Lain-lain
Wednesday, 26 August 2009
Gelora di bukit tandus - 3
Berkali-kali, aku menelan ludah, berusaha membasahi kerongkonganku yang terus menerus menjadi kering, karena sapuan angin panas yang semakin tak teratur ku keluarkan, kadang lewat hidung, kadang lewat mulut, hingga membuatku sering tersengal karenanya. Barangkali ini yang di sebut tersiksa tapi nikmat. Kadang, memang batas antara siksaan dan kenikmatan sangatlah tipis.
Setelah agak mampu menguasai diri, meski tak sepenuhnya, kembali perhatianku ku tumpahkan ke aktivitas Nenek. Tampaknya, sejenak ia mengurangi intensitasnya, bahkan, perlahan-lahan Ia bangkit, membetulkan kainnya, dan berjalan gontai meninggalkan kamar.
Dari dalam kamar ku dengar Dia tengah bercakap dengan Pak Dhe, yang rupanya belum bisa tidur dan kebetulan berpapasan dengan nenek, yang baru saja keluar dari kamar mandi. Rupanya Nenek tadi kebelet pipis. Aku tak tahu persis apa yang mereka perbincangkan, tetapi ini adalah kesempatan bagiku, untuk segera mengakhiri rasa sakit di selangkanganku yang terjepit oleh kain celana pendekku sendiri.
Cepat-cepat, kubuka celanaku, dan segera ku sembunyikan di bawah bantalku, Penisku yang masih tegang belum mau mengendor, meski telah ada jeda pertunjukan. Tapi itu kini tak lagi menyiksaku. Nenek datang beberapa saat, setelah aku memposisikan diri seperti semula, sama seperti saat ia pergi meninggalkan kamar. Sekilas, Ia memandang, posisi tidurku, dan, seperti tak terjadi apa-apa, mungkin setelah meyakinkan dirinya, bahwa aku tak mengetahui apa yang di lakukannya.
Wah.. kalau yang ini siksaan tahap kedua, aku jadi begitu tegang menunggu episode kedua. Sementara Nenek, rupanya belum ada keinginan melanjutkan aksinya. Aku sendiri sebenarnya sudah agak mengantuk, tapi, demi sesuatu yang bisa bikin aku panas dingin, aku rela menunggu.
Theng.. Theng.. Theng.. Jam dinding berdentang tiga kali, pertanda sudah mendekati subuh, aku gelisah dalam penantian menunggu aksi spektakuler berikutnya. Aku pikir, setelah sekian lama tak ada lagi pertanda aksi berlanjut, aku memutuskan mengakhiri petualangan mengintipku. Tapi.. tiba-tiba di tengah deraan kantuk yang begitu hebat, T e r j a d i!
Perlahan.. tangan nenek membuka ikatan kemben yang di kenakannya. Aku bisa menebak kelanjutan dari babak pertama ini, tangan itu akan perlahan-lahan menelusup ke sela-selaselangkangannya, berhenti beberapa saat di situ, mencari sesuatu, kemudian ada gerakan sedikit menyentak, dan tangan itu di dekatkan ke lobang hidungnya, di cium di kibaskan dan kembali ke ritme semula.
Tapi kali ini, aku tak mau terjebak ke dalam rutinitas menjemukan seperti yang sudah ku lihat sebelumnya, sebab yang bikin dag dig dug sebenarnya tak lebih karena rasa keinginan tahuan belaka. Aku mulai berinisiatif, karena timing nya memang tepat. Menjelang fajar seperti ini, ternyata, bukan aku saja yang terserang kantuk, tak terkecuali Nenek!Kewaspadaannya mulai menurun, karena ketika kuamati, gerakan tangannya makin lama semakin lambat, bahkan sesekali, dengkurnya mulai terdengar, meski hanya seperti suara pipa tersapu angin, karena gigi nenek memang telah habis.
Untuk memastikan sejauh mana kepekaannya, aku, sedikit demi sedikit menggeser posisi tubuhku mendekati tubuhnya. Mula-mula, kakiku kugeser menindih betis nya. Tampaknya nenek belum sepenuhnnya lelap. Sebab, begitu terasa ada benda menyentuh kakinya, helaan nafasnya berubah, pertanda masih agak sadar. Tapi aku tak berusaha memindah posisiku, takut ia menjadi curiga.
