Gadis pujaanku

Pertama kali saya bertemu dengan Priscilla adalah tiga tahun yang lalu. Saat itu kami masih duduk di tingkat dua salah satu SMU swasta di Jakarta. Priscilla adalah seorang gadis tercantik di sekolah kami pada saat itu. Tubuhnya sungguh-sungguh sempurna. Tingginya kurang-lebih 173 cm, dengan berat badan saya kurang tahu, tetapi benar-benar pas, tidak terlalu kurus malah cenderung padat berisi (tapi tidak gemuk).

Waktu itu saya adalah murid pindahan dari sekolah swasta lain. Saat saya pertama kali masuk kelas pada hari pertama sekolah, mata saya langsung tertuju ke Priscilla. Saya ingat sekali saat itu dia memakai seragam batik sekolah kami yang berwarna ungu dengan rambut dikuncir agak tinggi dan di kiri-kanan dahinya terurai rambutnya tipis jatuh sampai ke rahangnya yang indah. Secara reflek saya langsung mencari bangku kosong di dekatnya. Saya berhasil duduk di belakangnya. Beberapa bulan telah berlalu dan kami sudah mulai dekat satu sama lain. Saya suka menelepon dia walaupun tidak terlalu sering. Dari situ pula saya tahu bahwa dia belum punya pacar. Wah, girangnya hati ini ketika tahu hal tersebut.

Suatu hari di bulan September, saat itu sedang pelajaran Aljabar (saya sangat benci pelajaran ini). Saat itu, seperti biasanya, saya menghabiskan waktu melihat tengkuknya yang begitu mulus, sesekali pandangan itu diusik oleh rambutnya yang mengayun indah bagaikan berirama. Tiba-tiba Pak Tono memanggil saya untuk maju ke depan mengerjakan sebuah soal yang--menurut saya--sangat sulit sekali. Tentu saja seperti yang kita duga, saya tidak bisa mengerjakannya dan saya benar-benar malu karena selanjutnya Priscilla dipanggil untuk membetulkan pekerjaan saya yang menurut Pak Tono sudah keterlaluan.

Akhirnya bel istirahat berbunyi. Saya langsung ke kantin. Saya memesan semangkok sotomie. Saat saya ingin membayar, saya baru sadar bahwa uang saya tertinggal di kelas. Langsung saja saya bilang ke penjualnya untuk menunggu sebentar karena saya mau ngambil uang dulu di kelas. Saya terkejut bukan kepalang karena Priscilla tiba-tiba sudah berada di depan saya, kami terpisahkan hanya 40 cm. Bau parfumnya langsung memicu adrenalin. Karena saya tinggi (184 cm), saya bisa melihat bagian bawah lehernya yang sungguh indah. Tak tertahankan, saya meneguk ludah. Tiba-tiba dia menyerahkan uang Rp.3.000 ke penjual sotomie dan untuk pertama kalinya mendengar suaranya yang manja tepat di telingaku, "Ini pak, sekalian sama punya dia." saya cuma bisa tertegun melihat dia melangkah kembali ke kelas seiring bunyi bel yang panjang.3

Sorenya sewaktu saya sedang latihan basket buat besok tes lay-up, Priscilla menelepon saya.
"Lou, kamu kan jago main basket.., Ajarin Priscillia yaa..", Terdengar suara manjanya di ujung sana, mana bisa saya menolak?".
"Boleh.., kamu datang saja.., eh, apa saya yang ke situ?".
"Saya ke sana aja, alamat kamu di mana?", Langsung saya sebutkan alamat rumahku.
20 menit kemudian..

