The owner - 2

Hidup ibarat roda, begitu juga halnya dengan bisnis. Ada saat ramai dan ada saat sepi. Nah saat sepi aku mulai berpikir apa ada yang salah, sehingga aku bertukar pikiran dengan beberapa pemijat yang kuanggap primadona di tempatku.

Dari hasil tanya-jawab tersebut, aku mendapatkan jawaban bahwa kebanyakan tamu meminta 'layanan lebih'. Untuk membawa keluar mereka merasa keberatan karena selain harus membayar tempat lagi untuk di luar, juga diwajibkan untuk membayar sewa kamar sebanyak dua kali lipat untuk tempatku karena dibawa keluar. Pantas kok ada beberapa pekerja yang membolos pura-pura sakit atau ijin, tidak tahunya melakukan "cico" di luaran. (cico=check in check out).

Yang mereka butuhkan hanya, aku tidak menegur mereka bila melanggar, walau larangan itu ada pengumumannya di setiap dinding kamar, alias tidak tahu menahu apa yang mereka lakukan, serta kebijakan ini tidak harus diumumkan ke semua pemijat, hanya bagi yang mau melakukan tidak ditegur. Bagi pemijat yang keberatan dapat menolak atau menawarkan ke tamu untuk mengganti pemijat dengan yang lain.

Melihat biaya tetap yang berjalan terus menerus sementara pendapatan berkurang, lama kelamaan aku bisa gulung tikar, akhirnya kusetujui permintaan mereka. Akhirnya lambat-laun kembali ramai. Seperti apa kejadian di dalam kamar, tidak perlu kuceritakan kembali, karena isinya tidak jauh beda, karena mereka memang qualified di bidangnya masing-masing.

Hasil tabungan lumayan banyak, aku mencoba mendekati Pak Wirokusumo untuk membeli rukonya agar menjadi asetnya PPT Sumber Hidup. Dia setuju, sehingga biaya tetap untuk sewa menjadi berkurang.

Saat badai krismon semakin berat, ruko di sebelah kanan dan kiriku, menutup usahanya. Kesempatan ini tidak kusia-siakan, kucoba melakukan pendekatan dan mencoba menawar rukonya untuk kubeli, nampaknya mereka tidak keberatan. Punya ruko tidak dipakai usaha juga besar biayanya, abodemen listrik, telepon, kebersihan dan keamanan pasti jalan terus. Belum lagi Pajak Bumi dan Bangunan tiap tahunannya. Jadi lah PPT Sumber Hidup mempunyai 3 blok, sehingga menjadi luas. Lantai 300 meter persegi per blok menjadi 900 meter persegi dan milik sendiri.

*** Casting - Ibu Santi ***

Tambah ruang harus diikuti dengan penambahan pekerja, dan penambahan ini tidak mungkin kulakukan dengan langkah "tidak terpuji" yang lalu. Nampaknya sudah sulit meng-"hijaak" pemijat, akhirnya dengan terpaksa kubuka lowongan, tetapi untuk kalangan terbatas, yakni kalangan pemijatku sendiri kalau punya teman atau saudara. Dengan demikian mereka dapat menjelaskan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak, apa yang menjadi kewajiban dan hak mereka, dengan demikian aku tidak perlu menjelaskan secara rinci apa yang harus mereka kerjakan, sehingga aku hanya menilai dari penampilan dan cara melayaninya saja.

Baru sehari kuumumkan, sudah datang seorang ibu. Dari wajahnya nampak kalau dia rajin menjaga kecantikannya. Usianya hampir mendekati kepala empat, asli Bogor, janda anak dua. Namanya Ibu Santi (bukan SANdaran TIxx, yah. Nama ini bukan nama aslinya, melainkan nama kerja), agak pendek, berkulit putih, memakai celana panjang ketat warna hitam dan baju lengan pendek warna putih. Tampak samar-samar bra-nya yang berwarna hitam, mungkin sekitar 36D. Warna hitam celananya sepertinya untuk menutupi lekuk tubuhnya. Kuperkirakan tinggi 160 cm dengan berat sekitar 55 kg, serta berambut hitam dan ikal.

