Sesama Pria
Monday, 11 January 2010
Oase laut utara - Ujung sebuah hujan - 1
Beginilah umumnya menu yang biasa kami makan. Nasi plus hasil laut lainnya yang kadang kami goreng, bakar, rebus sesuai selera. Sayuran sesekali kami masukkan dalam menu kami bila kebetulan ada di pasar. Di daerah ini sangat sulit mendapatkan sayuran. Kalau pun ada, harganya selangit.
Selesai makan kami berdua mencuci piring dan alat makan lainnya seperti biasa. Di luar senja hampir jatuh. Dari balik jendela, langit mulai semburat merah. Selama acara mencuci piring itu Bahar terus saja bersiul-siul dan mengajak bercanda. Kadang-kadang guyonannya nyerempet ke hal-hal yang porno dan biasanya aku tanggapi dengan yang lebih porno lagi. Ketawa Bahar yang lepas berkali-kali terdengar cukup keras. Selesai mencuci piring aku mengajak Bahar ke teras depan menikmati sunset.
Aku keluar duluan menuju teras dan menarik kursi rotan panjang yang biasa kami pakai untuk duduk berdua. Bahar menyusul dua menit kemudian. Di kedua tangannya sudah ada gelas minuman. Biasanya kopi kesukaan kami. Sedangkan di bibirnya sudah terselip rokok kesukaannya. Kami lalu duduk santai menikmati suasana senja yang setiap hari tampaknya lebih indah dari senja-senja sebelumnya. Bahar mengambil tempat duduk di sisiku lalu menyandarkan kepalanya ke bahuku. Kurangkul pundaknya. Kucium rambutnya yang ikal itu.
"Nggak merokok Mas?" katanya menawariku.
"Boleh. Mana?"
Bahar lalu menyodorkan rokoknya yang masih terselip di bibirnya itu kepadaku. Sebatang berdua. Alangkah mesranya suasana sore ini. Nikmat rasanya merokok dalam suasana seperti ini. Tangan Bahar lalu merangkul pinggangku dan kepalanya yang semula bersandar dibahu sekarang berpindah ke bidang dadaku.
"Kok hari ini kayaknya manja banget?" kataku sambil memencet hidungnya yang bangir itu.
"Aku kan lagi kangen sama Mas Harso" katanya pelan, "Untung kemarin yang punya kapal mau pulang lebih cepat, jadi rasa kangen saya nggak perlu ditunda lagi" lanjutnya sambil meminta kembali rokoknya yang ada di tanganku lalu mengisapnya dalam-dalam dan memberikannya lagi padaku. Sejenak Bahar menyeruput kopi kentalnya.
Selama kami tinggal bersama, Bahar memang tampaknya menjadi lebih perhatian terhadapku. Cenderung ngemong. Kadang kebapakan. Aku sih senang-senang saja. Sikapku sendiri juga tampaknya makin sayang sama dia. Kadang-kadang berpisah dua atau tiga hari rasanya cukup lama bagi kami. Seperti sekarang ini. Jadi begitu ketemu, biasanya kami melampiaskannya dengan kemesraan.
Bahar yang sosoknya sekilas tampak kasar itu sebenarnya adalah laki-laki yang lembut dan baik. Justru aku yang tampaknya kalem, sebagaimana prototype orang Jawa, kadang-kadang lebih emosional dibandingkan dia. Tak jarang hal ini sering menimbulkan keributan kecil di antara kami. Tapi biasanya Bahar bisa meredakan emosiku dengan kesabarannya dan terutama rayuannya.
Kami masih berduaan di kursi rotan panjang ini. Sambil sesekali minum kopi dan merokok bergantian. Bahar masih bersandar di dadaku dan aku masih duduk santai bersandar ke belakang. Langit di atas laut makin merah tapi tampak banyak dikumpuli oleh awan gelap.
"Mau hujan tampaknya" tiba-tiba Bahar menyela.
"Sok tahu ah!" sahutku menggoda, meskipun aku tahu dia memang jago membaca cuaca. Orang laut!
