Antologi cinta sejenis - 2

Surat Kelima ( 5 )
IF, setelah seharian kemarin kau mencari warnet, dan aku juga berkali-kali on air tetapi tak juga menemukan satu kabar pun darimu, akhirnya, pagi ini kita dapat bertemu dan sekaligus bercinta(?). Wakaupun kemudian dengen kejadian itu jadi terpaksa membatalkan puasa-mu.
Ketika hasrat birahi sudah merasuk di dalam benak, yang tinggal hanyalah penuntasan keinginan persetubuhan. Dengan melalui cara audio dan imajinasi, aku terkapar dalam kebahagian dan kelelahan yang amat sangat. Setelah bersamamu terbang jauh diketinggian nafsu duniawi persenggamaan.
Dari gagang telepon di dalam bilik telepon umum, kudengar suara paraumu di kejauhan. Di dalam kamar tidur kau sedang merintih dan mendesah. Berpacu dengan gejolak nafsu yang memburu sebagai akumulasi rangsang birahi yang berpendar.
Satu-satu kau tanggalkan pakaian yang melekat ditubuh. Masih bersisa satu, celana G string yang erat melekat mengikuti bentuk garis tubuhmu yang seksi.
Dua bongkah pantat yang gempal dan padat seolah dipersatukan oleh seutas tali yang membelah tepat di tengah asshole. Sementara di bagian depan, secarik kain kecil sepertinya tidak muat lagi menampung pubic, buah zakar dan batang kemaluanmu yang sudah membengkak. Terlihat kepala penis menyembul keluar, memancarkan kilatan warna merah keunguan.
Jemarimu bergerak merayap menelusuri lekuk dada. Mencari titik rawan sensasi. Ketika berada di atas puting susu, kau rentangkan dan gesek-gesekan telapak tangan tersebut. Tepat di atas puting itu.
Efek sensasi kegelian terasa menjalar di relung tubuhmu. Sesekali kau pelintir dengan lembut puting itu. Diringi lenguhan suara yang nyaris tak terdengar. Kecuali dengus nafasmu yang mulai tersengal-sengal. Tidak beraturan.
Kau pejamkan mata dengan mulut sedikit nganga. Menampakan lidahmu yang menjulur keluar ke kiri dan kanan. Membasahi kedua sudut bibir. Di antara lekuk dan liukan tubuh yang kadang menggelinjang ketika gerilya jemarimu menyentuh titik rangsang.
Jemari tanganmu terus bergerak turun menjalar ke bagian bawah. Menyelusup dibalik celana dalam. Menyentuh sesuatu yang terasa menegang. Demikian pula dengan helai-helai pubic yang juga meregang. Dengan gerakan perlahan kau hampiri dan sambut batang kemaluan yang meronta-ronta itu.
Dengan kesabaran dan ketelatenan seorang kekasih, jemarimu memeluk hangat batang itu. Diusap-usap, diurut serta diremas-remas kemaluan yang sudah keras bagai batu. Kadang, jemarimu meluncur mengusap buah zakar dan menyisir pubic yang menggerombol disekitar pangkal kemaluan.
Peluhmu mulai tampak membanjiri kening, leher, dan dada. Terlihat ada butir air jatuh bergulir disela-sela helai bulu dada. Panasnya gejolak birahi mulai membakar raga.
Semakin liar jemari tanganmu menyelusuri lekuk tubuh. Ditingkah dengan desah suara dan gelinjang tubuh yang limbung.
Kau membungkuk dan mulai melepaskan satu-satunya penutup tubuh. Hanya dengan beberapa kali gerakan, tubuh mu sudah bugil sepenuhnya. Terpampang dengan jelas sosok tubuh sedikit gemuk, dengan tinggi 170/68, kulit putih bersih, rambut hitam lurus, dada berbulu, dan size penis ukuran kebanyakan orang asia.
Di ujung glans sudah ada titik-titik precum yang kemudian meleleh membasahi kepala penis. Kau balurkan precum itu di sekujur kepala dan batang penis.
Jika semula kau berdiri, kini kau merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Tergolek terlentang bugil meliuk-liuk merasakan nikmatnya belaian jemari tangan yang menelusuri seluruh lekuk tubuh.
