Surat cinta anak SMA - 2

BAGIAN II
Kejadian Pada Tanggal-Tanggal Yang Sama Dengan Bagian I

1990
Kalianda, (Masa-masa SMA)

Rumput sekolah belum mengering ketika Dewa mendengar bel tanda istirahat berdering. Matanya lalu melirik gadis cantik yang duduk sebangku dengannya sejak kelas 1. Bergetar hatinya tiap melihat lesung pipit dan manis senyum teman dekatnya itu. Dewa hanya bisa menekan rasa cintanya terbenam jauh ke lubuk hati terdalam. Dewa tak mau si gadis menjauh jika dia mengetahui perasaannya. Selain itu Dewa juga sadar pelabuhan hati si gadis hanya Ryan, kakak kelas mereka. Si gadis sering bilang begitu padanya. Katanya Ryan juga suka padanya, hanya Ryan masih malu mengatakan.

Si gadis berdiri dari bangkunya lalu berjalan meninggalkan kelas menuju kantin. Mata Dewa terus mengikuti gerak tubuh yang kadang terguncang tertawa berderai bersama temannya. Tiba-tiba dia berbalik dan berteriak, "Dewaa..! Ayuk ikut ke kantin!" katanya sambil melambaikan tangan. Dewa pun beringsut mengangkat pantat, dilangkahkan kakinya menuju Dina. Hanya sesaat setelah mereka pergi, sebuah tangan dengan cepat memasukkan surat ke dalam tas Dina. Lalu melangkah pergi meninggalkan sebuah surat untuk Dina. Sebuah surat cinta!

1995
Bandung, (Dua Minggu Menjelang Pernikahan)

"Hallo Tuan Putri! Jadi kita kebut-kebutan?"
Dina tersenyum ketika Dewa sudah menunggu di pintu kerjanya tepat waktu. Sahabat setianya itu memang benar-benar baik. Kali ini kesediaannya mengantar Dina ke percetakan sangat membantu. Dia harus segera mencetak undangan pernikahannya. Toni sendiri sedang sibuk mengawasi proyek sampai nanti sore. Beriringan mereka mengayunkan langkah sampai di pelataran parkir gedung.

"Berhasilkah kau mengikis keresahan tentang pernikahanmu? Bagaimana dengan Ryan?" kata Dewa menjentikkan rokok yang terselip di jarinya. Dipicingkan matanya memandang pantulan cahaya matahari dari dinding kaca kantor. Dewa berharap ada keraguan dalam nada bicara Dina. "Entahlah! Sayup terdengar hatiku berbisik. Pelan sekali. Aku sendiri tidak bisa mendengarnya," mereka lalu terdiam sambil melangkah menuju tempat parkir. "Itu sabuk kamu lepas!" kata Dina melihat sabuk Dewa yang copot. Tangannya meraih sabuk Dewa dan mengikatkannya. Ditepis debu yang melekat di baju dan rambut Dewa. Lalu tangannya mengaitkan kancing atas kemeja Dewa yang terbuka. "Aduuhh! Gantengnya anak mama!" kata Dina. Tawa pun berderai dari bibir mereka. Dewa tahu Dina bercanda.

Dewa menaiki dan menstater motornya. Di antara bising suara motornya dan asap knalpot, Dina mendekap perut sahabatnya. Merasakan dekapan itu Dewa jadi cemburu kepada Toni, semua cinta di hatinya telah diberikan, dia bahkan bersedia melakukan apa saja untuk Dina. Sejak SMA sampai sekarang dialah yang selalu menemani Dina dalam suka dan duka. Tapi kini.. dia harus menyaksikan orang yang sangat dicintainya itu menikah dengan orang lain. Dewa benar-benar cemburu terhadap Toni.

Tak jauh dari tempat mereka berada, sebuah sorot mata mengamati mereka ditemani percik curiga di hati. Tenggelam dirinya dalam prasangka tak terjawab. Toni tersenyum miris menahan kepedihan dalam hati saat Dewa dan Dina menghilang dalam rapatnya debu asap kendaraan. "Sudah kuduga," katanya.

Bandung, (Satu Minggu Menjelang Pernikahan)

Dina terhenyak dari mimpi ketika dirasakan seseorang lelaki sedang mencumbu tubuhnya. Apakah ini Toni? Tapi.. mungkinkah dia senekat ini? Dibesarkan matanya agar mampu melihat dalam remangnya kamar.
"Dewa..?" kaget Dina memandang wajah sahabatnya.
"Ssshh.. nikmati saja," bisik Dewa setelah dia tahu Dina terbangun.
Dina merasakan kepiluan di hati menghempaskan dirinya dalam jurang kepedihan yang terdalam. Teman dekatnya yang dia percaya selama ini sedang menciumi bibirnya.

