Lain-lain
Wednesday, 26 May 2010
Antara Pekanbaru - Jakarta - 3
"Hai bangun.. Kita harus makan dulu ntar kelaparan,"aku berkata sambil membelai rambutnya.
Dia kaget melihat posisi tidurnya yang sudah dalam pelukanku dan tangan kanannya masih tetap menekan penisku.
"Wah.. Aku kok jadi gini tidurnya"
"Tadi kamu rebah ke bahuku, aku mau bangunin tapi kulihat kamu nyeyak sekali.. Ya kubiarkan aja, kamu marah.."
Aku menerangkan apa yang terjadi, tapi tentu saja tidak semuanya, karena soal siku mendarat di payudara harus ditutup rapat dulu.
"Oh.. Maaf ya bang, Ina jadi membebani Abang"dia menjawab sambil bangkit dan terus mengambil sisir.
Dalam hati aku berkata, "Nggak tahu dia, memang itu yang kuharap"
"Ok mari kita turun, Ina Abang tunggu diruang makan ya.., e.. e.. mandinya jangan lama lama!, busnya cuma berhenti 30 menit"
"Iya bang" Ina berlalu menuju kamar mandi perempuan.
Perjalanan kembali dilanjutkan dengan sopir yang sudah berganti dan kulihat jam di dinding depan bus menunjukkan pukul 11 malam. Udara didalam bus semakin terasa menusuk tulang, padahal ac sudah di set oleh kondektur pada setting minimum. Namun yang pasti setelah makan malam aku dan Ina sudah semakin akrab, malah sewaktu keluar dari rumah makan dia sempat bergelayutan dipundakku.
Karena sama sama kedinginan secara reflex kami mulai saling merapatkan tubuh mencari kehangatan.
"Ina nggak bawa jaket," aku bertanya karena melihat dia sedikit mengigil kedinginan
"Lupa bang.. Padahal tadi sudah ditarok diatas meja, tapi tak apalah kan ada selimut hangat nih, Abang tak kedinginan"
"Sebetulnya dingin sih, Cuma jadi hangat karena duduk disamping Ina"
"Nah.. Jangan macam macam ya.. Kan sudah janji"dia seperti mengancam aku, tetapi justru duduknya semakin merapat.
"He he.."
Aku hanya menyeringai dan lansung meraih selimut buat menutupi kakiku. Kulihat Ina juga melakukan hal yang sama, akhirnya selimut tersebut bertaut menjadi satu menutupi bagian bawah tubuh kami. Lampu interior satu demi satu dimatikan, hanya lampu di pintu toilet yang masih menyala. Sungguh suasana yang sangat romantis, ditambah lagi dengan alunan lembut suara penyanyi dari sound sytem mobil 'When a Man Love a Woman'.
Kali ini jalan yang kami tempuh lebih banyak dalam kondisi lurus serta mulus sehingga memuat sang sopir betul betul memaksimalkan kecepatan busnya. Guncangan dan bantingan sudah jarang terjadi, akibatnya hampir sebagian besar penumpang tertidur dengan pulasnya. Tapi aku nggak bisa tidur, perasaanku begitu gelisah, hangatnya tubuh Ina telah membangkitkan gairahku. Apa yang harus kulakukan, ini didalam bus bukan dihotel! tapi bukanlah laki laki namanya kalau nggak berani mencoba dan berusaha.
"Ina.."
"Ya bang"
"Ina kedinginan ya"
"Iya bang"
Oouup! satu kesempatan terbuka sudah, dengan hati hati kuletakkan tanganku diatas pundak kirinya., lalu kutarik pelan tubuhnya sambil berkata.
"Mungking dengan begini Ina akan lebih hangat.."
"Ah.. Abang"
Dia seperti enggan kupeluk tetapi juga tidak berusaha untuk menolak, malu malu kucing kali. Sekarang tubuhnya telah dalam pelukanku, kepalanya bersandar dipundak kiriku, wangi rambutnya kembali membuka pintu syahwat seorang pejantan. Tangan kanannya kuraih dan jemari nya kegenggam dengan erat, Ina diam.. Hanya nafasnya yang terdengar menjadi lebih berat.
Kuremas tangan itu dan dia membalasya.. Wow.. Tubuhku seperti dialiri ribuan watt birahi elektrik. Nafasku mulai memburu dan sesuatu diselangkangan mulai mengejang, meregang tegang, akankah dia dapat jatah kepuasan malam ini. Aku semakin berani, tangannya kuletakkan dipahaku dan dia kurengkuh lebih erat. Aku ingin menciumnya tapi aku mesti plengak plengok dulu.
"Ada yang ngintip nggak ya!".
