat kekesalan di raut wajahnya, sementara suhu ruangan kami yang tidak terlalu dingin, membuat dirinya merasa makin kepanasan karena harus bekerja keras merapikan file-filenya.
"Panas sekali yaa.. Mas", Eksanti berujar pelan sambil melepaskan blazer warna birunya.

Aku mengangguk mengiyakan sambil melirik ke arahnya, sehingga terlihat dengan jelas olehku lengannya yang putih mulus, dan lehernya yang jenjang dengan tahi lalat kecil di dekat pundaknya. Bayang-bayang indah tubuhnya yang langsing tetapi padat berisi itu, semakin melekat jelas dibalik kaos dan roknya yang ketat itu. Guratan tali bra yang menutup erat dua gundukan kenyal di dadanya makin nampak jelas, dan semakin jelas ketika ia menggeliatkan tubuhnya.

"Hmm..", aku menarik nafas panjang menyaksikan pemandangan yang sangat indah itu.
Eksanti berdiri lalu berjongkok di depan mejanya untuk membereskan file yang tadi berjatuhan. Kakinya yang panjang dan indah semakin menggoda perasaanku, terlebih pada saat Eksanti sedang menunduk untuk membenahi file yang masih berserakan di bawah mejanya. Rok pendeknya kembali tersingkap dan kaos ketatnya tercabut dari roknya sehingga menampakkan sebagian perut dan pinggangnya.

Sementara kejadian itu berlalu, mataku terpaku erat pada pemandangan indah disekitar pangkal pahanya dan tiba-tiba darahku berdesir keras saat Eksanti memergokiku sedang menikmati pemandangan indah itu. Akupun salah tingkah dan ketika kembali aku melirik ke arahnya, aku melihat Eksanti yang tersipu malu.

Ketika Eksanti selesai mengangkat kembali file ke atas mejanya, Eksanti kembali duduk di kursinya sambil sekali lagi menyilangkan kaki panjangnya. Aku lalu mendial komputernya melakukan chatting untuk meminta maaf kepadanya karena perbuatanku yang lancang itu.
"Maaf yaa.., tadi Mas sampai takjub ngelihatin Eksanti".
"Nggak apa-apa kok Mas, abis emang roknya yang salah sih.. kependekan", begitu candanya menjawab pernyataan maafku.
"Kalau nggak apa-apa, Mas boleh ngelihat lagi dong..", aku balik memohon.
"Jangan ahh.. nanti ketahuan orang lho.. bahaya..", jawabnya sambil sedikit beringsut dari tempat duduknya sehingga kembali aku menyaksikan singkapan pahanya yang putih mulus itu.
Hmm..sekali lagi aku menarik nafas panjang menahan gejolak perasaanku.
sambil kutulis "San.., Mas nggak tahan..".
"Hmm.., nggak tahan pengin ngapain sih Mas?", Eksanti menggodaku.
"Nggak tahan pengin meluk kamu..", aku membalas candanya sambil aku tolehkan pandangan mataku ke arahnya.

Saat itu Eksantipun menatap ke arahku, dan pandangan mata kami bertemu. Darahku kembali mengalir deras, terlebih ketika Eksanti menggodaku dengan cara membasahi bibir tipis itu dengan lidahnya, dan akupun membalasnya dengan mengedipkan sebelah mataku.
"Mas, lagi mbayangin apa sih", Eksanti bertanya kepadaku melalui komputernya.
"Achh.. nggak, aku cuman mbayangin Eksanti lagi maem pisang", aku membalas candanya.
"Hee.. hee.. hee.., Mas porno dech", Eksanti balas menjawab.
Aku semakin tidak tahan menahan gejolak perasaanku.
Lalu aku berkata kepadanya, "Santi, Mas mau out dulu yaa.. mau ke kamar kecil.
"Iya deh, baru segitu aja.. out", Eksantipun membalas sambil meledekku.

Lalu aku beringsut dari tempat dudukku dan sebelum aku menuju ke kamar kecil sengaja aku berjalan ke arah belakang tempat duduknya. Jantungku berdegup keras, dan dengan tanganku yang masih bergetar aku sibakkan rambutnya yang hitam dan wangi itu, lalu aku mencium dengan lembut tengkuk lehernya.. lembut sekali. Rambut-rambut halus di atas tengkuknya terlihat jelas olehku dan bau harum parfumnya itu begitu menusuk hidungku. Eksantipun menggeliat pelan sambil dengan cepat tangannya berusaha menahanku.

