The shit eater - 5

Sementara syahwatku belum tersalurkan dengan adanya tontonan tadi. Biarlah kutahan dulu.. Apa yang barusan kusaksikan akan membumbui onaniku nanti. Aku jadi sangat terpesona akan penis Pakde Sastro yang hebat itu. Pasti akan kubawa dalam setiap khayalanku terbang di-awang-awang. Aku berdiri dan menyusul balik ke tenda.

Sepanjang jalan balik pikiranku menerawang ke banyak kemungkinan. Siapa tahu ada pasangan lain lagi yang macam kulihat tadi. Atau ada orang yang macam aku, beraninya cuma onani dari balik semak-semak. Ah, setidaknya aku tidak lagi sendirian kini..

Petualangan menjelang gelap..
Sekitar jam 2 siang. Habis menyelesaikan tugasku, masak dan merebus air merencanakan akan memutari lembah pinus di arah barat hutan ini. Aku mempersiapkan diri dengan alat-alat "hiking" yang relatip sederhana. Tak lupa kubawa teropong kecil yang boleh pinjam dari keponakanku di rumah. Dengan gaya Indiana Jones aku merambah semak belukar dan menembus hutan kecil itu.

Sesampai di sungai yang merupakan hilir dari tempat mandi kami aku turun ke arah kanan bawah. Dengan sedikit bantuan tali tebing aku turun ke lembah pinus itu. Menurut anak-anak dari lembah ini kami bisa melihat kota Sukabumi dab Bogor. Bahkan saat cuaca baik dan langit bersih, kota Jakartapun bisa kelihatan. Aku belok menuju ke pinggir selatan yang memang terbuka.

Cuaca sangat baik, jam menunjukkan pukul 14.00 wib. Cukup waktu untuk bersantai ria di lembah ini. Aku duduk nongkrong di sebuah batu besar. Kiri bawahku nampak kali hilir tempat mandi kami, depan adalah lembah dengan panorama Sukabumi dan Bogor, samping kanan agak di kejauhan ada hutan yang cukup lebat. Kupasang teropongku. Aku melihat detail-detail di kejauhan yang menjadi serasa dekat berkat teropong ini. Nampak jalan-jalan berliku dirambati kendaraan berderet. Kebun teh terhampar hijau. Bukit-bukit yang serba subur, pedesaan yang nampak rumah-rumah kecilnya.

Tiba-tiba arah kiri kulihat dua orang mengikuti hilirnya kali. Kuarahkan teropongku ke sana. Woo.. itu kan Pakde Sastro. Sama siapa tuh? AKu coba lebih fokuskan lagi teropongku. Ah.. itu kan Robert. Mau kemana mereka? Ah jangan-jangan.. aku jadi ingat peristiwa Pakde Sastro bersama Anggoro tadi pagi. Teropongku yang lumayan hebat ini terus mengikuti langkah-langkah mereka. Nampak benar olehku bagaimana tegapnya Pakde dan nggantengnya Robert.. Loh, mereka nampaknya saleng bergandengan tangan. Ah.. aku makin penasaran. penisku mulai bereaksi.
Pas di bebatuan sungai mereka berhenti. Ah.. benar.. Rupanya mereka punya acara khusus. Bukan main Pakde Sastro ini. Kalau tadi pagi dia bisa menggaet Anggoro, kini dia gaet si Robert..

Kini keduanya tenggelam dalam pelukan. Nampak Pakde Sastro sangat bernafsu melumati bibir Robert. Dan Robert tidak canggung melayaninya. Apakah mereka sudah saling berhubungan juga di kampung kami? Aku jadi tegang banget menyaksikannya. Aku pikir perlu lebih mendekat lagi tetapi tetap pada titik yang aman. Aku turun dari batuku dan setengah merunduk aku berusaha mendekat hingga tinggal jarak 20 meteran. Tentu saja aku tetap berada dibalik semak dan batang pinus yang ada di situ.

Kecuali suara mereka yang tak mungkin kutangkap karena tersapu oleh riamnya suara kali, kini aku bisa melihat lewat teropongku seakan mereka tepat di depan hidungku. Woo, bukan main.. Kulihat tangan Pakde Sastro meremasi tonjolan penis Robert di belakang celana jeans-nya. Sementara Robert sepertinya mengikuti saja maunya Pakde. Beberapa saat kemudian nampak tangan Pakde berusaha menarik resleiting celana Robert, dan Robert membantunya hingga celana itu lepas merosot ke bebatuan kali itu. Dan tanpa "spasi" lagi Pakde langsung jongkok menciumi celana dalam yang membungkus tonjolan penis Robert itu. Kelihatan banget bagaimana Robert menahan gelinjangnya. Sebentar-bentar mendongakkan kepalanya menahan gelora birahinya yang diikuti tangannya meremasi pundak dan kepala Pakde Sastro. Benar-benar ganas Pakde ini.