Kau merintih-rintih ketika membayangkan aku menghisap puting susumu. Dan segera kusambut rintihan itu dengan melumat bibirmu yang seksi. Lidah kita bergelut saling pagut dan bermain di dalam. Kusedot ujung lidahmu dan kuhirup dengan rakus air liurmu sehingga membuat dirmumu makin tersengal dan limbung.
Kutelusuri lehermu yang jenjang. Kugelitik dengan ujung lidah dan kulum daun telingamu dengan lembut. Makin membuat dirimu meracau tak jelas kata. Kecuali hanya terdengar dengus nafas dan erangan-erangan penuh nikmat. Kau mengelinjang ketika pangkal lenganmu kusapu dengan lidahku yang basah.
Ketika kusodorkan batang penisku yang juga sudah menegang kau segera melumatnya dengan lahap. Tak menyisakan sedikit waktu bagiku untuk sekedar mendesah atau melenguh. Sebab aku terlena dengan kenikmatan yang memuncak.
Menikmati kelebatan siluette tayangan reinkarnisasi kamasutra rama dan shinta. Melihat jemari tanganmu piawai memintal asa. Menelusuri tonggak kehidupan dengan tingkahan suara parau serta hembusan desah keinginan.
Aku mulai kehilangan akal dan kontrol. Serasa orang tolol hadir sebagai pembicara dalam suatu acara talk show.
Sampai kau bilang telah sampai pada suatu titik kulminasi. Aku masih belum yakin. Sehingga aku terhenyak dari lamunan ketika dari ujung telepon aku mendengar suaramu berkata " mas.. IF udah keluar.."
Dan kemudian aku berlari mengejarmu. Walau aku tahu terkungkung dibalik terali waktu dan jarak. Dengan sedikit gusar aku menjawab "gak papa sayang, sebentar lagi aku akan menyusulmu. Tunggulah aku "och..shzh..ufgh..ach..och.. IF..och..shzss..gleks..achh..ach..och..nghsz..gleks.. IF aku juga keluar"
Akhirnya, aku sampai juga ditujuan setelah melepaskan sekian cairan inti kehidupan. Bergulir menelusuri palung rimba raya. Menyisakan kehangatan rasa dan lepasnya sesak di dada.
Hanya kau, IF, yang ada dalam dekapan mesra diriku. Lenguh, parau dan resah desah suaramu, meningkahi geletar asmara kita. Bagai renjana surgawi yang ada di beranda cinta.
IF, I love you. Walau kita belum saling sua rupa, namun baku suara dan cinta antara kita telah terjalin mesra. Sekian tahun perjalanan usiaku, baru kali inilah aku mengalami apa yang disebut sex on the phone. Apalagi dilakukan bersama kekasihku, IF. Thanks ya, sudah menemaniku terbang jauh.
Aku agak tersipu. Ketika mengetahui beberapa pasang mata di wartel ternyata menatap keheranan ke arahku. Mungkin mereka mendengar percakapan kita dan terkejut ketika aku di luar kendali bersuara dengan nada tinggi dan bergetar "..aku juga.." saat sedang menimakti sensasi maha dasyat. Ejakulasi.
Aku bergegas ke luar kamar bicara. Pasalnya, di bawah sini, muntahan "dedeku' merembes ke luar celana yang kupakai dan menyisakan cairan hangat lengket di selangkanganku. Dari kasir aku menerima tagihan percakapan SLJJ selama 30 menit.
Kaget juga, ketika tahu kau cerita ke mama tentang hubungan kita ini, yang menurutku sih, seharusnya tidak. Sebab, bukannya tidak mungkin, mama atau papa mendengar, melihat, dan kemudian merasa aneh melihat "caramu bicara" kepadaku di telpon yang penuh dengan kata-kata berbunga cinta kepada aku, yang notabene juga lelaki seperti kamu.
Kebayang gak sih, someday mereka tanya,".. IF ..kamu I love you-an sama siapa sih? Kan tadi yang yang menelponmu lelaki juga kan? Gitu loh, IF, tapi harapanku sih, semoga mereka semua tidak berpikir sejauh ini. Dalam artian, tetap merasa hubungan kita sebagai sesuatu yang wajar. Melihat dua lelaki dewasa bersahabat karib. Boleh tidur sekamar dan seranjang. Jika perlu boleh juga mandi bareng, he..he..he..
