Pak Iskandar - 2

"Harus dipancing dulu, biar bangkit. Baru..," lanjutnya sambil mulai memegang miliknya lagi.
Aku menelan ludah, "Dipancing pake apa Pak?"
"Apa saja. Yang penting bisa bikin merangsang. Ha..ha.." tawanya terdengar agak canggung.
Jangan-jangan ia mulai nervous dengan perkembangan suasana yang tampaknya makin mengarah ini. Aku sendiri juga agak nervous dengan situasi ini. Tapi kulihat tangan Pak Is masih berada di bagian depan sarungnya, dan sesekali tanpa sadar mengelus-elus daerah itu.

"Coba..," aku nekat memberanikan diri mencoba mengulurkan tanganku untuk ikut memegang miliknya.
Sebenarnya aku agak ragu melakukan itu. Aku tidak mau dianggap kurang ajar. Tapi tampaknya semua sudah terlanjur. Dan ternyata Pak Is membiarkan saja ketika tanganku menyentuh bagian depan sarungnya. Yang pertama kurasakan adalah bagian itu terasa kenyal-kenyal padat dan belum bangun. Meski masih tertutup sarung, terasa sekali bonggolan pada bagian kepalanya. Tanganku lalu merambah ke bagian kantung zakarnya dan kuremas. Kulitnya tebal dan agak kasar. Mungkin banyak ditumbuhi bulu. Pak Is senyum-senyum saja melihat apa yang kuperbuat.

"Dibuka saja ya Pak..," suaraku terdengar agak bergetar.
Pak Iskandar lalu melepas sendiri simpul sarungnya, dan membiarkan tanganku menelusup masuk dan menarik bagian depannya ke bawah. Kini tampak jelas bulu lebat memenuhi sekeliling batang kemaluan dan buah zakarnya. Langsung kugenggam otot vital yang masih lemas itu. Kupijat dan kuurut-urut pelan, maju mundur. Kudengar Pak Is mulai gelisah dan beberapa kali nafasnya mendesah pelan.

"Enak?" tanyaku sambil menatapnya.
Yang kutanya mengangguk ringan sambil tersenyum. Tanganku lalu makin kuat meremas. Pak Is pun makin gelisah. Ia kemudian menyandarkan punggungnya seolah pasrah dengan segala perbuatanku. Matanya terpejam meresapi setiap gerakan tanganku di sepanjang batang kemaluannya.

Masih dalam posisi duduk bersandar, Pak Is kemudian pelan-pelan mengangkat pantatnya dan melepas seluruh sarungnya. Kini dapat kulihat kedua pahanya yang gempal itu penuh dengan bulu hingga ke bagian kakinya. Tanganku pun semakin bersemangat menyerangnya. Apalagi ia kemudian membuka pahanya lebar-lebar, seolah memintaku untuk berbuat lebih jauh. Segera kuarahkan tanganku ke buah kemaluannya dan jari-jariku pun mulai bermain di sana. Kurasakan daerah itu mulai basah oleh keringat, menyebarkan aroma yang khas dari tubuh seorang lelaki.

Kini miliknya sudah membesar dan makin lama makin mengeras. Ini pertama kali aku dapat melihat bagian tubuh paling rahasia dari laki-laki yang selama ini telah menarik perhatianku. Barangnya tergolong besar dengan bentuk yang bagus, terutama bagian kepalanya yang membengkak itu. Ingin rasanya mendaratkan lidahku ke sana. Tapi tampaknya saat ini aku tidak dapat gegabah untuk langsung berbuat lebih jauh. Harus hati-hati dan perlu penjajakan. Karena sejauh pengamatanku, Pak Is bukan golongan orang yang 'sakit'.