Tentu saja penisku juga semakin sesak dalam celanaku. Rasanya sangat terjepit. Aku perlu lepaskan kancingnya dan sekaligus aku juga pengin mulai mengelu-elus penisku sendiri. Ulah Pakde dan Robert membuat aku dilanda birahi kembali. Kini sambil aku luruskan arah teropongku aku juga mengelus dan mengocok penisku. Duhh.. bukan main..

Akhirnya nampaknya Pakde nggak tahan juga. Dari balik celana dalamnya tangan Pakde meraih penis Robert keluar dan langsung bibirnya menerkamnya. Dia menjilat, melumat, mengulum dan mencium-cium aroma kemaluan dan selangkangan Robert. Nampak Robert bergeser ke batu yang besaran. Dia bersender dan menjadi lebih leluasa untuk mengatur tubuhnya. Celananya yang telah lepas membuat tungkai kakinya bisa membuka ke atas hingga memberikan keleluasaan Pakde untu lebih menenggelamkan wajahnya keselangkangannya.

Dan nafsu Pakde rasanya tak terbendung lagi. Dia juga ciumi kaki-kaki Robert, jari-jarinya dia kulum-kulum, telapak kakinya, yang pasti bau sepatu, dia jilati, betisnya dia jilati. Teropongku ini membuat libidoku cepat sekali terdongkrak. Melihat adegan-adegan yang se-akan-akan di depan hidung itu aku semakin semangat mengocoki dan menjepit-jepit penisku.

Kini nampak jelas bagaimana Pakde Sastro minta Robert nungging dan menghadap kebatu. Dan Robert langsung berbalik dengan bokongnya tepat di muka Pakde Sastro. Tentu itu yang Pakde maui. Dia langsung benamkan wajahnya ke pantat Robert. Hidungnya di sungsep-sungsep-kan untuk menghirup aroma pantatnya. Dan kemudian lidahnya menjulur, menjilati lubang anusnya. Robert nampak sangat menikmati apa yang Pakde Sastro lakukan padanya. Dia lebih sorongkan lagi pantatnya untuk mempermudah Pakde meraihnya. Terkadang dia juga maju-mundurkan, seakan-akan ingin menggosok-gosokkan pantatnya itu ke hidung dan lidah Pakde Sastro.

Sesudah beberapa saat, Pakde kembali berdiri dan kembali menciumi bibir Robert. Dia raih tangan Robert agar meremasi batang penisnya yang sangat tegang dan gede kaku itu. Rupanya kini Robert mulai ganti yang berperan aktif. Dengan melepas pagutan Pakde, dia sedikit merunduk untuk menciumi leher, pundak dan dada Pakde Sastro yang masih gempal itu. Dia melumati puting susu dan Pakdenya nampak demikian menikmati lumatan itu. Kulihat tangan Pakde Sastro dinaikkan dan ciuman Robert merambat ke ketiaknya yang terbuka. Bulu-bulu ketiak itu pasti menebarkan aromanya yang khas yang membuat Robert kini sangat agresif menjilatinya.

Wajah Pakde Sastro nampak sangat menikmatinya. Dengan sambil memeluk tubuh Pakde Robert menggeserkan bibirnya ke ketiak sebelahnya. Kulihat penis Robert yang sangat kaku dan mengkilat-kilat kepalanya itu terayun menjepit ke tubuh Pakde.

Aduh sakitnya selangkanganku.. Kulepaskan kancing celanaku karena penisku sendiri terasa semakin mendesak keluar. Dengan tangan kananku teropong tetap tertuju ke dua orang itu, tangan kiriku mengelus-elus penisku sendiri. Aku gemetar merasai nikmatnya. Uhh.. enak bangeett..
Robert menurunkan ciumannya kearah bawah. Perut Pakde dia jilatin rata. Perut yang agak membuncit itu sungguh merangsang birahiku pula. Aku mulai mengocok-ocok penisku.

Tiba-tiba ada yang mengacaukan nikmat yang sedang berlangsung. Kudengar suara-suara anak-anak ramai di arah belakangku. Aku kaget dan cepat bereaksi. Kumasukkan kembali penisku ke celanaku dan kurubah tingkahku. Aku kembali berlagak sebagai penikmat alam, berjalan keluar semak dan meneropongi pemandangan di seputar lembah. Ada 3 orang anak-anak yang sedang "hiking". Mereka nampaknya anak-anak baik yang tidak bermaksud mencari petualangan macam aku atau Pakde dan Robert itu. Mereka menegorku, bertanya obyek apa yang menarik dan duduk sejenak di rumput. Tak nampak sedikitpun mencurigai aku. Jadinya kami mengobrol. Mereka pinjam teropongku. Tetapi mereka tidak melihat obyek yang aneh.

