Lain-lain
Thursday, 20 May 2010
Ambisi Wijaya - 6
Melihat hal itu Chen Mien langsung memerintah tentaranya untuk menghukum mati para perwira musuh,
"Aku paling benci para pengkhianat. Apabila panglima kalian saja bisa kalian khianati seperti ini, bagaimana dengan aku yang hanyalah perwira kecil," kata Chen Mien dengan wajahnya yang penuh amarah.
Chen Mien langsung mengambil pisau kecil dan memotong semua tali yang mengikat panglima Tanjung Palaka serta memberinya mantel agar panglima itu terhindar dari derasnya air hujan,
"Apa-apaan ini," tanya panglima yang sedang kebinggungan itu.
"Anda adalah panglima yang hebat. Aku benar-benar kagum pada anda sejak pertama kali kita berperang," jawab Chen Mien.
Panglima Palaka itu terharu lalu bersujud di depan Chen dan berkata, "Aku juga sangat kagum pada anda. Anda tidak hanya kuat dan jantan, namun anda juga memiliki hati nurani yang besar. Aku Tanjung Palaka merasa sangat terhormat dapat gugur ditangan anda."
Chen Mien langsung mempersilahkan ia berdiri dan membujuknya untuk bergabung dengan Panglima Wijaya. Ia langsung setuju dan bersumpah untuk rela mati memperjuangkan ambisi Wijaya untuk menguasai Nusantara.
Dengan bergabungnya Tanjung Palaka ratusan ribu rakyat ikut senang, karena negeri Kertanegara kuno yang telah terpecah belah, kini telah menyatu kembali. Panglima Wijaya sendiri datang ke negeri selatan dan saat ia bertemu dengan Tanjung Palaka, mereka langsung berpelukan. Ratusan ribu rakyat langsung menangis terharu karena mereka sekarang dapat bertemu kembali dengan sanak saudaranya yang terpisah lama, sejak kerajaan Kertanegara di pecah belah. Upacara itu juga sekaligus melantik Wijaya menjadi Jendral dan menguasai wilayah Kertanegara yang dulu.
Namun upacara itu tidak berakhir dengan bagus. Ada seorang tentara yang terluka berat dan berkuda ke arena upacara. Tentara itu langsung jatuh dari kuda pada saat ia melihat Jendral Wijaya,
"Perkemahan kita diserang tentara Kediri," kata tentara itu dan menghembus napas terakhir.
Chen Mien langsung memimpin puluhan ribu tentara ke daerah itu dan menemukan banyak mayat. Para rakyat mengatakan bahwa banyak orang yang diculik termasuk putri Dwimurni sendiri. Perwira Chen langsung terdiam dan tidak dapat berkata apa-apa.
Ternyata hal licik itu dilakukan oleh panglima dari Kediri, panglima Merauke. Serangan tiba-tiba itu dilakukan untuk menghancurkan kekuatan Wijaya pada saat ia tidak siap. Serangan itu berhasil, dan WIjaya harus membangun ulang kerajaannya dalam waktu paling sedikit satu setengah tahun. Putri Dwimurni ditahan di kamar panglima Merauke siang dan malam.
Pada suatu hari panglima itu masuk ke kamarnya dan menarik lengan Dwi secara kasar ke dalam kamar mandi. Dwi tidak dapat melawan karena panglima itu cukup kuat. Akhirnya panglima itu langsung mendorong Dwi masuk ke bak mandi itu dan memutar sebuah tombol rahasia. Tiba-tiba air mengucur deras bagaikan hujan alam di bak mandi itu. Merauke langsung menelanjangkan diri dan masuk ke bak itu. Putri itu hanya memakai pakaian yang sangat tipis dan terbuat dari sutra, sehingga air yang mengucur deras itu membuat kedua payudara Dwi terlihat jelas. Vagina Dwi pun terlihat menggoda.
Merauke langsung tersenyum dan merobek pakaian itu sampai setengah telanjang. Dwi terus-terusan berteriak, namun tangannya tidak bertenaga untuk mendorong lawannya. Merauke langsung memeluk erat Dwi dan menjilati pipi, bibir, dan punggung Dwi secara ganas. Beberapa saat kemudian Dwi menjadi lemas dan tangannya yang menjambak rambut Merauke akhirnya malah memegang kepala lawannya secara pelan.
Merauke langsung turun kebawah dan mengunyah payudara Dwi serta menikmatinya pelan-pelan. Lalu ia pun turun ke daerah lebih bawah dan menghisap vagina Dwi. Tangan Dwi tetap memegang kepala Merauke namun wajahnya dipenuhi air mata yang mengucur. Merauke langsung berdiri dan mencumbui Dwi dengan gaya berdiri. Kedua tangannya menahan pantat dan punggung Dwi agar ia tidak jatuh. Sedangkan mulut dan lidahnya kembali mengunyah payudara Dwi bagian lain. Kepala Dwi terkena siraman air mandi dan air matanya bercampur dengan air mandi itu.