"Ke dalam saja yuk..!" tiba-tiba Pak Is menginterupsi kegiatanku.
"Wah, lampu makin hijau nih," pikirku.
Segera saja kami menuju ke kamar tidurnya. Sarungnya dibiarkan teronggok di bawah kursi ruang keluarga, dan ia berjalan ke arah kamar hanya memakai kaos oblong, sementara bagian bawah tubuhnya polos tanpa penutup apapun. Pantatnya yang padat itu tampak menyembul seksi dari bagian belakang oblongnya, sementara di bagian depan, benda bulat panjang miliknya tampak berayun-ayun ketika berjalan menuju kamar.

"Celanamu dibuka juga dong..," katanya setengah berbisik begitu kami sampai di dalam kamar.
Aku segera melepas ikat pinggang dan celana panjangku. Punyaku yang sudah tegang dari tadi langsung menyembul keluar dari celana dalam. Pak Is hanya tersenyum saja melihatnya.
"Gede juga punya kamu," ia berkomentar sambil menuju ke arahku.
Tangannya lalu menelusup masuk ke cawatku, menggenggam dan mencoba meremas-remas batang kemaluanku. Inilah sentuhan pertamanya, dan aku merasakan ada yang berbeda dari sentuhan-sentuhan yang selama ini pernah kurasakan. Pak Is sepertinya seorang 'The Great Toucher'.

"Kita saling bantu ya..," bisiknya seolah meminta ijin sambil tangannya pelan-pelan menarik celana dalamku ke bawah.
Aku tidak tahu kenapa Pak Is terus berbisik-bisik tiap mengatakan sesuatu. Barangkali ia was-was atau memang belum pernah melakukan ini sebelumnya.

Aku tidak menanggapi bisikan Pak Is tadi. Karena tanganku sibuk melepas baju kantorku hingga tinggal kaos singlet saja yang kukenakan. Aku mencoba melihat reaksinya, apakah ia 'setuju' jika aku mencopot semua pakaianku. Pak Is tampaknya tidak bereaksi apa-apa dengan ketelanjanganku, maka segera kutarik singletku ke atas dan kulepas ke lantai. Bersamaan dengan itu, Pak Is membetot milikku cukup keras, sampai aku tersentak. Ia malah tertawa berderai-derai. Segera kusambar barangnya dan gantian kubetot. Tapi ia mencoba menghindar dengan menarik pantatnya ke belakang. Tanganku terus mendesak dan tidak kulepas betotanku. Kami berdua seperti anak kecil yang sedang bercanda. Padahal kami adalah dua laki-laki dewasa, dan ini bukan main-main. Ini serius, permainan orang dewasa.

"Kaosnya nggak dibuka Pak?" kataku seperti mengingatkan dia.
"Emang mau main lebih jauh apa?" sahutnya skeptis sekaligus menantang, tapi kemudian ditariknya kaosnya ke atas dan melemparkannya ke lantai.
Kini aku dapat melihat keseluruhan tubuh lelaki ganteng ini. Tubuhnya memang tegap. Badannya agak gempal tapi padat. Bulu badannya yang tadi sempat kulihat tumbuh di bagian perut, ternyata juga tumbuh subur di sekitar dadanya.

"Banyak bulunya ya..," komentarku sambil mengusap-usap dada dan perutnya.
"Ya begitulah. Katanya sih masih ada turunan Arab-nya," jawabnya sambil ikut mengusapi sendiri bulu yang ada di dadanya.
Pantas, kalau diperhatikan dengan jeli, wajahnya Pak Is memang rada tipikal 'timur tengah', meskipun kesan itu tidak terlalu kuat. Mungkin ia turunan ke sekian dari darah Arab yang mengalir di tubuhnya. Tapi sisa-sisa gen itu masih ada, hidung mancung, garis alis yang tajam, kumisan dan.. ukuran barangnya yang termasuk ukuran kuda Arab, 'king size'.

"Pantas!" hanya itu yang keluar dari mulutku menanggapi ucapan Pak Is tadi.
"Apanya yang pantas?" tanyanya agak bingung.
"Pantas punya Bapak gede begini. Arab!" kataku sambil memilin-milin miliknya.
Pak Is sedikit tersentak ketika pilinanku menjadi sebuah remasan yang kuat.
"Punyamu juga lumayan kok," balasnya sambil gantian memilin-milin batang kemaluanku.
"Mau mulai sekarang..?" bisiknya kemudian sambil mulai mengocok-ngocok punyaku.
Uuhh, badanku langsung bergidik merasakan kocokan tangannya. Kurasakan ada yang berdesir-desir di bagian bawah tubuhku. Geli campur enak. Enak campur geli. Belum pernah aku onani dibantu seperti ini.

