Lain-lain
Wednesday, 26 August 2009
Nini yang misterius - 3
Nini tampak sudah duduk di luar hanya dengan memakai celana ketat pendek sekali dan atasan kaus longgar pendek transparan sehingga jelas terlihat bulatan dan puting buah dadanya. Aku hanya memakai celana dalam. Di meja telah tersedia dua cangkir kopi, dua gelas orange juice dan dan beberapa roti yang telah diberi selai.
"Vir.. Ayo kita relax dulu di sini.. sambil lunch.." katanya.
"Haah, lunch?? Jam berapa sekarang..?" tanyaku.
"Eleven O'clock darling.., kamu ketiduran nyenyak tadi pagi" ujarnya.
"Kok aku nggak tahu kalau sudah pagi, nggak ada sinar masuk sih" ujarku.
"Memang kamar ini aku bikin sedemikian rupa hingga tidak mungkin ada sinar masuk, jadi kalau sudah di dalam, bisa-bisa kita tidak tahu waktu kalau tidak melihat jam" ujarnya lagi. Wah, wah, aku jadi semakin bingung, siapa Nini ini sebenarnya?
Akhirnya aku duduk berhadapan dan menikmati lunch yang tersedia. Terpaksa aku bolos kerja hari ini, entah alasan apa yang harus aku kemukakan ke kantor nanti. Kami berbincang santai sambil sesekali membahas teknik permainan sex masing-masing. Kami sangat terbuka dalam membicarakannya dan ini akan lebih mendekatkan hubungan kami serta dapat mengetahui keinginan masing-masing dalam cara cara memuaskan nafsu birahi pasangan kami.
Ketika aku ke kamar kecil, sekilas aku lihat di lemari hiasan yang menempel di dinding kamarnya, banyak bingkai foto dan plakat serta piala terpajang di sana, aku hanya lewat saja tanpa berminat untuk melihatnya. Setelah dari kamar kecil aku kembali ke tempat dimana Nini masih duduk dengan santainya di luar.
"Nini, aku ingin bertanya beberapa hal yang mungkin bersifat pribadi, boleh nggak?" aku bertanya.
"Kalau aku bisa jawab, mengapa tidak, tanyalah" jawabnya.
"Are you married?" kuberanikan bertanya langsung pada tujuan.
"No, I am still single" jawabnya santai.
"So, what is your job?" tanyaku kembali.
"Hei, it's a funny question honey, don't you know who am I when we met for the first time?" Nini balik bertanya keheranan.
"Aku adalah Nini *****," sambungnya.
Hampir aku terlonjak dari tempat dudukku mendengar nama tenar itu.
"Sorry Ni, mungkin aku kurang gaul, tapi memang sebenarnya aku tidak pernah mengikuti perkembangan dunia yang kamu geluti dan aku tidak pernah berkecimpung di dalamnya. Mungkin mulai sekarang aku harus mengikutinya ya" aku berkata dengan perlahan diiringi perasaan malu yang sangat mendalam.
"Kamu tidak perlu mengubah apa yang telah ada pada dirimu, justru dengan begitu aku lebih salut padamu, karena tadinya kukira kamu mau bercinta denganku karena aku ini adalah seorang tenar" ujarnya.
"Jadi, setelah kamu tahu siapa aku, masih bersediakah kamu untuk bercinta denganku, tapi aku tidak mau ada ikatan. Just for an easy going relationship, to fullfill each other. Kalau aku sedang kesepian, tolong temani aku, demikian pula kalau kamu sedang sendirian, aku akan berusaha nemenin kamu" ujarnya sambil menolehkan kepala mengecup pipiku.
"Tapi, bukankah ada sekian banyak lelaki di sekelilingmu dan dengan kecantikan, body kamu, apalagi dengan permainan sex kamu yang demikian top, akan banyak laki laki yang setiap saat siap datang?"
"Kamu tahu toh, mereka datang sebagai sosok kepribadian lain di depanku, mereka datang dan pergi tanpa harus aku kenang atau aku ingat dan tidak ada yang pernah mendapatkan teknik permainan sex seperti yang kamu dapatkan tadi malam. Kamu adalah orang ketiga setelah mantan pacarku dulu" ujarnya.
"Lalu mengapa kamu undang aku, padahal hubungan kita masih terlalu singkat untuk sampai ke atas ranjang?" tanyaku.
"Waktu di restoran, dari apa yang kulihat dan kita bicarakan, aku ingin mendapatkan kepuasan sexual dari kamu dan ternyata memang tidak salah. Lalu selama pembicaraan kita itu, aku sudah perkirakan bahwa kamu tidak tahu siapa sebenarnya aku, jadi dari pada kalau kamu tahu terus kamu takut, maka aku harus segera memberi seluruh teknik permainan yang aku miliki agar.."
"OK, OK, stop, stop, aku mengerti sekarang.." ujarku sambil kucium bibirnya dan kuraba dadanya.
"Jadi kamu masih mau berhubungan dengan aku untuk selanjutnya?" tanyanya.