"Ibu tahu tempat ini dari mana?" tanyaku, setelah kupersilakan masuk ke ruang kerjaku.
"Dari si Eva," jawabnya.
"Apa hubungannya Ibu dengan Eva?" tanyaku.
Si Eva ini masih muda usianya, sekitar 22 tahunan, sudah hampir 2 tahun bekerja di sini.
"Dia masih terhitung saudara, tetapi jauh," jawabnya.
"Maaf, apakah Ibu nggak riskan bersaing dengan pekerja yang lain, yang jauh lebih muda dari Ibu, walau soal kecantikan belum tentu Ibu kalah dari mereka," kataku.
Dia tidak segera menjawab, hanya wajahnya bersemu merah saat kusanjung kecantikannya.

"Saya mah, punya keakhlian tersendiri Pak, yang mungkin tidak dimiliki mereka, bukannya setiap orang punya cara masing-masing," jawabnya, benar juga yah.
"Ibu sebelumnya sudah pernah bekerja?" tanyaku.
"Iya, di Papitra XX," jawabnya.
"Trus kenapa keluar?" tanyaku.
"Ditutup Pak!" jawabnya singkat.
Oh iya aku lupa, belum lama ini tempat itu ditutup, agak jauh dari tempatku. Kesimpulannya dia sudah berpengalaman berhadapan dengan tamu, tinggal lihat apa keahliannya.

"Apa keakhlian yang Ibu punya?" tanyaku.
"Sewaktu di tempat yang lama, Ibu mencoba memberikan layanan memperbesar kemaluan pria dengan ramuan yang saya buat sendiri serta diurut, pertama sih Ibu coba-coba, tetapi lama kelamaan kok ada hasilnya dan mereka puas, jadi Ibu praktekin sampai sekarang," jelasnya.
"Terus hasil mereka bisa langsung coba ke Ibu?" tanyaku.
"Iya," jawabnya, sambil tersenyum.
Nah, ketahuan dia juga memberikan layanan khusus juga.

"Bisa kulihat ramuan yang Ibu maksud?" tanyaku.
Dia mengeluarkan minyak dari tasnya berupa kaleng kecil sebesar bungkus rokok. Kuambil dan kuperhatikan kalengnya serta kucoba mencium aromanya serta mencoba beberapa tetes untuk melihat kekentalannya. Ahh, ini sih minyak zaitun, tetapi memang pengobatan itu khan sugesti. Aku kembalikan kalengnya.

"Ibu sudah diberi penjelasan oleh Eva, seperti apa tempat ini?" tanyaku.
"Sudah," jawabnya singkat.
"Apakah Ibu keberatan untuk melepaskan celana dan bajunya, sebab saya tidak ingin mengecewakan tamu yang datang ke sini?" kataku, toh dia juga sudah biasa melakukan hal itu di tempat yang lama.

Dia meletakkan tasnya di meja dan melepas bajunya, tampak bra warna hitam menahan payudaranya yang tidak muat di mangkuk bra-nya. CD-nya pun berwarna hitam, kontras sekali dengan kulitnya yang berwarna putih, nampak perutnya sudah agak membesar. Tidak berapa lama bra dan CD juga ikut dilepas, putingnya sudah tidak begitu kencang, bulu di ketiak dan kemaluannya cukup tebal, ikal seperti rambut luarnya, nampak di payudaranya juga ada bulu-bulu halus.

"Silakan duduk di meja kayu saja, Bu!" kataku.
Dia memindahkan tas dan baju ke sofa di sebelahnya. Saat dia akan melepas baju tadi aku sudah mengaktifkan kamera yang tersembunyi di hadapannya, serta menampilkan di monitor komputer, proses perekaman pun juga dimulai.

Aku tidak perlu mendekat untuk melihat lebih jelas, karena dengan melakukan "zoom" aku dapat melihatnya lebih jelas. Kemudian kuminta untuk mengangkang, kaki kirinya disandarkan ke sandaran tangan di sofa sebelah kirinya, begitu juga dengan kaki kanannya. Aku "zoom" lagi ke arah kemaluannya, nampak labia mayora-nya sudah agak kendor dan menghitam serta tebal, mungkin sudah tidak terhitung berapa kali melakukan hubungan seksual. Anusnya masih rapat, hanya ada daging kecil yang mengkerut, kemungkinan ada haemoroid.

Kemudian kuminta untuk berdiri di atas lutut dan kedua tangannya dengan arah membelakangiku, dan kepala agak direndahkan, sehingga tampak pantatnya yang besar serta dua buah lubang kenikmatan lebih jelas, bulu kemaluannya tidak tebal di bagian depan saja, ternyata tumbuh hingga sekitar lubang anusnya juga. Kulitnya mulusnya tidak hanya di wajah, hingga pantat dan sekitar lubang anusnya pun bersih. Secara fisik nilai 7, artinya masih layak.