"Eh, nggak percaya?" balasnya
"Nggak" kataku agak ketus, "Kalaupun hujan terus kenapa?"
"Kalau hujan, kan acara kita malam ini makin asyik" balasnya sambil memegang daguku dengan gemas.
"Acara apa?" kataku pura-pura
Mendengar kalimatku itu, Bahar spontan mengangkat kepalanya dan lalu bangkit untuk kemudian berjongkok di depan posisiku yang sedang duduk bersandar. Melihat mimik mukanya, tampaknya dia kesal dengan jawabanku itu.
"Acara apa!" katanya kesal sambil memegang kedua pahaku,"ya acara ini!".
Sambil berkata "ini" tangannya mencengkeram bagian depan resleting celanaku. Seketika aku terlonjak sambil tertawa ngakak. Tapi rupanya dia tak mau melepaskan cengkeramannya dari daerah itu. Meskipun aku saat itu sedang memakai celana jeans, tapi genggaman jarinya tetap terasa meremas-remas kemaluanku.
"Bang! sudah ah, geli!" teriakku. Tapi dia malah menarik resleting celanaku ke bawah. Lalu dengan cepat tangannya merogoh masuk. Langsung menyentuh bagian tubuhku yang paling sensitif itu. Aku memang tak pakai celana dalam.
Matanya sejenak memandangku sambil terbelalak, seolah kaget bahwa aku tak pakai apa-apa di balik celana jeans itu. Padahal itu adalah kebiasaan kami berdua yang tak pernah pakai celana dalam bila sedang berada di rumah, dengan alasan antara lain untuk kesehatan. Seperti sekarang ini. Aku juga yakin Bahar pun pasti tak pakai apa-apa di balik celana kerjanya yang berwarna khaki itu.
Tangan Bahar masih terus menggenggam. Malah sekarang meremas-remas nakal. Aku diam saja, bahkan mengangkangkan pahaku lebih lebar. Sekejap saja batang kemaluanku sudah tegang dan membesar di genggamannya. Gerakannya lalu berganti dengan gerakan meloco. Pelan, pelan, tapi terasa nikmat sekali.
Bahar lalu perlahan-lahan mulai membuka kancing jeansku dan beberapa saat kemudian benda bulat panjang milikku seukuran pisang ambon itu mencuat keluar. Sejenak Bahar masih melakukan gerakan mengocok, lalu pelan-pelan mulutnya mendekat dan melahap bagian kepala kemaluanku yang bulat itu dan melumatnya dengan gemas. Lidahnya lalu menjilat-jilat, berputar di sekeliling "topi baja" itu.
Mataku terpejam meresapi setiap gerakan mulut dan lidahnya yang makin lama makin liar. Kenikmatan menjalar ke seluruh urat sarafku. Tanpa sadar mulutku mulai menggumam meningkahi suara mulut Bahar yang sayup-sayup terdengar berdecap sedang mengenyoti "botol" kesukaannya.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh di langit. Aku baru sadar bahwa kami masih berada di teras luar, di atas bangku rotan. Bahar masih terus berjongkok di antara kedua pahaku. Ia tampaknya tak peduli dengan bunyi gemuruh itu.
"Bang.." kataku kemudian, "Mau hujan nih.."
"Ehm.." jawabnya sambil masih terus mengemuti milikku yang pelan-pelan mulai mengendur karena konsentrasiku terganggu suara gemuruh tadi.
"Bang! ayo kita masuk, nanti dilihat orang. Lagian sebentar lagi hujan turun" kataku sambil memegang kepalanya yang masih terbenam di selangkanganku.
Bahar lalu menarik mulutnya dari batang kemaluanku, dan menatapku dengan mimik wajah yang meledek.
"Tadi nggak percaya dibilang kalau mau hujan. Sekarang?"
"Iya deh, percaya" kataku mengalah, tak mau berdebat lagi karena gerimis sudah mulai membasahi teras.
