Sesama Pria
Monday, 11 January 2010
Oase laut utara - Reunion shower - 1
Ada dua hari dua malam ini aku santai-santai saja. Kegiatanku cuma jalan-jalan, nonton dan makan-makan. Pokoknya yang ringan dan santai. Yang agak 'berat' adalah waktu aku mau pesiar ke Tondano. Aku bermaksud meminjam mobil Pak Gun, tapi yang bersangkutan ternyata malah menawarkan diri untuk sekalian menemaniku ke sana. Kebetulan. Kami akhirnya berangkat berdua.
Usai jalan-jalan, putar-putar dan cari makan, Pak Gun sempat membisikiku sebuah ide nakal: booking kamar di salah satu hotel. Aku setuju saja. Dan kami pun lalu menghabiskan waktu untuk bermain cinta di sana. Pulangnya agak kemalaman.
"Bobo' yang nyenyak, ya" kata Pak Gunawan sambil tersenyum begitu aku turun dari mobil sesampai di depan paviliunku. Aku hanya ketawa ringan menanggapi kalimatnya yang sebenarnya ingin meledekku saja. Tadi aku memang agak kewalahan menghadapi hasratnya yang katanya sudah seminggu tak tersalurkan (katanya, lagi 'perang dingin' dengan istrinya).
Aku langsung mandi, terus tidur. Paginya (sebenarnya sudah agak siang) baru terbangun ketika aku mendengar dering telepon. Nada deringnya sepertinya bukan berasal dari luar. Dan ternyata memang dari pos penjagaan. Ada tamu menungguku, kata Satpam di sana. Siapa?
Aku segera cuci muka, ganti pakaian dan bergegas keluar. Di dalam pos penjagaan kulihat bayangan dua orang sedang berbincang. Tampak bayangan Satpam sedang menunjuk-nunjuk keluar dan yang seorang lagi hanya tampak bayangan punggungnya. Kedatanganku ke arah pos penjagaan tampaknya disadari oleh mereka. Karena begitu langkahku kurang tiga meter lagi ke arah mereka, yang seorang lagi-tampaknya dialah si tamu itu-bergegas keluar dan berdiri di depan pos penjagaan. Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan kumis dan berewok yang tampaknya sengaja dipiara.
Aku hampir meneruskan langkah, ketika dalam hitungan detik baru kusadari bahwa orang itu adalah Bahar!
Langkahku langsung seperti terkunci. Aku diam mematung. Begitu juga Bahar. Dia hanya memandangku dengan pandangan yang sulit kumengerti. Ada beberapa saat rasanya waktu seperti membeku. Sampai akhirnya aku tersadar bahwa ia adalah tamuku dan harus kusambut.
Kujabat tangannya begitu sampai di hadapannya, "Apa kabar Bang? Kapan datang?"
"Kemarin siang," jawabnya pendek
"Kok nggak nelpon dulu?"
"Buat apa?"
Aku diam begitu mendengar jawabannya yang agak ketus itu. Padahal baru kali inilah kami berbicara setelah, entah berapa lama, kami tak saling berkomunikasi. Bahkan aku tak ingat kalau dalam minggu-minggu ini tugas Bahar berakhir, dan ia akan ke mess sesuai janjinya dulu. Pantaslah kalau kini ia bersikap seperti itu. Barangkali ia merasa bahwa aku melupakan jadual kedatangannya.
Tapi aku tak mau merusak suasana. Kuajak dia ke paviliunku. Tapi dijawabnya dengan gelengan kepala. Aku berusaha membujuknya, tapi ia tetap menolak, dengan ekspresi muka yang dingin. Akhirnya kami memilih untuk duduk di bangku yang ada di sudut pos penjagaan itu. Kulihat Satpam penjaga tak tampak lagi di ruangannya. Mungkin ia tahu diri untuk menjauh dari kami yang tampaknya ada gelagat sedang punya urusan serius.
"Kemarin siang," Bahar memulai membuka pembicaraan dengan nada datar, "begitu tiba di bandara, saya nelpon ke sini, tapi Mas Har sedang ke luar kota."
Aku agak kaget, tapi tak menanggapi. Aku menunggu kata-katanya lebih lanjut, apakah ia tahu aku perginya dengan Pak Gun?