Tapi anyway, aku kagum aja sama kedekatanmu sama mama. Kamu memang tipikal anak mami banget. Serba terbuka sampai hal yang detil. Dan memang, umumnya, data statistik membuktikan dari lima orang gay/bi-sex, dapat dipastikan, tiga diantaranya adalah mereka yang tipenya anak mami "banget". Angka prevalensi yang signifikan
***
Surat keenam ( 6 )
IF, aku merenungi kata-kata papamu, tentang kecurigaannya terhadapku, sebagai orang asing, yang sebenarnya masih tidak kau kenal dengan baik. Aku tidak menyalahkan beliau. Sebaliknya, kau juga tidak boleh marah kepada beliau.
Apa yang dikatakannya tentang aku, sebenarnya, adalah refleksi dari tanda kasih dan sayangnya padamu. Agar kamu tidak mudah lena dan senantiasa waspada di jaman yang penuh dengan muslihat dan keraguan itikad.
Dimanapun, setiap orang tua akan bersikap demikian terhadap anak-anaknya. Kamu, harusnya, bangga punya daddy yang demikian care.
Oleh sebab itu, kamu hendaknya dapat memberikan kesan dan jaminan kepercayaan kepadanya, bahwa kamu memang sudah benar-benar dewasa, dapat membawa diri.
Dimanapun berada, kamu tetap akan menjadi dirimu sendiri. Tidak mudah terbawa arus kehidupan, yang kadang sangat berbahaya, karena sifatnya yang menghanyutkan.
Jika tidak, maka selamanya kamu akan merasa selalu di "larang" yang lebih tepat adalah di "lindungi" yang kadang-kadang menimbulkan perasaan pemberontakan pada dirimu, karena sikap over protected (?) yang lebih merupakan naluri orang tua mereka terhadapmu.
Hanya orang tuamulah (papa & mama) yang mengenal kamu secara baik, selain diri kamu sendiri. Oleh sebab itu, pahamilah bukan tanpa alasan mereka bersikap demikian terhadapmu.
Sekadar lulus S1, memang tidak lantas memberikan predikat atau jaminan kedewasaan sikap dan pribadi pada seseorang. Jenjang pendidikan universiter hanyalah legalitas formal seseorang dalam berfikir, bertalian dengan intelektualitas akademikus. Demikian pula dengan usia.
Nilai kedewasaan seseorang tidak dilihat dari ukuran jenjang pengalaman akademisnya atau usia. Namun, dilihat dari rendahnya besaran skala ketergantungannya pada pihak lain, dalam hal penentuan sikap dan pendapat, selain dari pelaksanaan tanggung jawab sosial yang telah dijalankannya.
Menurutku, dari sisi inilah papa melihat sosok dirimu. Sekali lagi, teguran itu adalah pandangan yang bijak dari seseorang yang telah banyak makan asam garam kehidupan. Dalam pemikiranku, bener juga sih, alasan dan argumentasi papa mendebat pendapatmu, bagaimana mungkin kau bisa yakin dengan orang yang kau anggap baik(?) padahal kamu sendiri belum pernah melihat rupa dan bentuk orang tersebut, kecuali hanya tulisan dan suaranya saja, yang bisa jadi malah akan memperdayakanmu, dikemudian hari, seperti yang dikhawatirkan papa selama ini.
Pasalnya, di dunia ini, apa saja yang awalnya tak mungkin, bisa menjadi mungkin. Karena itu, kau jangan mudah terlena oleh eloknya kemasan ucap kalimat puitis, atau oleh rancak kemasan tampilan rupa yang dirona padu padan warna pelangi, memendarkan pesona semu dunia imaji.
Seperti kalimat-kalimat yang kutulis ini, ataupun rayuan cinta yang sarat dengan kesantunan bahasa. Bukan sekadar siasat kamuflase belaka, seperti seekor singa berbulu domba, atau buaya bertubuh cicak, selain sebagai cerminan rasa respect padamu.
Tragedi 11 September WTC, belum hilang dari ingatan. Betapa seorang WNI terpaksa ditahan oleh pihak pemerintah USA, hanya karena diketahui yang bersangkutan pernah berkenalan dan berhubungan dengan salah seorang tersangka pelaku pemboman tersebut. Atau kasus bom Bali yang sempat menyeret beberapa orang tak bersalah(?), hanya karena diketahui mereka pernah berhubungan dengan seseorang atau lebih yang diduga para pelaku pemboman tersebut.