Dina coba menarik tubuhnya tapi tak bisa. Badan Dewa terlalu berat menekannya. Dewa makin berani, dia menggesekkan batang kemaluannya di bibir lubang kemaluan Dina. Tidak ada yang terasa di hati Dina selain goresan luka yang sangat dalam. Dina tidak menikmatinya sama sekali, bahkan merasa sesak karena dadanya tertekan oleh dada Dewa.

Dina ingin berteriak minta tolong, dia menjerit kecil ketika dirasanya kepala batang kemaluan Dewa sudah menusuk lubang kemaluannya. Dia ingin sekali berteriak, tetapi pita suaranya tak juga bergetar terhalang oleh rasa kasihan kepada sahabatnya jika seisi rumah terjaga. Dicoba mendorong tubuh Dewa. Tetapi percuma karena Dewa menggenggam erat pergelangan tangannya. Dia benar-benar sayang pada Dewa. Rasa sayang sebagai sahabat yang terlalu berlebihan membuatnya tidak tega untuk berteriak.

Dalam kepedihan dan nyeri di hatinya, Dina hanya bisa pasrah menerima desakan dan hujaman batang kemaluan Dewa di lubang kemaluannya. Sakit rasanya. Berulang-ulang dirasakan batang kemaluan itu keluar masuk bibir lubang kemaluannya. Dina merasa lubang kemaluannya terganjal oleh penuhnya batang kemaluan Dewa. Dina berusaha untuk menarik lubang kemaluannya menjauh tetapi tetap saja batang kemaluan Dewa mampu menerobos lubang kemaluannya. Setelah beberapa lama dirasakan semprotan cairan panas berkali-kali dalam rongga kemaluannya.

Dewa lalu bangkit meninggalkan dirinya. Pilu dan nelangsa menemani isak tangisnya ketika Dewa keluar dari jendela kamar. Dina terus menangis dengan kemaluan yang basah oleh sperma dan sedikit darah.

Jakarta, (Malam Pertama di Hari Pernikahan)

Ryan kembali menelepon bidadarinya agar datang ke rumah. Sudah seminggu dia tidak melihat wajahnya. Kangen sekali hati ini ingin melihat lesung pipit dan senyum manis di bibirnya. Wanita itu ditemuinya dua minggu yang lalu ketika dia sedang mencari bahan berita di daerah prostitusi. Pertama kali melihat, Ryan sungguh terkejut. Dia teringat akan gadis yang sangat dicintainya. Wajah mereka bagaikan pinang dibelah dua. Rasa kangen dan cintanya yang selama ini ditahan hadir kembali.

Rasa cintanya pada Dina memang sangat mendalam, hingga saat ini dia belum bisa menghapus keinginan untuk memiliki hati adik kelasnya saat di SMA itu. Sebuah kenangan yang selalu menghujam hatinya setiap ia teringat pada gadis itu. Ryan merasa beruntung ketika dia menemukan lagi bidadarinya itu, walaupun hanya replikanya.

Lonceng di kamarnya berdenting 8 kali ketika didengar pintu kamarnya diketuk. Bangkit Ryan ke arah pintu, dipandangi wajah wanita yang berdiri melempar senyum setelah dia membuka pintu kamarnya.
"Kamu benar-benar mirip dia. Kamu memang bidadariku," guman Ryan.
"Mau masuk nggak?" Ryan mendorong daun pintu kamar.
Di depan kamar dua orang temannya sedang duduk menonton TV.
"Jangan terlalu berisik Yan..!"
"Jadi pengen nih!" kata mereka sambil tersenyum.

Mereka lalu bercinta malam itu. Si wanita sambil tersenyum manis rebah telentang dengan posisi setengah mengangkang mempertontonkan seluruh anggota tubuhnya ke arah Ryan. Kedua buah dadanya yang terlihat penuh membentuk bulatan indah yang sempurna. Kedua puting payudaranya yang kecil berwarna coklat kemerahan mengacung ke atas menantang.

