Sedarah
Thursday, 13 August 2009
Romantika dua saudara - 4
Terasa kitangnya semakin menekan epotku dan dia tidak henti-hentinya menggesekkan pahanya dengan pahaku. Selanjutnya dia mengangkat dadanya dan mengubah posisi sehingga kurasakan ada sesuatu yang menusuknusuk epotku. Epotku yang sudah basah karena campuran lendir dan ludahnya itu, kembali dicucuk-cucuk dan kemudian dia diam sejenak. Sebentar kemudian dia menekan lagi hingga kurasakan ada benda yang mau memasuki liang epotku. Benda itu menyundul-nyundul lubang milikku itu.
"Abang akan masukkan obat ke dalam diri kamu, kamu harus bantu Abang dan jangan takut. Kamu tenang saja dan rasakan saja jika nanti agak sakit katakan pada Abang tapi jika enak nikmati saja," katanya setengah berbisik di sela-sela nafasnya yang bergemuruh.
Aku tetap diam menunggu apa yang akan dilakukannya. Aku terus terang merasakan kenikmatan ketika benda miliknya itu menyentuh bibir epotku. Kemudian dia mulai lagi menggerak-gerakkan pinggulnya dan terasa kitangnya tepat persis di liang milikku, dia mulai mendorongnya sedikit dan aku merasakan bibir epotku telah menjepit benda itu. Dia mendiamkannya sambil mengatur posisi tubuhnya dengan bertumpu pada sikunya. Kemudian lidahnya dijulurkannya ke mulutku dan terus dilumatnya bibirku. Cukup lama juga dia melumat bibirku hingga membuatku terangsang kembali.
Seketika kemudian pinggulnya ditekannya hingga kitangnya terbenam lagi sedikit dan aku merasa agak perih di sekitar epotku. Otot-otot epotku bereaksi menerima masuknya benda asing itu walaupun mungkin baru ujungnya saja yang masuk. Dia kembali terdiam seperti membiarkan aku merasakan benda itu. Kemudian aku merasakan kegelian yang amat sangat ketika dia menjilat-jilat telinga kiriku dan kadang-kadang ujung lidahnya menjolok-jolok lubang telingaku. Entah berapa lama pula dia merangsangku dengan cara demikian dan kemudian dia berpindah pula ke telinga kananku.
Posisinya rapat menindih tubuhku, tangannya diletakkan di bawah kepalaku dan kurasakan kepalaku diangkat-angkat olehnya. Sepertinya dia sangat geram sekali dengan aku. Rangsangan demi rangsangan itu membuatku betul-betul terlena hingga tidak sadar pinggulku kugerakkan ke kiri dan ke kanan. Menikmati gerakan-gerakanku itu, Bang Atin malah semakin gencar melumat-lumat telingaku, bibirku, hidungku dan juga pipiku tidak luput dari sapuan lidahnya. Pada saat aku begitu terlena, dengan kuat ditekannya pantatnya hingga membuatku terkejut karena kurasakan ada benda panas yang menerobos epot ku.
"Auuw.. Ohh," teriakku.
"Maaf, sayang, Abang mau memasukkannya. Nanti akan terasa enak," katanya.
Kemudian semua hening dan terdiam hanya suara nafas kami saja yang terdengar. Bang Atin membiarkan kitangnya terbenam, mungkin belum separuh miliknya masuk, agar epotku mulai menyesuaikannya. Aku masih merasakan perih dan pedih pada bibir epotku. Kemudian Bang Atin mulai lagi menjilat-jilat leherku dan kembali mengulangi lagi lumatan-lumatannya pada bibir, telinga dan semua wajahku tidak luput dari lidahnya. Aku tentu saja kembali dilanda birahi yang amat sangat, sehingga dengan tidak sadar seluruh tubuhku bergerak bergetar serta pinggulku kembali meliuk-liuk dan aku pun merasakan gerakan tubuh Bang Atin di atasku menggesekkan perut dan dadanya pada tubuhku.
Sungguh suatu perasaan yang luar biasa sekali. Aku merasakan otot epotku mulai meremas-remas kitang Bang Atin, keadaan ini sangat nikmat sekali. Aku berharap Bang Atin menggerak-gerakkan kitangnya, tetapi dia malah diam saja. Namun rangsangan yang kuterima dari cumbuan-cumbuannya cukup membuat tubuhku menggelinjang hebat hingga sampai aku merasa tubuhku menegang dan pinggulku bergerak liar dan kembali kenikmatan orgasme mulai melandaku.
