Bumbu rahasia - 3

Setelah aku selesai menceritakan semuanya, hatiku terasa lebih lega. Krista menatap gelasnya sebelum ia mulai berkata-kata.
"Kalau melihat dari sisi gadisnya sih, mungkin benar seperti yang aku katakan tadi. Ia sudah paham kalau kamu akan meninggalkannya. Lalu apa salahnya denganmu? Kukira kamu hanya terlalu angkuh untuk melakukan sesuatu yang kamu anggap merendahkan martabatmu. Kamu itu dari dulu tetap saja bodoh. Heran aku."
Aku menundukkan kepalaku saat mendengar kata-katanya.

"Aku hanya takut, mungkin."
"Iya..!" mendadak nada Krista terdengar lebih tegas, "Kamu memang pengecut. Aku tahulah semua masalahmu, Ray. Dari Enni sampai ke yang lain-lain. Kamu hanya takut kalau dirimu jatuh cinta. Sayang sekali aku tidak ada di situ. Coba kalau aku ada, sudah kutonjok hidungmu, memukul pantatmu dan menyuruhmu mengejarnya."
Aku tertawa terbahak-bahak.

"Aku memang ingin melakukannya. Ingin sekali," ucapku, "Tapi.."
"Tapi kamu terlalu sombong, dan kamu takut untuk terikat, begitu kamu bisa membawanya kembali dalam kehidupanmu. Begitu kan?"
Aku terdiam. Perlahan aku menganggukkan kepala. "Kurasa begitu."
"Ya sudah," Krista berkata, "Lupakan saja gadis itu. Cari gadis lain. Gampang, toh?"
"Tapi masaknya enak, Kris. Yang lain tidak enak semua."
Krista tertawa terbahak-bahak. "Kamu memang tak pernah serius. Penyakit."
Aku ikut tertawa. Tapi tawaku berubah menjadi kediaman seketika.

"Speak of the devil..," desahku.
Napasku tercekat sampai ke tenggorokan saat aku melihat gadis itu di depan etalase toko. Krista di sampingku menoleh.
"Siapa, Ray?" ia bertanya.
Tapi aku tidak memperhatikan Krista. Pandanganku tertuju pada seorang pria yang tampak berlari-lari ke sisi gadis itu.
"Jupri..?" ucapku, seolah bertanya pada diriku sendiri.
Krista menyentuh bahuku, "Ray..? Siapa, Ray? Gadis itu..? Jupri..?"
"Sshh..!" bisikku seraya menepis lengannya.

Pandanganku terpaku pada kedua sosok itu. Moogie, masih dengan setelan merahnya, tampak tertawa-tawa. Wajahnya kelihatan begitu gembira. Sementara di sebelahnya, kulihat Jupri menggaruk-garuk kepalanya. Mereka saling berbicara di depan etalase, lalu tidak berapa lama kemudian mereka berdua berbalik lalu melangkah.

"Sial..!" ucapku lirih, "Kenapa si Jupri..?"
Sosok kedua orang itu menghilang di balik sudut toko. Aku memalingkan wajah. Kulihat Krista melipat lengan di dadanya dengan tersenyum simpul.
"Kenapa, Ray..? Itu ya, gadisnya? Si Moogie itu? Lalu, cowok yang di sebelahnya..?"
"Itu Jupri," desahku seraya menatap gelas yang nyaris kosong.
"Jupri siapa..?" tanya Krista.

Entah kenapa saat itu aku ingin mengatakan 'Jupri, sapi gendut dari blok tiga, pegawai rendahan yang hanya bergaji tiga ratus ribu itu, yang kukira teman, ternyata menyambar ga..' lidahku terasa kelu seketika. Moogie bukan gadisku lagi. Saat ini ia bebas untuk segala sesuatu. Tapi Jupri..?