Akhirnya air di bak itu penuh. Merauke langsung membaringkan diri ke air di bak mandi dan mengapung. Kedua pahanya mengunci tubuh Dwi dan ia memerintah agar Dwi membantunya untuk mengarahkan penisnya ke dalam pantat Dwi. Akhirnya Dwi hanya bisa menurut saja.
"Ah.. Ahh.," Merauke merasa kenikmatan yang sangat dahsyat.
Ia mencumbui pantat Dwi sambil mengapung di atas air. Tak lama kemudian sperma pun mengucur keluar deras ke dalam pantat Dwi. Merauke masih belum puas, ia memerintah Dwi untuk melakukan ciuman di dalam air. Dwi pun menurutinya. Merauke hanya diam di dalam air, dan Dwi mengambil udara dari atas air, dan mentransfernya ke dalam mulut Merauke didalam air dalam bentuk ciuman. Hal itu dilakukan tiga kali dan, akhirnya Merauke merasa puas dan berdiri. Namun Dwi berkata,
"Sayangku jangan pergi dulu, aku masih belum puas dan mencapai tahap orgasme, tolong jilat vaginaku di dalam air yah sayang," kata Dwi sambil memeluk erat Merauke.
Panglima genit itu merasa senang dan menurutinya. Ia menyelam ke dalam air dan Dwi duduk dimukanya. Dwi melihat ada dua buah kayu yang menghubung bak mandi, ia langsung tahu kalau kesempatan ia telah datang, maka ia langsung mengapit keras kepala Merauke, dan menutupnya erat dengan vaginanya. Kedua tangan Dwi langsung memegang erat kedua kayu yang ia lihat agar ia dapat menahan kepala Merauke didalam air.
Merauke yang keasyikan menjilat vagina itu akhirnya kehabisan udara. Ia tidak bisa keluar dari air karena kepalanya diapit kedua paha Dwi, dan ia pun telah kehabisan banyak tenaga untuk mencumbui pantat Dwi sebelumnya. Akhirnya setelah ia memberontak didalam air selama beberapa menit, akhirnya ia tewas. Dwi pun kembali menangis dan berkata,
"Selamat tinggal kekasihku, perwira Chen. Aku akan selalu ingat asmara kita berdua". Lalu ia langsung bunuh diri dengan mengigit lidahnya sendiri.
Keesokannya hal ini tersebar keseluruh Nusantara dan Chen Mien berteriak keras saat mendengar hal itu.
"Dwii..!!" jeritan keras itu terdengar diseluruh perkemahan Wijaya dan suaranya menggema sampai ke pedesaan sekitar.
Chen Mien langsung muntah darah karena tenggorokannya luka akibat jeritan yang terlampau besar itu. Panglima Chen Mien langsung jatuh pingsan. Seminggu kemudian diadakanlah upacara peringatan putri Dwimurni yang dihadiri ratusan ribu tentara dan rakyat. Mereka semua merasa sedih atas kemalangan yang luar biasa menimpa panglima Chen Mien yang telah banyak berjasa kepada rakyat.
Setelah upacara itu mata Chen berubah merah, seperti api dan dari mulutnya banyak darah menetes keluar. Ternyata dendamnya sudah melebihi langit. Panglima Chen Mien menggigit giginya sendiri sampai mengeluarkan darah. Cinta panglima Chen dan putri Dwimurni yang begitu besar itu menjadi legenda dalam masyarakat.
Dengan wajah penuh amarah Chen Mien berkata, "Kediri! Tunggulah pembalasanku yang lebih kejam nantinya".
Apakah ini berarti kiamat bagi seluruh rakyat kerajaan Kediri?
Chen Mien jelas-jelas berkata Kediri, bukan jendral, tentara, ataupun raja Kediri. Perkataan itu secara jelas menerangkan bahwa panglima Chen Mien menanamkan dendam kepada seluruh masyarakat kediri.
Akankah pembantaian besar ini terjadi di negeri terkuat di Nusantara?
Musibah apakah yang akan menimpa kerajaan Kediri ini?
Bagaimanakah cara Wijaya membangun negerinya secara cepat agar bisa menguasai Nusantara?
*****
Setelah misi penyerangan secara tiba-tiba ke kubu pertahanan Jendral Wijaya berlangsung sukses, Raja Kediri, Jayakatwang yang dulunya pernah membunuh raja Kertanegara, mengadakan pesta pora. Pada malam itu pesta berlangsung dengan sangat meriah. Banyak panglima dan penasehat yang bergembira atas kemenangan mereka. Namun Jayakatwang sendiri hanya terdiam saja. Wajahnya murung dan tidak nafsu makan. Banyak pejabat yang binggung dan bertanya kepada sesama mereka masing-masing. Seorang Jendral besar yang bernama Sanjaya memberanikan diri untuk berjalan ke depan Sang Raja dan menanyakan apa yang membuat rajanya sedih. Jendral Sanjaya adalah jendral yang kuat dan cerdik. Badannya tinggi kekar, hampir mencapai dua meter. Walau umurnya sudah lima puluhan, ia masih segar bugar, dan dapat berperang layaknya seperti waktu ia muda. Jayakatwang lalu berkata,
"Sayang sekali, panglima yang berjasa dalam perjuangan itu tidak dapat hadir disini. Namun ia malah terbunuh oleh putri Dwimurni setelah menang perang".