Ketika aku tengah menikmati denyutan orgasme itu dengan tiba-tiba aku terkejut dan menjerit, "Auuww, sakiit, oohh," teriakku kuat.
Kurasakan ada sesuatu yang membelah selangkanganku dan merobek alur epotku. Rupanya Bang Atin menunggu kesempatan ini untuk memasukkan miliknya. Menunggu aku lupa dengan benda yang menunggu di pintu epotku itu. Alangkah perihnya lubang epotku saat itu dan aku merasa ada yang robek. Ketika kulihat ke bawah ternyata pinggul kami sudah menyatu. Bang Atin malah mencari-cari bibirku untuk mendiamkan suaraku dan langsung melumatnya.
Tetapi rasa perih dan pedih itu belum hilang ketika kurasakan Bang Atin mulai menggerak-gerakkan kitangnya di dalam milikku. Mulanya dia hanya gerakkan sedikit saja ke atas dan ke bawah, namun kemudian dia menariknya dan ditekan lagi sedikit. Aku menggigit bibir menahan sakit karena tidak terbiasa menerima benda itu. Semakin lama dia semakin gencar mendorong dan menarik milikknya keluar masuk milikku. Kadang ditekannya kuat-kuat dicabutnya perlahan, kemudian ditekan lagi dengan cepat dan ditariknya dengan cepat pula.
Aku merasa milikku itu menguncup dan mengembang seiring keluar masuknya milik Bang Atin. Aku belum bisa menikmatinya karena keterkejutan tadi. Kitang Bang Atin semakin cepat keluar masuk menghajar epotku. Kadang-kadang dia pelintir-pelintir ke kiri dan kanan sehingga rasa perih masih tetap terasa. Kemudian dengus nafasnya semakin cepat saja dan kurasakan tubuhku terasa remuk diobrak-abriknya. Pinggulnya menghantam selangkanganku dengan keras dan bertenaga sekali sehingga bunyi ranjang berderit-derit tak beraturan. Kelambu pun bergoyang goyang.
Aku hanya sanggup mengaduh menahan sakit, aku tidak berani menjerit. Tidak berapa lama Bang Atin mengobrak-abrik epotku dengan kitangnya akhirnya dengan gerakan yang kuat sekali kurasakan tubuhnya menghimpit dadaku dan pinggulnya menekan rapat selangkanganku hingga aku sesak. Ketika itulah kurasakan cairan panas menyemprot dalam epotku.
"Ahh, ahh, Abang telah masukkan obatnya," katanya dengan nafas sesak.
Kemudian kitangnya masih terus mengeluarkan cairan itu sambil berdenyut-denyut. Aku merasakan cairan itu meleleh ke bibir epotku. Dia masih mendiamkan kitangnya dalam epotku namun aneh aku masih ingin benda itu tetap di dalam. Padahal tadi aku sangat kesakitan sekali. Aku merasakan rangsangan aneh sejak cairan tadi (sperma) menyemprot ke dalam epotku, mungkin aku bergairah kembali. Bang Atin mulai mencabut kitangnya sedikit demi sedikit, tetapi aku sebenarnya tidak rela, namun aku pasrah saja. Bang Atin pun berguling ke samping. Nafasnya masih berbunyi berat.
Kemudian dia tersenyum padaku. Kemudian dia mengatakan bahwa dia senang mengobatiku dan nanti pengobatannya akan dia lakukan lagi. Kemudian aku meraba selangkanganku dan terasa cairan yang sangat banyak sekali. Aku mencoba melihatnya dan aku terkejut karena warnanya bercampur antara putih dan merah darah. Aku kaget dan muncul rasa takut. Namun Bang Atin mengetahui perasaanku. Dia menenangkanku dengan mengatakan bahwa itu biasa saja karena aku masih perawan. Dia katakan bahwa orang perawan kalau dilakukan pengobatan akan mengeluarkan darah sedikit.
Kemudian dia mengambil selembar kain dan mengelap cairan dan darah yang ada di selangkanganku setelah itu dia pun mengelap cairan yang ada pada kitangnya. Aku melihat kitangnya sudah tidak sebesar tadi lagi. Kemudian dia mencium pipiku kiri dan kanan.
"Abang keluar kamar dulu, ya? Kamu tunggu saja di sini dan tidurlah!" bisiknya.
