Lain-lain
Thursday, 20 May 2010
Ambisi Wijaya - 4
Ia-pun pergi ke kamar Chen, namun sampai tengah perjalanan di dalam istana, ia merasa malu dan kembali ke kamarnya. Ia terus-terusan gelisah karena tidak tahu apa yang harus ia lakukan, maka setelah lama kemudian akhirnya ia berdiri dari ranjangnya dan memutuskan untuk menjengguk perwira Chen untuk yang terakhirnya.
Sesampainya ia dipintu kamar sendiri, di bukalah pintu itu dan tiba-tiba seorang pembantunya dataang dengan wajah penuh darah dan cabikan golok. Putri Dwimurni pun kaget dan berteriak.
"Putri, cepat kabur, pasukan Narwajo sudah berada dalam istana ini" kata pembantu itu, kemudian ia jatuh ke tanah dan mati seketika.
Putri Dwimurni segera lari keluar dari kamarnya dan menuju taman istana. Disana ia melihat ratusan tentara berperang dan mayat panglima Lorosawe terbaring diatas pancuran air taman.
"Ayah!!" teriak Dwimurni sambil menangis.
Kemudian ia sadar kalau di belakangnya ada seorang jahat, besar, dan penuh dengan otak busuk, berdiri dibelakanganya.
"Salam putri, Namaku Pamong, perwira tinggi yang paling dipercayai oleh panglima Narwarjo dalam melaksanakan setiap tugas."
Pria itu badannya gendut sekali dan tingginya mencapai lebih dari dua meter. Ia lalu mengangkat golok besarnya dan bersiap untuk menghancurkan Dwimurni berkeping-keping. Tiba-tiba sebuah panah melesat menusuk lengan Pamong. Ternyata perwira Chen Mien telah datang dengan menaiki sebuah kuda. Ia melesat cepat dan mengendong putri Dwimurni ke atas kuda. Lalu mereka pun kabur sampai keluar istana.
Ratusan tentara mencoba mengejar dan membunuh mereka berdua, namun Chen Mien berhasil melindungi putri cantik itu sampai ke hutan. Namun tiba-tiba puluhan tentara bayaran muncul secara tiba-tiba didalam hutan itu. Karena harus melindungi putri itu, maka Chen Mien banyak menerima sabitan tombak dan pedang. Baju perang Chen terkoyak-koyak dan banyak darah mengalir keluar. Chen Mien terus bertahan sampai akhirnya puluhan orang itu berhasil dibunuh semua.
Putri Dwimurni duduk di depan Chen Mien dan dipeluk dari belakang agar aman. Pelukan hangat itu membuat putri Dwimurni merasa nyaman, lalu putri itu mendekatkan kepalanya ke dada Chen. Perwira Chen Mien lalu melihat wajah putri yang cantik dan terkena sinar bulan itu dengan pandangan yang hangat. Namun tiba-tiba perwira gendut Pamong muncul dengan ratusan tentara berkuda dari belakang. Chen lalu berkuda dengan kecepatan tinggi sampai keluar dari hutan itu.
Setelah sesaat kemudian perwira Pamong pun berhasil keluar dari hutan itu, namun ia tiba-tiba terdiam karena di depan hutan itu ada ribuan tentara Wijaya yang dipimpin oleh perwira Suwongso.
"Chen Mien, pergilah ke perkemahan sekarang, biar cecurut ini aku yang tangani".
Chen Mien pun melesat cepat kabur. Badan Suwongso hampir sama besar dengan perwira Pamong. Karena mereka berdua mempunyai gengsi yang sama, maka mereka berdua turun dari kuda dan duel satu lawan satu, tanpa menggunakan senjata. Perkelahian mereka berdua disaksikan oleh ribuan tentara secara kagum. Dua perwira raksasa bergulat di bawah sinar rembulan berlangsung sangat seru. Tanah dan pasir pun terangkat dan teriakan mereka berdua membuat binatang-binatang disekitar kabur ketakutan. Mereka saling meninju dan membanting. Beberapa saat kemudian mentari pun menampakkan kepalanya. Duel itu masih belum selesai. Namun akhirnya kedua perwira itu memutuskan untuk melanjutkannya dilain hari. Perwira Pamong kembali ke benteng pertahanan Lorosawe, sedangkan perwira Suwongso berkuda kembali ke perkemahan Wijaya.