Banyak contoh-contoh peristiwa yang memperlihatkan betapa orang harus berhati-hati membina hubungan dengan orang lain. Apalagi dengan orang yang tidak diketahui dengan jelas asal-usulnya, seperti misalnya aku, yang kamu kenal hanya melalui internet dan selalu menelponmu dari wartel, dengan waktu yang berbeda-beda pula.
Namun, ada juga contoh lain yang memperlihatkan pengetahuan detil asal-usulnya hingga tujuh turunan, ternyata, dalam praktek pergaulan tidak menjamin perilaku sempurna sebagai orang yang telah diketahui dan dikenal dengan baik. Ia malah mengecoh dan memperdayai.
Aku, adalah aku, seseorang yang muncul dan hilang begitu saja, tanpa sekelebatan rupa, kecuali sulaman kata lewat suara dan tulisan sarat makna, yang bertujuan pada pengenalan dan pengembangan potensi diri dan pribadi. Sebab, kita memerlukan orang lain sebagai cermin untuk mengenal diri kita sendiri. Demikian pula, aku tidak melakukan penyebaran ajaran atau paham pada suatu aliran religi atau politik tertentu.
Buatku, korespondensi haruslah memberikan impact yang positive bagi kepentingan kita bersama. Setidaknya, saling mengingatkan bahwa masih ada satu titik tujuan dalam kehidupan kita yang harus di tempuh dengan usaha dan kerja keras. Bukan dengan cara menunggu dan berdoa saja.
Tidak juga sekadar pengisi waktu dikala senggang. Inilah salah satu sebab sampai saat ini aku tetap tidak bisa beradaptasi dengan dunia chating, yang menurutku lebih sarat janji dari pada bukti, yang kadang dapat membius angan hingga terbang ke awang-awang yang kemudian akan menghempaskan kita dari ketinggian, yang rasanya pasti menyakitkan.
Omong kosong besar, apabila aku tidak punya pengharapan atau pamrih terhadapmu, dengan semua yang kulakukan ini, yaitu menelpon atau menulisimu surat e-mail.
Beribadah kepada tuhan, yang menciptakan dan mengasihi kita saja, kita punya pamrih ingin mendapat pahala. Masak sih, berbuat baik kepada sesama manusia kita tidak punya pamrih apapun? Tidak masuk di akal pemikiranku. It doesn't make any sense.
Pamrihku adalah, aku menemukan seseorang yang bisa diajak diskusi, berempati ataupun bersimpati. Kebetulan saja, kita punya kesamaan gender, strata intelektual akademis, selain visi dalam memandang realita kehidupan. Pembedanya hanyalah soal waktu. Kamu baru akan mulai. Sedangkan aku sudah lebih dahulu mulai. Namun itu pun sangat tipis jaraknya. Karena itu, tidak ada sesuatu yang bersifat lebih. Semua sama.
Ada suatu aksioma, dalil yang validitas kebenarannya mendekati kemutlakan: kuantitas dan kualitas kekecewaan berbanding lurus dengan besaran pengharapan yang menyertainya.
Inilah yang sebenarnya menjadi dasar dari hubungan yang tulus, yang tidak disusupi oleh sesuatu yang tersembunyi, namun senantiasa diragukan kesejatiannya, hanya karena tidak terpenuhinya salah satu unsur prasyarat kontak sosial.
Akhirnya, hanya waktu yang dapat membuktikannya. Tidak ada seseorang yang dapat menahan atau mengalahkan waktu, yang selalu bergerak maju ke arah titik pembuktian. Waktu juga yang akan mengantar kita sampai ke tujuan.
Aku harus berterima kasih untuk kerelaan dan penerimaanmu terhadap kekurangan dan keterbatasanku selama ini, menjadi sosok mahluk apa adanya, yang tidak dapat tampil secara visual.
IF, terima kasih juga untuk waktu dan kepercayaanmu mengijinkan aku menjadi kekasihmu. I do enjoy being your love. Salamku untuk papa, mama, dan adik-adik.

Tamat