Sedarah
Thursday, 13 August 2009
Romantika dua saudara - 1
Oh, ya, namaku Munah. Saat itu mungkin usiaku sekitar 7 tahun dan kakakku, namanya Antan, usianya sudah kira-kira 10 tahun. Kami selalu membantu orang tua berladang menanam padipadian dan sayuran untuk makan kami sekeluarga. Kakakku, Antan, kadang-kadang diajak oleh ayah pergi berburu dan mencari ikan. Kehidupan kami waktu itu begitu primitif sekali. Kami tidak begitu mengenal dunia luar. Hanya kadang-kadang kami bertemu pemburu yang tersesat ke ladang kami, itulah cuma kami mengenal orang luar.
Semua kebutuhan hidup kami dapatkan dari hutan di sekitar kami tinggal. Pakaian kami gunakan lebih banyak kulit kayu dan daun-daunan tertentu. Meskipun masih ada juga sisa pakaian dari kain yang didapatkan oleh ayah dulu ketika dia pergi ke perkampungan. Hutan tersebut memang berbahaya, ayah dan ibu selalu mengingatkan kami akan bahaya hewan buas seperti ular, harimau dan juga binatang lainnya.
Kejadian yang sangat menyedihkan bagi kami adalah ketika ibuku meninggal akibat penyakit yang dideritanya. Kami tidak tahu entah penyakit apa yang menyerang ibu kami, yang jelas badannya semakin kurus dan akhirnya meninggal. Kami sangat berduka sekali, seakan tidak tega rasanya kami menguburkan jasad ibu kami. Sejak itu mulailah kehidupan kami bertiga. Ayah selalu mengajarkan kami tentang cara bertahan untuk hidup, terutama sekali kepada kakakku karena dialah yang laki-laki dan kuat.
Setelah kira-kira setahun sejak itu, terjadi kejadian yang sangat memukul perasaan kami. Ayahku diserang oleh ular cobra yang berbisa. Beberapa hari ayah tidak sanggup bergerak ke luar dangau kami dan kami kebingungan mau mengobatinya. Kami tidak tahu harus diobat pakai apa, sudah bermacam-macam dedaunan kami tumbuk untuk mengobatinya, namun tidak berhasil. Akhirnya ayah kami yang kami cintai meninggal dunia. Kami menangis sejadi-jadinya, kami berangkulan berdua dan dengan berurai air mata kami meratapi kematian ayah. Tiba-tiba kakakku tersadar dan bangun dari tangis tersebut. Dia ingat bagaimana dulu ketika menguburkan ibu. Dia kemudian mulai menggali tanah dan mengajakku membantunya. Dengan menangis aku tetap menurutinya membantu menguburkan ayah.
Begitulah yang terjadi. Sejak itu kami mulai hidup berdua dengan kakakku. Kakak sangat menyayangiku, dia selalu bekerja keras untuk menopang kehidupan kami. Aku membantunya setiap waktu.
*****
Beberapa tahun kemudian kami masih dapat bertahan hidup dengan baik. Kami tidak pernah lagi bertemu dengan orang luar. Kakakku tumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan aku sudah mulai tumbuh menjadi seorang gadis. Di gubuk itu kami tidur terpisah, biasanya Kak Antan tidur dekat pintu sedangkan aku di sudut dekat dapur dengan beralaskan tikar-tikar yang ada. Kisah ini bermula dari keadaan tubuh kami yang sudah mulai beranjak dewasa. Kakakku heran dengan pertumbuhan diriku yang berbeda dari dia. Dia selalu membandingkan perkembangan tubuhnya dengan tubuhku.
Aku pun saat itu merasakan hal yang sama. Maklumlah kami tidak pernah lagi melihat orang luar. Pakaian yang kami kenakan cuma alakadarnya dan kadang-kadang cuma penutup aurat bawah saja, lebih banyak kami memakai kulit kayu dan dedaunan. Dia heran melihat adanya tonjolan besar di dadaku sedangkan pada dadanya tidak sebesar itu. Dia tidak tahu bahwa payudaraku itu sebagai pertanda perkembangan diriku menjadi perempuan. Menurutnya aku mestilah seperti dia, tidak ada yang bengkak di sana sini. Dia sering mempertanyakan ini kepadaku.
