Tamu dari Yogya - 4

Ketika aku mencoba membuka mata, tiba-tiba wajahnya menutupi wajahku dan sebuah sentuhan mengenai bibirku, membuatku kembali memejam. Sentuhan itu kemudian menjadi sebuah lumatan. Dan lumatan itu menjadi sebuah ciuman yang mengantarku pada hasrat birahi yang menuntut untuk dipenuhi. Apalagi ketika kurasakan tangan Om Wi' sudah menelusup masuk di sela karet celana dalamku. Dan mulai meremas-remas di sana.

Aku pun terpengaruh oleh ulahnya. Kujulurkan tanganku untuk melepas simpul sarungnya. Dan ketika tanganku merogoh ke dalam, dapat kurasakan bahwa Omku tidak memakai apa-apa lagi di balik sarungnya. Maka kuremas semua yang dapat kuremas. Kupilin-pilin layaknya mainan yang terbuat dari karet.

Tangan Om Wi' lalu mencoba merebahkan tubuhku dari pelukannya. Kemudian dengan tanpa meminta ijinku lagi, ditariknya celana dalamku ke bawah. Dan mulutnya langsung menyergap. Membuatku terhenyak karena tidak siap dengan serangannya itu. Sesaat kemudian aku hanya dapat merintih dan memegangi kepalanya yang tenggelam di bawah perutku. Tangan Om Wi' dengan sengaja mencengkeram kuat pangkal kemaluanku, sehingga membuat batang dan kepala penisku makin mengeras, dan menyebabkan bagian itu makin sensitif ketika dihisap.

Malam ini aku pasrah. Aku pasrah dengan apa yang akan dilakukan Om Wi' padaku. Beberapa penggalan ceritanya tadi siang mulai berloncatan kembali dalam ingatanku. Mulai dari pengalaman oral hingga anal seks. Akankah ia memberiku pengalaman itu malam ini?

Pertanyaanku terputus oleh sebuah benda lembut dan basah yang tiba-tiba menyerang tulang periniumku, bagian padat yang ada di bawah kantong pelir. Benda basah itu lalu meluncur dan menjilat-jilat ke bawah dan berakhir di celah bawah tubuhku. Rasa geli langsung menjalar ke seluruh syarafku. Membuat tubuhku melenting dan menimbulkan teriakan yang tidak dapat lagi kutahan. Air mataku sampai keluar merasakan kenikmatan yang tidak terperi ini. Oohh..!

Tangan Om Wi' berusaha menggapai ke atas untuk menutup mulutku agar tidak berteriak. Tapi aku malah melahap tangan itu dan kuhisap jari-jarinya dengan penuh nafsu. Dalam bayanganku aku terasa menghisap punya Om Wijoyo. Dan inilah yang kemudian memberiku inspirasi untuk berbuat lebih jauh padanya.

Kudorong kepala Om Wi' untuk menyudahi kegiatannya di bawah dan kemudian ia berguling lalu telentang di sampingku. Entah sejak kapan sarungnya mulai terlepas. Yang kutahu kini di hadapanku tubuhnya sudah telanjang total. Dan segera kugenggam batang kemaluannya yang tegang membesar itu. Benar-benar besar. Tanganku terasa penuh menggenggamnya. Lalu tanpa sungkan-sungkan lagi mulutku mulai melahap.

Inilah oral seks pertamaku! Not bad! Dan kini aku bagai seorang keponakan yang tengah menikmati es lilin yang diberikan oleh Omnya. Sekujur benda bulat panjang itu tidak sesenti pun luput dari hisapan dan lumatanku. Beberapa otot kulihat menyembul dan melingkar pada batang kemaluan itu. Membuatnya terlihat kokoh dan, tiba-tiba dalam satu gerakan cepat, Om Wi' memutar tubuhnya dan ah..! Ia mengarahkanku untuk bermain dalam posisi yang selama ini hanya dapat kunikmati dalam film porno, sixty nine! Sebuah posisi yang sangat sensual dalam permainan seks. Dan kini, malam ini aku menjalani permainan itu di bawah bimbingan Omku.

Dalam posisi merangkak, aku dapat dengan leluasa menikmati batang kemaluan Om Wi'. Bagian kepalanya yang membulat licin tampak semakin mengkilap oleh ludah dan air liurku yang entah sudah berapa kali terjilat ke sana. Lubang kecil di ujungnya merembes air bening, precum yang terasa asin dan agak lengket. Jumlahnya cukup banyak untuk ukuran precum. Barangkali ia sedang di puncak nafsunya. Atau barangkali karena kuatnya rangsangan mulut yang kuberikan.

Aku sendiri sesekali harus melepas kulumanku, karena konsentrasiku terganggu oleh mulut Om Wi' di bawah sana. Ia tidak hanya menelan batang kemaluanku, tapi juga menjilat dan mengulumi kedua 'telor'-ku, bergantian. Lidahnya yang tebal dan agak kasar itu terasa sekali geserannya, sesekali ditimpali dengan tusukan-tusukan tidak sengaja dari bulu kumisnya. Membuatku merinding karena rasa geli-nikmat yang ditimbulkannya.

