Oase laut utara - Kiss me goodbye - 2

Tibalah saat perpisahan kami.. Terbanglah kekasihku, bisikku dalam hati. Terbanglah dan nikmati perjalanan dan tugas-tugasmu. Aku akan selalu merindukanmu..

Kami segera segera berdiri, berhadapan. Saling menatap dan tersenyum. Kuhela nafasku menetralisir degupan dada yang makin kencang. Bahar lalu memelukku sampai dua kali. Dan aku sempat membisikkan kata-kata kepadanya.

"Aku juga sayang Mas Harso" bisiknya sebelum akhirnya menuju pintu keberangkatan.

Tangannya terus melambai bahkan ketika sudah berada di tangga pesawat. Bagaimana pun, aku merasakan ada sesuatu yang hilang dari dalam diriku begitu suara pesawat terbang itu pelan-pelan menghilang ditelan awan.. Angin laut Sulawesi menyadarkanku dari lamunan.

Aku kini berada di atas kapal yang sama dengan kapal kemarin yang membawaku dari Sangir ke Manado. Selama pelayaran kuhabiskan waktu dengan membaca koran dan majalah yang tadi sempat kubeli di bandara. Beberapa menit rasa kantuk sempat membuatku tertidur berbantal pokok kayu di belakang kepala.

Aku tak ingat lagi mimpi apa yang aku alami selama aku tertidur di atas kapal itu. Sampai ketika satu dua suara camar mulai terdengar sayup-sayup. Tampaknya sudah mendekati pelabuhan tujuan. Aku segera bersiap-siap dan bangun berdiri menuju haluan. Beberapa penumpang juga sudah bersiap-siap untuk turun. Sekian kilometer di depan kapal sudah tampak bayangan pulau yang menjadi tujuan.

Begitu jangkar dibuka, beberapa pekerja pelabuhan langsung berlompatan ke atas kapal. Ada beberapa yang masih berusia remaja, bahkan anak-anak. Tapi selebihnya adalah pekerja dewasa. Rata-rata bertubuh kekar. Dan beberapa di antaranya mempunyai wajah khas Sangir Talaud. Oh, tiba-tiba ingatanku jadi melayang ke Bahar..

Aku sampai di pondokan sekitar jam lima sore. Langsung mandi dan istirahat santai hingga menjelang malam. Beberapa perlengkapan mulai kupersiapkan untuk rencana pengolahan dataku di Manado nanti dan juga persiapan buat rencanaku besok untuk menyelesaikan sisa pengamatan di dekat pelabuhan yang mungkin akan memakan waktu dua tiga hari.

Malam itu aku agak sulit tidur. Terus terang pikiranku dipenuhi oleh bayangan Bahar. Rasa kangen muncul semakin kuat. Padahal, selama ini kami juga tidak setiap hari ketemu. Tapi perpisahan kali ini.. Surabaya.. Dua bulan.. Galangan kapal.. Dua bulan.. Manado.. Akhirnya aku tertidur juga.. Waktu berlalu..

Hingga akhirnya jadual keberangkatanku ke Manado tiba juga. Sepanjang perjalanan laut aku terus terjaga. Di samping untuk mengawasi segala perlengkapanku, aku terus dibayangi angan-angan bahwa hari ini aku akan 'berjumpa' dengan Bahar. Selama seminggu ini aku berusaha sekuatnya untuk melepasnya dari pikiranku. Tapi kini, aku puas-puaskan seluruh anganku membayangkan wajahnya dan kejadian-kejadian indah bersamanya.

Rumah yang kutempati di Manado sebenarnya merupakan paviliun dari sebuah Mess Kelautan. Perusahaanku yang bergerak dalam natural explorer (Baca 'Oase 1') sengaja mencarikan lokasi untukku sebuah tempat yang mempunyai sarana memadai untuk pengolahan data sekaligus sumber referensi bagi penelitianku yang memang terkait dengan kelautan. Dan Mess Kelautan inilah tempatnya.

Paviliun yang kutempati cukup nyaman dan lengkap. Ruang tidur, kamar mandi, ruang kerja, dapur dan ruang tamu. Tapi yang pertama kucari-cari adalah fasilitas telepon sesuai yang aku ajukan dulu. Dan akhirnya pesawat telepon itu kutemukan ada di meja samping tempat tidur. Lega rasanya. Jadi, rencanaku bakal terwujud untuk bisa terus berkomunikasi dengan Bahar.

