bertamu ke Jogja - 2

Entah bagaimana caranya, tiba-tiba kedua kakiku sudah terangkat dan pahaku mengepit pinggulnya. Sementara kedua tangannya berusaha menyangga tubuhku agar tak jatuh dan merosot dari dinding. Dalam posisi begini desakannya kurasakan semakin liar. Terasa sekali sodokan-sodokan batangnya di sela-sela garis pantatku. Rasanya geli dan membuat daerah sekitar liang pelepasanku itu seperti 'meleleh' karena membasah.

Sementara batang kemaluanku terjepit di antara perutku dan perutnya. Tergesek-gesek bulu yang ada di situ. Dalam posisi digendong seperti itu, aku hanya bisa tengadah merasakan itu semua. Sementara mulutnya sibuk mencumbui daerah di sekitar leherku.

Waktu aku kecil, Om Wijoyo memang seringkali menggendong atau membopongku dengan penuh kasih sayang. Tapi kali ini gendongannya jauh berbeda sekali dengan yang pernah ia lakukan. Mungkin ia masih melakukannya dengan penuh kasih sayang. Tapi aku merasakannya lebih dari itu. Gendongan dan dekapannya terasa sekali penuh dengan dorongan nafsu dan hasrat birahi yang mengental dan harus segera dicairkan. Dan aku sebagai keponakannya menurut saja pagi-pagi diajak 'main gendong-gendongan' seperti ini.

Cengkeraman tangannya yang kuat dan desakan tubuhnya membuat aku makin terpepet ke tembok. Tubuh kami seolah lengket dan punggungku yang berkeringat terasa ketat menempel ke dinding. Aku berusaha agar tak jatuh merosot dengan mengetatkan belitan kedua kakiku pada pinggangnya. Apalagi ia sering melakukan sentakan dan sodokan dari bawah yang membuat tubuhku sesekali terguncang-guncang ke atas.

Orgasme kami akhirnya harus datang terlalu cepat, saling menyusul dan tak terkendali. Aku mengerang dengan suara yang cukup keras meningkahi suaranya yang mendesah-desah seperti orang tengah kesakitan. Aku dan Om Wi' sepertinya tak peduli sekali pun Pak No atau orang lain akan mendengar hiruk-pikuk meledaknya puncak permainan seks ini. Pagi ini kami memang tidak sedang bermain cinta. Ini benar-benar permainan seks. Sekedar menyalurkan dorongan nafsu syahwat saja. Tapi aku tak menyesali. Karena aku pun sudah lama memendam tumpukan birahi ini padanya.

Tak sampai semenit kemudian, dengan sisa tenaga yang ada dan tubuh masih dalam posisi saling membelit, Om Wi' menggendong tubuhku ke arah ranjang dan menjatuhkan tubuh kami ke sana. Tubuh gempalnya sesaat sempat menindihku sebelum ia berguling ke samping.

"Uhh.. Cepet banget.." katanya beberapa saat kemudian sambil nyengir.

Badannya berbaring miring di sampingku. Tangannya bertelekan ke dagu dan menatapku sayu. Keningnya masih berpeluh dan kudengar nafasnya masih agak ngos-ngosan. Aku tetap diam telentang di sampingnya, tak menanggapi ucapannya.

"Kok diam?" tangannya menyentuh ujung hidungku yang basah oleh keringat.
"Ehmm..," aku malas untuk bicara, masih terbawa oleh sisa-sisa kenikmatan yang samar-samar masih terasa di bagian bawah tubuhku. Kuamati wajahnya lalu kupeluk lehernya dan kami pun berciuman. Lumat dan lama sekali.

Ada rasa plong ketika aku menuntaskan permainan yang singkat dan cepat tadi. Rasa rindu dan birahi yang selama ini kupendam terasa terobati. Bagaimana pun, laki-laki yang selama ini kupanggil 'Om' ini telah merebut hati dan perasaanku. Belum pernah aku jatuh cinta seperti ini, bahkan kepada seorang wanita pun. Di mataku kini, aku tak melihat lagi ia sebagai Om atau Pakdeku. Ia telah menjadi kekasih dan tempatku melampiaskan hasrat kelelakianku.

"Jadi ke Kaliurang-nya?" tanyanya di sela-sela cumbuannya.
"Kan Dede-nya nggak ada..," sahutku
"Memang Om nggak bisa nganter apa?"
"Emang Om Wi' mau nganter?"
"Lha, buat apa Om nyuruh Pak No nyuci mobil?"

Kami kemudian sepakat untuk mandi dan sarapan dulu. Aku terpaksa mandi 'basah' lagi, sekalian menemaninya. Toh sudah lama kami tak mandi bersama sejak kejadian di Jakarta dulu.