"Uoogh.." tanpa terasa mulut Ryan mendesah menahan ereksi, takjub menyaksikan keindahan bukit kemaluan si wanita. Belahan bibir kemaluannya yang merah walau sedikit kecoklatan terlihat sangat tebal. Bibir luarnya terbuka seakan memanggil-manggil Ryan untuk menikmati.

Si wanita tersenyum melihat batang kemaluan Ryan yang telah tegang, dan membuka kakinya lebih lebar. Terlihat bagian dalam lubang kemaluan yang merah dan basah. Ryan mendekat ke arah bukit itu pelan-pelan sekali sambil mengusap paha si wanita. Didekatkan lidahnya pada bibir lubang kemaluannya. Ryan mencium lembut bibir kemaluan itu, dijilati ujungnya, dan diputar-putarkan lidahnya. Terkadang dimasukkan lidahnya ke dalam rongga lubang kemaluan membuat rongga itu semakin berdenyu-denyut. Hal ini membuat nafsu Ryan semakin memuncak, lalu dia menggangkat badannya. Wajahnya mendekati wajah bidadarinya, dilihatnya wanita itu tersenyum.

Mereka berdua secara bersamaan melenguh nikmat saat kulit tubuh mereka saling bersentuhan dan akhirnya merapat dalam kemesraan. Batang kemaluan Ryan yang berdiri tegak bergetar saat menyentuh bukit kemaluan yang halus dan sangat empuk. "Bukit kemaluan bidadariku memang montok dan besar." Perlahan Ryan membuka kedua belah paha si wanita. Dengan lembut Ryan menyentuhkan, menyelipkan batang kemaluannya ke dalam bibir kemaluannya yang basah. Ryan berhenti sejenak ketika kepala batang kemaluannya masuk 1/4. Dia memejamkan matanya menahan nikmatnya perasaan saat itu. Perasaan luar biasa ketika kepala batang kemaluannya menggesek bibir lubang kemaluan si wanita. "Lagi Yan, masukin lagi..!" merengek dia ketika mengetahui Ryan menahan gerakannya. Ryan tentu saja akan melakukan hal itu. Dia lalu memajukan batang kemaluannya perlahan memasuki lubang kemaluan bidadarinya. "Ouugghh..!" Ryan melenguh ketika pangkal batang kemaluannya menyentuh lubang kewanitaan. Terasa seluruh batang kemaluannya digenggam erat di dalam lubang kemaluan. Ryan lalu memaju-mundurkan pantatnya. Dia menarik sampai sekitar 50 persen panjangnya, lalu menekan lagi hingga masuk semuanya. Ryan terus melakukan itu, sekarang dia mulai berani mengocok agak keras cepat.

Setelah beberapa lama, tiba-tiba, "Oougghh, oh.. oh.. oh. oh.." si wanita menjerit-jerit. "Ough.. terus Yan..!" digeleng-gelengkan kepalanya ke kiri dan kanan. Lubang kemaluannya semakin basah, dan meremas-remas batang kemaluan Ryan. "Uhh.. hu.. hu. huu.." terdengar suara si wanita seperti merintih, menahan nikmatnya sodokan batang kemaluan Ryan. "Yaan.. udah Yaan.. aku udah dapat!" teriaknya ketika merasakan orgasme, rongga kewanitaannya menjadi lebih berdenyut, seperti menggigit lembut batang kemaluan Ryan. Si wanita menaik-naikkan pantatnya agar batang kemaluan Ryan makin dalam mengisi lubang kemaluannya.

"Ouughh.. Yan.. Hiks.. hiks.. hu.. hu.." si wanita kembali merintih kenikmatan. Kedua tangannya meremas-remas pundak Ryan. Ryan tiba-tiba merenggut pantat si wanita, mencengkeramnya. Dihentak-hentakkan pantatnya ke bawah. Hal ini membuat gesekan antara batang kemaluan dan rongga lubang kemaluan makin cepat. Ryan terus melakukannya hingga pada hentakan terakhir ditekannya pantat lama sekali ke bawah. Tiba-tiba sang bidadari merasakan senjata Ryan semakin besar, Ryan mencapai orgasmenya. "Ooouughh.." Dia merasakan ada tembakan hangat di dalam perutnya. Lembut dan mesra. Semprotannya kencang sekali dan berkali-kali. Kira-kira tujuh atau delapan tembakan, badan Ryan mengejang, dan lalu lemas, lunglai, jatuh ke depan, menindih tubuh sang bidadari. Tubuh mereka berkeringat, basah sekali.

