Antara Pekanbaru - Jakarta - 4

"Oup"

Dia kaget dan geli ketika merasakan gerakan reflek penisku disaat kesentuh tangan halusnya.

"Nggak pa pa.. Ayo"

Kembali kutuntun tangannya, kali ini dia berani menggenggam bagian tengah penisku.

"Ina di kocok kocok dong"
"I.. I.. iih.. Ina geli bang"

Walupun dia bilang geli tetapi pegangannya tidak lepas dari penisku. Dia seperti anak kecil dapat mainan baru, sebentar pegangannya erat sebentar dia lepas, sebentar dia mengocok tapi tiba tiba berhenti. Justru cara dia seperti itulah yang membuat nafsuku merasuk sampai ke ubun ubun.

"Oh.. Ina.. Ujungnya dibelai sayang"
"Tapi basah bang"
"Iya.. Basah itu damai ee.. eh.. nikmat sayang"
"Ina pernah lihat orang beginian nggak sebelumnya"
"Pernah Bang hampir tiap hari, soalnya Ibu Ina kawin lagi dan suaminya lebih muda dari Ibu, Ina sering ngintip mereka begituan"
"Mereka ngapain aja In," kerongkongan ku tiba tiba terasa serak karena ditimpa nikmatnya elusan tangan halus si Ina di ujung penisku. Aku sengaja mengajak dia ngobrol untuk memperlambat ejakulasiku.

Dari tadi hentakan spermaku sudah mulai mengila ingin berlomba menempuh lubang penis dan saling berebut menyembur diujung lobang super nikmatku. Padahal aku ingin lebih lama merasakan nikmatnya sentuhan jari jemari si Ina, dan dengan sedikit memecah konsentrasi kuharap ledakan sperma dapat kuperlambat.

"Ya.. Kadang mereka langsung main aja, bapak tiriku diatas, kadang kadang mereka saling remas remasan dan pernah pula Ina lihat mereka main jilat jilatan."
"Ah.. jilat jilatan kayak apa In"
"Ibu menghisap punya papa tiriku, dan bapak tiriku menjilat punya Ibu.. Ya begitu"
"Emang bisa.. Punya laki laki dihisap In.."

Aku pura pura bego dalam rangka mencapai target berikutnya.

"Bisalah bang, nah kayak gini nih"

Ina menundukkan kepalanya diantara kedua pahaku, selimut kembali kutarik sehingga kepala Ina tidak lagi kelihatan dari luar, yang tampak hanya gerakan turun naik dibalik selimut. Ina mencoba memasukkan semua batang penisku kemulutnya, dia tersedak karena langit langit dan anak lidahnya tertusuk ujung penisku.

"Ina jangan dikulum semuanya, dihisap dan dijilat aja berulang ulang," aku memberikan petunjuk.
"Euh.. euh.."

Dia menjawab tapi nggak jelas karena penisku memenuhi rongga mulutnya, yang pasti dia mengerti dengan apa yang kumaksud. Kepalanya mulai turun naik, ujung penis ku dihisap berkali kali.

"Ohh Ina. Terus sayang.. terus.. Terus.." Dan tiba tiba kakiku kejang, mataku terpejam, tubuhku terasa melayang dan semprotan itupun terjadilah. Spermaku kuat menyemprot kedinding mulut si Ina, dia tidak menyangka kalau aku akan mengeluarkan cairan itu didalam mulutnya. Dia gelagapan dan..

"Uek.. uek.. Uek.." Ina muntah..!!

Cepat kulap mulutnya dengan ujung singletku, sisa sisa sperma yang berserakan diseputar bibirnya kuhapus dengan ujung selimut dan celanaku segera ku kancingkan lagi.

"Oi.. Mabuak dia"."

Ibu-ibu dibelakang bangkuku berdiri mendengar suara Ina yang muntah muntah.

"Ini nih ado kantong assoiy nih ambil, biar nggak berserakan muntahnya.. Apo perlu antimo ndak"
Ibu itu begitu baik menawarkan bantuannya.
"Makasih Bu, yang kami butuhkan tissue Bu, ada nggak.."
"Oh.. Ado, nih ambillah"

Memang yang kubutuhkan adalah tissue buat pembersih sperma yang tercecer dibaju Ina dan di celanaku. Orang Ina bukan mabuk darat kok tapi mabuk sperma. Yang dia butuh bukan antimo tapi antihamil. He.. he..