Sekitar jam sepuluh kami berangkat menuju Kaliurang. Om Wi' yang pegang setir. Ia tak mengijinkan ketika kutawarkan aku saja
yang bawa mobil, dengan alasan aku adalah tamunya.

"Jadi saya dianggap tamu nih?" kataku pura-pura kesal.
"Iya. Tamu istimewa," sahutnya datar.
"Pake telor nggak?"
"Pake. Telornya dua biji," katanya sambil tertawa tergelak-gelak.

Ketawanya masih khas seperti dulu. Renyah dan segar. Kupukul bahunya menanggapi guyonannya. Ia pura-pura meringis kesakitan.

Kelihatan sekali Om Wi' senang dengan kedatanganku. Sepanjang jalan, disela-sela obrolan, ia terus bersenandung. Sesekali kuamati wajahnya yang sebagian tertutup oleh topi pet dan kacamata rayban. Hari ini kami memang rada santai. Pakaian kami hanya t-hirt, celana pendek bermuda dan bersepatu sandal saja. Tak ada lagi barang lain yang kami bawa, kecuali sebuah tas pinggang yang dipakai Om Wi'.

Sepanjang perjalanan sesekali kuperhatikan sosok laki-laki di sampingku itu. Beberapa rambut putih tampak menyembul dari rambut ikal yang ada di bagian atas kupingnya. Om-ku memang sudah berumur. Tapi di mataku ia tampak makin matang saja, berwibawa dan 'wise'. Kumisnya yang tumbuh bagus makin memperkuat kesan itu. Tubuhnya memang tampak makin berisi. Bahkan perutnya agak sedikit buncit, tapi masih proporsional dengan bentuk badannya yang tegap. Menatapnya seperti ini membuatku ingin sekali merengkuhkan tangan memeluknya.

"Om..," hanya itu yang bisa keluar dari mulutku sambil mengusap lengannya yang padat kekar dan berbulu itu.
"Ya, sayang..," sahutnya dengan ekspresi datar sambil tetap serius menyetir. Aku ketawa mendengar kata 'sayang' di akhir kalimatnya.
"Kenapa?" tanyanya masih tanpa ekspresi. Suara baritonnya terdengar meneduhkan.

Aku tak menyahut dan kemudian beralih menatap jalanan di depan. Aku memang tak bermaksud mau mengatakan sesuatu. Hanya ingin memanggil namanya saja. Mungkin itu bagian dari caraku untuk menyatakan aku menyayanginya.

"Ada apa?" tanyanya lagi dengan nada tak berubah.
"Nggak..," sahutku ringan sambil menoleh ke arahnya.

Ia tersenyum dan tampaknya tahu kalau aku memang hanya ingin memanggil namanya saja. Ia kemudian malah bersenandung dan bersiul-siul, membuatku makin 'gemas' saja melihatnya.

Tiba-tiba ia melepas tangan kirinya dari kemudi, memegang tangan kananku lalu menggenggam dan meremasnya. Ada rasa rindu mengalir dalam genggamannya. Kami sama-sama menarik nafas hampir bersamaan. Tak ada kata-kata yang keluar. Kami hanya bisa merasakan semua perasaan ini. Ingin rasanya aku bisa memeluk dan menciumnya. Tapi mustahil aku melakukannya di jalanan umum begini.

Akhirnya aku hanya bisa mengusap-usap pahanya dan sesekali menepuk-nepuk mengikuti senandungnya. Sesekali kupegangi lututnya, kuusap-usap dan kugelitiki. Ia kegelian dan tangannya berusaha menepis. Tanganku memang sesekali meremas-remas bagian dalam pangkal lututnya yang menggembung dan sesekali jari-jariku menelusup masuk ke celah bawahnya. Ia makin memprotes kegelian, tapi tak kuhiraukan.

"Iseng amat sih?"
"Nggak boleh?"
"Boleh! Tapi masa cuma lututnya doang?" sahutnya dengan nada nakal.

OK! Kuturuti tantangannya. Pelan-pelan kutelusupkan tanganku ke celah celana pendeknya yang agak longgar dan mulai mengusap-usap bulu yang ada di sekujur pahanya. Ia diam saja tak bereaksi. Hanya segurat senyum mulai mengembang. Namun ketika tanganku makin masuk ke dalam, kudengar ia mulai menarik nafas.

Tiba-tiba ia kembali melepas tangan kirinya dari kemudi dan dengan tanpa ekspresi ia berusaha melepas tas pinggangnya dan kaitan celananya. Lalu dengan pandangan tetap ke jalanan, tangannya kembali memegang setir, dan tak melanjutkan membuka celananya lebih jauh. Aku tersenyum geli mengamati perbuatannya. Tapi tanpa diminta, aku mengerti maksudnya dan meneruskan apa yang diperbuatnya tadi dengan menarik resleting celananya ke bawah.

