Lain-lain
Wednesday, 26 August 2009
Gelora di bukit tandus - 1
Meski bukan barang baru yang ingin ku tuturkan, setidaknya bisa sedikit meluruhkan rasa sesal dan kekalutan yang selama ini terus menteror nurani. Mungkin terdengar agak kampungan, atau ketinggalan jaman barangkali, tapi satu hal yang pasti perang batin ini nyaris senantiasa menggelayut di dalam kalbu.
Pembaca sekalian, mohon maaf jika dalam penyampaian cerita ini, ada aroma ketidak jujuran dan pengkhianatan atas nama keluarga, kebaikan dan harga diri.
*****
Angin berhembus kencang di padang rumput yang ramai oleh celoteh nakal bocah-bocah kecil yang riuh menggiring ternak-ternak piaraan, di dusun kecil di pelosok Bojonegoro, sebuah kota kabupaten di Jawa Timur. Aku, sebut saja namaku Jack, dengan bertelanjang dada dan kaki tanpa alas sandal, larut dalam kegembiraan bersama teman-teman kakak-kakak sepupuku. Aku yang terkecil di komunitas itu. Yang mampu ku ingat, usia ku baru 5 tahun saat itu. Sementara saudara-saudaraku yang lain, setidaknya 2 atau 3 tahun lebih tua dariku.
"Le, ayo ndang bali!" terdengar teriakan kakak perempuanku Sekar, memintaku bergegas untuk pulang.
Kami bersaudara, sangat akrab antara yang satu dengan yang lain. Sekar adalah anak tertua dari Bu Dhe, kakak ibuku. Ia tergopoh-gopoh menghampiriku, sambil berusaha menjangkau lengan kecilku yang licin oleh tetesan peluh.
"Ada apa kog mesti buru-buru pulang?" kataku menggerutu, sambil berusaha untuk mengeraskan pijakan kaki, pertanda aku enggan berlalu.
"Lho.. Opo durung ngerti yen Simbah arep tindak menyang Semarang?" ["Lho, apa belum tahu kalau Nenek mau pergi ke Semarang?"-pen.]
"Enggak.." jawabku asal saja, karena aku masih kesal saat di paksa pulang bersama Kak Sekar.
Sebetulnya, aku sudah tahu rencana Nenek yang hendak pergi ke Semarang untuk menengok salah satu cucunya yang ada di kota itu. Kebetulan, saat itu ada libur satu minggu dari Sekolah, setelah usai ulangan catur wulan ke 2. Tentu saja maksud penjemputanku adalah untuk diajak serta oleh Nenek pergi menemaninya ke Semarang.
"Males Mbak, aku penginnya main-main sama Mas Yogi, Mas Simin dan teman-teman yang lain," rontaku dengan lagak acuh tak acuh setengah memohon, agar aku di perkenankan tidak mengikuti Vacancy [begitu biasanya Nenek menyebut liburan-pen. ].
Tampaknya usahaku tak ada hasil, mengingat Mbak Sekar masih saja tetap menggengam lengan ku, bahkan kurasakan agak lebih kencang dari sebelumnya, pertanda itu adalah harga mati yang tak mungkin bisa ditawar-tawar lagi. Rasanya tak ada gunanya lagi meronta, yah.. Terpaksa deh pasrah.
Sesampai di rumah, ku lihat Nenek sudah tampak rapi bersiap untuk segera pergi. Dari kejauhan, nampak Ia sibuk mempersiapkan barang-barang yang harus di bawa nanti. Aku tersenyum kecut, penuh rasa takut campur malu, saat suara nenek menggelegar memecahkan keheningan suasana.
"Dolan wae, ayo gek ndang cepet adus, terus melu Simbah" begitu nampak olehnya batang hidungku.
"Sini, kakak mandiin," ujar Kak Sekar menawarkan bantuan.
"Ah.. Enggak, aku mandi sendiri"
Aneh, untuk apa aku mesti malu sama dia? Bukankah aku masih kecil? Tapi aku tak mau berlama-lama. Segera saja aku menyiram tubuhku dengan air, begitu aku berada di kamar mandi. Sambil mengangkat gayung, lamunanku pun melayang mengingat kejadian semalam. Tak terasa aku bergidik jika membayangkan hal itu terjadi.
Malam itu, mendung tebal menggelayut di pekatnya langit. Tak nampak satu bintangpun di angkasa. Aku yang saat itu usai menonton siaran TV hitam putih, merasakan udara begitu panas, membuat suasana menjadi gerah, kurang nyaman.
