Sesama Pria
Monday, 11 January 2010
Oase laut utara - Dan api semakin memercik - 2
Terasa dada kami saling berdeburan. Helaan dan tarikan nafas kami saling beradu. Ada rasa kangen yang seolah ingin kami tumpahkan. Dan tanpa kusadari pipi kami saling bersentuhan. Lalu bibirnya kurasakan mulai bergeser menyentuh tulang rahangku. Nafasnya hangat di sana.
Dan ketika bibir yang padat itu mulai menyentuh pipi kiriku, kemudian bibirku, aku merasakan seluruh sendiku melemas. Lolos. Ringan. Seperti melayang. Aku seperti melayang! Padahal Pak Gun hanya melumat bibirku beberapa saat. Tangannya lalu memeluk kepalaku lagi dan membenamkannya ke lehernya yang tengadah. Kudengar ia menarik nafas dan makin erat memelukku.
"Bapak kangen, Har.." ia berdesah lirih. Dan aku tersentuh.
Tersentuh bukan karena apa-apa. Di saat suasana hati yang sedang berusaha kubuat sedingin mungkin karena sikap Bahar di telepon kemarin, suara Pak Gun menjadi satu kehangatan yang seketika mencairkan kebekuan itu. Dan rasa kesalku yang masih ada seolah mendorongku untuk memasabodokan segala tentang Bahar dan menerima 'permintaan maaf' Pak Gun siang ini yang telah disampaikannya dengan cara yang sentimentil.
"Bagaimana kabar Abangmu?" ia mencoba bertanya
Tapi pertanyaan itu tak kujawab. Malah kurasakan mukaku jadi kecut mendengar Pak Gun menyinggung kembali masalahku dengan Bahar.
"Ya sudah.. Bapak cuma nanya saja kok, siapa tahu bisa menenangkan pikiranmu.." suaranya mulai romantis.
Kembali Pak Gun menatapku. Kali ini pandangannya lebih teduh. Ada senyum tipis di balik kumisnya yang khas itu. Kuberanikan untuk membalas senyuman itu dengan kecupan. Dia merespon. Dan kami pun tenggelam lagi dalam ciuman-ciuman yang dalam. Dan lebih lama.
"Mau dimandiin?" katanya di sela-sela pagutan bibirnya.
Dimandiin?, "Hhmmhh.." aku hampir ketawa tapi mulutku segera dibungkamnya lebih ketat.
"Mau?" tanyanya lagi, kali ini sambil melepas pagutannya.
Aku mengangguk, seperti anak kecil menuruti perintah bapaknya.
Aku segera melangkah ke kamar mandi. Melepas seluruh pakaianku dan melilitkan handuk putih ke pinggulku. Pak Gun menyusul kemudian. Lengan bajunya sudah tersingkap ke atas. Demikian juga dengan celana panjangnya.
"Pakai ini segala!" tangannya langsung menarik handuk yang melilit bagian bawah tubuhku. Ketelanjanganku pun langsung mendapat reaksi. Tangannya segera menggenggam bagian tubuhku yang sudah mulai membesar itu. Meremasnya. Dan terus meremas. Aku merintih..
"Pak Gun sendiri masih berpakaian.." protesku di sela rintihan. Tapi ia diam saja. Maka tanpa diminta, aku segera melepasi kancing bajunya, membuka ikat pinggang dan menarik resleting celananya. Tapi aku tak bisa melanjutkan aksiku lebih jauh. Karena ia makin merangsek dan mendesakku.
Merasa kondisi pakaiannya yang sudah acak-acakan dan setengah terbuka, Pak Gun lalu melepas sendiri baju dan celana panjang itu. Kini ia hanya bercelana dalam. Warnanya putih, modelnya konservatif. Khas bapak-bapak. Tapi bagiku malah terlihat seksi.
Entah karena dorongan apa, tiba-tiba aku sudah mengambil posisi jongkok, lalu pelan-pelan kupelorotkan pakaian terakhir yang menutup tubuhnya itu. Pak Gun sempat kaget, lalu diam, menunggu apa yang akan kuperbuat. Tapi belum sampai celana dalam itu kutarik sampai ke lututnya, tangan Pak Gun sudah mengarahkan meriam kecilnya yang sudah siaga penuh itu ke wajahku. Tanganku langsung menggenggamnya dan kuakhiri dengan sebuah lumatan.