Sejenak aku terbuai dalam kenikmatan baru. Mataku terpejam merasakan ketrampilan tangan Pak Is dan meresapi setiap sentuhan yang tampaknya ia lakukan dengan penuh perhitungan, sehingga membuatku benar-benar hanyut oleh rasa nikmat. Sampai-sampai Pak Is mengingatkan aku untuk mengonaninya juga dengan mengarahkan tanganku ke pusat selangkangannya. Dalam posisi berdiri kami akhirnya saling kocok satu sama lain. Wajah Pak Is sudah mulai tegang serius. Matanya memicing menatapku. Mulutnya tampak mendesis-desis. Entah kegelian atau kenikmatan, atau kedua-duanya. Beberapa butir keringat sudah mulai muncul di keningnya. Aku sendiri mulai berpeluh merasakan permainan yang makin memanas ini.

Aku tidak mau bermaksud kurang ajar sebenarnya, tapi demi melihat tahap demi tahap peristiwa malam ini yang sama sekali di luar dugaanku, aku sempat berpikir untuk melakukannya hal yang lebih jauh terhadap Pak Is. Lagi pula semua sudah kepalang basah. Kalau pun ada penolakan darinya, toh tahapan seksual yang kami capai malam ini sudah cukup jauh untuk ukuran dua orang lelaki seperti kami.

Maka aku pun menyampaikan keinginanku padanya, "Pak Is mau diisap?" aku berbisik pelan ke telinganya.
Pak Is sempat memundurkan kepalanya karena kaget.
"Hah..? Nggak salah nih..?" katanya menatapku dengan tajam, tapi bibirnya menyungging senyum.
Gantian aku yang kaget. Ini penolakan atau..?
"Dik Tanto, memang.. mau..?" suara Pak Is terdengar hati-hati.
Aku mengangguk meyakinkannya.

Sejenak kami diam, berpandangan. Entah pikiran apa yang berkecamuk di benak Pak Is. Kalau aku sih nggak ada masalah. Bahkan kalaupun aku berhasil melakukannya, aku tidak mengharap ia mau membalas perbuatanku.
"Gimana..?" aku memecah kebengongannya.
Tangan kami kini sudah terlepas dari 'burung' masing-masing.
"Dik Tanto serius nih?"
Aku menjawabnya dengan meremas miliknya agak kuat.

Lalu tanpa basa basi lagi, aku berjongkok dan langsung melahap kepala kemaluannya. Kurasakan badan Pak Is agak tersentak dan kemudian mengejang. Apalagi ketika lumatanku hampir menelan seluruh batangnya. Tidak lama kemudian tangannya mulai memegangi kepala dan rambutku. Dan pegangan itu makin lama makin kuat seiring dengan kuatnya lumatanku pada meriam kecilnya. Kudengar berkali-kali Pak Is mendesah 'ahh'. Sesekali diiringi desisan seperti orang kepedasan. Aku semakin gencar memainkan mulut dan lidahku di sepanjang batang yang kini terasa makin tegang, pejal, panas.

Tiba-tiba Pak Is menarik bahuku ke atas. Sepertinya ia tidak kuat menghadapi permainan mulutku. Wajahnya tampak memerah dan nafasnya tidak beraturan.
"Aduh.., isapanmu..," Pak Is tidak tuntas bicaranya, tapi aku dapat menangkap bahwa ia terkesan sekali dengan perbuatanku di bawah tadi.
"Mau dilanjutkan?" aku menantang sambil mengusap mulutku yang basah oleh air liurku sendiri.
Tapi Pak Is menggeleng, "Nanti saja. Bapak nggak nyangka kalau isapanmu ternyata lebih enak," kata Pak Is tanpa menyebut dengan siapa aku dibandingkan.
Tapi tentu saja yang ia maksud adalah istrinya.