Akhirnya konsentrasiku untuk oral seks benar-benar buyar ketika mulut dan lidah Om Wi' mulai merambah sela pantatku. Aku masih dalam posisi merangkak, tapi kepalaku sekarang mendongak demi merasakan apa yang dilakukan lidah dan mulutnya di bawah sana. Aku tidak dapat menceritakan di sini, betapa alat pelepasanku ternyata sangat sensitif dan menimbulkan rasa sangat nikmat bahkan oleh sentuhan lembut sebuah lidah. Aku tidak dapat membayangkan bila yang melakukan adalah sesuatu yang lebih dari sebuah lidah. Inilah 'pelajaran' ke sekian yang diajarkan Om Wi' dalam waktu tidak kurang dari dua puluh empat jam ini. Dan aku memastikan bahwa ia akan memberiku pelajaran baru berikutnya, dan kurasa dengan senang hati aku akan menerimanya.

Ketika dirasa aku sudah siap untuk menerima pelajaran berikutnya, Om Wi' dengan lembut membaringkan tubuhku telentang. Sejenak ia menatapku sebelum menyampaikan sebuah tawaran apakah aku mau 'dimasukinya'. Aku diam, tidak mengatakan apa-apa, tapi aku yakin, dengan sorot mataku Om Wi' dapat menangkap bahwa aku tidak menolak tawaran itu. Maka ia mulai melipat kakiku ke atas sehingga pahaku terkuak cukup lebar dan ia mengarahkan 'meriam' kecilnya ke sana.

"Kalau sakit, bilang..," katanya setengah berbisik sambil tangannya mulai menggelitik dan melumasi celah pantatku dengan air liurnya.
Dan ternyata, aku memang merasa kesakitan ketika Om Wi' melakukan penetrasi. Sebenarnya aku tadi masih sempat merasakan nikmatnya sentuhannya ketika bagian kepalanya mulai menembus. Namun ketika bagian batangnya mulai menelusup, aku merasakan rasa nyeri.
"Sakit Om..," bisikku hampir tidak terdengar.
Dan ia langsung menghentikan tusukannya.

Om Wi' lalu mencabut kepala kemaluannya dan langsung memelukku, seolah ingin meredakan rasa nyeri yang baru saja kurasakan.
"Ya sudah, kalau kamu belum siap. Nggak pa-pa.." sambil menciumi pipiku.
"Sorry, Om," aku merasa kasihan dengan keinginannya yang tidak terpenuhi.
"It's OK," sahutnya sambil menggulingkan badannya sehingga kini aku berada di atasnya.

Untuk beberapa saat kami terdiam saling pandang.
Lalu, "Hendro mau mencoba..?" tanyanya kemudian sambil membelai kepalaku.
Aku agak kurang paham dengan maksudnya. Tetapi ketika ia memberiku isyarat tertentu, aku mengerti apa yang ia tawarkan padaku, aku diminta untuk 'menidurinya'!

Dari cerita Om Wi' tadi siang, ia memang pernah punya pengalaman tidak hanya 'meniduri' pria, tetapi juga 'ditiduri'. Sebenarnya sulit bagiku membayangkan lelaki gagah seperti dia ditiduri oleh sesama lelaki. Apalagi kini ia meminta aku yang melakukannya.

"Gimana? Belum siap juga?" tanyanya lebih lanjut ketika melihatku diam tidak menjawab.
Aku tidak tahu apakah ini juga bagian dari 'permintaan tolong'-nya ataukah ia ingin memberiku pelajaran baru lainnya. Tapi bagaimana pun tawaran itu memang sulit untuk kutolak. Lebih-lebih dalam kondisi seperti malam ini yang penuh dengan atmosfir birahi. Dan aku toh memang sudah 'jatuh cinta' dengan Omku sendiri.

Tawaran Om Wi' tidak kujawab dengan kata-kata, tetapi dengan sebuah ciuman. Ia membalas. Dan kami pun lalu bergumul dengan penuh nafsu. Om Wi' berusaha untuk memposisikan dirinya untuk selalu berada di bawah. Kedua kakinya yang kokoh itu terus membelit dan menjepit pinggulku. Seolah ingin agar aku terus menindihnya.

Om Wi' lalu memintaku untuk merangsang celah pantatnya. Dan tanpa dikomando untuk kedua kalinya, aku menelusupkan jariku ke sana dan mulai merangsangnya dengan bantuan ludahku sendiri. Terasa celah itu memang lebih lentur meskipun aku tidak yakin apakah ukurannya cukup untuk 'ditembus'. Om Wi' sendiri tampaknya masih merasa perlu dipersiapkan, mengingat ia memang sudah lama tidak pernah melakukan itu.