"Jangan Mas, please.. nanti dilihat orang", begitu katanya. Tetapi tanpa disengaja ujung jemarinya justru tertahan pada batang kejantananku sehingga benda yang sedari tadi telah keras itu, kini jadi semakin mengeras. Dengan refleks, jemarinya meremas kejantananku dengan lembut. Aku memejamkan mataku, dan lima detik kemudian Eksantipun baru tersadar pada kejadian itu.
Eksanti lantas tersipu malu sambil berkata "Maaf, Mas.. Santi nggak sengaja.."
Aku membalasnya dengan meremas mesra jemarinya sambil berkata, "Nggak apa-apa kok, Santi, lebih lama juga nggak apa-apa..", aku menggodanya sambil berjalan masuk ke kamar mandi dan menutup pintu.

Di dalam kamar mandi aku membuka celana dan menurunkan celana dalamku lalu aku mendekap erat kejantananku membayangkan apa yang baru saja aku alami. Aku duduk di atas pinggiran bak mandi sambil tanganku meremasi kejantananku. Aku sedang mengkhayalkan remasan lembut jemari tangannya ketika tiba-tiba aku mendengar ketokan di depan pintu membuyarkan khayalan indahku itu.
"Mas.. lagi ngapain..?". Eksanti menyapa dari balik pintu.
Aku gugup dan menjawab "Nggakk.. nggak lagi ngapa-ngapain". Tetapi pintu kamar mandi yang tidak bisa terkunci itu telah terbuka dan Eksanti tersenyum melihat tingkahku saat itu. Aku masih terduduk di atas bibir bak mandi, sementara tanganku berusaha menutupi kejantananku yang mendongak kencang. Eksanti masuk ke kamar mandi dan menutup pintu.

"Mas aku bantuin yaa..", Eksanti berkata pelan sambil tangannya berusaha mendekap kejantananku.
Aku masih tergugup-gugup ketika Eksanti mulai berjongkok dan mengulum ujung kejantananku.
"Santi gemes deh sama yang ini, Mas..", Eksanti bergumam sambil menjilati lubang di atas kepala kejantananku dan terus memasukkan kejantananku yang panjang ke dalam mulut kecilnya.
Lidahnya menyapu-nyapu lembut disepanjang kejantananku menimbulkan bunyi yang semakin menambah nikmat birahiku, dan aku merasakan kejantananku semakin mengeras di dalam mulutnya. Aku meremasi rambutnya dengan kasar, Eksantipun mulai mengigit-gigit lembut kepala kejantananku, dan sesekali tangannya meremasi dua bolaku yang telah penuh oleh cairan nikmatku.
"Ochh Santii.. Mas enak sekali.. ", aku mengerang-erang sambil mengusap-usap kepalanya, dan Eksanti semakin mempercepat irama kulumannya.. semakin lama semakin cepat..
"Occhh.. Santii.. ochh..", aku menahan rasa geli nikmat, dan ketika puncakku hampir tiba, dengan cepat aku mengangkat kepalanya.
"Santi, jangan sekarang yaa.. please, sekarang gantian Mas yaa.."
Eksanti tersenyum dan melepaskan kulumannya dari kepala batang kejantananku, sambil mengecup mesra ujungnya.

Lalu Eksanti berdiri merapat di dinding kamar mandi, matanya terpejam dan bibirnya terkatup rapat menahan rasa geli dan nikmat akibat rabaan jemariku pada kedua tonjolan di dadanya. Aku meremas-remas pelan kedua tonjolan yang mulai mengeras itu, dan Eksantipun mendesah-desah penuh rasa nikmat yang luar biasa.
"Sshh.. shh.. enak Mas.."

Bibirku mengulum-ngulum lembut bibirnya, dan Eksantipun membalasnya dengan pagutan pada leherku. Tanganku menarik dengan lembut putingnya yang panjang merah kecoklatan dan telah mengeras, dan Eksanti menggigit lembut leherku dengan meninggalkan warna merah tua disekujur leherku. Lidahku menjilat-jilat lehernya pelan sekali.. lembut sekali.. lalu turun kearah putingnya yang kiri.. aku kulum-kulum.. lalu yang kanan. Mulutku terus mengulumi puting payudaranya yang semakin mengeras dan Eksanti tertawa geli bercampur nikmat.

"Ochh.. Santi enakk.. Mass..", Eksanti mendesah lembut.
Sesekali aku menggigit putingnya dengan lembut dan Eksanti mendesis-desis menahan rasa geli yang semakin menjadi-jadi.
"Ochh.. ochh..". Kemudian bibirku turun ke arah lubang pusarnya dan aku mencium serta menjilati perutnya yang putih itu. Eksanti menggeliat pelan sembari meremas-remas rambut kepalaku, saat tanganku menyibakkan roknya. Ketika aku berhasil melepaskan roknya, terlihat celana dalam warna kremnya yang berenda-renda indah membalut ketat kewanitaannya yang telah membasah, dan rambut hitamnya samar-samar terbayang jelas dibalik celana dalam indahnya itu.