"Ray..? Kamu tidak apa-apa..?"
Aku mengangkat wajah dan menatap Krista, kucoba untuk tersenyum.
"Tidak, tidak apa-apa."
Krista mendiamkanku beberapa saat.

"Kris..," aku memanggilnya. Gadis itu mengangkat alisnya.
"Apa..?"
"Aku mau bercinta. Make love yuk..!"
Krista tertawa terbahak-bahak, "Kamu tuh ya..! Nggak ah, aku masih mau kembali ke kantor. Tugasku masih banyak. Ray..! Hey..! Dengarkan aku..!"
"Sebodo apa," sahutku. Lalu aku memanggil pelayan.

Entah bagaimana, akhirnya aku dapat menyeret Krista ke tempat tidur sore itu. Aku tidak dapat membayangkan wajah Pak Herman ketika aku tidak kembali ke kantor. Biarlah, lagipula aku lagi ruwet. Krista juga tidak menunjukkan perlawanan yang berarti ketika aku membawanya pulang ke rumah. Ia hanya meminjam handphone-ku untuk mengatakan beberapa instruksi pada anak buahnya di kantor. Kami bergulat liar sore itu sampai bermandi keringat.

"Sinting kamu..! Iblis..! Setan..!" kudengar Krista memaki sambil terengah.
Aku membuang tubuhku ke samping, lalu menatap langit-langit kamarku. Napasku masih memburu. Apa yang barusan kulakukan. Demi Tuhan, aku bercinta dengan membayangkan Moogie di bawahku! Gila..!

"Ray..? Kamu tidak apa-apa..?" lagi-lagi Krista bertanya demikian.
Gadis itu memiringkan tubuh dan mengusap dadaku dengan jemarinya.
"Terus terang," lanjutnya, lalu sambil tertawa, "Aku kangen sama gayamu yang liar tadi."
Aku tersenyum. Kurasakan napasnya menggelitik leherku.
"Kris..," desahku menyebut namanya, "Aku kebingungan."
"Kenapa..? Kamu masih mencintainya..?" tanya Krista, "Ups.., sori. Kamu tak pernah jatuh cinta, kan..?"
Aku menggelengkan kepalaku dan memejamkan mata.

"Kurasa aku mencintainya. Itu yang membuatku sedih."
Kudengar Krista tertawa. Gadis itu lalu meletakkan kepalanya di dadaku.
"Sekarang aku mendengar degup jantung Ray. Hmm.., dia jujur."
Aku tersenyum dan mengusap pipi gadis itu, "Iya, aku jujur. Sampai bingung mau ngapain lagi."
"Kasihan. Dan mungkin sudah terlambat ya, Ray, untuk menariknya kembali."
Aku menghela napas dalam-dalam. Aku memang bodoh.

"Ayo, aku antar kamu pulang," kataku setelah beberapa detik.
"Ayo..!" sahut Krista, lalu mengangkat tubuhnya, "Lagipula aku khawatir kalau nanti suamiku menelepon ke kantor."
"Suami..?" tanyaku bengong.
"Iya..," jawabnya sambil tersenyum geli menatapku.

"Aku sudah menikah dua bulan yang lalu. Dan aku memang sengaja tidak mengundangmu. Takut kalau kamu nanti mengajakku bercinta untuk yang terakhir kalinya waktu biston. Kamu kan gila."
Aku masih bengong, "Lah, kenapa tadi tidak bilang?"
Krista terkekeh, menyambar bra merah muda yang tergeletak di lantai.
"Lha aku juga masih mau, kok. Yah, ternyata kamu sangat menggoda."
Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya, "Asyik," ucapku, "Aku jadi gigolo."

"Kamu hamil..?"
"Iya."
"Wah..!"

*****

Jam digital di dashboard menunjukkan pukul sembilan belas saat aku meninggalkan Krista di depan gedung kantornya.
Hanya satu yang ia katakan padaku sebelum kami berpisah, "Ray," katanya, "Kamu sebaiknya melupakan gadis itu."
Yah, mungkin itulah jalan terbaik yang dapat kulakukan saat ini.