"Bang baunya anyir Bang, nggak mau hilang"
"Ok, sekarang Ina ke toilet aja dan cuci pakai sabun"
"Oh, iya deh bang"

Aku merasakan CDku basah berlepotan sperma, yah biarin lah yang penting nikmatnya sudah kuteguk.

Tak lama kemudian bus berhenti di pom bensin buat mengisi bahan bakar. Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 3 dinihari dan ini kesempatan untuk membersihkan celana dan burungku yang habis muntah muntah. Menurut kondektur kami telah sampai diperbatasan Propinsi Jambi dan Sumatera Selatan.

Wah.. Sebuah perjalanan yang nyaman, nyaman dalam arti yang sebenarnya karena selama lima jam terakhir yang kami tempuh adalah jalan lurus dan mulus, hanya sesekali ada belokan dan itupun tidak begitu terasa karena pengemudinya begitu trampil mengatur kecepatan sewaktu menempuh tikungan.

Nyaman, karena ada si Ina disampingku dan kami sama sama menikmati kebersamaan kami. Saling menghangatkan, saling menerima dan saling meberi apa yang dapat kami nikmati. Perjalanan masih sangat jauh, sekian kota lagi yang mesti kami lewati tetapi karena ada si Ina disampingku perjalanan ini terasa indah dan cepat.

Perjalanan masih sangat jauh, sekian kota lagi yang mesti kami lewati tetapi karena ada si Ina disampingku perjalanan ini terasa indah dan cepat. Tak terasa kami sudah menyebrangi selat Sunda, seharusnya ferry kami langsung merapat tetapi ini sudah hampir 2 jam masih saja terapung apung menunggu giliran sandar. Rupanya di dermaga terjadi kerusakan akibatnya hanya satu dermaga yang berfungsi.

"Bang jam berapa kira kira kita sampai Jakarta!"
"Bisa bisa jam 12 malam.."
"Aduh kalau nggak ada yang jemput aku, gimana ya"

Ina baru pertama kali ke Jakarta dan keluarganya ada di Depok, memang mereka telah benjanji mau menjemput di Rawamangun, tapi kalau mereka lupa atau.. Itulah yang membuat Ina tampak gusar, dia berpegangan di ralling ferry sambil memandang jauh ke arah kerlap kerlip lampu Krakatau Steel.

"Begini, kalau nanti nggak ada yang jemput, Ina ikut Abang aja, besok pagi pagi sekali Ina Abang antar ke Depok.. Ok!"
"Ya.. Gimana ya.." Dia kelihatan ragu.
"Atau Ina mau menunggu mereka sampai pagi di Rawamangun"
"Enggaklah Bang.. Ngeri.. Katanya disitu banyak preman.."
"Makanya yang paling aman ikut Abang aja.. Nanti kita tidur di.."
"Ina.. Nggak mau tidur dipenginapan Bang, nggak mau.."
"Lho siapa yang mau ngajak Ina ke penginapan! Nggak lah, suer Abang janji, lagian penginapan kan biasanya kotor and jorok"

Kami saling menempelkan tangan kanan sebagai tanda setuju.

"Rawamangun.. Rawamangun.. Jakarta.. Jakarta.. sampai sampai"

Suara gaduh dan kilauan cahaya lampu membangun aku dari tidur nyenyak semenjak bus turun dari ferry di Merak.

"Ina.. Bangun kita sudah nyampe."

Kulihat jam ku sudah menunjukkan kukul 01.30 dinihari. Ternyata feeling Ina memang betul. Setelah hampir 15 menit mencari kesana kemari disekitar terminal, kami tidak menemukan saudara Ina yang katanya mau menjemput.

"Bang, gimana dong Bang, kok nggak ada yang jemput Ina."
"Ya sudah.. Ina ikut Abang aja ya"

Wah aku harus berfikir keras kemana si Ina harus kubawa malam ini, kerumah! Jelas nggak mungkin, kecuali mau perang bubat dengan mantan pacar. Nah! Aku ada ide.

"Bang ke Central Bang" Sopir taksi ternyata mengerti dengan apa yang kumaksud.
"Yang di jalan Pramuka Pak"
"Betul Bang"

Aku sengaja hanya menyebutkan nama sebuah hotel tanpa mendahuluinya dengan sebutan hotel supaya Ina tidak curiga. Di taksi Ina kembali tertidur pulas dan baru bangun setelah aku bangunkan untuk segera check in.