Perwira Chen yang masih berkuda cepat itu mengendong putri Dwimurni dengan erat-erat. Tanpa sengaja tangannya menyentuh payudara putri. Perwira Chen segera menarik tangannya dari tempat terlarang itu, namun ditahan oleh tangan putri. Akhirnya perwira Chen tidak dapat menahan nafsu, dan melanjutkan mengembara di tubuh bagian depan putri. Penis Chen pun menegang sehingga dapat dirasakan oleh putri itu.
Akhirnya mereka pun sampai di perkemahan Wijaya dan perwira Chen pun jatuh dari kuda karena telah kehilangan banyak darah. Luka lamanya pun banyak yang terbuka kembali. Maka ia segera dilarikan ke bagian perawatan. Chen Mien baru bangun setelah beberapa hari. Saat ia bangun terlihatlah putri Dwimurni tertidur diatas selimut Chen. Maka Chen pun mengendong putri itu secara pelan-pelan dan menaruhnya diranjang serta membantu menutup selimut padanya. Chen lalu menganti baju lamanya dengan baju perang. Proses mengganti baju itu terlihat oleh Sang putri karena ia pun baru saja bangun. Terlihatlah otot yang kekar, dan menawan dari tubuh Chen. Setelah itu putri langsung kembali tidur.
Perwira Chen keluar dari perkemahan itu dan disambut oleh tentara yang berjaga disekitar daerah itu. Perwira Chen pun meluangkan waktu beberapa saat untuk berbincang-bincang dan membagi pengalaman dengan para tentara. Lama kemudian tiba-tiba Panglima Wijaya datang ke tempat itu bersama perwira Suwongso. Akhirnya mereka pun berbincang lama disana hingga pagi.
Beberapa hari kemudian diadakanlah upacara peringatan kepada panglima Lorosawe yang dibunuh tentara Narwajo. Upacara itu dilakukan dibelakang hutan di dekat perkemahan itu. Akhirnya pada sore hari semua orang pulang ketempat masing-masing kecuali putri Dwimurni dan perwira Chen. Karena tidak ada orang lagi, maka Sang putri akhirnya bisa melepaskan tangis sedihnya yang telah lama ia simpan. Perwira Chen pun sedih karena panglima Lorosawe selalu memperlakukan perwira Chen dengan hormat. Dwimurni menangis dan akhirnya dipeluk oleh perwira Chen. Dwimurni menangis sambil memeluk balik Sang perwira. Air tangisan itu membasahi dada perwira yang membuatnya bertambah dendam dengan panglima Nawarjo.
Akhirnya mereka pun berkuda balik ke perkemahan. Saat ditengah hutan terjadilah hujan deras. Putri itu yang telah terdiam sejak lama duduk diatas kuda tepat di depan perwira Chen. Hujan makin deras dan kuda itu akhirnya hanya bisa diikatkan di pohon untuk sementara waktu. Perwira Chen akhirnya memeluk erat putri Dwimurni dan berkata,
"Aku bersumpah akan memenggal kepala Nawarjo dengan tanganku sendiri. Aku akan membalaskan dendam kita berdua".
Putri itu pun melihat ke wajah Chen yang sangat serius pada waktu itu. Akhirnya putri itu memeluk balik dengan penuh hangat dan berkata terima kasih. Perwira Chen melihat wajah cantik putri itu dan lalu mencium bibirnya.