Benar saja, kembali Nenek diam saja, dengan posisi tangan masih menempel di kemaluan, tetapi masih tertutup kain batiknya, sehingga aku tak mampu melihat bentuk dan sensasi berada dalam zona terlarangnya.
Di sini, kembali, kesabaran dan nyali ku pertaruhkan. Aku harus sabar menuggu kesempatan terbaikku, menggapai 'Trophy' kemaluan Nenek yang memang tidak semudah seperti saat aku meminta di belikan mainan atau uang jajan dari nya. Benar-benar sebuah perjuangan yang layak di kenang!
Perlahan namun pasti, sang waktu pun berpihak kepadaku. Nenek benar-benar terlelap. Ini saatnya berpesta.. Meski sangat terbuka kesempatan itu, tapi aku tidak serta merta berani 'menguliti' Nenek. Pertama-tama, tentu saja, aku berusaha menyingkapkan kain yang menutupi separuh betisnya hingga ke perutnya. Aku sempat duduk, mengamati posisi tidur Nenek, dengan menetukan bagian mana dulu yang mesti kubuka. Dari situ, aku tahu, menyingkapkan kainnya dari bawah adalah posisi teraman, tentu saja posisi badanku harus sejajar dengannya, dengan pertimbangan, akan memudahkan aku mengembalikan lagi kainnya jika situasi menjadi sulit, dan yang terpenting, memompa fantasiku, ketika kulit kakiku beradu dengan kulit kakinya.
Sepertinya, tak ada halangan berarti, ketika kaki kananku yang ku tugasi menindih paha kiri Nenek, menjepit kain batik yang di kenakannya, dan menggesernya semakin ke atas mendekati pangkal pahanya. Sampai di sini, semua sensasi yang kurasa, sungguh lebih dahsyat dari yang pertama. Sengaja kombinasi semua rasa, dari rasa takut, geli, nikmat, bangga dan entah rasa apalagi aku tak mampu melukiskannya, berbaur membentuk halusinasi tak terkira, yang mungkin bakal aku kenang sampai aku binasa kelak.
Sengaja aku berlama-lama di situ, menghirup semua utopia yang tak pernah terlintas di benakku sebelumnya. Barangkali, kalau aku jabarkan, seperti ketika kebelet pipis saat mengemudi atau berada di kendaraan umum, sementara toilet yang kita tuju, masih belum nampak atau kita masih perlu menunggu giliran, begitulah kira-kira sensasi saat saya berusaha menggapai impian menyingkap tabir rahasia itu. Lega tak terperi yang aku rasakan, sesaat setelah buang hajat kecil, begitulah perasaan yang ada padaku, ketika mampu menelanjangi Nenek, orang yang jikalau dalam posisi sadar amat kusegani dan kuhormati.
Saat aura kegalauan telah kutuntaskan, aku beranjak ke langkah selanjutnya, yang justru menjadi taget utama misiku malam itu, yaitu melihat bagaimana dan apa yang telah di lakukan nenek di area tempat biasanya dia kencing! Aku tercekat, begitu menyadari dan tahu benda yang terpampang di hadapanku. Bentuknya menurutku mirip dengan milik kambing betina yang biasa kulihat di padang gembala bersama kakak sepupuku yang lain. Tak ada yang istimewa, seperti bayanganku semula, di mana kupikir, pasti agak aneh dan.. Entah, tak mampu aku imajinasikan.
Tapi aku masih penasaran, kenapa begitu melihat bentuk yang menempel di pangkal paha Nenekku, ereksi di penisku semakin menjadi? Kenapa saat di padang rumput, saat menyaksikan kambing kang wawan yang sedang merumput, dan nampak kemaluannya, yang jika melihat bentuknya mirip punya nenekku, aku sama sekali tak bereaksi?
Ahh.. kenapa mesti bertanya-tanya, kenapa tidak sekalian saja aku rasakan sensasinya saat memegang dan berada di dalamnya? Tapi, ini bukanlah hal mudah. Di atas gundukan itu, tangan nenek masih bercokol, menutupi sebagian ujungnya. Aku tak lagi perduli, apapun yang terjadi, malam ini aku harus tahu.