Tapi Bahar tak melanjutkan kalimatnya. Membuatku makin penasaran. Dia hanya duduk tepekur agak membungkuk, dengan kedua tangan tertangkup di depan mulutnya. Beberapa saat kami saling terdiam. Terus terang aku agak tersiksa dengan suasana macam begini.
Beberapa saat kemudian dia seperti mau mengucapkan sesuatu, tapi aku segera mendahuluinya. Aku takut ia mengucapkan sesuatu yang tak kumaui.
"Maafkan saya Bang.."
"Saya yang seharusnya minta maaf..," balasnya, "Saya.. Terlalu egois," lanjutnya sambil melirik ke arahku. Matanya memerah. Agak berkaca-kaca.
Aku jadi semakin merasa bersalah. Ingin sekali kurengkuh pundaknya dan memeluknya erat-erat. Dalam suasana seperti ini, aku baru menyadari betapa aku sangat mencintai laki-laki ini. Kerinduanku padanya yang selama ini kukubur seolah membuncah kembali begitu melihat matanya semakin berkaca-kaca. Ia menangis. Tanpa suara. Kedua tangannya terus menutupi mulutnya. Aku hanya bisa menatapnya trenyuh.
Menatap Bahar seperti ini, mengingatkanku pada kejadian-kejadian di Sangir dulu. Betapa ia begitu baik dan perhatian. Bila akhirnya timbul masalah di antara kami, sungguh itu bukan sesuatu yang aku inginkan. Barangkali dia juga tak menginginkannya.
Rona wajahnya yang memerah karena emosi terlihat begitu jelas. Apalagi kulitnya sekarang tampak lebih terang. Barangkali udara Surabaya tak sepanas Sangir. Cambang dan brewoknya tampaknya sengaja ia piara selama di sana. Penampilan barunya ini membuatnya makin menarik. Padahal, bisa saja ia sengaja membiarkan brewok itu bukan untuk penampilan, tapi lebih karena suasana hatinya yang sedang runyam memikirkan hubungan kami (kok aku tiba-tiba jadi ge-er begini?)
"Apakah.. Mas Har.. Masih mengharapkan kedatangan saya?" tanyanya tiba-tiba dengan suara agak serak. Terdengar emosinya sudah agak mereda.
"Yah!" spontan aku menjawab, seolah-olah ingin memberikan jawaban yang menyenangkan. Tapi aku memang benar-benar kangen sama dia. Sejenak mata kami bertemu. Kupaksakan untuk tersenyum. Dia lalu memegang tanganku tapi segera dilepasnya lagi begitu menyadari kami ada di tempat umum.
"Kita ke paviliun saja Bang," pintaku lebih lanjut begitu melihat emosinya agak reda.
"Nggak usah. Di sini saja," ia masih bersikukuh.
"Kenapa? Abang segan ketemu dengan Pak Gun?" kuberanikan diri untuk langsung menebak alasannya.
Ia diam saja sambil geleng-geleng kepala. Lalu tersenyum sendiri, datar. Senyum pertama sejak pertemuan ini, tapi pandangan matanya tetap kosong menerawang. Seperti ada yang mengganjal dalam pikirannya.
"Mas Har hari ini ada acara?" ekspresi suaranya tiba-tiba berubah.
"Nggak ada. Kenapa?"
Dia menarik nafas dan berdehem sebentar, "Saya ada rencana mau ke kebun milik paman di daerah Pandu. Mau ikut?" Bahar menunjuk tas ranselnya yang ditaruh dekat pintu pos jaga.
Ada kelegaan dalam hati, ketika menyadari bahwa suasana tampaknya sudah mencair. Dari dulu Bahar selalu bisa mengakhiri suasana emosional dengan kedewasaannya. Bahkan ketika emosi itu dipicu oleh dirinya sendiri, seperti yang terjadi siang ini.
"Oke. Saya mau ikut, tapi saya harus mandi dulu dan Bang Bahar harus mau mampir ke paviliun saya," kataku mulai merajuk
"Nggak," jawabnya pendek,"Nggak usah mandi," lanjutnya
"Bang! Aku baru bangun tidur, Bang. Masih bau, masih kucel.." aku mencoba menjelaskan
"Dan masih cakep.." sergahnya sambil tersenyum tipis.
Senyum kedua. Lebih manis. Lebih cakep. Kalau sudah begini, aku jadi mau menyerah saja. Ada saja yang dia lakukan untuk membuatku menuruti apa maunya. Ada saja.