Luar biasa, Priscillia datang memakai celana pendek, baju ketat yang dilapisi baju basket, dan sepasang snickers Nike. Rambutnya dikuncir kuda. Dia datang diantar sopirnya yang menunggu di luar. Dia tampak cantik sekali.
"C'mon Lou, mari kita mulai..", Katanya semangat banget. Kami lalu mulai latihan dribbling. Dia cepat sekali berkeringat dan membuatnya tampak sporty, saya suka cewek sporty. Lalu kami mulai latihan lay-up. Saya beritahu pelan-pelan sambil sesekali mencuri pegang bagian tubuhnya. Saya pegang tangannya pura-pura kasih tahu cara lay-up yang benar. Sewaktu dia melakukan lay-up yang tidak masuk, secara reflek saya merebound bola tersebut, namun secara tidak sengaja siku saya menyenggol payudaranya dengan cukup keras. Payudaranya sungguh sangat kenyal dan bulat hampir bulat sempurna. Terasa olehku mukaku mulai panas karena salah-tingkah. Muka diapun memerah, entah karena panas atau karena malu. Kami berdua terdiam, dia menundukkan kepalanya.
"Ayo coba lay-up lagi!" Kataku mencoba memecahkan keheningan sambil memberikan bola itu kepadanya. Dia mendongak, memandangku lama sekali sampai mukaku merah. Dia terus memandangku dengan tatapan yang penuh arti, namun saya tidak dapat menebak artinya. Sampai saya akhirnya mengucapkan kata maaf tanpa sadar. Dia tersenyum, "Maaf kenapa?" Mukaku pasti seperti tomat sekarang merahnya. Saya lalu berbalik dan masuk ke dalam sambil berseru bahwa saya mau ambil minum dulu. Kalau tidak begitu, saya bisa salah tingkah dibuatnya. Tidak lama kemudian dia pamit pulang.

Keesokan harinya saat tes lay-up dia tersenyum manis sekali ke saya yang tentu saja memancing 'paduan suara' teman-teman. Tiga hari sesudah itu saya memberanikan diri mengajaknya pergi nonton. Saya telepon, yang mengangkat ternyata adiknya.
"Halo, bisa dengan Priscilla?" Tanyaku dengan suara yang luar biasa lembut.
"Dari siapa nih?" Sahutnya.
"Lou..".
"Siapa?".
"Temennya, Lou..".
"Lho.., saya adiknya, bukan temennya..".
"Ye.., Nama saya Lou..".
"Oo.., Bentar Lou." Adiknya agak ngeselin juga.
"Allo.., Lou? Kenapa?" Suaranya terdengar sungguh manja.
"Eh.., eh., lo lagi ngapain?"
"Baca Sidney, Windmill of the Gods, bagus lho..".
"Oo.." Dalam hati saya bertanya-tanya, apa juga.. Masa' windmill dibaca?
"Lo.., mau.. Eh, nonton tidak? Atau, yeah.., jalan.., Kalau bisa sih nonton.." Jelek amat, masa' ngajakin cewek pergi kayak gitu.
"Hmm.., lu ngajakin kencan yaa..? Mau kencan sama saya? Panggil yayang dulu dong.." Duh.., gile. Saya digoda sama nih cewek. Udah lah, bodo amat, so' agresif aja deh.
"Sayang mau nonton gakk?".
"he he.., boleh, kamu ke sini deh, kita nonton yang jam tujuh aja ya, abis tanggung baca bukunya, tidak pa-pa kan?".

Sebelum nonton saya beli popcorn dan cola dulu. Sengaja saya beli colanya cuma satu biar bisa ngelancarin taktik saya. Saya sudah tidak mau sopan-sopan lagi, habis dikerjain terus. Biar deh, agresif dikit.
Kami nonton di B1 dan B2, dia duduk di B1, berarti di sebelah kanan saya. Pas film sudah jalan seperempatnya saya mulai ngelancarin taktik saya.
"Cill, tolong ambilin cola dong, saya aus nih..".
Sewaktu dia mengambilkan cola itu, saya langsung bentangin tangan saya di bangku dia sehingga ketika dia balik tangan saya sudah langsung ngerangkul pinggangnya. Dia agak terkejut, tapi tidak mengeluh, cuma tersenyum. Saya minum colanya sedikit, terus saya tawarkan ke dia, "Mau tidak Cill?"
"Mau dong", Dia lalu menyedot cola (bekas sedotan saya). setelah itu colanya ditaruh di bawah oleh dia. Saya mulai melancarkan aksi saya. Pelan-pelan saya geser badan saya makin dekat ke dia. Saya pegang tangan dia pakai tangan kiri saya sementara tangan kanan saya masih merangkul dia. Dia masih asyik nonton.