"Wah.. Pasti mau turun hujan nih," pikirku.
Saat itu, di kampung kami belum ada listrik, jadi untuk penerangan di malam hari, kami biasa menggunakan lampu petromak. Sementara kalau buat belajar, kami memakai lampu yang lebih redup, lampu teplok namanya. Entah karena ceroboh, atau memang takdirku, aku yang saat itu ingin meminjam karet penghapus ke Mbak Sekar, langsung saja nyelonong masuk ke kamar Mbak Sekar yang saat itu baru saja berganti pakaian tidur.
"Mbak.." aku tercekat tak mampu meneruskan kalimatku saat ia ku lihat juga sangat terkejut melihat kehadiran ku, yang sama sekali tak di duga-duga. Mulutnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi entah, karena yang ada adalah kebisuan semata. Kami membeku oleh rasa takjub. Kalau aku tentu saja takjub karena mendapat pemandangan paliing mendebarkan, sementara Mbak Sekar karena tak menyangka adik sepupunya tiba-tiba hadir di saat 'kritis' semacam itu, hingga membuatnya T E R P A N A.
"Aduh.. mati aku," hanya itu yang ia ucapkan pertama kali setelah tersadar dari keterkejutannya. Selanjutnya tangan-tangannya bergerak cepat berusaha menutupi tubuh 3/4 telanjangnya. Yang kumaksud yang tidak terbuka dari permukaan tubuhnya hanyalah separuh payudara dan celana dalam warna gelap, yang belum sepenuhnya tepat terpasang di pangkal pahanya.
Temaram lampu teplok yang menempel di dinding dekat meja belajar Mbak Sekar, memberiku cukup sinar menjelajahi ruang pandang yang tergelar di radius satu meter di depanku. Beha Mbak Sekar baru tergantung separuh di satu pundaknya, sementara tali satunya menjuntai di dada kirinya. Dan..
"Itu apa Mbak?" tanyaku polos, saat melihat kain kecil tersumpal di dalam kutangnya yang sebelah kanan. Gumpalan yang tampaknya seperti sepotong handuk kecil yang biasanya di pakai buat saputangan itu, secara tak terduga menyembul keluar dari dalam gundukan di dada kanannya. Sementara kakakku masih terbengong-bengong atas 'musibah' itu, tak terkendali mataku nyalang menjelajah seluruh area yang masih terjangkau sinar lampu berbahan bakar minyak tanah itu.
"Nah, ini dia Mbak," gumamku tanpa rasa bersalah, saat aku temukan gumpalan kain berikutnya, yang tentu saja mirip dengan yang terpasang di cekungan kutangnya. Aku pungut benda itu yang masih teronggok tak berdaya di dekat kaki mesin jahit merk Singer, yang di pasang sejajar meja belajar Mbak Sekar. Saat kuangsurkan benda itu ke tangannya, ia nampak terhipnotis, orang jawa bilang. 'Kamitenggengen'!!
"Lho kog diam saja Mbak?"
Aku jadi bingung melihat situasi ini. Yang ku tahu, Mbak yang satu ini sangat dekat denganku, di banding Mbak Dwi, Mbak Erna atau Mbak Asih. Setiap saat hampir dia yang selau ada di dekatku, menyuapi aku makan, mengajakku bermain atau memandikanku. Tentu saja aku jadi bingung melihat ia membisu seribu bahasa. Mungkin ini yang di sebut dengan Shock! Ah.. Masa bodoh, aku toh tidak bisa seratus persen boleh di salahkan. Lagi pula siapa yang suruh ganti baju pintunya tidak di kunci. Untuk mencairkan suasana, aku berinisiatif membantu Mbak Sekar memakai perlengkapan pakaiannya kembali.
"Mbak, kenapa anak perempuan harus pakai kain untuk menutupi dadanya?"
"Kan kalau di taruh kain di dada jack rasanya geli Mbak?" tanyaku ingin tahu.
Meski saat itu aku baru lima tahun, tapi keingin-tahuanku atas banyak hal sangat besar. Bahkan saat aku masih umur 2,5 tahun aku sudah hafal menghitung 1 sampai 100. Dan beberapa hal lain semakin menonjol, seiring bertambahnya usia. Aku mulai membaca dan bisa menulis di umur 3 tahun 7 bulan. Hingga di usiaku yang ke lima tahun, aku sudah terlihat seperti anak SD kelas 4, dalam hal kemampuan akademik. Hanya saja, ada keganjilan yang kurasakan. Untuk ukuran sebayaku, sebenarnya tak layak kalau ada yang punya pikiran untuk selalu tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan pornografi.