Sore itu, setelah selesai membongkar barang bawaanku, aku mencoba istirahat sebentar di ranjang sekalian menunggu telepon dari Bahar sesuai janjinya waktu di bandara seminggu yang lalu. Aku sempat hampir tertidur ketika bunyi dering telepon mengagetkanku. Tanganku langsung menyambar gagangnya dan.. Ternyata bukan Bahar. Kepala administrasi mess rupanya, yang mengingatkan aku untuk memenuhi persyaratan registrasi besok pagi.

Akhirnya aku memutuskan untuk mandi dulu. Toh, sesore ini di Surabaya Bahar mungkin masih dalam jam kerja. Apalagi waktu Surabaya satu jam lebih lambat dari pada waktu Manado.

Aku hampir masuk ke kamar mandi dengan hanya berlilitkan handuk, ketika kudengar suara telepon berdering lagi. Kubiarkan sampai tiga kali. Aku berharap itu Bahar, tapi aku takut kecewa lagi. Aku duduk di tepi ranjang dan memegang gagang telepon itu.

Ketika kuangkat, di seberang sana terdengar suara laki-laki yang tak kukenali.

"Halo, selamat sore.." sapaku hati-hati.
"Selamat sore, apakah ini Mess Kelautan Manado Pak?" balas suara di seberang sana. Sepertinya bukan suara Bahar.
"Betul. Bapak mau bicara dengan siapa?" kataku lagi.
"Dengan Pak Harsoyo, ada?"

Aku agak tercekat. Rasanya aku tak kenal dengan orang ini.

"Maaf. Ini bicara dengan Pak Siapa?" tanyaku takut salah.
"Dengan Bahar, saya temannya Pak Harsoyo"

Aku hampir berteriak kegirangan. Tapi aku tak yakin, karena suara itu sepertinya bukan suara Bahar. Aku harus meyakinkan dulu.

"Pak Bahar dari mana?" tanyaku lagi menyelidik.
"Surabaya" jawabnya singkat, tampaknya tidak sabar dengan tanya jawab yang kulakukan. Tapi jawaban terakhir yang dia berikan, meskipun singkat, logat dan cengkoknya setelah kuperhatikan memang khas Bahar.
"Halo!" suara di sana seperti tak sabar
"Ya Pak, ini Harsoyo. Saya sendiri" kataku masih berusaha menyelidik.
"Jadi ini Mas Har?!" dia berteriak seperti mendapat sesuatu
"Ya!"
"Kok suaranya lain?" rupanya Bahar juga tak mengenali suaraku

Kami akhirnya saling menyadari bahwa selama ini kami tidak terbiasa mendengar suara masing-masing di telepon, yang kadang-kadang memang terdengar jadi agak berbeda. Selama ini kami memang tidak pernah berkomunikasi lewat telepon.

Sore itu seusai jam kerja, Bahar menelpon dari wartel dekat tempat kerjanya, karena minggu pertama ini dia belum diijinkan menggunakan fasilitas telepon perusahaan. Dia banyak bercerita tentang segala hal, mulai dari perjalanan udara, suasana kerja, keramaian Surabaya hingga kerinduannya padaku.

Kami berdua saling melepas rindu dengan segala ungkapan kemesraan. Kadang Bahar menyelingi kata-katanya dengan nada kecupan di telepon. Kadang dia merengek manja seperti anak kecil pingin pulang ke rumah. Aku sendiri jadi semakin kangen padanya.

"Mas, lagi ngapain?" tanyanya
"Mau mandi" jawabku
"O ya? Sudah buka pakaian belum?"
"Sudah. Sekarang cuma pakai handuk. Kenapa?"
"Bagaimana kalau handuknya dilepas.."

Aku kaget juga mendengar permintaannya. Tapi segera bisa kutangkap maksudnya. Sambil berbaring di ranjang aku pun segera melepas lilitan handuk dari pinggulku. Dan dalam sekejap tubuhku sudah telanjang tanpa penutup apapun.

"Sudah.." kataku dengan dada berdegup menunggu perintah Bahar selanjutnya.
"Punya Mas lagi tegang nggak? punyaku sudah bangun dari tadi" jelas Bahar.
"Sama, aku juga.." jawabku dan tanpa sadar kemudian meremas-remas milikku sendiri
"Sudah seminggu nih nggak dikeluarin.." kata Bahar lagi.
"Sama, aku juga.."
"Mau dikeluarin?"
"Ehm.. Mau. Memang Abang sudah siap?" kataku sambil mulai mendesah oleh rangsanganku sendiri.
"Aku sudah mulai.." suara Bahar terdengar agak tersengal-sengal.