Saat tangan nenek yang ku coba ku geser ke arah lain yang lebih memudahkanku mengamati kemaluannya, tanganku gemetar takut kalau-kalau Nenek terbangun. Tapi meski dengan susah payah, misiku berhasil. Belahan di pangkal pahanya terlihat jelas. Hanya saja yang mengundang decak kagumku adalah, di sini kutemui bulu-bulu seperti rambut yang sebagian besar berwarna putih seperti uban, tetapi cuma satu sisi yang tersisa. Maksudku, sebagian besar nampaknya telah sengaja di buang oleh nenek dengan cara di cabut. Jadi, rupanya, selama ini, Nenek melakukan ritual 'cabut jembut', hal yang tentu saja memberiku andil yang cukup besar kelak di kemudian hari, hingga menjadikanku bereputasi sebagai balita tercabul di kota kami.
Akupun, dengan iseng mencoba mengelus-elus bulu-bulu kemaluan Nenek, yang menurutku tak seberapa banyak di banding luasnya'lahan', sehingga lebih tepat bila ku analogikan seperti bukit tandus yang di tumbuhi beberapa batang ilalang. Dan telapak tanganku makin tak sabar mencoba mengetahui isi di dalamnya. Saat belahan itu ku buka, aku mencium seperti bau bawang merah yang di iris. Di tengah belahan itu ada segumpal daging kecil keriput, yang tampak di kelilingi oleh daging seperti kerang yang di kupas.
Saat itu aku tak tahu apa namanya, tapi yang pasti, daging kecil ini sempat kutarik-tarik dan kupelintir kekanan dan kekiri. Di bawahnya, ada lobang yang aku sendiri tak tahu seberapa dalam, karena aku tak berani memasukkan jariku ke dalamnya. Yang jelas, di dalam kemaluan Nenek terasa hangat tapi lembab. Aku suka berlama-lama di situ bermain-main dengan menarik-narik daging kecil yang tadi sempat kupelintir.
Aku tak tahu berapa lama aku bermain-main dengan kelentit nenek, tetapi satu hardikan yang cukup keras, di sertai rasa panas di telinga, akibat di jewernya telingaku oleh nenek, menyadarkanku.
"Grathil!," begitu bentaknya sambil menghalau tanganku.
Akupun makin gelagapan saat menyadari keadaan tubuhku yang telanjang bulat, karena sarung yang kupakai ternyata telah merosot entah di mana.
Rupanya suara ayam berkokok yang begitu keras telah membangunkan nenek yang tengah terlelap. Dan begitu menyadari situasinya seperti yang kupaparkan, serta merta kemarahannya meledak. Bagaimana tidak, sorang anak bau kencur, yang notabene cucunya sendiri telah berani menelanjangi dirinya dan berani memainkan kelentitnya, di daerah 'kekuasaannya'.
Ini benar-benar gawat dan bencana bagiku. Aku tak lagi punya nyali menatap Nenek yang kemudian beranjak ke dapur, sebagai kebiasaannya bertahun-tahun, yaitu minum air putih. Esok paginya, peristiwa semalam dengan kakak sepupuku dan nenek, menjadi tonggak bersejarah, yang mendasari kegemaran dan kecenderunganku bermain cinta dengan wanita lebih tua.
*****
Kisah selanjutnya akan aku paparkan di lain kesempatan, tentunya dengan gaya bertutur dan muatan kisah asli pengalaman seks ku yang pernah kulakukan, lebih baik lagi. Sebagai pendatang baru di situs 17Tahun ini, aku inginkan kritik dan tanggapan dari pembaca sekalian, alamatkan ke Emailku.
Tak lupa aku sampaikan bagi para penggemar situs ini, terutama wanita, yang berdomisili di Surabaya dan sekitarnya, bila ingin menjalin hubungan dan merasakan sensasi bercinta denganku, silakan kirim email ke alamatku. Aku berwajah lumayan cakep, sawo matang, tinggi 187 cm dan berat badan 87 kg dan berdomisili di Surabaya.
Tamat