Lain-lain
Thursday, 20 May 2010
Ambisi Wijaya - 2
Jendral Subodai baru sadar bahwa ia benggong di kamar sendirian selama dua jam. Maka ia-pun bangkit dari kursinya dan mengikuti makan malam bersama para tentaranya. Pada saat ia makan malam, Subodai terlihat agak kurang nafsu makan dan hanya duduk terbenggong. Meng Chi melihat wajah Subodai dari samping dan tersenyum.
"Jendral, makanan yang terlampau dingin, tidak enak untuk dicicipi" kata Meng Chi.
Subodai terkejut dan baru sadar kalau ribuan tentara sedang memandangnya. Salah satu perwira Subodai yang setia bernama Baatur berkata kepada Jendral Subodai,
"Jendral, ada apa gerangan? Mengapa Jendral terlihat aneh malam ini? Apakah ada masalah besar?"
Subodai bertambah malu dan tidak bisa mengutarakannya, lalu ia tiba-tiba berkata,
"Benar katamu, Aku sedang binggung dalam suatu masalah. Oleh sebab itu, Setelah makan malam, aku akan mengadakan pertemuan untuk membicarakan masalah ini."
Para tentara itu pun akhirnya melanjutkan makan malam mereka. Meng Chi tersenyum dan berpikir,
"Kau memang bisa menutup rahasia ini dari prang-orang bodoh. Tapi aku bukanlah orang bodoh yang kau kira. Ikan yang busuk, sebagaimana ditutupi, baunya pasti akan tercium juga".
Setelah makan malam, semua tentara menghadiri pertemuan. Subodai pun berkata,
"Kita ditugaskan oleh Ka-Khan (atau Kaisar Kubilai) untuk menghancurkan kerajaan Kertanegara, namun kerajaan lemah itu telah hancur sebelum kita tiba. Sekarang ada seorang panglima yang bernama Wijaya menawarkan kita untuk bekerja sama dalam menaklukan kerajaan raksasa Kediri dan puluhan kerajaan kecil lainnya. Apabila kita menang, kita akan dihadiahkan setengah dari tanah Jawa. Sekarang aku sedang binggung apakah kita lebih baik kembali ke Monggolia dan melapor semua hal ini kepada Ka-Khan atau kita membantu panglima Wijaya untuk menguasai tanah Nusantara."
Lalu serentak para tentara itu berteriak,
"Kuasai Nusantara! Kami sudah bosan makan dan tidur. Sudah puluhan tahun kami tidak berperang, Ha ha.."
Mendengar hal itu Jendral Subodai berkata,
"Tapi bukankah itu berarti kita mengabaikan perintah Ka-Khan dan bertindak sendiri?"
Mendengar hal para tentara langsung terdiam. Meng Chi langsung berkata,
"Kalau kita menghancurkan negeri lain, bukankah Ka-Khan akan lebih senang. Tanah Nusantara dapat menjadi hadiah yang sangat istimewa untuk Ka-Khan".
Para serdadu langsung berteriak setuju kepada ide panglima Meng Chi. Jendral Subodai tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menyetujui hal itu. Namun dalam hatinya ia-pun senang karena ia dapat bertemu dengan Ayu.
Setelah pertemuan selesai, semua tentara dibubarkan dan kembali ke pos masing-masing. Pada malam itu diperkemahan panglima Wijaya juga diadakan rapat militer. Terlihat seorang perwira gagah berbaju panjang terbuat dari sutra dan bergambarkan naga terbang yang mencari bola api. Perwira itu bermata tajam dan berwajah tampan. Namanya adalah Chen Mien. Ia adalah tangan kanan panglima Wijaya. Disamping panglima Wijaya ada seorang perwira brewok yang besar dan gagah perkasa. Tinggi perwira itu mencapai lebih dari dua meter. Tubuh perwira itu penuh dengan otot dan bulu didadanya. Nama perwira itu adalah Suwongso.
Dalam rapat itu ia tertawa terbahak-bahak,
"Bah, Negeri Nusantara memang ditakdirkan untuk kita kuasai. Setelah tentara Mongol dan Kediri hancur, kitalah yang akan tertawa pada akhirnya."
