House 121 - 1

Cerita di bawah ini adalah fiktif, dan apabila ada kesamaan nama, tempat kejadian dan yang lainnya dengan para pembaca, adalah merupakan kebetulan belaka.

*****

Aku menyeberangi jalan raya yang dua jalur, bermaksud untuk melepas lelah di Warung Kopi di seberang jalan. Uff, panasnya hari ini membuat dahaga, sampai baju kaos yang ku kenakan menjadi basah oleh keringat. Aku memesan teh botol dengan esnya di gelas, memghempaskan pantatku di bangku panjang dan meletakan tas ranselku di meja.

Akhirnya pesananku tiba, akupun langsung meneguk teh botol tersebut yang sebelumnya kumasukan ke dalam gelas yang berisi es. Oh, nikmatnya, walaupun belum terasa dingin, namun teh botol tersebut telah habis 1/2 gelas ku minium. Aku mengeluarkan rokok dari saku bajuku dan mulai menghisap asapnya, wah betul-betul nikmat, apalagi angin bertiup dari belakangku menambah kesegaran untuk diriku yang kelelahan.

Warung Kopi itu dibangun di atas parit besar dengan lantai papan dan penutup dindingnya hanya kain bekas spanduk iklan saja. Ada 3 kurasa Warung Kopi yang seperti ini, letaknya juga tidak berjauahn antara satu dengan yang lainnya. Warung Kopi yang aku singgahi juga tidak begitu luas yang menyediakan minuman segar dan indomie rebus. Letaknya paling ujung dengan Warung Kopi yang lainnya. Aku memesan indomie rebus kepada Ibu penjual, sesekali pandangan ku ke jalan, melihat lalu lalang mobil pribadi atau angkutan yang berwarna kuning.

Akh, aku begitu pusing, sudah tengah hari begini, tempat kost yang ku inginkan belum dapat juga. Masih terngiang kata-kata kasar inang Boru yang dengan marah mengusirku.

"Sudahlah, kau tidak usah tinggal di sini" teriak Inang Boru.

Aku tidak sengaja menjatuhkan guci antik Inang Boru sehingga pecah berantakan yang mengakibatkan Inang Boru marah besar dan berbuntut dengan pengusiran. Pagi itu aku buru-buru sekali untuk berangkat kuliah hingga tak sadar, saat aku ingin meletakan tas ransel ke punggungku, ternyata menyenggol guci antik Inang Boru dan Prakk.. Jatuh ke lantai dan berserakan. Inang Boru keluar dari dalam kamarnya.

"Kau apakan guci itu Tony??" teriak Inang Boru, dengan mata melotot.

Inang Boru menghampiri guci kesayangannya, meratapi dengan mengutupi puing-puing guci tersebut. Enatah kata-kata apa lagi yang dikeluarkan Inang Boru sambil menangis, hingga mukanya yang berlumuran air mata tersebut menatapku.

"Pergi, Pergi.. Pergi, tidak tahu diri, pergii," teriaknya. Aku pun meninggalkan rumah tersebut dengan omelan-omelan Inang Boru tidak ku dengar lagi.

Lamunan yang sesaat itu sadar saat Bapak di sebelahku menanyakan sesuatu yang tidak jelas ku dengar.

"Kenapa Pak?" tanyaku lagi.
"Tidak masuk kerja?"
"Tidak Pak, Aku masih kuliah," jawabku.
"Oh, pantas, Bapak pikir karyawan di kantor sekitar ini, pantas Bapak tidak pernah melihat kau".

Memang aku perhatikan di lingkungan sekitar yang ada hanya Perkantoran. Bodoh sekali aku, mencari tempat kost di daerah seperti ini, yah mana adalah, pikirku.

"Jadi hari ini tidak masuk kuliah?" tanya Bapak itu, sambil terus mengutak atik angka jitu dari selembar kertas ramalan buntut.
"Tidak, Pak. Aku sedang mencari tempat kost, kira-kira ditempat ini ada tidak yah Pak?" tanyaku.
"Ada," jawab Bapak tersebut dengan acuh dan masih terus dengan pekerjaannya, mencari angka yang jitu untuk dipasangkan pada hari ini.
"Di daerah mana Pak," tanya aku lagi.
"Siapa yang mau kost?" laki-laki besar dan berotot dengan postur tubuh yang besar yang duduknya di depan Bapak tersebut. Mereka berdua lagi asyik mengutak atik nomor jitu sejak aku datang.

Warung tersebut memang sepi dari Warung yang lainnya, makanya aku memilih untuk mampir ke Warung tersebut. Indomie yang kupesan juga sudah dihidangkan oleh Ibu penjual di hadapanku.

"Makan dulu, nanti Abang antar," ucap laki-laki tersebut.
"Iya, nanti biar si Nainggolan yang antar Kau," tambah Bapak itu lagi.
"Si Nainggolan ini makelar apa saja, dari togel, rumah kost, rumah kontrakan, rumah dijual, mobil dijual, motor dijual, ah entah apalagi, padahal dia Narik Becak. Uangnya banyak tapi tidak kaya-kaya, entah kemana uangnya, mungkin dibuang yah Nainggolan?" tanya Ibu Pemilik Warung.
"Bah, mana ada uang ku Kak, kalau ada, sudah kukasihlah sama orang rumah," jawab Bang Nainggolan (Orang rumah maksudnya bininya).
"Bini yang mana? Bini di Losmen," ucap Ibu Pemilik Warung. (Kebanyakan Losmen di Medan adalah tempat Lokasi Pelacuran, dimana lonte-lonte menunggu laki-laki yang ingin mengentot dan mainnya di Losmen tersebut. Losmen tersebut berkamar-kamar dengan dinding triplex sebagai sekatnya).