"Kita saling kocok saja ya..," kata Pak Is seperti memohon dan kemudian mulai meloco punyaku.
Aku ikuti saja kemauannya. Mungkin ia masih kagok dihisap oleh sesama lelaki, meskipun kenyataannya ia menikmatinya. Makin lama gerakan tangan dan jemari Pak Is makin trampil. Mungkin ia sudah terbiasa melakukannya. Dan tampaknya ia tahu persis bagian-bagian mana yang sensitif dari kemaluanku. Beberapa gerakan tanganku pun terpengaruh oleh gerakan tangannya. Aku seperti dipandu oleh Pak Is selama acara kocok-mengocok ini.

Dan akhirnya aku lah yang pertama kali 'muncrat'. Orgasmeku terasa sangat nikmat karena tangan Pak Is dengan pintarnya menciptakan gerakan-gerakan tertentu di sela-sela puncak kenikmatan itu. Aku harus mengakui, ia benar-benar trampil bermain tangan.

Beberapa saat kemudian, masih dalam pengaruh orgasme yang belum sepenuhnya reda, aku tanpa permisi lagi berjongkok di bawah selangkangan Pak Is dan langsung kulahap miliknya yang kini sudah sangat meradang. Kukerahkan segala cara yang kuanggap dapat membuatnya kelojotan. Dan memang tubuh Pak Is kurasakan mengejang berkali-kali. Suaranya sudah seperti orang gila yang meracau tidak jelas. Tampak jelas ia sangat keenakan dengan lumatan-lumatan mulutku.

Batangnya kurasakan semakin membesar saja, makin hangat dan makin keras. Sementara bagian kepalanya kemaluannya tampak semakin gelap dan mengkilap. Sepertinya gunung birahi sudah menampakkan tanda-tanda akan meledak dan memuntahkan laharnya. Dan aku harus menuntaskannya.

Maka ketika gerakan pinggul Pak Is makin tidak karuan, segera kutelusupkan mulut dan lidahku ke gundukan kantung buah zakarnya yang tebal. Pak Is pun kemudian berteriak tertahan, sebelum akhirnya air maninya menyemprot berkali-kali dan jatuh di atas wajahku yang masih tenggelam di bawah gundukan bola Adam miliknya. Sengaja kubenamkan dan kugesek-gesekkan hidung dan mulutku di pusat produksi sperma itu. Ia makin kelojotan.

Selama ejakulasi tadi, badan Pak Is tampak tersengal-sengal, sesekali mengejang dan menyentak-nyentak. Entah ada berapa semprotan tadi yang keluar. Yang jelas, dagu dan pipiku penuh berleleran cairan kental putih dengan aroma yang khas menyegarkan. Ketika semuanya tuntas, Pak Is segera menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dan rebah telentang di sana. Nafasnya tampak ngos-ngosan. Matanya terpejam, tapi bibirnya sedikit terbuka, mengeluarkan lenguhan kepuasan. Aku hanya dapat memandanginya dari tempatku berdiri.
"Lain kali aku dapat membuatmu lebih gila dari malam ini," pikirku.

Pengalaman malam itu merupakan awal dari hubunganku dengan Pak Iskandar. Tapi kami jarang melakukan di rumahnya, apalagi kalau ada keluarganya. Pak Is lebih sering main ke tempat kostku, dan kami melampiaskan hasrat seks di kamarku. Sejauh ini kami hanya sebatas saling meloco. Sementara oral seks kulakukan secara sepihak, karena Pak Is belum 'tega' melakukan itu padaku, baru dalam taraf mencium-cium milikku saja. Tapi bagiku itu sudah cukup. Mungkin perlu waktu dan pendekatan yang lebih intens lagi sebelum aku mengajak Pak Iskandar berbuat lebih jauh dan lebih gila lagi.

Tamat