Chen Mien pun berkata,
"Jangan senang dulu, Pasukan Monggolia bukanlah pasukan sembarangan".
Suwongso menjadi marah dan berkata,
"Bah, hanya karena negeri Sung (nama kerajaan di China dulu) mu hancur, tidak berarti pasukan Monggol sangat hebat. Negeri mu terlalu lemah, makanya hancur berantakan".
Chen Mien pun naik pitam dan berkata keras,
"Negeri Sung kalah karena kami membentuk persekutuan dengan Monggol, yang pada akhirnya setelah menghancurkan negeri Koryo (Korea), lalu mereka langsung mengkhianati perjanjian dan menyerang secara tiba-tiba".
Panglima Wijaya lalu berkata,
"Jangan terlalu gegabah, perwira Chen".
Chen Mien pun menjawab,
"Aku tidak ingin negeri Nusantara tertimpa bencana seperti negeri Sung."
Panglima Wijaya pun merasa senang karena ada perwira yang sangat memperhatikan negeri Nusantara. Perwira Suwongso pun kembali berteriak,
"Orang Sung memang lemah, buktikan kalau kamu kuat".
Chen Mien langsung mengeluarkan pedangnya. Ganggang pedang Chen terbuat dari batu giok berukiran naga. Begitu ditarik keluar dari bungkusan pedang, maka sinar pedangnya pun berkilau. Suwongso langsung melempar kursi duduknya ke Chen Mien. Perwira Chen langsung meloncati kursi itu.
Loncatan itu sangat tinggi dan pelan, bagaikan terbang melayang dilangit. Semua orang pun kaget melihatnya. Panglima Wijaya pun terkagum akan kekuatan perwira Chen. Setelah melayang sampai ke atas kepala Suwongso, perwira Chen langsung jatuh kebawah dengan pedang menghunus kebawah. Semua orang terkejut karena gerakan perwira Chen bagaikan elang terjun menangkap mangsa. Suwongso mencabut pedangnya dan menangkis serangan itu, namun ketajaman, kecepatan serta kekuatan pedang giok perwira Chen sangat besar sehingga golok besar Suwongso terbelah dua, dan pedang itu tepat berada diatas leher Suwongso.
"Sekarang apakah kamu sudah tahu kekuatan orang-orang Sung?"
"Hentikan sekarang juga" teriak panglima Wijaya.
Teriakan yang berwibawa itu mengagetkan dan sekaligus membangun lamunan semua orang yang ada di rapat itu.
"Kita masih ada musuh di depan, jangan lupakan hal itu. Sekarang kita akan bergabung dengan tentara Monggol untuk sementara, setelah itu kita baru akan menghabisi mereka apabila saatnya telah tiba, namun kita juga perlu hati-hati."
Perkataan itu mengakhiri rapat militer malam itu.
Pada pagi harinya panglima Wijaya bersama Ayu dan perwira Suwongso menemui Jendral Subodai. Jendral Monggol itu menyambut kedatangan Wijaya dengan gembira dan meyetujui perjanjian itu. Setelah berbincang-bincang, perwira Suwongso berpamit dan berjalan-jalan di perkemahan Monggol. Ia melihat tentara Monggol yang berlatih perang dengan giatnya. Suwongso menjadi binggung karena latihan tersebut tidak pernah ia jumpai sebelumnya.
Tiba-tiba seorang perwira raksasa yang ukuran tubuhnya lebih sedikit dari Suwongso datang dan berdiri dibelakangnya. Perwira itu tingginya hampir mencapai dua setengah meter, dan bersenjatakan rantai besi raksasa yang diikatkan pada sebuah bola baja berukuran super besar. Suwongso menjadi kaget, namun karena ia tidak ingin kalah malu maka ia pun berdiri tegak dan berhadapan dengan perwira raksasa Monggol tersebut.
"Namaku Mao Ton, Senang berjumpa dengan anda" kata perwira Monggol itu.