Ketika teropong kembali padaku, aku lihat kearahkan sesaat ke Pakde dan Robert. Wah, mereka renyata telah hilang dari pandangan. Kok, cepat sudah menghilang..?! Aku nggak tahu kenapa. Mungkin mereka mendengar suara anak-anak yang cukup ramai itu, kemudian cmenyelinap di balik batu untuk melanjutkan asyik masyuknya. Pikiranku masih terpaku pada apa yang kulihat tadi dan adikku dalam celanaku belum sepenuhnya normal kembali. Dan karena hari juga sudah menjelang sore, akhirnya kami sepakat untuk bersama-sama balik ke tenda. Ah, aku telah kehilangan momentum. Tak apalah,.. Untung mereka tidak memergoki aku ..

Malam yang terakhir..
Malam terakhir di kaki gunung Salak ini kami jadikan malam gembira. Kami membuat api unggun dan membakar kambing guling yang kami beli dari orang desa. Anak-anak semua aktif saling mensukseskan pesta ini. Ada yang ambil kayu bakar, ada yang motong dan menguliti kambing, ada yang membuat tusukkan untuk membakar, ada yang menyiapkan bumbu.

Kulihat Pakde Sastro di sana. Sudah 2 kali aku memergoki dia ber-seks ria dengan anak-anak sejak pagi tadi. Aku jadi terobsesi juga pada Pakde ini. Aku ingat bagaimana perutnya yang buncit itu dan jembutnya yang tebal yang membungkus penisnya yang gede. Mungkinkah aku bisa menikmati bermain dengan Pakde? Aku sedikit gelisah. Tanpa sepenuhnya sadar aku berdiri dan mendekat ke arah Pakde duduk.

Rupanya Pakde melihat aku,
"Sini, Mas.., kita nunggu kambing bakar. Biar nanti jadi kuat".
Kuat apanya, jawabku bergaya bodoh. Pakde menjawab dengan senyuman. Dan aku duduk di sampingnya. Dia sentuh pahaku dan mengelus pelan. Dia tanya olah raga dan hobiku. Kemudian sentuhan tangannya melebar. Dia bilang badanku sangat sehat. Dia sedikit menekan pahaku. Aku biarkan. Dia tanya lagi, senangkah aku dalam acara ini. Aku mengangguk. Dia lebih merapat ke tubuhku.
Dan..
Aku sepertinya disambar petir.., dia berbisik,..
"Kamu, 'shit eater', yaa.."
Aku langsung limbung. Untung dalam posisi duduk, hingga tak perlu jatuh. Aku berusaha menguasai diriku..,
"Aku lihat anda tadi pagi sangat asyik..", sekali lagi petir itu menyambarku, habislah aku, habislah nama baikku, 'shit eater' sungguh julukan yang menakutkan aku, habislah harga diriku.. Itu yang paling membuat aku terpukul dan sangat takuti. 'Shit eater..'. Itu istilah yang pernah kutemui di internet untuk para pecinta dan pemakan tai dalam upaya memuaskan syahwatnya.

"Dik Basir nggak usah khawatir. Aku paham Kok. Dan aku sering ketemu teman yang punya hobi itu". Bener, nih.., hatiku sedikit terbuka.. Adakah yang lain seperti aku.. Aku "no comment" saja.. Aku masih berusaha tidak begitu saja meng-iya-kan tuduhannya itu.

"Kapan kencan dengan aku.., Cah Bagus?".
Woo.. dia memanggilku "Cah Bagus". Aku tersanjung, pasti yang dia maksudkan adalah bahwa aku menarik hatinya. Sungguh efektip cara Pakde mengejar mangsanya. Pertama dia tembak aku dulu dengan panggilan "shit eater" yang membuat aku menjadi begitu terpukul, kemudian menyanjungku dengan "Cah Bagus" yang mengembalikan harga diri dan kebanggaanku di depannya. Pantesan si Anggoro dan Robert mampu dia gelandang masuk memenuhi nafsu birahinya. Tetapi sikap Pakde padaku kali ini membuat aku lebih bisa menerima kenyataanku. "Habis makan kita ke kali, ya. Ada tempat yang lapang tanpa ada orang yang tahu. Mumpung langit terang dan bulannya cukup terang, nih..".

