Memory bercinta - 3

Sampai suatu saat aku dan Veni menikah dan kami tinggal di rumah sendiri, pisah dari orang tua. Namun Veni memintaku supaya Indi dapat tinggal bersama dan aku menyanggupinya. Sikap Indi dan aku biasa saja karena kami sadari bahwa aku dan Veni sudah terikat. Hari demi hari berlalu dan ternyata perasaan aku dan Indi masih sama dan perasaan kami muncul lagi, entah mengapa kami mulai akrab seperti dulu. Suatu saat aku dan Indi hanya berdua di rumah, Veni melakukan aktivitasnya seperti biasa yaitu bekerja di kantor. Mungkin karena rasa jenuh aku memilih istirahat di rumah sebentar. Sesaat aku dan Indi berbincang lalu entah mengapa perasaan yang dulu muncul, lalu kami duduk berdampingan. Kami burdua menonton TV, tangan kami mulai bersentuhan dan rasa gairah ini muncul kembali, mungkin karena aktivitas sex aku dan Veni sudah tak berjalan sehingga kurasakan kebutuhanku. Terlintas dalam pikiranku, apa salahnya bila kudapatkan dari Indi karena aku membutuhkannya, kurasakan perbedaan bila belum menikah sex hanya untuk senang-senang tetapi berbeda bila sudah menikah karena sudah menjadi kebutuhan. Terpikir di benakku tak salah bersentuhan asal tak bersetubuh, mungkin efisien untuk melepaskan kebutuhanku.

Kami saling bergenggaman dan mengelus-elus dengan jemari, salah satu tanganku merangkul tubuhnya, ah kunikmati tubuhnya seakan birahiku tersalurkan. Tanpa kompromi penisku mengejang, muncul keinginan untuk bercumbu dengannya, selintas kuucapkan,
"Andai aku masih bisa merasakanmu Ndi!"
"Kenapa Mas, Mas Andi kenapa?" ucapnya dengan lembut sambil tangannya mengelus pipiku dan yang satunya mengelus-elus di dalam genggaman jemariku.
"Enggak, kamu suka pake celana pendek bikin Mas terangsang," dengan nada gerogi kuucapkan.
"Masa sih, emangnya kenapa Mas!" perlahan tangannya menaruh tanganku di atas pahanya yang mmhh..
"Kulit kamu lembut ya Ndi," sambil kuusap dan kuraba-raba seluruh pahanya.
"Mas suka!" sambil salah satu tangannya mengelus lenganku yang sedang menikmati pahanya.

Tanpa kusadari mataku mulai tertuju ke buah dadanya.
"Ndi dada kamu kayaknya tambah besar," ucapku dengan agak malu.
"Kan umurku nambah Mas, yang pasti udah ganti ukuran dong, memangnya kenapa Mas!" ucapnya dengan lembut.
"Eh, enggak, andai bisa..!" sambil tanganku mengelus pundak dan perlahan agak turun mendekati dadanya.
"Mas Andi!"
Tampaknya Indi mengerti ucapku, dan perlahan tanganya menghampiri tanganku dan mengajak ke dadanya sehingga kurasakan telapak tanganku menyentuh salah satu buahnya.

Tanpa berpikir panjang lebar kuraba-raba dadanya, kuremas dan aah rasanya aku memilikinya lagi. Salah satu tanganku tak mau ketinggalan, kuelus-elus selangkangannya lalu kuucapkan, "Makasih ya Ndi."
"Buat Mas.." sambil tangannya mengelus pipi dan juga tanganku di dadanya.
Perlahan kuhampiri wajahnya, lalu bibirku mendekati pipinya dan kucium, lalu ke lehernya dan dagu Indi terangkat tinggi, lalu kupingnya, lehernya kembali dan merambat ke bibirnya. Bibirnya kukecup, kemudian ia memberikan respon dan kami saling memberi bibir dan lidah, kami saling mengecup, menjilat, dan menghisap liur dari mulut kami. Tangan Indi kupegang dan kuajak ke arah penisku, rupanya Indi mengerti dan perlahan ia elus-elus penisku yang sudah mengeras, lalu ia mendekap dan memainkan dengan lembut. Mungkin sudah lama aku tidak bersetubuh dengan Veni karena kesibukan kami sehingga setiap bertemu kami lelah dan sungkan untuk berhubungan, dan mungkin aku mendapatkan sesuatu dari Indi yang tidak kudapatkan dari Veni.