Aku tak tahu apakah Pak Gun pernah diperlakukan begini oleh seorang laki-laki. Tapi yang jelas inilah pertama kali aku melakukannya padanya. Dan aku selanjutnya tak peduli lagi dengan itu semua. Karena kini benda yang kulumat itu makin mengeras dan mulutku terasa mulai penuh. Sehingga aku akhirnya lebih banyak melakukan jilatan saja, terutama di sekujur batang dan kedua bola kecil miliknya yang penuh dengan bulu keriting. Sementara kuluman hanya aku lakukan di bagian kepalanya saja. Itupun sudah membuatku kerepotan karena 'helm' miliknya tergolong berukuran spesial (baca oase sebelumnya).
Belum puas aku melakukan itu semua, tangan Pak Gun menyuruhku berdiri dan lalu memelukku kuat-kuat sambil mencium dengan gemas. Aku yang sudah sulit mengatur nafas karena permainan mulut di bawah tadi, kini jadi terengah-engah disumbat oleh bibirnya yang terus menempel ketat.
Sambil terus menciumiku, tangannya pelan-pelan meloloskan celana dalamnya sendiri yang dari tadi masih menyangkut di atas lututnya. Begitu lolos, kedua pahanya yang kekar berbulu itu langsung dengan leluasanya menjepit kuat tubuhku. Ini yang membuatku heran. Gerakan-gerakan Pak Gun seperti orang yang kegemasan.
"Sudah lama nggak main begini.." nafasnya terengah-engah, seolah menjawab keherananku.
"Begini bagaimana?"
"Main 'anggar' dan diisap.."
"O ya?" aku tak percaya.
"Istriku tak mau melakukan oral" katanya menjawab keraguanku, "Tadi sudah hampir keluar.." sambungnya, ".. Kamu pintar melakukannya.."
"Mau dilanjutkan?" tanyaku menawari. Ia menggeleng.
"Kenapa?" tanyaku lagi
"Nanti saja. Sayang kalau dikeluarin sekarang.." sambil matanya mengerling nakal.
Siang itu, akhirnya Pak Gun jadi memandikan aku. Seluruh tubuhku rasanya tak luput dari jarahan dan keusilan tangannya yang berlumuran busa sabun, khususnya di bagian-bagian tubuhku yang sensitif. Aku sampai memintanya untuk berhenti bila dibagian itu ia melakukan gerakan yang tak hanya sekedar membasuh.
"Kenapa?" tanyanya.
"Sayang kalau dikeluarin sekarang.." kataku meledek mengulangi ucapannya tadi.
Kami lalu tertawa bersama. Dan Pak Gun pun meredakan aksinya. Kini ia benar-benar memandikan aku. Persis seperti seorang bapak tengah memandikan anaknya.
Akhirnya, "Sudah.." katanya sambil melakukan guyuran yang terakhir. Diambilnya handuk dan dikeringkannya seluruh tubuhku. Kemudian ia sendiri mengguyur badannya beberapa kali untuk membersihkan cipratan air dan busa sabun, lalu gantian aku yang membantu mengeringkan tubuhnya. Selesai.
Pak Gun lalu menciumku. Aku membalasnya. Kami pun berciuman. Lumat dan lama. Kami masih telanjang, belum berpakaian. Sehingga tercium aroma segar yang muncul dari tubuh kami berdua.
"Har.., Bapak pingin mengisap punyamu.." bisiknya di telingaku.
Dengan senang hati aku segera melebarkan posisi kakiku begitu Pak Gun mengambil posisi jongkok tepat di tengahnya. Dan langsung melahap benda yang ada di hadapannya. Tampak sekali ia menikmati milikku. Seperti anak kecil mendapat mainan baru. Setiap kali selesai menjilat atau mengisap, dalam beberapa saat ia pasti akan mengamati dengan seksama benda bulat panjang yang terus digenggamnya erat-erat itu. Seolah ia belum pernah melihat sebelumnya. Sesekali wajahnya mendongak ke atas dan tersenyum ke arahku.
Aku mengira-ngira, sepertinya Pak Gun sudah lama, bahkan mungkin belum pernah melakukan oral seks dengan laki-laki. Tapi, kalau merasakan isapan dan sedotannya yang cukup kuat dan cukup bervariasi itu, tampaknya ia pernah melakukan itu sebelumnya.
Tapi buat apa mempertanyakan pengalaman dia. Aku terlalu kenikmatan untuk memikirkan itu. Sungguh, aku kenikmatan sekali. Sepertinya Pak Gun bisa memenuhi perlakuan-perlakuan yang kuinginkan tanpa aku memintanya. Bahkan ia melakukannya lebih dari yang kubayangkan. Sampai-sampai aku harus memegangi kepalanya yang agak botak itu. Bukan untuk memberinya dorongan untuk melakukan lebih jauh, tapi justru untuk sedikit menahan aksinya yang rada liar itu.