Suwongso pun memperkenalkan diri dan akhirnya ia pun berpamit keluar dari perkemahan itu karena ia merasa suasana semakin tidak enak. Saat ia pulang ke perkemahan Wijaya, ia bertemu dengan Chen Mien. Ia pun berkata,
"Kemarin malam perkataanmu benar, Pasukan Monggol memang bukan sembarang pasukan".
Chen Mien pun menjawab,
"Namun bukan berarti kita lemah, kita pun harus menunjukan kekuatan kita". Dengan wajah tersenyum Chen Mien dan Suwongso berteman kembali dan berlomba minum pada malam itu.
Keesokan harinya Ayu pergi sendirian berkuda menemui Jendral Subodai. Subodai sangat senang karena pada hari sebelumnya, ia tidak dapat berbicara dengan Ayu. Subodai pun berkuda berdua bersama Ayu di tengah hutan. Ayu-pun berkuda cepat dan tiba-tiba kuda Ayu jatuh ke dalam tanah. Ternyata ada jebakan dihutan itu, dan kuda Ayu mati terkena ranjau tombak.
Tiba-tiba ada seorang gendut brewok diikuti dua puluh orang lainnya muncul secara tiba-tiba. Mereka adalah perampok gunung dan mencoba untuk merapok Ayu. Namun Subodai muncul dengan tiba-tiba juga, Kuda Subodai melompat tinggi diangkasa dan terjunlah tiga anak panah dan membunuh tiga perampok dalam waktu yang sama.
"Hmm.. dalam keadaan berkuda melayang, pria aneh itu dapat melepaskan tiga anak panah sekaligus dan membunuh tiga anak buah ku dalam waktu bersamaan. Siapakah orang itu?" tanya orang gendut brewok itu.
Saat kuda itu turun ke tanah, sepuluh perampok menyerang bersamaan, namun tombak Subodai dapat menangani mereka dengan sangat mudahnya. Badan Subodai tidak bergerak sama sekali, hanya kedua lengannya yang bergerak.
"Perampok busuk, dengan kekuatan kalian yang lemah, aku sanggup membunuh kalian dengan satu tangan".
Lalu Subodai pun turun dari kuda dan orang gendut bersama anak buah itu menyerang bersamaan. Badan Subodai menghindar semua serangan seperti daun yang ditiup angin. Pedang Subodai menebas leher semua perampok dalam waktu bersamaan. Subodai pun membawa Ayu pergi dari tempat itu dengan kudanya. Kuda itu pun berlari kencang dan akhirnya mereka keluar dari hutan lebat itu dan menjumpai padang rumput yang subur dan indah. Ayu duduk diatas kuda tepat di depan Subodai.
Subodai memeluk badan Ayu dari belakang dan tanpa sengaja ia memegang payudara Ayu.
"Auwww.." pinta Ayu.
Penis Subodai langsung menegang dan akhirnya Ayu berbalik kepalanya dan mencium bibir Subodai. Tangan Subodai langsung mengembara ke seluruh badan Ayu. Ayu langsung merubah posisi duduknya menghadap Subodai dari depan. Subodai dan Ayu langsung menelanjangkan diri dan melempar pakaiannya ke padang rumput itu. Kuda Subodai terus-terusan berlari dan melewati sungai besar.
Ciplakan air sungai yang berasal dari kuda itu menyemprot ke atas kuda dan mengenai badan Ayu. Terlihatlah tubuh yang indah bersinar terang. Paha Ayu langsung mengunci pinggul Subodai. Tangan Ayu langsung memeluk leher Subodai dan payudaranya menempel di dada Subodai yang gagah. Subodai langsung menancapkan penisnya ke anus Ayu. Kuda itu berlari dengan kencangnya, maka dengan otomatis badan Ayu dan Subodai terdorong ke atas dan kebawah. Semakin dalam sungai itu, semakin tinggi air yang menutupi ke dua tubuh mereka.