Sebenarnya, perasaan tergila-gila pada seks itu muncul di usia 4 tahun. Saat itu, aku senang bila saat di mandikan ibuku memainkan tititku untuk di sabun. Biasanya saat-saat seperti itu adalah saat favoritku. Aku merasa geli campur nikmat. Dan tanpa ada ibuku pun aku sering tanpa sadar memilin penisku jika terasa agak gatal. Meski sesudahnya terasa agak perih, tapi aku sangat menikmatinya. Kurasa baru itu 'starter kit' yang aku punya. Selanjutnya, peristiwa mabak Sekar, membuka cakrawala baru pernak-pernik seksualitas.
"Sini kainnya," ujarnya mengagetkanku, yang dengan tanpa persetujuanku, merebut gumpalan kain yang masih dalam genggamanku. Tapi, tiba-tiba pikiran nakalku muncul untuk menggoda Mbak Sekar. Aku berlari berputar-putar di bilik kamarnya, menghindari sergapan kakakku. Rupanya, hilang juga kesabarannya, dan ia tak mau lagi mencoba menangkapku. Dengan gontai ia berjalan memunggungi aku, tak berusaha merebut kain sumpal kutang nya.
"Kena..!" kataku sambil merangkul Kak Sekar dari belakang dan berusaha menggapai dadanya dari belakang. Kami biasa main gendong-gendongan dari belakang.
"Aduuh," jerit Kak Sekar mematahkan suara guntur yang datang hampir bersamaan.
Seisi rumah tentu saja heboh!! Mereka pikir petir telah menyambar kakakku. Pak Dhe, Bu Dhe, Nenek dan Mbak Dwi bergegas mendatangi kamar Mbak Sekar. Tentu saja kami jadi panik karena seisi rumah panik. Disusul lagi dengan hujan yang turun seperti tercurah dari tempayan raksasa, masing-masing sibuk mencari timba untuk menangkal atap yang mulai bocor di sana-sini, maklum ruamah di desa, apalagi usianya sudah seumuran kakekku yang sudah meninggal.
"Uuh hampir saja kita jadi sasaran omelan Nenek, Ibu dan Bapak. Untung saja segera turun hujan".
"Tadi kenapa menjerit Mbak?" aku jadi penasaran.
Di usianya yang ke sebelas tahun, Mbak Sekar tampak tumbuh pesat melebihi teman sebayanya. Wajahnya tampak semakin cantik, dengan hidung mancung dan bibir kemerahan seperti habis makan sambal. Orang bilang ranum. Kadang aku suka tersinggung dan menjadi sangat marah jika ada pemuda yang coba-coba menganggu Mbak Sekar. Biasanya, mereka sambil bersiul di tempat mereka nongkrong, mengeluarkan kata-kata yang jorok, hingga seringkali Mbak Sekar hampir menangis bila kebetulan lewat dan di goda secara keterlaluan oleh mereka.
"Neng, sini dong, kumpul sama kita-kita, soalnya aku.. Padamuu" kata salah seorang dari mereka sembari membuat isyarat berbentuk daun waru dengan kedua tangannya. Atau,
"Wah.. Biar masih kecil, putri Pak Marto, boleh juga goyang pinggulnya, bikin aku dag dig dug dag dig dug.. Ha ha ha." kadang bahkan terdengar menyakitkan di telinga orang beradab.
"Wis pokoke, selawe ewu wani.. Ha ha ha ["Ya.. Dua puluh lima ribu berani deh.." -pen].
Kalau sudah begitu, biasanya, aku akan langsung mencak-mencak membela Mbak Sekar. Terkadang aku sendiri jadi bingung, kenapa aku begitu antusias jika menghadapi Mbak Sekar, entah apa namanya, yang jelas di benak anak kecil sepertiku, aku selalu ingin merasa dekat dengannya. Sebagai ganti pengasuhku, Mbak Sekar memang istimewa. Dia penuh perhatian dan sangat lembut. Meski statusku ikut Nenek dan Bu dhe ku, sebab ke dua orang tuaku merantau ke luar jawa, tapi terutama aku sangat dekat dengan Mbak Sekar.
Bersambung . . . .