Ciuman yang hangat itu diterima oleh Sang putri dan dibalas dengan hangat pula. Hujan bertambah deras dan abju mereka basah semua. Kedua payudara putri yang berisi makin terasa hangat dan akhirnya penis Chen pun berdiri tenggang. Akhirnya mereka berdua menelanjangkan masing-masing dan berpelukan dalam keadaan telanjang. Hujan pun bertambah deras dan air pun mengenai kedua tubuh mereka bagai pancuran air mandi. Kedua tangan Chen meraba dari punggung sampai ke pantat. Punggung Dwi sangatlah seksi dan pantatnya pun padat berisi.
Akhirnya mereka berdua bersandar di pohon. Rabaan Chen Mien sampai ke paha mulus Dwi. Putri itu pun mengangkat pahanya sebelah kanan agar lebih mudah dan enak diraba. Setelah paha itu diraba hingga puas. Chen turun ke bagian bawah paha Dwi dan menjilati vaginanya. Kedua paha Dwi langsung mengapit keras kepala Chen. Tangannya pun mendorong kepala Chen agar masuk lebih agak dalam. Kedua betis Dwi disilangkan ke belakang punggung Chen. Punggung Dwi pun tertekan ke pohon. Proses luar biasa itu berlangsung lama dan Chen kemudian puas menjilati vagina putri itu.
Chen menerobos silangan betis Dwi, Akhirnya silangan kaki yang mengunci kepala Chen sekarang mengunci pinggul Chen. Lalu Chen pun memasukkan penisnya ke dalam vagina Dwi dan dilakukan berulang ulang. Kedua tangan Dwi berpegang pada dua ranting pohon yang besar agar tidak jatuh. Kedua tangan Chen meraba-raba payudara dan tubuh bagian lain Dwi secara ganas, sedangkan penisnya mencumbui vagina Dwi secara berulang-ulang.
"Oh.. Oh.. Satria ku.. Kekasihku.. Ah!!" desah Dwi.
Setelah itu, ranting pohon yang besar itu pun patah dan Dwi berdesah keras karena ia mencapai tahap orgasme,
"Aaahh..!!".
Perwira Chen langsung bertukar posisi. Sekarang Dwi berdiri dan memperlihatkan pantat seksi dan padatnya itu. Chen langsung menjilati pantat yang basah akibat terkena air hujan itu dengan ganasnya. Jilatan itu berlangsung dari kulit mulus pantat sampai ke dalam lubangnya.
"Slrup.. Slrup"
Akhirnya Chen kembali berdiri dan mencumbui pantat Dwimurni.
"Ahh.." teriak kenikmatan Dwi secara keras dan membangkit selera Chen.
Pantat yang padat dan seksi itu dibekali dngan lubang yang padat. Pada pertama kalinya lubang itu gampang ditembus dari luar karena ada air hujan, namun makin dalam lubang itu, makin sempit. Karena saking nikmatnya cumbuan lubang sempit itu, maka perwira Chen akhirnya mencapai tahap orgasme dan spermanya mengucur keluar didalam pantat Dwi.
Akhirnya mereka jatuh lemas dan bersender di pohon dalam keadaan berpelukan dan berciuman. Lidah dan gigi Dwi dan Chen saling beradu dan akhirnya air liur Dwi semua dihisap dan ditelan Chen.
"Mmm.. Mmm.." desah Dwi.
Hisapan itu membuat pipi Dwi menipis. Lalu mereka melanjutkan ciuman itu dan apabila liur itu sudah penuh maka giliran Dwi yang menghisap semuanya, dan hal itu dilakukan secara bergantian dan berulang-ulang. Setelah hujan reda akhirnya mereka berkuda balik ke perkemahan.
Di keesokan harinya mereka berdua demam, dan banyak orang yang mengatakan bahwa putri Dwi sangat cinta pada ayahnya sehingga putri berdoa untuk ayahnya walaupun dalam keadaan hujan. Banyak orang juga mengatakan bahwa perwira Chen sangatlah setia dan menghormati Lorosawe, sehingga ia rela berdiri seharian di tempat upacara itu walau hujan turun lebat. Tidak ada seorangpun yang tahu kalau cerita sebenarnya adalah mereka berdua bercumbu saat hujan lebat di tengah hutan.