Subodai dari posisi duduk langsung membaringkan Ayu ke punggung kuda. Lalu cumbuan Subodai bertambah ganas diiringi dengan larian kuda. Akhirnya mereka berdua jatuh ke dalam sungai dan melanjutkannya didalam sungai. Saat kepala mereka berdua muncul ke atas sungai, kepala mereka berada dalam posisi ciuman. Paha Ayu masih menempel di pinggul Subodai, tangan Subodai menempel di kedua pantat Ayu dan penis Subodai telah masuk ke dalam vagina Ayu.
"Uh.. Oh.. Ah.." desahan kuat keluar dari mulut mereka berdua.
Akhirnya Subodai merasakan orgasme yang kuat dan memuncratkan spermanya di dalam sungai. Mereka pun kembali bangkit ke kudanya yang tengah beristirahat, dan kembali ke padang rumput untuk berpakaian kembali. Pada saat dipadang rumput kuda Subodai kembali kelelahan dan lapar, maka kuda itu beristirahat dan memakan rumput.
Subodai dan Ayu berbaring di rumput sambil bergandengan tangan. Gandengan itu tidak bertahan lama. Subodai langsung merangkul Ayu lalu mencium Ayu dengan ganasnya. Ayu membalas ciuman itu dengan tidak kalah ganasnya. Lidah mereka bermain-main didalam mulut. Kemudian Subodai langsung menelanjangkan dirinya dan Ayu. Ia pun langsung menjilati vagina Ayu. Tangan Ayu langsung memegang erat kepala Subodai dan mendorongnya kedepan vaginanya. Hal itu membuat Subodai bertambah ganas.
"Ah, Ah, nikmat.. Lagi.. Lagi.. Lagi" desah Ayu dengan wajahnya yang penuh kharisma dan rambutnya terbelai kebawah menutup sebagian wajah cantiknya.
Mulut Ayu terbuka sebagian mendesah kenikmatan. Lalu ia langsung bangkit dan menduduki wajah Subodai. Vaginanya menekan ke wajah Subodai. Beberapa saat kemudian, Subodai bangkit dan langsung menancapkan rudalnya ke lubang vagina Ayu. Wajah Ayu berubah bertambah seksi dan mengoda seperti rusa betina yang haus akan seks. Subodai bertambah ganas dan mencium sambil bercumbu pada Ayu. Beberapa saat kemudian ia mencapai tahap orgasme, dan menyemprotkan spermannya ke atas rumput. Mereka pun jatuh lemas, saling merangkul dan berciuman. Mereka pun tertidur sesaat sampai malam tiba, kemudian berkuda kembali ke perkemahan Monggol.
Malam itu juga Ayu pamit pulang ke perkemahan Wijaya, dan Subodai pun menyelesaikan makan malamnya. Setelah itu ia pun masuk ke kamarnya dan ingin tidur, namun tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Ternyata orang itu adalah Meng Chi.
"Apakah Jendral puas jalan-jalan ke padang rumput?" tanya Meng Chi.
"Apa maumu?" tanya Subodai.
"Aku tahu kalau Jendral mengijinkan kita berperang karena Jendral suka terhadap putri panglima Wijaya".
"Apa katamu?" teriak Subodai.
"Jangan terlalu keras, Jendral. Apabila para tentara mengetahui hal ini, wibawamu akan hilang, semangat perang mereka pun menurun, dan kau sendiri akan mebdapat musibah besar".
Subodai langsung mencabut pedangnya dan mengarahkan keleher Meng Chi.
"Kalau Jendral membunuhku, hal ini malah akan tersebar lebih cepat dikalangan tentara, ha ha.."
Subodai pun kembali memasukan pedangnya dan berkata,
"Aku mengerti apa maumu".
"Selamat tidur Jendral" kata Meng Chi dan berpamit keluar dari kamar itu.
Subodai merasa gelisah dan tiba-tiba ia melihat perwira Baatur berdiri diluar pintu kamar itu dengan wajah sedih. Subodai menjadi sangat kaget, karena perwira setianya mengetahui masalah ia dan Ayu. Subodai tidak dapat berkata apa-apa. Ia hanya saling berpandangan dengan Baatur.
Bersambung . . . .