Saya lihatin mukanya lama banget sampai dia sadar sendiri. Saya bisikin ke telinga dia betapa cantiknya dia malam itu dan betapa saya dibuat terpesona olehnya. Dia tersenyum dan mengatakan bahwa dia sayang sama saya dan pengen jadi cewek saya. Gila! Saya kaget sekali, benar-benar tidak nyangka bakal jadi seperti ini, walaupun, sumpah, saya pengen kayak gini, tapi bingung caranya. Saya bilang lagi ke dia bahwa saya juga mau dia jadi cewek saya, saya mau menyayangi dia secara utuh. Lalu saya kiss lembut keningnya, pipi kirinya dan pipi kanannya. Dia balas hal yang sama. Kami saling menatap. Saya angkat tangan kirinya dan saya kiss telapak tangannya dengan lembut sambil ngomong, "I love you with all my heart from now, and forever i wish it to be.." Dia lalu memeluk saya, tangannya di tengkuk saya sementara tangan saya di sekeliling pinggangnya. Untuk memastikan saya tanya lagi, "Cill, kita jalan..?"

Dia menatap saya dengan tatapan marah, saya langsung bingung. "Lho kenapa? saya salah ngomong ya?" Dia melototin saya, dan pas saya mau ngomong lagi dia menutup mulut saya dengan telunjuknya dan mulai menggerakkan mukanya menghampiri muka saya. Detak jantung saya sudah kenceng sekali saat pelan-pelan telunjuknya dilepaskan dari bibir saya. Reflek saya basahin bibir saya, tapi sebelum lidah saya masuk ke dalam rongga mulut, lidah Priscilla sudah menyentuh lidah saya. Saya kaget, saya tidak pernah seperti ini. Penis saya sudah tegak sejak pertama kali saya rangkul dia tapi sekarang sudah maksimal kayaknya. Pelan-pelan dia membuka mulut saya dengan lidahnya. Saya yang belon pengalaman dituntun sama dia. Saya tidak tahu dia sudah berapa kali beginian, tapi bagi saya dia sangat ahli.

Sekarang tangan kanan dia ditaruh di atas dada kiri saya sementara kami masih saling menjilat lidah. Tiba-tiba dia menarik mulutnya dan meminta saya yang ngekiss dia sekarang. Saya tidak mau bilang tidak bisa karena belum pernah maka saya maju aja pelan-pelan. Bibir saya tinggal 3 cm lagi dari bibirnya, matanya sudah terpejam dan nafasnya terdengar sangat teratur. Kedua tangannya sekarang ada di dada saya sementara tangan kanan saya di pinggangnya dan tangan kiri saya di pahanya. Nafas saya memburu saat bibir saya tinggal sekian milimeter lagi. Dia tersenyum dan memindahkan tangan kanannya ke balik kepala saya dan mulai menuntun saya. Bibir kami bersentuhan, saya tidak tahu harus berbuat apa. Karena bibir bawahnya yang masuk, maka saya hisap pelan bibirnya. Perlu saya kasih tahu bibir atas dia tipis dan bibir bawahnya tipis, tapi tidak setipis yang di atas. Pokoknya menurut saya seksi.