Bukan main Pakde ini. Sehari dapat 3 orang. Tanpa pikir panjang aku memberanikan diri. Aku pandangi dia agak lama dan aku menjawab dengan pijitan di tangannya tanda setuju. Aku berdiri untuk menjauh. Aku malu. Aku tidak ingin Anggoro maupun Robert mengawasi kedekatan kami. Mereka tahu siapa Pakde. Atau, jangan-jangan mereka juga sudah tahu siapa aku? Aku berlagak biasa-biasa saja. Saat waktu makan datang aku sudah kehilangan nafsu. Yang aku bayangkan adalah pesta sesungguhnya untukku bersama Pakde sesudah ini semua usai. penisku mulai ngaceng berat.

Habis pesta anak-anak pada bernyanyi, main gitar atau sekedar ngobrol. Beberapa saat kemudian Pakde mendekatiku dan menyenggol aku lantas pergi kearah jalan setapak itu. Aku menunggu barang 2 atau 3 menit kemudian menyusul. Tubuhku kembali gemetar menahan gejolak. Aku membayangkan apa yang akan kudapatkan nanti.

Tepat di depan semak jalan setapak, mukaku kena cahaya lampu senter Pakde. Pakde memberi kode agar aku mengikutinya. Tempat itu cukup jauh, tetapi nampaknya Pakde sangat mengenali lokasinya. Sesudah kami menembusi semak belukar sampailah di tempat yang agak terbuka. Semacam lapangan rumput dan bebatuan. Nampak cahaya bulan menembus dedaunan.

Postur tubuh Pakde Sastro juga jadi nampak lebih jelas. Lelaki ini mungkin usianya sekitar 55 tahunan. Badannya yang kira-kira setingi 170 cm masih nampak sehat dan gempal.Dari arah belakang kuperhatikan dadanya lebar bidang. Jalannya tegap banget. Kudengar dia pernah jadi ABRI dari pasukan komando. Nampak dia dengan mudah memahami situasi medan macam hutan ini. Kalau bicara suaranya berat dan sangat berwibawa. Aku rasa masih banyak perempuan yang mudah dia tundukkan. Ada kesan dia ini selalu haus dalam masalah seks. Wajahnya yang biasa-biasa saja dan bibirnya yang monyong tebal mengingatkan aku akan actor-actor film laga Negro dari Holywood.

Sesampainya di tempat itu Pakde langsung memeluk dan memagut aku. Dengan sedikit gelagapan aku menyambut bibirnya yang tebal itu. Lidahnya yang merogoh rongga mulutku kusambut dengan lidahku. Akhirnya keteganganku pupus. Aku menjadi lebih menikmati bersama Pakde Sastro ini. Dia meremas-remas penisku. Dia juga minta aku meremasi penisnya. Wuuhh.. keras banget dan gedenyaa.. Kurasakan betapa urat-urat yang kasar melingkar-lingkar di batangnya. Nafsu Pakde benar-benar seperti nafsu kuda. Sedikit kasar. Cara menyedot dan melumat bibirku membuat serasa bibir jadi jontor.

"Aku mau berak dulu, tadi makan kekenyangan. Mau lihat?!", itu bukan pertanyaan. Pakde setengah memaksaku untuk menyaksikan saat beraknya. Dia langsung menggelandang aku ke balik batu besar. Aku merasakan Pakde sangat dominan terhadap pasangan seksnya. Barangkali aku dipandangnya sebagai budak atau bahkan anjingnya yang harus nurut kemauan dia.Cahaya bulan yang cukup terang membuat segalanya nampak terang. Sampai di tempatnya dia naik ke sebuah batu besar macam meja di sedikit ketinggian.
"Kamu disitu, jongkok dan nikmatilah pemandangan saat aku berak".

Aku seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Dungu dan ngikut saja kemauan Pakde. penisku terus ngaceng. Aku bergerak jongkok persis menghadap batu datar itu. Pakde melepasi ikat pinggangnya, celana dan kolornya hingga bokongnya yang gede bulat itu terpampang menghadap ke mukaku. Dia bergerak jongkok menyodorkan pantatnya ke mukaku,
"Ciumi dulu, nih..", dia berbisik dan pantat itu langsung meng-asong padaku. Dengan berdiri di lutut, aku mendekatkan wajahku, hidungku mencium bokongnya, anusnya dan kemudian menjilatinya. Bulu-bulu anusnya yang terserak di seputar anusnya menari-nari di lidahku. Jangan tanya aromanya. Pantat Pakde mengeluarkan aroma yang membuat aku kelimpungan dilanda birahi sebagai 'shit eater'.

Yach.., enakk banget Sir, enakk.. Terus jilati yaa.., begitu dia mendesah. Aku terus melumat anusnya dan menikmati sepenuhnya, sementara aku juga mulai mengeluarkan penisku untuk ku-elus dan kukocok-kocok.

Bersambung . . . .