Segera aku menurunkan celana dalamnya dengan menggigitnya ke bawah, lalu aku melumati bibir kewanitaannya. Bibir kewanitaannya yang merah terlihat jelas olehku dan lidahku menelusurinya berusaha mencari-cari tonjolan klitorisnya. Ketika aku menemukan ujung klitorisnya aku menjilatinya penuh rasa nikmat sembari menusuk-nusukkan jemari tengahku ke dalam lubang nikmatnya.
"Ochh.. Mass..", Eksanti berteriak pelan sambil menggigit bibir bawahnya.
Eksantipun semakin menggeliat ketika aku rasakan lelehan cairan nikmatnya deras mengalir keluar dan tiba-tiba badannya meregang sambil berteriak pelan, "Teruss.. Mas.. please.. teruskan Mas..".
Aku terus menusukan jemariku mengiringi datangnya rasa puncaknya yang pertama ..

Ketika lubang kewanitaannya telah semakin membasah, aku lalu berdiri dan langsung menusukkan kejantananku dari arah depan, sembari bibir kami beradu rapat. Bless.. aku mendorongkan tubuhku ke arahnya dan kejantananku semakin terbenam rapat di dalam kewanitaannya diiringi dengan rasa geli bercampur nikmat yang luar biasa. Bibir luar kewanitaannya yang menggelambir itu mengatup erat pada kejantananku, sementara dinding dalam kewanitaannya terasa enak memijit-mijit lembut ujung kepalanya. Plass.. plass.. plas.. aku semakin mempercepat irama tusukanku, sembari memutar-mutarkan pinggulku seolah-olah ingin menancapkan kejantananku lebih dalam lagi. Tangannya memeluk rapat buah pantatku dan berusaha mendorongnya ke arah tubuhnya, dan irama kita berdua semakin cepat dan semakin rapat, membuat aku semakin tidak kuasa menahan rasa nikmat pijatan-pijitan dinding kewanitaannya disepanjang kejantananku.

Tanganku meremasi ujung putingnya dengan lembut dan sesekali berpindah kearah belakang lehernya sembari aku kulumi bibirnya yang kecil itu. Lima menit berselang lalu tiba-tiba, "..Mass.., Santi enakk..", Eksanti berteriak pelan sembari meregangkan tubuhnya menikmati puncak rasa keduanya. Aku mempercepat tusukanku dan semakin cepat.. semakin cepat.. sembari bibirku mengigit-gigit bibirnya dengan lembut.
"Ochh.. Mass.., Santi.. enakk.." Eksanti melenguh panjang sembari memagut kembali leherku dengan keras.

Suhu udara di dalam kamar mandi itu semakin panas. Aku tetap memeluk erat tubuhnya, sembari menciumi peluh yang menetes deras di lehernya. Dengan segera aku membalikkan tubuhnya, dan tangannya lalu menumpu pada bibir kamar mandi. Dengan cepat aku menusukkan kejantananku kedalam lubang nikmatnya dari arah belakang. Aku menggesek-gesekan dengan cepat kejantananku di dalam lubang kewanitaannya.

"Achh.. Santii.., Mas juga enak sekalii..", aku mengerang-erang.
Tanganku memeluknya dari arah belakang, dan bibirku menciumi peluh yang meleleh di sepanjang leher dan sekujur punggungnya sembari jemariku tetap memilin-milin putingnya yang merah kecoklatan itu.
"Ayo Mass.. Santi ingin Mas.. juga enakk.., ayo Mas.. lebih cepat lagii..", Eksanti merintih-rintih sembari bibir bawahnya ia gigit rapat.
"Ochh.. Santii.., Mas mau keluarr..", aku berteriak sambil menggigit lembut telinganya.
"Ayo.. Mas.. kita sama-sama..", Eksanti menjawab dengan terengah-engah. Lalu tiba-tiba plashh.. plashh.. plashh.. (8x) cairan hangatku terhambur keluar dan masuk kedalam lubang kenikmatannya.
"Ochh.. Santii.., Mas.. enakk..", aku menjerit menikmati saat-sat puncakku sambil terus menancap-nancapkan kejantananku. Dan lima detik kemudian, tubuhnya meregang dan Eksantipun berteriak nikmat, "Mas.. Santi enakk.. sekalii..", dan akupun merasakan cairan nikmatnya meleleh deras dari kewanitaannya.

Kami berdua terkulai lemas, dan sebelum keluar dari kamar mandi aku peluk erat dirinya dan aku cium keningnya sambil berujar, "Terima kasih yaa.. Santi, sudah lama Mas nggak pernah merasakan yang senikmat ini."
Aku berusaha membantu merapikan pakaiannya dan Eksanti tersenyum lembut serta menjawab "Sama-sama Mas, Santi juga seneng kalau Mas enak.."
Lalu kami berkemas dan keluar dari kamar mandi itu untuk kembali bekerja seperti semula.

Tamat