Selama perjalanan aku terus merenungkan ucapan Krista. Lalu seketika aku mendadak merasa malas untuk pulang. Kuputar mobilku dan kulajukan menuju kantor.

Beberapa orang masih terlihat sibuk di lantai dasar. Aku bergegas masuk ke dalam lift. Hanya mengambil sisa kerjaan dan notes 'caci maki dari Pak Herman, pastinya' lalu pulang dan tidur. Aku capai sekali. Dan leherku sudah mulai terasa sakit.

Lima detik kemudian pintu lift membuka. Suasana kantor tampak temaram. Beberapa lampu utama sudah dimatikan, hanya di ruang lembur yang masih menyala. Aku bergegas menuju ruang kerjaku. Langkahku terhenti saat aku melihat lampu meja di kompartemen paling ujung masih menyala. Hati-hati aku melangkah mendekat.

Dari belakang kulihat ia masih sibuk merapikan berkas-berkasnya. Monitor di mejanya masih menyala, memperlihatkan kolom-kolom yang teratur rapi. Gadis itu menoleh saat merasakan kehadiranku.
"Halo, Bos..!" kudengar ia menyapa sambil tersenyum.
Kulambaikan tanganku, sekejap merasa kikuk, "Kamu masih sibuk?" tanyaku basa-basi.
Moogie mengangkat bahunya, "Yah, beginilah. Aku juga malas pulang. Kamu sendiri..? Jangan bilang kalau kamu sedang shock, lalu ingin menulis."
Aku tertawa mendengarnya.

Tapi Moogie langsung menghilangkan senyuman di bibirnya dan berkata, "Sori, aku tak bermaksud mengingatkanmu."
"Tidak apa-apa," balasku tersenyum. Sakit di leherku membuatku terbatuk.
"Pasti belum minum obat," kudengar Moogie berkata dengan nada gusar.
"Iya..," sahutku, "Aku sebaiknya minum dulu."
Moogie mengangguk.

"Eh, tunggu..!" mendadak ia menghentikan langkahku.
"Ada apa..?" tanyaku.
Moogie merogoh lacinya, lalu sambil nyengir ia menyodorkan sebuah kotak.
"Ini jatah berbuka puasa-ku. Tadi orang-orang ditraktir sama Pak Herman. Mungkin kamu belum makan. Kalau mau minum obat kan perlu makan."
Aku tersenyum dan menerima kotak itu, "Thanks."
Aku melangkah dengan kotak di tangan. Saat aku menoleh, Moogie sudah terlihat sibuk kembali dengan pekerjaannya.

Aku merenungi kotak itu dari bangku kerjaku. Aku takut untuk memakannya. Takut kalau-kalau nanti aku terbuai dan 'penyakit' impulsif-ku kambuh. Tapi akhirnya aku penasaran juga. Dalam hatiku aku berpikir, masa makanan saja dapat membuatku berubah. Isi kotak itu toh bukan bulan purnama, dan aku bukan seorang manusia serigala. Dengan mendengus, kuraih kotak itu dan membukanya.

Aroma bebek panggang menusuk hidungku. Perutku lantas berbunyi. Kuraih sendok plastik dalam kotak, lalu menyendok segumpal nasi ke dalam mulutku. Paha bebek itu kuangkat, dan kugigit sedikit dagingnya. Rasa hangat merasuki tubuhku. Nikmat sekali. Tanpa sadar aku memejamkan mata.

Seperti disengat listrik, aku terkejut dan melempar paha bebek itu jauh-jauh hingga menghantam pintu. Sekejap kemudian aku merasa gusar pada kekonyolanku. Itu kan hanya makanan, pikirku. Bangkit berdiri, kulangkahkan kakiku dan meraih paha bebek di atas lantai. Terbang sudah si bebek, pikirku sedikit menyesal, lalu kubuang paha bebek itu ke dalam tong sampah.