Kemudian kuminta untuk memperaktekkan pijatan dengan minyak yang dia bawa ke kemaluanku. Diurut seperti itu lama-kelamaan menjadi keras, setelah dikeringkan dengan tisue, kemudian dia menghisap kemaluanku. Ahh, memang semakin tua semakin pengalaman, dia tahu cara memanjakan kemaluan pria. Hingga ejakulasi pun dia belum menghentikan aktifitasnya, benar-benar tua-tua keladi, makin tua semakin menjadi. Akhirnya kuberitahu bahwa dia kuterima, dapat bekerja mulai besok.

Pertimbanganku tamu juga ada yang memilih wanita setengah tua, biasanya tamu belia. Sedangkan untuk tamu yang tua biasanya mencari daun muda, walau agak 'kering'. Dia pun mengusahakan untuk menarik tamunya dari papitra yang lama untuk mengunjungi tempatku.

*** Casting - Leni ***

Keesokan harinya datang lagi seorang wanita muda, tinggi sekitar 155 cm. Lumayan pendek, dada sekitar 32B, beratnya 45 kg, kulit tidak terlalu putih. Dia juga mantan pekerja papitra, namanya Leni (mungkin singkatan dari LEbih NIkmat). Dari pengamatan secara fisik sih, wajah lumayan, ada bekas jerawat, kulit sekitar kemaluan dan anus agak sedikit menghitam. Labia mayoranya masih keras dan tegak, nampaknya belum terlalu banyak jam terbangnya. Bulu kemaluan sudah mulai banyak dan agak panjang. Payudara kecil dengan puting mendongak ke atas, warna coklat muda dengan dihiasi sebuah tahi lalat dekat puting kanannya.

Seperti halnya Ibu Santi di atas, dia juga mempraktekkan keahliannya di bidang urut dan hisap. Masih perlu belajar banyak sepertinya, tetapi kecanggungannya hampir tidak ada, mungkin nanti juga lama-lama bisa, khan bisa Learning by Doing. Nampaknya masih dapat dipekerjakan, kuterima dan dapat bekerja mulai besok.

Beberapa hari kemudian datang lagi beberapa wanita setengah tua, usia sekitar 35 tahunan, melihat kondisi fisiknya, nampaknya tidak ada nilai jualnya. Dengan berat hati aku menolak, tentunya tanpa melihat 'jeroan'-nya. Ada juga yang datang, tetapi mendapatkan informasi yang salah, sehingga sewaktu uji fisik, mereka keberatan, akhirnya aku juga menolak.

Bagaimana mungkin mereka dapat bekerja bila rekan-rekan yang lain melakukan sedangkan dia tidak, bisa-bisa dia tidak mendapatkan pemasukan, aku pun ikut menanggung kerugian karena ada pekerja yang tidak produktif. Seandainya dia kerja, kalau bertemu dengan tamu yang sudah pernah ke sini dan meminta layanan yang dia terima sebelumnya dari pemijat yang lain dan dia menolak, bisa-bisa dikira jual mahal, dan terjadi hal yang diinginkan, wah bisa kacau tempat kerja. Hanya karena dia, sekian banyak pekerja yang lain bisa tidak dapat cari makan.

*** Casting - Dewi ***

Hari ini aku benar-benar agak suntuk. Sarana sudah cukup tersedia tetapi jumlah pekerja belum ideal jumlahnya. Beberapa waktu yang lalu aku sudah menerima cukup banyak pemijat, saat ini saja aku sudah mempunyai sekitar 60 orang pemijat, dulu waktu pertama buka hanya 15 orang. Jumlah kamar saat ini mencapai 60 kamar (20 kamar tiap lantainya, 1 lantai terdiri dari 3 blok dengan luas per lantai 225 meter persegi).

Tiba-tiba ada yang melamar tanpa jadwal, aku diberitahu oleh Mbak Yuni, kasir yang merangkap penerima tamu di depan. Kupersilakan masuk saja, siapa tahu cocok.
"Selamat Siang Pak," sapanya.
"Siang," jawabku.
"Namanya siapa?" tanyaku.
"Dewi, Pak!" jawabnya.