"Ina.. Ina, ayo bangun bangun.."
"Ouhh.. Kita dimana bang.."
"Ayo turun dulu"
"Wah.. Bang, Ina nggak mau kepenginapan.. Kok Abang malah"
"Ina.. Ini bukan penginapan tapi hotel, ayo.. malu tuh diliatin orang"

Dengan langkah gontai karena masih mengantuk Ina kutuntun menuju lantai 7 hotel tersebut.

"Bang Ina mau mandi dulu ya". Kayaknya badan Ina sudah gatal semua"
"Iya deh.. Abang pesan makanan ya"

Sebelum masuk ke kamar mandi Ina mengeluarkan semua isi katong roknya, isinya beberapa uang logam, permen yang tadi kami beli sewaktu di ferry tissue dan sebuah kartu pelajar. Segera kulihat dengan seksama kartu tersebut

Nama: Rostiana
Kelas: II B SMP Negeri

"Oh my God".
"Kali ini feelingku kembali terbukti, Ina bukan tamat SMU seperti yang dia bilang, nyatanya baru tamat SMP, tetapi kenapa dia mesti berbohong untuk itu".

Kalau dilihat dari penampilan, tak seorangpun akan menampik kalau dia sudah tamat SMU. Tinggi sekitar 162, berat sekitar 51 kg dan bra 36.., rambut panjang dikepang, yah.. Harus diakui Ina gadis yang cepat matang secara phisik.

"Ina.. Ayo kita istrirahat yok, pantat Abang rasanya pegal banget nih"
"Ayo bang"

Kami segera menuju satu satunya tempat tidur di kamar itu karena memang aku sengaja memesan kamar dengan single bed. Aku tahu Ina tadi tidak pakai kosmetik apa apa maklum sudah mau tidur, tetapi wangi asli tubuhnya jauh lebih merangsang dari pada parfum keluaran Paris sekalipun.

"Na.. Keramas ya!" aku bertanya sambli memeluk dan menciumi rambutnya.
"Iya.. Bang, kan katanya kalau habis gituan harus keramas"
"Lha, Ina kapan gituannya"
"Dasar Abang, sudah pikun kali ya"
"Tuh yang kemaren malam di bus kita ngapain.. Ayo.."
"Ee.. Eh iya. Maksud Abang kita kan hanya"

Aku sengaja tidak meneruskan kalimat, aku menunggu reaksi Ina.

"Tapi.. Ina kan keluar Bang. Dan Abang juga lho"

Aku nggak peduli lagi dengan kata katanya, karena wangi rambutnya telah membuat otak kanan dan kiriku, sekarang kompak memikirkan satu tujuan yaitu memberikan yang terindah buat kepala bawah alias penisku. Tubuh kami saling berhadapan ditempat tidur, sewaktu membalikkan badan, dada Ina sempat tersentuh oleh tangan ku dan aku dapat merasakan kalau Ina kali ini tidak lagi pakai bra.

Darahku berdesir tiba tiba, degup jantung ku menaik, kepala atas dan bawah mulai berdenyut. Kurengkuh pinggulmya dengan tangan kanan sehingga tubuh kami jadi berdempetan. Teteknya yang lembut dan padat terasa menekan dadaku dan paha kami saling menempel. Ina hanya pakai daster yang sangat longgar sedangkan aku sedari tadi sudah telanjang dada, hanya sehelai celana pendek tanpa CD yang saat ini kupakai.

Bibir kami saling bertemu, Ouuhh.. aku nggak sabar lagi, bibir merah itu lansung kulumat. Bibir kami saling berpagutan dan sekarang lidahku mulai keluar menjilat rata permukaan bibirnya.

"Oh.. Abang.. Jangan bang.."

Ina merintih, tetapi aku tahu pasti dia tidak bermaksud melarangku. Tangan kananku mulai turun menyingkap dasternya, oh.. paha dan pantatnya demikian mulus. Kuremas pantat itu dengan lembut serta kutarik CDnya dengan pelan. Bibirku tak puas hanya diatas, sekarang dia mulai turun meniti leher Ina yang jenjang terus ku geserkan kesela sela kupingnya. Dalam keremangan dapat kulihat bulu bulu halus di kuduknya pelan pelan berdiri karena rasa geli bercampur nikmat.


Bersambung . . . .