Ingin tahu, kusingkap krei yang menutupi jendela. Gadis itu masih di sana. Aku dapat melihat punggungnya yang tertekuk. Sedang apa dia? tanyaku dalam hati.
"Aduh," desahku saat merasakan leherku mulai berkontraksi.
Bergegas aku menuju meja dan merogoh laci.
"Aku butuh antibiotik, pain killer, dan.."

Aku keluar beberapa saat kemudian, dengan membawa tas kerja dan kotak di tanganku.
"Ini, thanks," ucapku seraya menyodorkan kotak itu kepada Moogie.
Gadis itu menoleh dan menerima kotak makannya dengan tersenyum.
"Sudah minum obat?" ia bertanya. Kuanggukkan kepalaku. Saat itulah aku melihat ke bawah mejanya. Dan ada satu kotak lagi, persis dengan kotak yang baru saja aku kembalikan. Gadis itu membawa dua kotak? tanyaku dalam hati. Moogie mengikuti arah lirikanku, lalu ia menyeret betisnya menutupi.

"Sudah? Kamu mau pulang?" ia bertanya padaku.
Aku sebetulnya ingin menanyakan isi kotak itu. Tapi kuurungkan niatku, daripada nanti aku memperoleh jawaban yang membuat hatiku miris.
"Ya," jawabku, "Aku akan segera pulang."
"Okay, hati-hati di jalan. Banyak istirahat," kudengar ia berkata.
Aku menganggukkan kepalaku. Tapi kakiku serasa beku, tidak ingin melangkah.

"Ray..?" Moogie memanggilku, "Ray..? Earth to Ray.. earth to Ray.."
Aku terkejut dan tertawa. "Iya, aku pulang.." ucapku.
Moogie tersenyum.

Aku melangkah dengan ragu-ragu. Tepat langkah kelima, aku membalikkan tubuh. Kulihat Moogie masih menatapku.
Aku mengerutkan alis dan bertanya, "Itu..? Kotak nasi, untuk Jupri kan..? Aku tadi melihat kalian berduaan di mall."
Kulihat gadis itu mengangkat alisnya, "Eh..?" ia berseru kecil dengan nada heran.
Aku melangkah mendekat, lalu membungkuk dan menatapnya.

"Moogie, aku tidak apa-apa kok, kalau kamu mau cari cowok baru. Tidak usah disembunyikan. Tapi Jupri.. ah, sudahlah. Aku tak punya hak untuk protes, bukan..? Jadi, kudoakan saja semoga kamu bisa menemukan penggantiku."
Setelah mengatakan demikian hatiku merasa puas, seolah-olah aku berhasil mengeluarkan uneg-uneg dari otakku.

Gadis itu terdiam. Aku tersenyum dan membalikkan tubuh. Saat itulah aku mendengar ia menggumam.
"Kamu jahat, Ray. Kamu.. jahat..!"
Aku menoleh dan melihat Moogie menutupi wajahnya. Aku sekejap bingung, harus kembali atau tidak. Tapi kuputuskan untuk terus saja melangkah menuju pintu keluar. Biarlah, pikirku, mungkin Moogie belum begitu bisa untuk melupakanku. Ia akan terbiasa nantinya. Perduli setan pada si Jupri.

Aku tengah mengeluarkan mobilku dari basement saat kulihat seseorang mencegatku dari tangga masuk gedung. Aku menghentikan mobilku dan membuka jendela. Kebencianku muncul saat aku melihat Jupri, si sapi, memandangku dengan alis berkerut.
"Ada apa..?" tanyaku kasar.
Pasti si sapi ini sengaja lembur untuk menemani Moogie. Tidak tahu malu. Tadi mestinya aku menengok ke ruang lembur, sekedar untuk mengeluarkan kata-kata menyindir.

Bersambung . . . .