Nampaknya sih masih muda. Kalau kulihat sih belum 20 tahun usianya, tinggi 160 cm, dan berat sekitar 50 kg, dengan dada 34C. Rambut lurus sebahu (di-blow ke dalam, model apa rambutnya, aku tidak tahu deh), nyaris tanpa kosmetik, sempurna sekali wajahnya. Menggunakan celana jeans ketat dan kaos putih ketat gambar Mickey Mouse, sehingga tampak paha dan betisnya yang tidak begitu besar, namun 'masa depan'-nya (payudara) cukup menantang.

"Berapa umurmu?" tanyaku.
"18 tahun," jawabnya, khan bener dugaanku.
"Lulus sekolah apaan?" tanyaku.
"SMEA," jawabnya.
"Kapan?" tanyaku.
"Tahun ini," jawabnya.

Beberapa waktu yang lalu aku juga menerima pelamar dengan lulusan rata-rata SLTA (Sekolah Lulusan Tanpa Anak), ada juga sih yang lulusan SMA (Sekolah Membuat Anak), dan yang terakhir lulusan SMU (Sekolah Mencari Uang). Yang terakhir ini rata-rata sudah tidak perawan lagi, tahu sengaja atau tidak, yang jelas selaput daranya sudah tidak utuh lagi. Lain halnya dengan SMEA (Sekolah Membuat Enak Atasan), ini biasanya mempunyai keahlian, dari pada yang di atas tadi yang kebanyakan hanya berteori, tetapi kurang prakteknya. Tetapi kebanyakan pekerjaku sih lulusan SMP (Sekolah Mencari Pacar) atau SLTP (Sekolah Lulusan Tanpa Pacar), yang lantas kawin muda berakhir menjadi janda muda dan terjun ke dunia 'Lendir'.

"Kamu tahu tempat ini darimana?" tanyaku.
"Mbak Sari, Pak," jawabnya.
Sari merupakan salah satu pemijatku, bahkan telah menjadi primadona, maklum asalnya dari Madura, sayang dia terlalu bagus layanannya, hingga tamu Jepang membawa ke negerinya untuk dijadikan istri, mungkin si Jepang baru tahu kehebatan 'ramuan Madura'-nya si Sari.

"Lho khan Sari di luar negeri?" kataku.
"Iya Pak, saya berkirim surat dan diberitahu alamat ini," jawabnya.
"Kamu sudah tahu tempat apa ini?"
"Tahu Pak, Panti Pijat Tradisional," jawabnya.
Wah masih polos nih, seperti polosnya Cah Kangkung.

Kujelaskan tempat seperti apa yang akan dimasukinya. Siap tidak, secara lahir dan bathin, jangan sampai salah langkah, kalau sudah masuk akan sukar sekali keluarnya. Dia hanya mendengarkan dengan menundukkan kepalanya sambil mempermainkan tangannya yang jumlahnya tentu tidak akan berubah.

"Kamu sudah menikah?" tanyaku.
"Belum," jawabnya cepat.
"Punya pacar?" tanyaku.
"Pernah," jawabnya cepat.
"Pernah melakukan hubungan seks?" tanyaku.
Dia tidak langsung menjawab, berhenti sejenak. Aku menunggu, mungkin ada peristiwa yang tidak ingin diingat.

"Pernah?" tanyaku lagi.
"Per.. nah," jawabnya ragu.
"Kok, ragu?" tanyaku, dia tidak menjawab.
"Kamu melakukannya dengan pacarmu?" tanyaku.
"He eh, iya," jawabnya.
"Kamu sudah pernah lihat kemaluan pria?" jawabku.
"Sudah," jawabnya.
"Sudah berapa pria yang kamu pacari?" tanyaku.
"Satu," jawabnya.

"Sudah berapa kali kamu berhubungan dengannya?" tanyaku.
"Sekali," jawabnya, One Man One Shot, not too bad.
"Berdarah atau sakit nggak?" tanyaku.
"Waktu itu saya masih pakai celana dalam Pak!" jawabnya, yee ini mah masih perawan.
"Kamu sendiri kalau bekerja dan tamu ingin meminta hubungan seks, apakah kamu bersedia?" tanyaku.
"Tidak!" jawabnya.
Wah yah susah kalau gini, akhir kuputuskan menolak lamarannya, dengan memberikan penjelasan agar dia mengerti mengapa aku menolaknya.

Bersambung . .. ..