Tanganku berpindah dari dada Veni ke arah kaitan BH-nya, dan yang satunya dari selangkangan perlahan mengangkat kaos depan Indi sehingga BH-nya dapat kulihat jelas bersama belahan dadanya yang lebih besar dari yang kurasakan dulu. Kuremas dadanya dengan tangan kiriku dan tangan kananku melepas kaitan BH-nya dan menyusup ke depan sehingga BH-nya terangkat dan selanjutnya kumainkan kedua putingnya. Tampaknya Indi suka, lalu tangan kiriku turun dan menyusup ke dalam celana Indi, kurasakan rambut kemaluannya dan perlahan menuju ke tonjolan sensitif milik Indi. Kusentuh dan kumainkan dengan jemariku, Indi pun mengeluarkan suara "Hhmm.." dengan nikmatnya di saat berciuman, matanya terpejam, tangannya terus mengelus-ngelus tubuhku. Kurasakan tangan Indi perlahan mengeluarkan penisku dari celah celanaku sehingga membusung keluar, dan mendekap dengan jemarinya lalu mengayunkan dengan lembut.

Lama-kelamaan kurasakan jariku basah dan selangkangan Indi licin, lalu kugesek-gesekkan jariku di tonjolan Indi, tangan kami saling memainkan dan merangsang milik kami yang sensitif. Setelah beberapa lama Indi berhenti dan berbisik "Mas, udah dulu, di kamar Indi yuk!" Lalu Indi berdiri dan menuju ke kamarnya sambil berkata, "Cepat ya, kutunggu." Lalu aku bergegas ke kamarku dan membawa pengaman ke kamar Indi, sesaat kusampai di depan pintu kamar Indi kulihat tiada sehelai benang pun di tubuhnya. Sesaat birahiku memuncak, kulihat tubuh yang lebih indah dari yang kulihat dulu, Indi sadar aku sampai di depan pintu dan ia menghampiriku lalu menarik tanganku dan mengajak ke dalam kamarnya.

Kemudian kami berpelukan dan berciuman sambil tangan kami meraba-raba dengan leluasa. Lalu kami duduk di pinggir tempat tidur Indi, dan kubuka bungkusan pengamanku, sesaat tangan Indi menghentikan tanganku yang ingin memakaikan pengaman di milikku. "Mas aku pengen nyoba," dengan tangannya yang menunjuk milikku lalu ke arah bibirnya. Perlahan kuanggukkan daguku, dan ia menyambutnya dengan wajahnya yang menghampiri milikku, wajahnya mendekat, mulutnya terbuka dan lalu menelan penisku. Ahh kurasakan lembut mulut dan lidahnya yang perlahan menelan penisku, lalu ia memainkan penisku dengan mulutnya sesaat lalu berkata, "Udah dulu ya, aku belum biasa, belum tau caranya." Lalu kami berciuman dan kami bermain seperti dulu (main di liang belakang) sampai kurasakan puncakku.

Lalu kucabut dan kukeluarkan penisku dari liang belakang Indi, lalu Indi bertanya, "Udah Mas?" dengan nada pelan dan halus. "Sebenarnya belum Ndi, soalnya bukan di tempatnya, tapi makasih ya!" ucapku. Lalu tangan Indi menghampiri milikku dan melepaskan sarung pengaman di penisku. Wajahnya menghampiri milikku sambil berkata, "Belum ya Mas?" lalu mulutnya terbuka dan menelan penisku sampai cairan yang ada ditelan habis oleh mulutnya lalu ia keringkan dengan kain yang ada di dekat kami, terlintas dibenakku kalau Indi cepat mengerti. "Mas pengen apa, kenapa belom puas?" ucapnya sambil jemarinya berayun-ayun memainkan penisku. "Aku pengen yang di tempatnya," sahutku sambil dengan perasaan tidak enak. "Yang ini ya Mas?" sambil menunjuk kemaluannya. "Aku belom pernah.. tapi kalo Mas bisa puas dan pengen aku kasih buat Mas.." dengan nada pelan dengan ajakan. Rasanya diri ini terangsang oleh ajakannya.