Lalu Jayakatwang menangis. Para tamu yang hadir pada waktu itu merasa kagum akan Jayakatwang yang selalu perhatian kepada bawahannya. Akhirnya pesta itu menjadi sunyi senyap dan para tamu semua menghabiskan waktu mereka pada malam itu untuk mengenang panglima yang telah gugur demi kerajaan.
Keesokan harinya Jendral Sanjaya menawarkan diri untuk bertugas di daerah perbatasan guna untuk menjaga keamanan negara. Sanjaya kemudian membangun kubu pertahanan yang besar. Ia sendiri memimpin dua puluh ribu tentara dan bercokol di daerah-daerah yang strategis untuk pertahanan. Beberapa minggu kemudian ia mendengar bahwa ada ribuan perampok menjarah dan membantai penduduk desa. Jendral Sanjaya menjadi marah dan memimpin seribu tentara untuk menangkap para perampok itu. Perwira Arjuna yang merupakan putra dari Jendral Wiguna mendapat tugas untuk menjaga benteng pertahanan. Sedangkan panglima kepercayaan sang jendral, Anggito, mendapat tugas untuk mengikuti sang jendral dalam menangkap para penjahat.
Akhirnya mereka pun berangkat dan menyerang markas perampok di sebuah goa di kaki gunung. Para perampok itu sedang melakukan pemerkosaan massal. Banyak wanita dan gadis desa yang berteriak dan menangis. Keadaan mereka telanjang dan masing-masing diapit oleh dua sampai tiga pria. Payudara mereka diperas, dan lubang pantat serta vagina mereka di paksa tembus dalam waktu bersamaan. Melihat hal itu jendral Wiguna naik pitam. Ia langsung menyerang membabi buta para perampok itu. Ribuan perampok mati terbantai, dan para tahanan, dikebiri hingga mati. Tiba-tiba muncullah pemimpin perampok itu. Ternyata ia adalah seorang pendekar yang menggunakan racun dalam menghabisi lawannya. Namanya adalah Tantong. Pendekar ini berumur lima puluh dua tahun, dan biasa dipanggil Datuk Tantong.
Jendral Wiguna dan panglima Anggito langsung menyerang ke arah datuk itu. Datuk itu lalu melepaskan tiga belas panah racun sekaligus dan berhasil melukai sang jendral dan panglima. Datuk itu lalu melempar bola kecil ke tanah dan bola itu meledak mengeluarkan gas berwarna merah. Sehabis gas itu hilang sang datuk juga sudah kabur entah kemana. Jendral Wiguna yang sudah terkena panah racun segera berjalan ke arah panglimanya, lalu menghisap keluar racun dari tubuh panglima itu.
"Jendral!!" teriak panglima Anggito.
"Tidak apa-apa, tubuhku sudah terkena racun dari tadi. Segeralah kau balik ke benteng pertahanan dan bawa semua orang keluar dari goa ini," kata sang jendral dan akhirnya pingsan.
Panglima Anggito segera membawa balik sang jendral ke benteng pertahanan dan memerintah semua tabib dan dukun untuk mengobati sang jendral. Tidak ada satu-pun dukun yang bisa berbuat apa-apa. Akhirnya muncullah satu dukun yang terkenal. Ia pun segera di perintah untuk menyelamatkan nyawa sang jendral dengan imbalan yang sangat besar. Dukun itu memeriksa sang jendral dan mengeleng-geleng kepala.
"Kasihan sang jendral" katanya, kemudian ia melanjutkan "Hanyalah teman lamaku, tabib Xun Yang, yang bisa mengobatimu".
Lalu perwira Arjuna segera mempertanyakan keberadaan tabib hebat itu. Dukun itu pun berkata bahwa tabib itu berasal dari negeri Sung, dan sekarang tinggal di desa Pecinaan. Arjuna pun segera berangkat dan ditemani oleh tiga orang. Yang pertama adalah panglima Anggito. Yang kedua adalah teman lamanya sejak kecil, Sinta. Ia adalah seorang gadis yang umurnya lima tahun lebih muda dari Arjuna. Sinta walaupun berumur dua puluh, namun ia sangat gesit dan pandai dalam memanah. Yang satunya lagi adalah teman lama Arjuna juga. Namanya adalah Tanto. Ia adalah pemuda yang tidak kekar, namun berani dalam melakukan hal apa saja. Tinggi badannya sama dengan Arjuna yaitu 176 cm. Akhirnya mereka pun berangkat bersama. Mereka tidak membawa satu tentarapun karena hal itu akan memperlambat perjalanan mereka.
Bersambung . . .