Dia mengambil handuk dan menyelimuti tubuhku kemudian dia menyingkapkan kelambu dan terus memakai sarung dan singlet. Setelah itu dia berjalan ke pintu dan membukanya serta terus keluar. Kudengar langkah-langkahnya menuju ke perigi belakang rumah. Tidak berapa lama terdengar suara guyuran air, mungkin dia mandi setelah melakukan pengobatan tadi kepadaku. Aku masih menerawang membayangkan apa yang telah kami lakukan, sayang Kakak Antan tidak mengetahuinya karena saat ini mungkin dia masih tidur.
Aku menjadi orang yang benar-benar bingung, bahwa seperti mimpi rasanya menikmati pengobatan tadi dengan perasaan yang senikmatnikmatnya namun kemudian malah berganti dengan rasa perih yang sangat dan saat ini aku masih menginginkan kitang Bang Atin memasuki milikku. Namun akhirnya karena keletihan tersebut aku tertidur. Entah berapa lama aku tertidur, sampai sayup-sayup kudengar suara percakapan dua lelaki di luar. Kudengar suara kakakku berbincang-bincang dengan Bang Atin. Kakakku menanyakan keadaan pengobatanku dan Bang Atin menjawabnya dengan mengatakan bahwa aku baik-baik saja dan akan segera sembuh.
Kudengar Bang Atin mengatakan bahwa pengobatannya masih ada 2 hari lagi dan selanjutnya nanti biar kakakku yang meneruskan. Setelah beberapa lama tidak ada lagi suara mereka yang kudengar. Kemudian kulihat pintu kamar terkuak dan dari balik pintu muncul Bang Atin dengan memakai kain sarung dan singlet, kemudian dia masuk dan menutup pintu kembali.
"Klik," kudengar suara pintu dikunci.
Bang Atin menyibakkan kelambu dan naik ke ranjang kemudian dia langsung berbaring di sampingku. Sekilas kulihat dia tersenyum sambil membuka singletnya dan setelah itu dia miring menghadapku. Dia menatap wajahku dengan pandangan lembut yang penuh arti, seperti pandangannya saat mulai mencumbuiku beberapa waktu yang lalu. Aku hanya memandangnya dengan mata sayu. Kemudian dia mengelus pipiku dan membelai rambutku.
"Kakakmu sudah tidur. Katanya dia baru kali ini dapat tidur nyenyak seperti ini," kata Bang Atin menceritakan kakakku, Antan. Memang selama ini aku dan kakakku tidur hanya di beralaskan tikar lusuh saja.
"Kamu tidak tidur ya? Apa kamu lapar, Munah? Atau kamu mau minum?" tanya Bang Atin kepadaku.
"Aku mau buang air, Bang," jawabku.
"Baiklah. Sekarang Abang antar kamu ke belakang," tawar Bang Atin.
Tangan Bang Atin menarik lenganku dan mendudukkanku, kemudian dia membelitkan handuk di pinggangku. Diambilkannya bajuku dan disuruhnya kupakai. Aku menurutinya dengan patuh. Selanjutnya ditariknya tanganku untuk turun dari ranjang. Dia menyibakkan kelambu dan terus membimbingku menuju pintu. Aku merasakan perih di selangkanganku yang masih belum hilang. Ketika berjalan aku masih tertatih-tatih dan terpincang-pincang. Di ruang tengah memang kulihat Kak Antan tertidur pulas dengan suara dengkurnya.
Bang Atin rupanya telah menyelimutinya sehingga pantas Kak Antan tertidur nyenyak. Setelah sampai ke perigi aku mengambil segayung air dan mulai buang air. Terasa pedih epotku ketika disirami oleh air kencingku. Mungkin luka karena kitang Bang Atin tadi masih membekas dan belum hilang. Kemudian aku menyiramnya dan semakin terasa perih dan pedih terkena air yang dingin itu. Aku harus menahan rasa itu. Bang Atin menyodorkan sabun kepadaku dan menyuruhku menyabun selangkanganku. Aku mulai mengoleskan sabun dan rasa pedih terpaksa kutahan.
"Kamu harus bersihkan dulu, karena nanti Bang Atin akan obati lagi," katanya.
Aku tersentak dan terbayang olehku kitang Bang Atin pasti akan mengobrak-abrik lagi epotku yang perih ini. Aku hanya mampu menurut karena aku harus sembuh. Setelah selesai Bang Atin kembali membimbing tanganku untuk kembali ke kamar. Sambil berjalan masih sempat ku melirik kakakku yang tertidur. Bagaimana reaksi kakakku nanti seandainya dia tahu Bang Atin mengobatiku seperti itu.
Bersambung . . . . . .