"Walaupun aku tahu siapa kamu sebenarnya, tidak akan menghalangiku berhubungan dengan kamu selanjutnya dan aku tidak akan pernah menghalangi pekerjaan kamu, toh hubungan kita kalau boleh aku bilang adalah 'just for fun', cuma satu permintaanku yaitu aku tidak mau berada di depan publik bersama kamu, kecuali di luar kota" kataku tegas.
"Setuju Sayang, aku pun mau bicara soal itu, tapi takut kamu tersinggung. Biasanya lelaki lain malah ingin jalan bersamaku ke tempat umum karena itu adalah kebanggaan buat mereka. Kalau begitu, lusa kan hari Jumat, kita keluar kota ya, ke Bali" ajaknya sambil diciumnya bibirku hangat lalu tangannya kembali meremas-remas penisku yang mulai mengeras lagi.
Akhirnya kami kembali bergumul menumpahkah hasrat nafsu birahi kami di kursi luar kamarnya itu sambil duduk. Nini orgasme duluan dan aku menyusul kira kira 10 menit kemudian. Beberapa saat setelah istirahat..
"Ni, aku pulang dulu ya" aku berkata.
"Jadi lusa acara ke Bali-nya gimana?" dia bertanya penuh harap.
"Tiga jam lagi aku telepon kamu" jawabku.
"Jangan nggak ya" katanya sambil mengecupku sebelum aku naik ke mobilku.
Jumat jam 3 siang, pesawat yang aku tumpangi mendarat di bandara Ngurah Rai. Seperti biasa, sopir Arif menjemputku dengan mobilnya. Kali ini aku dipinjamkan sebuah Mercedez Bulldog mirip seperti milik Nini, hanya saja warnanya biru tua. Arif adalah sahabatku di Bali, cerita tentang Arif ada di ceritaku terdahulu, "Kamu Lelaki Bukan, Sih?". Aku telah memesan kamar hotel di kawasan Nusa Dua. Nini akan datang hari ini juga tapi aku tidak tahu jam kedatangannya karena saat aku check-in, ternyata Nini belum datang. Baru kemudian Nini datang mengetuk kamarku dangan diantar oleh bell boy pada jam 8 malam hingga aku sempat tertidur beberapa jam.
"Sorry Vir, aku tidak dapat datang lebih pagi, kamu sudah lama menunggu ya?" tanyanya sambil mengecup pipiku dan kucium bibirnya.
"Nggak kok, aku tiba tadi jam 10 pagi" kataku menggoda.
"Hayoo, mulai boong ya, kata resepsionis tadi kamu check in jam 4, bukan jam 10" katanya sambil tangannya mengelus penisku dari luar celana.
Kami duduk berdampingan sambil mengobrol kesana kemari hingga tak terasa sudah jam 9.
"Mandi dulu sana, kita makan di luar" ujarku.
"Kalau makan aku, pakai mandi dulu nggak?" Nini merajuk.
"Kalau makan kamu, nggak usah mandi dulu, ntar aku yang mandiin pakai lidah" kataku menggoda.
"Mau doong" katanya sambil membuka pakaiannya dan masuk ke kamar mandi.
Aku meneruskan menonton TV sambil tiduran di ranjang sementara Nini berendam di bathtub sekitar 30 menitan. Saat Nini telah selesai mandi, dia naik ke ranjang bertelanjang bulat lalu membuka celanaku.
"Ini yang aku rindukan, Darling" katanya sambil memasukkan penisku yang masih lemas ke mulutnya.
Seketika itu juga penisku menjadi tegang di dalam mulutnya. Sebelum tegang sempurna, aku balikkan badanku dan aku tangkap kakinya, lalu aku julurkan lidahku dan segera dengan tanpa basa basi kukorek-korek liang vaginanya hingga Nini terkejut sebentar tapi langsung mengerang keenakan karena memang inilah yang ditunggunya. Tangannya seketika menggapai penisku dan meremas-remasnya, tapi hanya 2 menit kemudian aku lepaskan lidahku, lalu aku bangun.
"Udah ah, simpen dulu buat nanti ya?" godaku.
"Vir.. Jahat kamu ya, aku mau sekarang, baru kita pergi" rengeknya.
"Hehe, kumpulin nafsunya buat nanti, sekarang aku lapar nih, kita ke Kuta, aku ada mobil temanku. Hmm.. pakai pakaian yang sexy ya" ujarku.
Nini memakai rok terusan motif agak transparan yang atasnya tergantung di bahu dan menyilang di punggung dengan tali tipis terkait di roknya bagian belakang. Belahan dadanya yang terbuka sampai perut memperlihatkan kulit dan sebagian buah dadanya yang putih dan kenyal. Bahan roknya yang jatuh mencetak bentuk buah dadanya sangat indah. Bagian punggungnya terbuka total, hanya ada 2 tali tipis menyilang di punggungnya dan bagian bawah melebar 20 cm di atas lututnya. Sebuah selendang sutra dikenakan melingkar di pundaknya menutupi bagian atas tubuhnya. Tampak sexy sekali dia malam ini, ditambah rambutnya yang diikat ke atas memperlihatkan lehernya yang indah dan seperangkat perhiasan mahal di telinga, leher, jari dan tangan menghiasi si pemilik tubuh hingga semakin menjadi perhatian bagi siapa saja yang melihatnya. Dan malam ini si sexy ini bersamaku.