Ah! kini tangan kanannya malah menjalar ke daerah pantatku melalui celah paha yang memang sengaja kubuka lebar-lebar. Telapak tangannya lalu mengusap dan meremas lembut bongkahan di belakang tubuhku. Sesekali menjalar di sepanjang jalur di tengahnya, lalu turun hingga ke pangkal kantung pelirku. Merambat naik lagi, merayap sepanjang jalur, mengusap dan berakhir dengan remasan pada bukit pantatku. Dan setiap remasan dibarengi dengan isapan yang kuat di bagian depan. Punggungku sampai melengkung dan kepalaku beberapa kali harus terjulur merasakan desiran-desiran di bawah sana.
Rasanya, aku harus meralat kalimat 'sayang kalau dikeluarkan sekarang' yang tadi kuucapkan. Karena sekarang aku ingin sekali 'dikeluarkan' oleh mulut Pak Gun. Tapi aku tak perlu memintanya. Sebab dari perlakuan yang kurasakan, ia tampaknya memang berniat membuatku ejakulasi. Dan aku dengan senang hati menerimanya.
Segala cara ia lakukan. Banyak teknik dan 'perbendaharaan' permainan oral yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Karena rupanya ia tak sekedar bermain dengan mulut saja, tapi juga memaksimalkan seluruh fungsi jari dan telapak tangannya. Sasarannya pun tak hanya pada bagian 'pusat' saja, tapi juga menelusur hingga ke bukit di belakang sampai ke celah-celahnya, merambah hutan lebat dan semak-semak yang ada, serta terus mengusik gundukan yang menggantung, seolah dianggap tak bertuan..
Padahal sang tuannya kini tengah gelagapan, tak tahu harus berbuat apa lagi. Mata sang tuan sudah sedemikian sayu namun raut wajahnya mengencang merah. Entah kata-kata apa yang bisa melukiskan semua kenikmatan ini.
"Paakk.. Ohh, enakk.. Pakk.." hanya itu yang terus keluar dari mulutku.
Sementara orang yang dipanggil di bawah sana hanya menggeram-geram bagai singa yang tak mau diganggu ketika tengah menikmati daging mentah santapannya.
Ketika kepalanya asyik tenggelam di bawah kantung pelirku sementara tangan kanannya meremas-remas batang di bagian atasnya, ejakulasiku pun datang tak terbendung lagi. Aku berteriak, benar-benar berteriak. Barangkali kalau ada orang lewat, pasti bisa mendengar teriakanku. Pak Gun sampai berusaha menenangkanku,"Ssshh.. Ssshh.." bisiknya sambil tangannya memilin-milin sekujur batang kemaluanku seolah-olah ingin mengeluarkan seluruh isinya. Matanya bergantian memandang ke atas melihat ekspresi orgasmeku, lalu memandang ke bawah lagi mengamati proses ejakulasi yang sedang berlangsung di depan wajahnya.
Mulutku masih menguncup mendesis-desis, tapi sudah tak mengeluarkan teriakan lagi.
".. Ohh.. Ohh.." akhirnya aku bisa menarik nafas kepuasan dan bisa kembali memandang Pak Gunawan dengan jelas meskipun mataku masih sayu. Yang kupandang tersenyum 'tanpa dosa', dan aku pun tersenyum 'penuh dosa'.
"Enak?" tanyanya ketika ia sudah berdiri kembali menghadap ke arahku.
Aku hanya bisa mengangguk-angguk mengiyakan. Mataku belum sepenuhnya melek dan mulutku masih sedikit terbuka karena nafas yang belum teratur. Kulihat mulut Pak Gun agak belepotan dengan cairan, demikian juga dengan ujung kumisnya. Kuulurkan tanganku dan kuusap pelan-pelan. Lalu kusentuhkan bibirku ke sana. Dan yang punya bibir langsung menyambutnya dengan sebuah lumatan. Padahal deru nafasku belum sepenuhnya reda.
Tiba-tiba dengan tak sabar, tangan Pak Gun menggelandangku keluar kamar mandi.
"Sekarang kita ke kamar saja.." ajaknya sambil menarikku menuju ruang makan, melewati ruang tengah, menuju ke arah ruang tidur.
Hey?!, Sejak kapan dia tahu letak kamar tidurku?
Tamat