Aku langsung membayangkan apa yang sedang dilakukannya. Tangan kananku kini sibuk meremas-remas dan mengocok batang kemaluanku sendiri. Sementara tangan kiri memegang gagang telepon mendengarkan suara dengusan Bahar atau ungkapan rasa nikmat yang sedang ia rasakan.

Akhirnya yang terdengar di telepon hanya suara-suara lenguhan kami. Sesekali kami saling meminta untuk saling melakukan rangsangan dengan cara tertentu. Bahar sempat memintaku untuk meremasi kantung pelirku dengan keempat jari sedangkan jempol kugunakan untuk menekan-nekan batangnya. Aku turuti permintaannya dan ternyata nikmat sekali rasanya hingga rintihanku bisa langsung didengar Bahar.

"Enak..?" tanya Bahar dengan nafas tertahan
"Yah.. Enak Bang.. Enakhh.." jawabku tak beraturan

Aku lalu gantian meminta Bahar untuk melumuri bagian kepala kemaluannya dengan lendirnya (precum) lalu meremas-remasnya. Aku meminta itu karena tahu persis bila Bahar sedang terangsang, precum yang keluar cukup banyak. Tak beberapa lama kemudian kudengar nafas Bahar makin memburu.

"Remas terus Bang.." kataku memberi semangat.
"Yah.. Yah.. Aku sedang.. Meremashh.." jawab Bahar tersendat-sendat

Sore itu kami benar-benar 'bertemu', bahkan 'bercinta'. Tak kuduga perjumpaan ini ternyata terasa lebih indah dari perjumpaan biasa. Rasa rindu, bayangan mimpi dan angan-angan birahi yang selama ini tertimbun seperti mendapat penuntasannya.

Entah sudah berapa angka pulsa yang harus dibayar Bahar. Tapi aku yakin ia tak mempedulikan itu. Soal 'keamanan' melakukan telepon seks ini, aku juga yakin Bahar sudah memperhitungkan, buktinya ia 'aman-aman' saja bermasturbasi di dalam kotak telepon sebuah wartel. Gila kan?

"Mas.. Mashh.. Aku mau keluarrh.." bisik suaranya tiba-tiba
"Tahan dulu Bang.. Tunggu aku sebentar lagi.." kataku sambil mempercepat kocokanku.

Kami lalu saling memperdengarkan rintihan kenikmatan masing-masing. Ketika aku merasakan desakan yang kuat mulai menjalar di pangkal kemaluan, Bahar segera kuberi aba-aba untuk bersama-sama mencapai puncak.

Akhirnya ekspresi orgasme kami pun keluar saling bersahutan. Tapi suara Bahar lebih terdengar seperti erangan yang tertahan. Mungkin Bahar takut suaranya bisa menarik perhatian orang yang ada di wartel sana. Beberapa saat kemudian dengusan nafasnya satu-satu kudengar di telepon.

"Bang?" tanyaku kemudian, karena ia diam saja tak bersuara.
"Yah?" jawabnya sambil masih mendesah-desah, ".. Aduh Mas.., enak sekali aku keluarnya tadi.." lanjutnya menjelaskan puncak rasa nikmat yang baru saja dialami. Pantas, kok diam saja. Rupanya sedang menikmati sisa-sisa orgasme.
"Aku juga Bang. Keluar banyak sekali. Sampai muncrat kemana-mana" kataku sambil menyeka ceceran sperma yang menempel di bulu dada dan sekitar perutku.
"Sudah seminggu nggak disalurkan ya?" godanya
"Iya, habis sekarang salurannya lagi ke Surabaya" balasku tak mau kalah, "Abang pasti juga keluar banyak, ya?" lanjutku gantian menggoda,"Kamar teleponnya banjir dong.."
"Iya, habis sekarang yang suka menjilati lagi ada di Manado" balasnya.
"Sialan!" aku memaki sambil ketawa ngakak. Bahar lebih keras ketawanya.

Begitulah, akhirnya kami mengakhiri 'percintaan' di telepon itu dengan janji untuk ketemu lagi di telepon lain waktu.

"Bang, aku kangen sama Abang..," kataku merajuk
"Siapa bilang aku nggak?" balasnya
"I love you.." kataku sambil mengecup gagang telepon
"I love you too.." suara kecupannya terdengar lebih panjang
"Sudah ya Bang.."
"Ya. Jangan lupa mandi yang bersih ya Mas"

Hmm, andai saja ada dia di sini, tak perlu aku repot-repot mandi sendiri.

Tamat