Keesokan harinya Suwongso memimpin lima ribu tentara dan menyerang daerah barat untuk merebut kembali tanah kerajaan bekas Lorosawe itu. Serangan ke istana itu disambut dengan serangan perwira gendut Pamong yang tak kalah ganasnya. Karena serangan mereka berdua begitu ganas, maka akhirnya tiga ribu tentara dari pihak Wijaya gugur, sedangkan dari pihak musuh, lima ribu tentara gugur, dan Pamong sendiri mati terbunuh oleh sabetan golok besar Suwongso. Ternyata perwira gendut Pamong tidak jago menggunakan senjata. Ia hanya jago dalam bergulat. Suwongso merasa kecewa karena musuhnya itu ternyata jauh lebih lemah dari yang ia harapkan.
Akhirnya Wijaya berhasil menguasai bagian barat dan tentaranya bertambah banyak dan kuat sejak saat itu. Sedangkan pada saat itu juga panglima Nawarjo tidak mengetahui berita buruk itu. Ia masih berpesta atas kemenangannya dalam membunuh pengkhianat. Puluhan gadis cantik menari setengah telanjang di pesta itu. Nawarjo yang sudah bernafsu badak itu langsung menelanjangkan dirinya dan bergabung dengan puluhan wanita cantik yang sedang menari.
Para wanita itu menggodanya dengan selendang sutra. Tangan Nawarjo dengan ganas bergerak kesana kemari untuk memegang payudara dan pantat para penari. Penari itu lalu semua bergerak menempel ke Nawarjo dan sekarang badan Nawarjo di penuhi dengan tempelan payudara dan pantat. Penis Nawarjo Diapit oleh kedua payudara dari salah satu penari. Arak dan anggur bersiram-siraman membuat tubuh basah dan enak dirasa.
"Ha.. Ha.. Ha.. Ha, ini memang surga dunia" teriak Nawarjo sambil menjilati punggung wanita yang manis akan rasa anggur.
Lalu ia pun jatuh ke ranjang yang telah disiapkan. Puluhan wanita itu mengerogoti tubuh Nawarjo dengan ganas. Muka Nawarjo diduduki oleh vagina penari. Tangan kirinya diapit payudara dan tangan kanannya diduduki pantat yanng padat berisi. Penisnya pun telah dicumbui oleh para penari. Kedua kakinya di tempeli payudara-payudara seksi. Sedangkan dada dan perutnya ada yang diduduki penari, dan ada juga yang menempelkan payudaranya.
Wanita yang menduduki wajah Nawarjo itu mecapai tahap orgasme dan air vaginanya bersiram keluar serta dihisap semuanya oleh Nawarjo. Lalu wanita itu berdiri dan di ganti tiga wanita lainnya. Tiga wanita lainnya itu langsung menciumi bibir Nawarjo dan tiga lidah dari wanita seksi yang bercampur liur itu menjelajah dengan ganasnya didalam mulut Nawarjo.
Tidak lama kemudian seorang tentara datang dan melaporkan bahwa wilayah barat telah dikuasai Wijaya. Nawarjo langsung bangun terbengong-bengong. Para penari semua lari pergi ketakutan. Nawarjo yang dalam keadaan terangsang akan seks, di kageti dengan berita yang sangat buruk. Penis Nawarjo langsung melemas kembali.
Ia pun berteriak keras dan menendang meja makan kecil di depannya.
"Beraninya perwira besarku dibunuh, dan wilayahku dirampas," kata Nawarjo, kemudian ia terdiam sebentar lalu berteriak keras,
"Wijayaa..!!"
Mata dan wajahnya berubah merah. Giginya tertekan keras dalam mulutnya sampai mengeluarkan darah. Dendam Nawarjo ini sangatlah besar. Apakah ini berarti ia akan menyerang Wijaya secara habis-habisan?
Bersambung . . .