Setelah kami makan, pada jam 11 aku ajak Nini untuk bertemu Arif di clubnya. Nini melepas selendangnya sebelum turun dari mobil. Arif sedang duduk di meja tengah bersama 8 orang, 5 pria dan 3 wanita. Saat melihatku, Arif langsung mempersilakan kami duduk.
"Vir.. Udah ditunggu nih.. Kok lama bener" kata Arif.
"Kenalin dulu nih.. Nini, datangnya terlambat dan gua ketiduran tadi" jawabku.
"Ketiduran atau ditidurin? Eh.. Rara mau dateng lho sebentar lagi" bisik Arif di telingaku.
"Gila lu ya.. Kan gua udah bilang kalau gua nggak sendirian" bisikku lagi.
"Tenang friend.. Rara akan dateng sama suaminya" bisiknya lagi sambil menepuk nepuk pundakku. Sekedar informasi, cerita tentang Rara juga ada di ceritaku sebelumnya: "Kamu Lelaki Bukan, Sih?"
Lalu kami saling berkenalan dengan mereka dan seperti telah kuduga, semua lelaki membelalakkan matanya memandang Nini seakan menelanjangi tubuhnya dengan matanya. Aku ditarik Arif sedikit menjauh dari meja.
"Vir.. Dia kan Nini *****?" dia bertanya.
"Awalnya gua nggak tahu bahwa dia adalah Nini *****, soalnya kalau tahu juga gua nggak bakal berani dekat-dekat" aku menegaskan.
"Sekarang ya sudah kepalang. Ternyata dia nggak seperti dugaan orang, paling tidak sama gue lho" sambungku lagi.
"Dasar buaya lu! Jadi masih bisa gua dekati nggak nih?" tanyanya penuh selidik.
"Siapa juga boleh dan bisa ngedeketin dia, tapi tergantung dianya kan, mau apa nggak" jawabku membuatnya penasaran.
"OK dah, ntar gua usaha, jangan cemburu ya" Arif berkata seakan menantangku.
Kami kembali ke tengah kerumunan dan terlihat Nini yang memang supel sudah bercengkerama dengan mereka. Di tangannya terlihat segelas red wine. Seperti biasa aku minta Cointreau Double On The Rock. Tak berapa lama kemudian, ada yang menepuk pundakku dari belakang. Sewaktu aku menoleh, kulihat Rara berdiri di belakangku dan di sebelahnya ada seorang pria yang ternyata suaminya seperti yang pernah beberapa kali kulihat di media massa.
Aku bangkit berdiri dan Rara menjabat tanganku, memberi kecupan di pipiku serta memperkenalkanku dengan suaminya. Aku diperkenalkannya sebagai sahabat lamanya 8 tahun yang lalu. Lalu aku panggil Nini, saat aku akan memperkenalkannya, Rara berteriak..
"Nini.. Ada angin apa kita ketemu di sini"
Rupanya mereka sudah saling kenal. Aku tidak heran. Ternyata suaminya juga telah mengenal Nini sekilas. Akhirnya kami duduk bersama, aku dan Nini bersebelahan, Rara dan suaminya berhadapan dengan kami. Dengan posisi seperti itu, aku bebas berhadapan dan bertatapan dengan Rara sedangkan suami Rara dengan bebasnya memandang Nini, dan itulah yang dilakukannya, sesekali matanya turun melihat paha Nini yang terbuka serta belahan dadanya yang menantang.
Musik bergema dengan kerasnya. Beberapa gelas telah kami habiskan sehingga semua yang berada di meja itu jadi typsy, terkadang bicara agak ngelantur dan saling menggoda sudah menjadi hal biasa. Kadang kupeluk Nini atau sesekali kucium pipi dan bibirnya. Demikian pula Rara bersikap mesra pada suaminya. Tapi sering kutangkap pandangan mata Rara sehingga kami sering saling menatap penuh arti.
"Ada pandangan lain dari mata Rara buat kamu, apa itu?" bisik Nini di telingaku sambil tangannya meraba pahaku.
"Ternyata mata dan perasaan kamu tajam juga ya. Rara pernah sama aku 8 tahun yang lalu, di sini juga pertama kali aku bertemu dengan dia, hubungan kami cuma sekitar 6 bulan saat aku sering kemari untuk mengerjakan proyek kantorku" jawabku berterus terang.
Ternyata jawabanku cukup memuaskannya sehingga Nini tidak bertanya lebih lanjut. Selang beberapa lagu, Nini menarik Rara untuk menggoyangkan tubuhnya di lantai dansa. Terlihat mereka berdua bergoyang dengan santainya sambil sesekali mengobrol. Tak lama kemudian terlihat Nini melambaikan tangannya padaku. Aku mendekat sehingga kami bertiga ada di lantai dansa dengan dan bergoyang seadanya.
Bersambung . . .