Segera kulihat sembulan celana dalam putihnya. Garis batang kemaluannya jelas terlihat membayang. Kuusap bagian itu dan kurasakan sudah cukup mengeras. Ia menarik nafas merasakan sentuhan tanganku. Sesekali kuperkuat usapanku di bagian itu dan ia pun makin kuat menarik nafasnya.

Tangan kirinya lalu melepas setir lagi dan berusaha mengeluarkan 'isi' celananya. Tapi aku mencegahnya, karena jalanan yang kami lalui bukan jalan yang sepi, meskipun tidak terlalu padat juga. Om Wi' menurut dan membiarkanku hanya bermain-main di bagian luar saja.

Kira-kira satu kilometer berikutnya, tiba-tiba Om Wi' membelokkan mobil ke arah kiri, masuk ke sebuah jalan yang lebih kecil yang nampaknya merupakan jalur alternatif. Jalan ini memang tampak lebih sepi dan tidak ada pemukiman penduduk. Di kiri kanan hanya ada kebun sayur dan pepohonan semacam cemara atau pinus. Semula aku pikir kami sudah sampai di Kaliurang, tapi begitu melihat Om Wi' kembali berusaha melepas celananya, aku baru faham maksudnya untuk berbelok ke jalanan ini. Om-ku yang satu ini memang kadang-kadang 'kreatif' juga. Apalagi kalau menyangkut urusan begituan.

Kuminta ia untuk sedikit mengangkat pantatnya agar aku dengan mudah bisa membantu menarik celananya ke bawah. Kuperosotkan celana pendek bermuda itu sekaligus celana dalamnya hingga ke lutut.

Kini di sampingku tampak dua buah benda bulat panjang menantang. Yang satu adalah persneling mobil dan yang satunya lagi adalah sebuah 'meriam' kecil lengkap dengan bagian kepalanya yang sudah membengkak, tegang tapi masih agak menggantung karena belum sepenuhnya keras.

Kuamati Om-ku tetap dengan serius mengemudikan mobilnya, meskipun sekilas kutangkap wajahnya agak tegang dan nafasnya memburu. Seolah ada sesuatu yang membuatnya tak sabar menunggu.

Pelan-pelan kugenggam bagian batang miliknya yang besar dan pejal itu. Ia menarik nafas panjang. Tanganku lalu mulai memijit-mijit dan sesekali kuselingi dengan mengurut benda itu dengan gerakan maju mundur. Tarikan nafasnya makin tak teratur.

Sejenak kulepaskan genggamanku dan gerakanku berpindah sasaran ke arah bulu-bulu ikal yang tumbuh lebat merimbun di pangkal kemaluannya. Aku tahu, ia paling senang kalau aku mengelus-elus bulu jembutnya. Kulihat Om Wi' mulai gelisah. Dan pelan-pelan 'meriam'nya mulai mengembang, menegang. Tanganku pun gatal untuk segera merayap lagi ke sasaran semula dan kulanjutkan dengan gerakan mengocok. Kulihat kepala kemaluannya makin membengkak, meradang.

Mata Om Wijoyo masih lurus menatap jalanan di depan. Sesekali ia terpejam meresapi apa yang tengah kuperbuat. Duduknya kembali mulai gelisah. Tapi yang membuatku salut adalah: ia tetap bisa mengendalikan mobil dengan baik. Padahal kondisi jalan di situ tidak lagi mulus, beberapa bagian aspalnya sudah berlubang. Gerakan tanganku pun sesekali tersentak mengikuti guncangan mobil.

Ketika mobil mulai memasuki areal sepi yang dipadati oleh pohon pinus, aku merasa aman untuk melakukan sesuatu yang lebih jauh. Maka tanpa diminta aku pun menenggelamkan wajahku ke selangkangannya. Kulahap milik Om-ku dalam sekali 'sergapan'. Terus terang ia tersentak kaget dan mengeluarkan erangan tertahan, sebelum akhirnya ia pasrah dan kembali mengemudi.

Agak sulit rasanya 'mengisap' dalam posisi duduk menyamping begini. Aku harus mengatur posisiku sedemikian rupa agar dapat melakukannya dengan baik. Om Wi' pun berusaha mengatur posisinya sedemikian rupa. Bahkan ia berusaha melepas celananya yang tadi tersangkut di lutut dengan gerakan yang cekatan tanpa harus mengganggu gerakan kakinya menginjak kopling dan gas. Sebuah ketrampilan yang mungkin tak semua orang bisa melakukannya dengan baik.

Bersambung . . . . . .