"Mandi di kebun saja," katanya kalem sambil mencoba beranjak berdiri dari tempat duduknya, "Saya juga belum mandi kok," sambungnya dengan nada tertentu.
Ia selalu begitu. Apa yang dia inginkan kadang tak harus diucapkan. Aku harus bisa menangkap dan mengartikannya sendiri apa maksudnya. Tapi okelah, toh kebekuan makin mencair. Aku lalu minta waktu menyiapkan diri sebentar dan Bahar tetap bersikukuh untuk menunggu di pos jaga saja.
Akhirnya kami berdua berangkat ke Pandu dengan angkutan umum. Sepanjang jalan Bahar bercerita tentang pengalamannya selama di Surabaya. Aku senang menyimak semua kata-katanya. Bukan apa-apa, sudah lama aku kangen tak mendengar logat Sangirnya yang khas. Apalagi suara tawanya yang renyah itu. Kebetulan di bagian belakang hanya ada empat penumpang termasuk kami berdua, sehingga Bahar dan aku bisa saling bercerita dengan agak leluasa. Aku sempat mengomentari cambang dan berewoknya yang menurutku membuatnya makin keren. Kata Bahar, itulah hasil dari suasana hatinya yang kacau akibat pertengkaran kami selama ini (Ha! aku tadi tak ke-ge-eran 'kan?).
Perjalanan kira-kira masih setengah jam lagi ketika kedua penumpang yang lain turun di tengah jalan. Maka kini tinggal kami berdua. Perjalanan masih cukup jauh. Sejenak Bahar menatapku, lalu digenggamnya tanganku erat-erat, "I missed you..," bisiknya ke telingaku.
Aku diam saja, hanya mataku yang lekat ke matanya. Ingin sekali kukatakan bahwa aku pun merindukannya. Tapi gejolak emosi yang kurasakan malah membuatku tak bisa bicara. Kini mataku terasa perih. Berkaca-kaca. Bahar berusaha meredakannya. Tapi aku semakin ingin menumpahkan semua yang selama ini kupendam, sejak kami tak lagi berkomunikasi selama berminggu-minggu, sampai pertemuan kembali di pos jaga tadi. Bahar terus berusaha menenangkanku.
"Sudahlah, kita lupakan masalah yang kemarin-kemarin. Oke?" bujuknya sambil menggenggam tanganku lebih erat.
Akhirnya aku hanya bisa mengangguk. Dan ia lalu mengecup pipiku sebelum menarik kepalaku ke bahunya. Kami bersepakat seusai kunjungan ke kebun nanti, kami akan kembali ke Sangir. Melupakan masalah yang pernah ada dan memulai kembali semua seperti sediakala.
Akhirnya kami sampai ke tempat tujuan. Kata Bahar kami harus berjalan kaki dulu sekitar sepuluh menit sebelum masuk ke kompleks perkebunan milik pamannya. Sepanjang jalan dia bercerita mengenai Om Tei, begitu Bahar memanggil sang paman yang kini hidup seorang diri di sana. Isteri Om Tei yang meninggal dua tahun lalu adalah adik dari ibu Bahar. Pada saat pemakaman isterinya itulah terakhir kali Bahar ketemu dengan Om-nya.
Ternyata Om Tei seorang tua yang menyenangkan. Gayanya spontan dan energik. Tubuhnya memang terlihat sudah renta. Sebagian besar rambutnya yang keriting itu sudah abu-abu memutih. Tapi semangat hidupnya masih tinggi. Barangkali pekerjaan di kebun telah memberinya energi tambahan untuk tetap betah menempuh kehidupan ini.
Ia tampak akrab sekali dengan Bahar. Sejenak mereka berkangen-kangenan dalam bahasa Sangir. Dan aku harus rela sebagai pendengar pasif dan penonton saja, sebelum akhirnya Bahar mengenalkanku pada Om-nya.
"Nginap di sini 'kan?" tanya Om Tei ramah
"Tergantung Bahar, Om," kataku
Yang kusebut namanya hanya tersenyum mengangguk. Om Tei segera menyilakan kami masuk ke rumah kayu besar yang ada di kompleks kebun itu. Rumah yang asri penuh dengan tanaman hias dan pepohonan.