Dia menghisap lembut bibir atas saya. Tangannya diusap-usapkan ke dada saya. Saya mulai berani, saya gerakkan tangan saya ke leher dia. Saya belai lembut lehernya pakai punggung tangan saya. Tangan saya makin naik membelai wajahnya yang remang-remang tertimpa cahaya film. Tiba-tiba dia memasukan lidahnya ke dalam rongga mulut saya dam menyentuh lidah saya. Lidah saya ditekan-tekan, dielus, dan dibelai pakai lidah dia. Badan saya sedikit mengejang menerima sensasi tersebut. Dia menarik mulutnya dan tersenyum simpul.
"Jangan tegang gitu dong Lou.., tidak pa-pa kok, pelan-pelan aja.., tidak usah terbebani.." Dia ngomong gitu, tidak tahu kenapa tapi bisa bikin saya rileks sedikit.

Dia lalu kembali mendekatkan wajahnya ke saya. Secara otomatis bibir saya membuka, tapi kembali saya dibuat terkejut oleh sensasi yang lebih hebat lagi. Bibir bawah saya secara intens dijilat olehnya dengan gerakan seperti orang memakai lipstik.

Saya mulai berani, setelah dia selesai menjilati bibir saya, saya mendekatkan wajah saya ke telinganya. Menurut buku yang saya baca telinga cewek termasuk yang paling sensitif terhadap rangsangan. Saya kulum telinga di bagian lubang tindikannya. Saya naikkan lidah saya ke dekat lubang telinganya dan mulai menjilati seluruh lekuk daun telinganya. Saya tempelkan mulut saya dan saya sedot pelan tepat di lubang telinganya. Dia mendesah dan mengejang sedikit. Pelan-pelan, masih dengan lidah, saya menuruni lehernya yang jenjang. Akhirnya saya sampai di pangkal lehernya. Saya kecup lehernya percenti sampai dia merem dan mendongakkan kepalanya memberi jalan buat lidah saya.

Saat itu ada ledakkan di film yang menghasilkan cahaya terang sehingga saya bisa melihat belahan dadanya yang indah. Saat itu dia memakai kemeja lengan panjang yang digulung dengan kerah V yang rendah dan rok pendek. Pelan-pelan saya beranikan diri saya dan mulai bergerak makin ke bawah. Saya mulai mencapai belahannya dan sedikit lama bermain di situ. Dia mulai menggeliat tapi masih tetap terpejam. Saya buka kancing pertamanya, dia tidak sadar kayaknya. Belahannya semakin dalam, saya jilatin lagi buah dadanya. Saya hisap-hisap sedikit dengan sepelan mungkin. Tangan kiri saya bergerak menyentuh payudaranya dari luar. Saya bikin bentuk lingkaran dengan jari telunjuk di atas payudaranya, dia mulai mengerang. Saya juga membuat lingkaran dengan lidah saya di atas payudaranya. Tangan saya meremas-remas pelan. Kurang puas hanya bermain di luar, saya masukkan tangan saya ke balik kemejanya.
"Eits.., nakal ya..", Katanya sambil menarik tangan saya keluar dan dengan setengah terkejut mengancing kembali kancingnya yang terbuka. Dia lalu memandang saya, saya bisa merasa muka saya merah. Dia pegang tangan saya dan membisikkan lembut di telinga kiri saya, "Sekarang menurut lu, kita udah jalan belum?" yang langsung dilanjutkan dengan kecupan hangat di telinga saya yang membuat saya menggigil. Dia tersenyum dan mulai menonton film lagi. Saya merangkul dia sambil mencium kecil wajahnya. Tidak berapa lama film usai, dia saya antar pulang sampai depan pagar. Dia berbisik kepadaku.
"Lou, lu musti janji lu tidak bakalan onani ya?" saya mengangguk menyanggupi.
"Kenap..".
Sebelum saya bisa selesai bertanya dia sudah nge-kiss saya di bibir lama banget dan kemudian menjentikkan jari telunjuknya ke penis saya yang sudah tegang sambil tersenyum.
Malam itu saya susah banget tidurnya, kebayang terus yang di bioskop dan di rumah dia. Oh, indahnya cinta.

TAMAT