Akhirnya aku menyantap indomie rebus tersebut sampai habis tanpa sisa dan mengikuti saran Bang Nainggolan untuk istirahat dulu untuk menurunkan makanan yang telah masuk ke dalam perutku.

"Nomor ini yang aku Pasang Bang," ucap Bang Nainggolan, berdiri dan meninggalkan Warung tersebut.
"Tunggu saja di sini, dia lagi mengambil becaknya," kata Bapak tersebut. Hanya beberapa menit saja, Bang Nainggolan datang dengan membawa becak mesinnya."Ayo," ajak Bang Nainggolan.

Akupun membayar makanan dan minuman kepada Ibu Pemilik Warung dan langsung menaiki becak mesin tersebut.

"Bang, nanti aku balik lagi," teriak Bang Nainggolan. Bapak tersebut mengangguk.

Kami pun pergi meninggalkan Warung Kopi tersebut. Bang Nainggolan membawa becak mesinnya dengan santai menyelusuri jalan yang hanya bisa dilalui oleh 2 mobil, jalan tersebut ternyata 2 arah. Hingga sampai di ujung jalan, Bang Nainggolan membelokan becak mesinnya ke kiri dan hanya 200 meter dari mulut Gang, sampailah Kami di rumah yang bernomor 121.

Bang nainggolan memencet bel rumah yang luas tersebut, halaman rumah yang sudah dilantai dengan semen, di sebelah kanan halaman tersebut tumbuh pohon cemara setinggi 3 meter, daunnya yang rimbun hampir menutupi pintu besi yang ada di belakangnya. Di sepanjang tembok pagar dibuat taman yang tidak begitu luas di tumbuhi dengan tanaman hias. Pagar rumah tersebut hanya sebatas dadaku tidak seperti rumah yang lainnya di sekitar komplex tersebut, yang memiliki pagar yang tinggi-tinggi dan rata-rata rumah di komplex tersebut bertingkat.

Mobil Kijang berwarna biru terpakir di dalam Garasi rumah tersebut yang terletak di sebelah kiri. Teras rumah tersebut juga tidak begitu luas, hanya sebatas rumah yang daun pintunya double. Dua kursi lipat dari kayu dan sebuah meja kecil dengan lampu hias yang menggantung, menghiasi teras rumah tersebut.

Wah, dengan kondisi sepi begini, sepertinya aku bisa mengkonsentrasikan waktuku untuk belajar. Aku baru 3 bulan lebih tinggal di Medan, niatku untuk menjadi orang yang berguna, merantau dari Kampung halamanku daerah Tapanuli Utara, melanjutkan studi di Medan.

Keinginanku didukung oleh Inang dan Amang apalagi Inang Boru yang selalu mendorongku untuk kuliah di Medan, aku iri melihat keberhasilan Inang Boru yang menjadi Dosen, begitu juga lakinya Amang Boru Anton, adalah seorang Manager salah satu Perusahan di Kota ini.

Tiga Tahun mereka berumah tangga belum juga dikarunai seoarang anak, makanya aku diajak ke Medan, tapi apa? malah aku diusir. Ternyata baiknya Inang Boru yang ku kenal hanya sebatas itu, setelah di Medan aku lebih mengenal Inang Boru sesungguhya. Mungkin inilah kekejaman Ibukota, lain sekali seperti suasana di Kampung pikirku.

Selain itu, aku menikmatipun menikmati tinggal di sini, semuanya ada di sini, aku selalu mengajak temanku bermain ke tempat yang belum pernah aku kunjungi dan tidak ada di Kampung, selain hura-hura, bersenang-senang, tapi kewajibanku yang utama tidak aku tinggalkan yaitu belajar, semua mata kuliah tidak aku tinggalkan, maklum aku baru siswa baru dan aku bertekad untuk bersuungguh-sungguh untuk membuktikan kepada Inang dan Amang bahwa aku mampu dan akan menjadi yang diharapkan mereka, menjadi seorang Insinyur, aku masih terkagum-kagum pada diriku jika gelar Ir itu ada di depan namaku, Ir. TONY.

Dan untuk saat ini aku akan membuktikan pada Inang Boru bahwa aku bisa hidup mandiri tanpa bantuan orang sombong itu.

"Sudah lama di Medan?" tanya Bang Nainggolan.
"3 bulan lebihlah Bang"
"Tadinya tinggal di mana?"
"Di jalan Patriot, Bang," jawab ku.
"Kenapa pindah?"
"Terlalu ribut dan tidak aman di sana".
"Wah, kalau di sini aman, mau pulang jam berapa saja aman, apalagi Pak Arnan baik, kalau mau pinjam motor dengannya, pasti di kasih".

Lama juga Kami menunggu, hingga seorang perempuan keluar dari pintu besi yang terletak di sebelah kanan rumah tersebut.

"Ketiduran yah?" tanya Bang Nainggolan sambil tersenyum dan Perempuan tersebut balas tersenyum.

Perempuan itu begitu cantik, memakai kaos putih lebar dan celana pendek ketat sehingga nampak lekuk pantatnya yang montok, betis kakinya seperti bunting padi, putih. Rambutnya sedikit basah di bagian depan dan bagian belakangnya di tarik dan ditahan dengan penjepit rambut sehingga menjuntai, lehernya yang kecil kelihatan dengan jelas, putih dan tubuhnya pasti bagus, pikirku.

Kami pun masuk ke dalam rumah melewati pintu besi tersebut, mengikuti perempuan itu. Ternyata cukup luas juga rumah tersebut, pagar rumah di bagian samping tinggi dengan besi-besi yang ujungnya runcing menancap di atas tembok pagar, sementara tembok rumah di tetangganya yang tinggi, karena rumahnya bertingkat.

Bersambung . . . ..