"Tapi Om, kita mau mandi dulu," kata Bahar sambil melihat ke arahku
"O ya, silakan," jawab Om Tei sambil menyilakan kami masuk ke teras depan
"Maksud saya, mandi di pancuran sana," Bahar mencoba menjelaskan. Gantian aku yang tanda tanya. Mandi di pancuran?
"Oh! Boleh, boleh, silakan. Setiap ke sini dia memang selalu menyempatkan mandi di sana," gantian Om Tei menjelaskannya padaku.
"Tapi maaf, kondisinya ya seperti itu," Om Tei seolah meminta permaklumanku.
Aku tersenyum saja. Tapi aku masih penasaran juga. Mandi di pancuran? Aku sempat mengerenyitkan dahi ke arah Bahar, minta jawaban. Tapi dia cuma senyum-senyum saja.
Bahar lalu mengajakku menuju ke sana. Rupanya yang dinamakan pancuran adalah tempat mandi di bawah tebing yang sekelilingnya dibuat semacam tanggul dari batu gunung dan rumbia dibuat sebagai dindingnya, sementara bagian atasnya dibiarkan terbuka. Sumber airnya berasal dari pancuran bambu yang memancar dari dinding tebing di atasnya, bagai air terjun mini. Air yang tertampung di bawahnya menjadi semacam danau kecil yang dikelilingi oleh batu gunung yang besar-besar. Beberapa saat aku terpana melihat pemandangan yang unik itu, sebelum tangan Bahar menarikku ke sana.
"Ayo!" ajak Bahar begitu masuk ke bilik mandi itu sambil mulai membuka pakaiannya.
Aku diam saja mengamati sekeliling. Aku ragu sekaligus penasaran. Ragu karena bilik ini meskipun sekelilingnya ditutupi rumbia dan batu gunung tetapi bagian atasnya terbuka sehingga langit, bukit dan pohon-pohon terlihat jelas. Tapi aku juga penasaran karena dengan sikap dan gerak-gerik yang ditunjukkan Bahar, hampir dipastikan dia akan mengajakku bercinta di bilik ini.
"Ayo!" ajaknya lagi begitu tubuhnya sudah telanjang tanpa pakaian sama sekali.
Kini aku terpana dengan pemandangan di depanku. Lama tak kulihat dia seperti itu. Segalanya memang masih seperti dulu. Hanya kali ini kulihat kulit tubuhnya sedikit lebih terang. Sehingga bulu-bulu yang tumbuh lebat di daerah dada dan perutnya makin jelas terlihat. Lalu di antara kedua pahanya yang kekar, di kerimbunan rambut legam keriting, miliknya tampak menggantung laksana kuda. Belum menegang tapi sudah tampak membesar. Entah sudah berapa lama aku tak menyentuh benda itu.
"Ayolah!" untuk ketiga kalinya Bahar mengajakku. Kedua tangannya terentang sambil mendekatiku.
"Di sini aman kok..," bisiknya seolah menjawab keraguanku. Lalu diciuminya pipi dan telingaku, menimbulkan rasa geli yang sudah lama tak kurasakan.
Keyakinanku akan sikap Bahar mendorong tanganku untuk melepasi sendiri kancing bajuku dan segera meloloskannya dari badanku. Sementara bibir Bahar masih asyik menelusuri daerah di sekitar telingaku. Tak jarang membuatku menggelinjang kegelian bila lidahnya yang tebal dan basah itu menelusup masuk dan menjilat-jilat. Aku harus mengerahkan tenaga sampai akhirnya bisa melepas seluruh pakaianku sendiri.
Begitu menyadari ketelanjanganku, Bahar langsung mendekap erat tubuhku dan mencium bibirku lumat-lumat. Tampak ia sangat menginginkan permainan ini. Pagutannya begitu kuat dan bernafsu. Sudah lama tampaknya ia tak melakukannya. Atau barangkali aku saja yang mungkin agak santai (karena kemarin habis bercinta dengan Pak Gun?). Cepat-cepat kutepis ingatan itu. Bukankah semua harus dilupakan? begitu yang diminta Bahar.
Maka segera kubalas ciuman Bahar dan mengimbangi lumatan bibir dan telusuran lidahnya yang rasanya tambah tebal. Tapi aku tetap saja tak berhasil mengimbangi, karena Bahar makin bernafsu dan memang kelihatan ia sudah lama tak melakukannya. Bibirnya sangat lahap dan gerakan lidahnya begitu liar. Aku gelagapan.
Bersambung . . . . . .