Kami berdua lalu berlarian masuk ke dalam. Sialan, celanaku belum sempat dikancingkan lagi oleh Bahar. Sehingga begitu melewati pintu masuk, celana itu langsung merosot ke bawah. Bahar tergelak melihat kondisiku yang lucu itu. Aku menyumpah-nyumpah. Bahar makin ketawa ngakak.
"Mau diterusin nggak?" aku menggerutu sambil menahan gerakan tanganku yang sedang menarik celana ke atas. Setengah berharap Bahar akan meneruskan main-mainnya.
"Hmm? Nanti sajalah. Cooling down dulu" jawabnya sambil masih tertawa dan mengerlingkan mata. Nakal. Aku makin menggerutu. Bahar kemudian menyalakan TV di ruang tamu.
Terus terang, aku sebenarnya ingin permainan tadi diteruskan sampai tuntas. Tapi begitu melihat kerlingan matanya yang mengisyaratkan sesuatu, aku menuruti saja apa katanya. Mungkin dia sudah punya rencana lain. Let's see.
Kami berdua lalu duduk di sofa ruang tamu menonton acara TV. Kini giliran aku yang rebahan di pangkuannya. Dia tampak serius melihat film seri kesukaannya di TV. Sementara aku ribut mengomentari adegan-adegan yang sedang berlangsung yang aku anggap konyol. Seperti biasanya, dia tetap tenang dan diam saja menikmati acara di layar kaca itu. Paling-paling dia tersenyum atau tertawa kecil mendengar komentarku yang kadang-kadang kocak.
Lama-lama aku jengkel juga. Kuperhatikan wajahnya lekat-lekat.
"Serius amat sih Bang" kataku menggoda.
"Ssstt.." telunjuknya diarahkan ke bibirku menyuruh aku jangan berisik.
"Film jelek begitu ditonton" ledekku lagi.
"Sebentar lagi bubar kok" jawabnya singkat. Lalu kembali melotot serius ke TV.
"Mendingan kita yang 'main film'.." Aku mulai menggodanya.
"Ssstt.." lagi-lagi tangannya menutup bibirku. Bahkan sekarang jari-jarinya malah mempermainkan kumisku.
Diperlakukan begitu, aku langsung menarik telunjuknya dan lalu kugigit. Dia diam saja. Kugigit lagi. Kali ini lebih keras. Masih juga diam. Aku lalu mencoba gerakan lain. Telunjuknya kujilat-jilat dan kemudian aku mengulumnya dengan gerakan seperti sedang melakukan oral seks.
Beberapa saat aku melakukan aksi itu dan lambat laun tampaknya dia mulai bereaksi. Meskipun matanya masih menatap ke TV di depan, tapi kepalaku yang bersandar di pangkuannya itu mulai merasakan benjolan kenyal di balik celananya mulai agak mengganjal. Makin lama makin terasa mengeras. Diperlakukan begitu baru dia bereaksi. Dasar! Aku pun makin bersemangat mengulum jari telunjuknya yang besar dan berbulu itu.
Tiba-tiba tangannya bergerak ke sela bawah kepalaku yang masih bersandar di pangkuannya itu, lalu dengan cekatan tangannya membuka kancing celananya dan menarik resletingnya ke bawah. Lucunya, pandangan dia tetap lurus menonton acara di TV. Ohoi, rupanya dia mau aku melakukan yang lebih jauh lagi, tanpa mengganggu acara nonton TV-nya.
Badanku lalu berbalik mengambil posisi tengkurap sehingga kepalaku sekarang persis ada di depan resleting celananya yang sudah terbuka. Batang kemaluannya tampak masih terlipat ke bawah. Tapi sudah setengah tegang. Beberapa bulu kemaluannya tampak mencuat keluar. Bulu keriting di sekitar daerah itu tercium harum karena aroma sabun mandi tadi sore. Meskipun sebenarnya aku lebih menyukai bau asli dari tubuhnya. Jantan dan segar.
Bersambung . . .