"Kenapa ya, dada kamu itu bengkak dan besar, sedangkan dada Abang tidak begitu?" tanyanya.
"Kamu mungkin menderita penyakit," begitulah katanya.
Aku juga tidak mengerti tentang hal ini. Aku juga waktu itu belum tahu kalau itu namanya payudara. Kami banyak kehilangan kosa kata selain yang pernah diajarkan oleh ibu dan bapak kami. Kami juga tidak begitu tertarik dengan seks karena jujur tidak tahu. Kami sering juga melihat monyet di pohon yang bersetubuh, tetapi kami tidak melihat perbedaan yang nyata antara mereka. Mereka sama-sama monyet dengan bentuk tubuh yang hampir sama. Kami tidak begitu mengerti tentang jantan dan betina.
Keheranan kami akan hal ini semakin hari semakin bertambah seiring membesarnya payudara dan pinggulku. Kemudian ditambah lagi adanya darah kotor yang keluar dari tempat buang airku setiap bulannya (akhirnya aku tahu bahwa itu yang namanya darah haid). Kakak selalu khawatir tentang aku yang katanya kena penyakit seperti ibu dulu. Akh, aku pun merasa takut juga tentang hal ini. Akhirnya kami bermufakat untuk secepatnya mencari pengobatan untuk ini. Kata kakak, kami harus pergi mencari dukun yang bisa mengobati. Kami harus pergi keluar hutan untuk mencari perkampungan orang dan mencari dukun di sana. Kami tahu bahwa jalan ke perkampungan itu cukup jauh dan kami belum pernah ke sana.
Namun ketakutan kami akan penyakit tersebut cukup kuat dan kami harus pergi mencari pengobatannya. Bersepakatlah kami untuk berangkat besok harinya. Hari ini kami siapkan perbekalan yang dibawa yaitu sedikit makanan dan sisa pakaian kami yang masih ada. Esok harinya kami mulai melakukan perjalanan pada pagi hari sekali. Kami arahkan perjalanan kami ke arah lembah dari hutan perbukitan itu berharap arah tersebut adalah arah yang benar. Kami terus berjalan melewati hutan-hutan dan kami menjumpai sungai. Kami mengikuti sungai ke arah hilirnya berharap rumah perkampungan tidak akan jauh dari sungai. Kami kadang-kadang menemui kesulitan melalui semaksemak yang padu di sana. Tetapi kakakku adalah seorang lelaki yang kuat, dia dengan cekatan membantuku melewati rintangan demi rintangan.
Waktu itu matahari sudah di atas kepala dan artinya sudah tengah hari, kami berhenti di pinggir sungai dan membuka bungkusan makanan kami. Kakak segera menangkap ikan di sungai yang kebetulan ikannya banyak sekali. Kakak dengan cekatan membuat api dengan menggosokkan kayu dengan kayu. Kami langsung membakar ikan tersebut dan makan dengan lahapnya. Setelah istirahat sebentar kami pun melanjutkan perjalanan. Akhirnya sampailah kami ke sungai dengan airnya yang agak tenang dan dalam. Kakak mendapat akal untuk membuat rakit dari gelondongan kayu yang ada. Beberapa batang kayu kami ikat dengan akar membentuk rakit sederhana.
"Dengan rakit ini kita tidak lagi susah berjalan. Pasti di hilir sungai nanti kita akan berjumpa perkampungan," kata kakakku.
Begitulah, setelah rakit siap kami pun menaikinya dan mulai melaju ke hilir sungai. Kakak bertugas mengemudikan rakit dengan sebatang kayu galah, sedangkan aku membantu mengayuh dengan kayu. Pendek cerita, akhirnya kami menemukan sebuah gubuk di pinggir sungai. Kakak segera menepikan rakit dan kami pun mendarat ke tebing dengan baik. Setelah kami sampai di darat, kami pun menuju gubuk tersebut. Kami melihat pintu gubuk tutup dan kami mengitarinya mencari jika ada orang di sekitar gubuk tersebut. Ternyata di sekeliling gubuk itu tidak ada orang. Kami pun istirahat sebentar di samping gubuk itu. Setelah beberapa saat kami mendengar suara batuk seseorang dari dalam gubuk. Kami terkejut dan seketika tersentak dan berdiri. Oh, ada orang rupanya.