Perlahan wajahku menghampiri bibir vagina Indi yang basah, lalu kujilati dan kadang-kadang agak kumasukkan lidahku ke dalam liang vagina Indi sampai kurasakan selapur daranya. "Ouh.. ouh.. ahh.." sahut Indi dengan tegang yang bercampur gairah. Sampai akhirnya kuhampiri bibir vaginanya yang agak terbuka sempit dengan penisku yang terhunus. Kumasukkan penisku perlahan, awalnya agak sulit tapi kusabar dengan perlahan dan kurasakan lubang yang mengikuti ukuran penisku, kurasakan penisku agak tertahan dan perlahan melepaskan sesuatu yang lengket di liang Indi secara perlahan-lahan sampai kurasakan tertelan di dalam liang Indi. Seiring kumasukkan penisku Indi hanya dapat merintih dan mendesah dengan tegang merasakan penisku masuk yang melepaskan beberapa lengketan yang agak menahan penisku saat masuk.

Akhirnya penisku tertelan di dekapan tubuh Indi, Indi menegang dan akhirnya melemas seakan pasrah dan melayang tinggi dan mengucap dengan gemetar campur lemas, "Mas, ini kado buat Mas Andi," sambil tangannya mengelus-elus punggungku dengan lembut. Kurasakan kado yang istimewa dari Indi, membuat birahiku benar-benar dibuai. Kurasakan liang Indi yang lembut dan seakan mendekap penisku, lalu perlahan-lahan aku keluar-masukkan penisku di liangnya. "Ouh.. ahh.. ouh, Mas Andi.." hanya itu yang dapat Indi ucapkan dengan nada tegang dengan gairahnya yang merangsang. Akhirnya penisku bermain dengan cepat dan kami berdua benar-benar melayang jauh, beberapa lama kemudian kurasakan liang Indi mendekap dan kemudian kurasakan seakan penisku didekap erat seolah-olah digigit oleh liang vagina Indi.

Penisku seakan tak boleh bergerak sama sekali didekapan liang Indi, kedua tangan Indi memelukku dengan erat, kedua kakinya dari mengangkang menegang dan lurus seolah-olah ingin menari balet, lalu terucap di bibirnya dengan panjang, "Ouh.. Mas Andi.." Kurasakan genggaman Indi mulai melonggar, dan perlahan dapat kukeluar-masukkan penisku kembali, tampaknya Indi pasrah dan masih menikmati seolah membuatnya melayang tinggi. Perlahan setelah beberapa lama kurasakan dekapan liang Indi yang tidak erat, dan kurasakan puncakku, saat ingin kukeluarkan penisku tampaknya dekapannya kembali agak erat dan membuat aku enggan mengeluarkannya. Sesaat di dalam dekapan Indi kurasakan cairanku keluar menyembur di dalam tubuh Indi, dan Indi mendesah dan merintih campur nikmat, "Ouh.. ah.. Mas Andi.." sambil merasakan semburanku dan dekapan liang Indi semakin kuat bersama kedua dekapan tangannya.

Tanpa kusadari ternyata Veni istriku telah datang dan masuk ke rumah, perlahan Veni masuk ke kamar Indi. Saat itu tubuhku masih di atas tubuh Indi dengan penis yang masih tertancap di tubuhnya, perlahan aku dan Indi tersadar akan kedatangan Veni dan sesaat muka kami pun memucat. Pelan-pelan kuberdiri dari ranjang dan mencabut penisku, Veni mendekat dan sesaat salah satu tangannya melayang tepat ke pipiku "Plak!" bunyi suara yang terdengar. Suasana hening datang seketika di dalam kamar, perasaanku dan Indi mungkin sama, kami diam dengan wajah pucat dan penuh dengan rasa bersalah terhadap Veni. Aku terdiam dengan tubuh polos dan tertunduk, tanpa kusadari dan tak kuduga dengan cepat Veni memeluk tubuhku dan mendekapnya dengan erat. Sekilas kulihat Indi masih terdiam dengan tubuh polosnya yang masih menantang, wajahnya memucat dan terlihat tidak mengerti harus berbuat apa, yang ada hanya menunggu kejadian nanti.

Terdengar pelan bisikan Veni di kupingku, "Mas, kenapa begini, kenapa Mas!" dengan nada yang setengah menangis. Sesaat aku terdiam dan kemudian terucap dari bibirku, "Aku tak tahan, aku butuh," dengan nada bersalahku. "Mas Andi, maaf ya, ini juga karena aku," ucapnya dengan nada yang agar bersalah juga karena mungkin sebulan kami tidak berhubungan karena aktivitas. Kemudian Veni mengajakku keluar dari kamar Indi dan menuju kamar kami, sesaat kupalingkan wajahku ke arah Indi dan kuucapkan terima kasih tanpa suara sedikitpun dan Indi menjawab dengan agak tersenyum.

TAMAT