Malam itu Ryan tidak berminat untuk bercinta lebih dari sekali. Dia merasa sudah senang bisa memandangi wajah cantik yang terlihat sayu di depannya. Tidak seperti malam lain kegalauan di hatinya sirna, malam itu dia merasa bahwa kebahagiaan yang selama ini dinantinya akan jadi nyata. Si wanita menggeser pantatnya lalu berdiri dan membereskan tasnya. Segera Ryan loncat dan mencegahnya.

"Habiskan malammu di sini!" pinta Ryan dipeluknya paha si wanita.
"Kamu tampak tidak berminat. Ada setoran yang harus kupenuhi."
"Aku bayar kamu lebih."

Segera Ryan memeluk tubuh si wanita yang masih telanjang bulat. Membawanya merebah di atas ranjang kamarnya. Dipeluk erat tubuh si wanita. Dipandangi wajah itu sambil mengusap-usap rambutnya sampai mereka akhirnya tertidur. Malam itu mereka tertidur dengan alat kemaluan mereka saling bersentuhan sepanjang malam.

Terdengar kokok suara ayam bersahutan ketika Ryan terbangun. Dilhatnya sang bidadari masih tertidur dengan tangan memegang batang kemaluannya. Dicium lembut bibir wanita di depannya itu.
"Andai saja kau benar-benar Dina," lirih Ryan berkata.
Dicium lagi bibir si wanita dengan maksud agar dia terbangun.
"Bidadariku..! Kamu tahu aku mencintaimu kan?" kata Ryan setelah mereka mandi dan si wanita telah siap berangkat pergi.
"Gokil luu..!" sahutnya tertawa sambil mengambil uang dari tangan Ryan.
Dijentikkan jarinya di hidung Ryan.
"Sampai nanti ya Yaan..!"

Melayang terbang tinggi angan Ryan sejak itu, terombang-ambing dalam khayalannya. Kadang teringat raut wajah Dina, lalu masa ketika dia di team basket SMA, di masa itulah dia dekat dengan Dina, lalu pekerjaannya, tertiup lagi ke kisah SMA-nya. Ryan tidak tahu harus melakukan apa hari itu. Pikirannya sedang hampa. Lalu dia beringsut menyalakan komputernya. "Sshh..!" dihembuskan asap rokok dari hidungnya sambil matanya tetap menonton film Terminator 2 di monitor komputernya. Film ketiga yang ditontonnya hari itu. Ketika dijentikan rokoknya di atas asbak, terdengar, "Ding Dong..!" Bel rumah tempat Ryan kost berbunyi. "Din dong..!" Ditarik kursi malasnya ke belakang dan diseret kakinya berjalan ke ruang tamu.

Demi Hujan Badai dan Panasnya Matahari! Ryan terkejut memandang sosok wanita di hadapannya. Seluruh alam raya bersujud dan memuji kehadirannya. Butir air mata dan semerbak harum tubuh menambah keagungannya. Sinar wajahnya mengusap hati Ryan, damai terasa. Lama Ryan menatap wanita itu memastikan dia tidak salah lihat. Cinta lama bersemi lagi, dua insan manusia yang memendam kasih bersahutan memancarkan cinta. Kebahagian yang dulu didamba kini menyentuh hati mereka. Tidak ada manusia yang menyangkal tidak menginginkannya, ketika mimpi dan cinta yang hilang jadi nyata, semua orang akan berebut menggapainya.

"Dina..! Ada apa? Mengapa menangis?"
Tak ada kata yang terucap dari bibir Dina.
"Silahkan masuk..!" sambil tangan Ryan mempersilakan juga Dina untuk duduk.
Dina melangkah masuk dan meletakkan pantatnya di sofa, kantung matanya tampak tebal. Diseka tetes air matanya yang sulit ditahan.
"Apa yang terjadi?" Ryan lalu turut menghempaskan pantatnya pada sofa di depan Dina.
Dia merasa khawatir dengan kondisi Dina. Dina terdiam, lama mereka terdiam dengan kondisi ini. Dina yang tetap sesegukan, dan Ryan yang menatap penuh kasih tidak mengeluarkan sepatah katapun. Lenggang suasana saat itu, hanya deru suara angin yang meniup ranting pepohonan sesekali membuat mereka menoleh.

"Ryan..! Antarkan aku ke Kalianda. Aku capek!" suara Dina keluar ditengah isak tangisnya.
"Aku ingin pulang," lanjutnya.
"Baik!"

Bersambung . . . .