Orang orang disekelilingku ternyata sudah tidur semua, bunyi dengkur mereka bersahut sahutan, ada yang hanya mendesis laksana kobra, ada pula yang mencicit kayak bunyi tikus dan ada pula yang berat menderam seperti bunyi knalpot Honda tiger, atau jangan jangan sudah pada ngiler kali.
Wah kayaknya situasi sudah aman terkendali, sekaranglah saat yang tepat untuk memulai perang gerilya menyusuri bukit, lembah dan hutan lindungnya si Ina. Bahu kanannya kurengkuh lagi, sekarang wajah kami saling berhadapan, desahan nafas saling menghempas dan mata kami bertatapan dalam remang cahaya lampu mobil yang berpapasan.
"Ina.. Kalau Abang minta sesuatu.. Ina mau nggak!"
Aku berfikir, kalau menghadapi gadis yang bersifat terbuka seperti si Ina ini, lebih baik menerapkan strategi terus terang daripada terus tembak. Kalau terus tembak dan dia menolak, celaka lah kita.. Nggak bakal bisa diapa apain lagi. Tapi kalau kita minta dia nggak kasih.. Ya tinggal dirayu aja, toh masih ada waktu 29 jam lagi, masak nggak dapat sih!
"Abang mau minta apa, kue lagi"
"I yya.. Tapi kuenya lain"
"Kue apa yang Abang maksud..!"
Dia mengangkat kepala dan sorot matanya demikian seriusnya menanti jawabanku.
"Abang mau kan kue-kue itu tuh.."
Aku sengaja menurunkan tangan kananku sehingga menyentuh payudaranya.
"Kue yang mana bang?"
Dia lebih mendekatkan wajahnya kemukaku karena penasaran, saking dekatnya aku dapat mencium wangi bedak yang dia pakai, uh.. Libidoku laksana api disiram bensin, berkobar dan makin berkobar, oh akankah dia mau memadamkan gelora api asmara itu.
"Yang ini.. Ah"
Aku sengaja mengosokkan tangan kananku kepermukaan kedua payudaranya.
"Tuh kan.. Betul Abang mulai macam macam kan"
Dia berkata sambil mengerutkan jidatnya, tapi posisi tubuhnya sama sekali tidak berubah. Biasa.. Gadis gadis biasanya tidak akan mengatakan 'mau' ketika kita minta, hanya feeling sebagai lelakilah yang dapat menentukan dia mau atau menolak! Malam ini sepertinya salah satu malam keberungtungan dalam hidupku, aku tahu dengan pasti bahwa si Ina sudah jatuh dalam pelukanku. Aku makin mendekatkan wajah ku sehingga bibir kami saling bertemu. Kurasakan tubuhnya bergetar, nafasnya mulai sesak dan dia menarik tubuhnya kebelakang menjauhiku.
"Kenapa Ina"!"
Aku bertanya untuk menghilangkan kegugupannya
"Nggak papa bang.. Maaf ini baru pertama bibir Ina disentuh laki laki"
"Oh.."
Dalam hati aku berkata 'Hore' dapat perawan lagi nih.
"Abang juga minta maaf ya"
Aku memang minta maaf tapi pelukan semakin kupererat, sekarang bibirnya bukan hanya kusentuh tetapi mulai kukecup dengan lembut. Mula mula Ina diam saja, bibirnya bergetar tapi masih tertutup rapat. Kusentuhkan ujung lidahku diantara belahan bibirnya yang merah merekah tiba tiba.
"Oohh bang.. Ina"
Kata katanya tak terucap karena bibirnya mulai terbuka dan tanpa buang waktu segera kulumat dengan penuh perasaan.
"Bang.. Jangan.."
"Kenapa.. Sayang"
"Malu ntar dilihat orang"
"Kalau nggak ada yang lihat!"
"Ah.. Abang.."
"Ina.. Semua penumpang sudah tidur kok.. Nggak usah kawatir"
Kembali bibir kami berpagutan, lidahku segera kuberi tugas untuk melakukan penetrasi ke mulut Ina dan melakukan liukan demi liukan pemancing serta pembangkit nafsu si Ina. Ina mulai sedikit terangsang, kalau tadi dia cuma diam dan pasrah, sekarang pelan tapi masih malu malu ujung lidahnya terasa melayani lidahku, mereka beradu dan saling melilit, semakin membakar gairah kami. Tanganku mulai turun meraba payudara kanannya, kurasakan hentakan pada tubuh Ina ketika jari jemariku berhasil menyusup diantara branya. Oh.. Teteknya begitu kenyal dan halus.