"Maaf, ada orang di dalam?" tanya kakakku.
Kami dengar suara pintu berdenyit dan kemudian terbuka. Kami melihat sosok orang tua di depan pintu. Pria tua berjenggot dan berkumis tebal. Ketika melihat kami dia begitu terkejut dan bertanya:
"Kalian dari mana?"
"Kami dari hutan Pak, kami mau cari tukang obat," jawab kakak.
"Ke sini masuk dulu, kalian harus ganti pakaian," kata Bapak tua itu.
"Tapi, kami tidak punya yang bagus Pak," jawab kami.
"Masuk saja, nanti Bapak yang kasih," katanya lagi.
Kami pun masuk dan disuruh mandi, kemudian kami diberikannya pakaian seadanya. Rupanya Bapak tua itu telah kehilangan anak mereka dan dia begitu baik kepada kami. Kami bahkan disuruh menginap di sana, namun kami menolaknya, karena kami harus mencari dukun. Bapak tua itu hanya menanyakan siapa yang sakit, namun tidak ditanyakannya apa penyakitku. Lalu, oleh Bapak tua itu kami dianjurkan untuk terus ke ujung kampung yaitu rumah yang paling ujung. Di sana katanya ada seseorang yang selama ini dianggap sebagai dukun di kampung itu.
Kami pun meneruskan perjalanan ke rumah yang dimaksud Bapak tua itu. Hari sudah mulai senja dan matahari sudah hampir terbenam. Akhirnya kami pun sampai ke rumah yang dimaksud setelah melewati 3 buah rumah lainnya. Jarak satu rumah dengan yang lainnya berjauhan. Rumah dukun tersebut terbuat dari kayu dengan dindingnya dari anyaman rotan dan atapnya dari daun-daun yang disusun rapi. Pintu rumah dalam keadaan terbuka dan di dalamnya kelihatan gelap karena sedikitnya cahaya yang masuk akibat rindangnya pepohonan di sekitar rumah tersebut. Kakak segera memanggil orang di dalam rumah jika ada. Kami mendengar suara batuk seseorang dan derap langkah seseorang menuju pintu rumah.
Suara langkah terdengar karena lantai rumah tersebut terbuat dari kayu dengan tinggi lantai dari tanah kira-kira satu meter. Seorang lelaki setengah baya muncul dengan hanya memakai kain sarung dan tanpa baju. Kami dipersilakan untuk masuk ke rumah gubuk tersebut. Kami disuruh duduk di atas tikar rotan yang sudah terbentang sementara dia terus ke belakang. Kami memperhatikan gubuk tersebut yang terdiri dari satu buah bilik yang berdindingkan anyaman bambu, satu ruang dapur dan satu ruang lapang di tengah.
Ada sebuah meja dari kayu dengan jalinan rotan yang rapi dengan dua buah kursi rotan. Di sebelahnya ada lagi semacam ranjang dari rotan yang kelihatannya hanya muat untuk satu orang. Saya pikir ini sebagai tempat dukun tersebut istirahat siang. Sang dukun muncul dari belakang dengan memakai baju namun tetap memakai kain sarung. Dia duduk di depan kami dengan bersila dan mulai melakukan pembicaraan.
"Kalian dari mana sehingga senja begini sampai ke sini?" tanyanya ramah sambil tersenyum.
Tidak ada kesan angker dari nada bicaranya.
"Kami sudah melakukan perjalanan dari tadi pagi dan sampai ke sini karena ada maksud hati kami yang ingin kami sampaikan," jawab kakak dengan nada datar.
"O, silakan sampaikan saja," jawabnya lagi.
Bersambung . . . . .