"Abang.. Jangan.. Bang"
Ina mengeluh tanpa membuka matanya, aku tahu dia tidak sungguh sunguh berkata jangan. Bisa saja yang diamaksud dengan kata jangan adalah 'jangan berhenti bang'. Dalam keremangan aku menemukan pengait bra si Ina, rupanya bra itu punya pengait dibagian depan.
"Bret"
Sekali tarik pengait itu lepas dan oh.. dalam keremangan cahaya yang romatis, aku dapat melihat dengan jelas dua bulatan lonjong memanjang, tergantung didada Ina dengan anggunnya. Bajunya segera kusingkap ke atas dan tanpa dapat ditahan lagi bibir ku sudah mendarat diputing susunya.
"Ah.. Abang, jangan.. Bang.. Jangan.."
Hanya kata kata itu yang keluar dari mulut Ina ketika teteknya kuremas dan putingnya kuhisap sambil kujilat. Aku jadi begitu sibuk berpindah dari payudara kiri ke payudara kanan, meremas, membelai, menghisap, memlintir putingnya dan yang terdengar hanya erangan Ina serta bunyi cpet, cput sshh dari mulut ku yang bermain dipermukaan payudara si Ina.
Kuangkat kedua selimut kami agar tetap menutupi semua gerakan yang sedang kami lakukan. Mata sayu Ina sekarang semakin sayu dan redup, bebirnya merekah menunggu sergapan cinta birahiku. Pelan pelan tanganku mulai turun mencari ujung roknya, sambil membelai pahaya rok itu ku sibak sedikit demi sedikit. Ina tidak menyadari kalau tangan ku sudah tiba dipangkal pahanya, karena dia begitu terhanyut oleh nikmatnya hisapan bibirku diputing susunya. Permukaan tanganku sudah dapat merasakan cairan hangat yang menutupi permukaan vaginanya. Lembut vagina itu kusentuh dengan ujung telunjukku dan,
"Ah.. Abang jangan sentuh itu.. Bang.. Tolong jangan bang"
"Nggak apa apa kok sayang, Abang hanya menyentuhnya nggak lebih kok"
Karena kurasakan tidak ada penolakan dari Ina, aku semakin berani menggarap vaginanya. Aku meremasnya dengan penuh irama dan dari mulut Ina hanya lenguhan kenikmatan yang dapat kudengar.
"Ah.. Abang nakal sih"
"Iya Abang memang nakal, tapi Ina sukakan..!"
"Ah.. Jangan dibuka Bang, nanti.."
Kata katanya terputus karena clitorisnya kusentuh, tubuhnya kembali bergetar hebat dan pinggulnya mulai bergerak mengikuti irama jari jariku dipermukaan vaginanya. Pahanya sedikit kurenggangkan agar vagina Ina lebih terbuka. Ina tidak lagi peduli dengan orang orang disekitarnya, erangannya makin lama makin keras terdengar.
"Ina.. suaranya ditahan dikit.."
"Abang sih, nakal.."
Dia menjawab sambil melumat habis bibirku. Jariku mulai menyibak belahan vaginanya yang hangat dan terasa licin karena basah. Aku tahu dia masih perawan karena itu aku hanya membiarkan jari telunjukku membujur menutupi lobang vaginanya. Sesekali kugerakkan agar dapat menyentuh clitorisnya.
Erangan demi erangan lamat lamat terus terdengar dari mulut Ina, tapi sekarang tiba tiba dia diam menahan nafas, tubuhnya mengigil, tangannya erat merangkul pundakku.
"Kenapa Ina," aku bertanya.
"Bang.. Ina nggak tahan, sepertinya mau pipis, oh.. Enak bang.. Terus.. Sentuh lagi Bang, terus"
Aku dapat merasakan kalau Ina sudah mendekati orgasmenya yang pertama, jari jemariku semakin lincah bermain di permukaan vaginanya, puting susunya terus kuhisap dan kujilat, sedangkan tangan kiriku tak henti meremas payudara kirinya.
"Oh.. Abang.. Ina.. nggak.. Tahan"
Cengkraman tangannya terasa begitu kuat di pundakku, pinggulnya bergoyang hebat, matanya mendelik sehingga hanya putihnya yang kelihatan. Sementara itu tangan ku basah disirami tetes tetes cairan kenikmatan ketika Ina mencapai klimaksnya. Sekarang dia terdiam dengan nafas yang memburu, kepalanya tersandar didadaku. Gejolak birahiku makin menjadi, sambil menciumi rambut kepangnya aku membuka ruesleting celanaku. Tangan Ina kuraih dan kutuntun agar memegang penisku yang sudah tegang menantang.
Bersambung . . . .