"Pakai jari tengah..," ia terus menuntunku dengan setengah berbisik, sementara tangannya kulihat mulai mengocok-ngocok penisnya sendiri.
Nada suaranya menunjukkan kalau ia sedang menahan gejolak. Ia menahan napas ketika jari tengahku mulai menelusup memasuki liangnya. Mulutnya meringis ketika jariku mulai bergerak memutar dan menggelitik dinding liang yang lembut dan mulai melentur itu. Dalam posisi telentang dan kedua lutut menekuk, ia mulai menggerak-gerakkan pantatnya mengikuti arah gerak jari tengahku. Sementara kedua pahanya makin lama terpentang makin lebar.

Ada beberapa menit aku melakukan rangsangan, dan kemudian, "Masukin sekarang Hend..!" kalimatnya terdengar serak menahan birahi yang sudah memuncak.
Dan aku menuruti kemauannya dengan mulai mengambil posisi berlutut di tengah bentangan kakinya. Pelan-pelan kuangkat dan kudorong pahanya ke depan, sehingga celahnya tepat berada di depan moncong 'meriam'-ku. Lalu kuarahkan senjataku dan pelan-pelan aku mulai menekan. Om Wi' membalasnya dengan menaikkan pantatnya lebih tinggi, seolah tidak sabar ingin segera 'melahap'.

Sementara aku terus memberi tekanan dan kukombinasikan dengan gerakan mengulir, sehingga secara perlahan tapi pasti kepala kemaluanku mulai menembus gerbang kenikmatannya. Dan ia semakin bernafsu untuk membantu usahaku dengan menggoyangkan pinggulnya seolah ingin menyedot yang masih tersisa. Sejenak aku merasakan syaraf kepala kemaluanku berdesir-desir oleh jepitan liang yang lembut dan hangat. Mulut Om Wi' pun kulihat mulai mendengus menikmati tusukan perdana itu. Sejauh ini ia tidak menampakkan kesakitan. Maka aku pun lalu melanjutkan 'pengeboran'-ku dengan konsentrasi penuh.

Dan ketika sepertiga batangku sudah mulai menelusup masuk, Om Wi' mulai sedikit meringis kesakitan. Tetapi ia melarangku ketika aku ingin menariknya keluar.
"Terusshh..," desahnya menyemangatiku.
Dan aku kembali memberi tekanan. Kali ini agak kuat, sambil sesekali bergerak memutar, mengulir, dan akhirnya amblaslah seluruh batangku ke liang pelepasan milik lelaki yang selama ini kupanggil Om. Ringis kesakitan di mulutnya kini telah berubah menjadi senyum kepuasan, karena ia telah berhasil 'menelan' semua punyaku.

Ada beberapa saat kami diam tidak bergerak, menikmati penyatuan yang baru pertama kali terjadi. Kurasakan batang kemaluanku seperti digenggam dan dipijat-pijat oleh tangan sutra yang lembut dan hangat. Ada rasa geli yang amat sangat sehingga kerap membuat badanku bergidik. Apalagi Om Wi' pelan-pelan mulai menggerakkan otot cincinnya, membuat batangku terpijat-pijat keenakan. Ada beberapa saat kami saling mengatur napas masing-masing untuk meresapi semuanya sekaligus bersiap-siap melanjutkan penyatuan ini.

Aku tidak boleh diam dan harus segera merespon semua itu agar dapat mengatasi desiran-desiran yang terus muncul di sekitar selangkanganku. Maka aku pun mulai melakukan gerakan sebagaimana layaknya orang senggama. Dan Om Wi' tampak senang dengan apa yang kulakukan. Ia pun merespon tusukanku dengan goyangan pantatnya.

Sesekali ia mengerang tertahan bila tusukanku berubah menjadi sebuah hujaman. Dan makin lama hujaman itu makin kerap kulakukan, sehingga membuatnya menggeliat tidak terkendali. Aku pun berkali-kali menggelinjang dan merintih-rintih oleh kenikmatan anal seks yang baru pertama kali ini kulakukan.

Ayunan demi ayunan terus kulakukan di atas tubuh Om-ku. Aku tidak perduli lagi apakah ia kesakitan atau kenikmatan setiap kali pinggulku mengayun maju untuk menghujam liangnya. Yang kurasakan hanya aliran rasa enak yang mengumpul di pangkal kemaluanku yang makin lama jumlahnya makin banyak dan pada waktunya nanti pasti akan membludak dan berujung pada sebuah ledakan lahar panas.

Orgasmeku terpaksa harus datang terlalu cepat. Aku sudah tidak tahan lagi menahan semua desakan kenikmatan itu. Om Wi' lalu memintaku untuk mencabut batangku dan mengeluarkannya di luar. Ia pun segera menyambar milikku dan mengocoknya kuat-kuat, dan beberapa saat kemudian cairan putih kental menyembur dari ujung kemaluanku menyemprot dada dan perutnya banyak sekali. Aku hanya dapat berlutut dan menggeliat-geliat merasakan puncak birahi yang sangat nikmat ini, sebelum akhirnya aku tumbang di sisi tubuhnya.

Beberapa saat kemudian kulihat Om Wi' mulai melakukan onani dengan pelumas air maniku yang tadi tumpah di atas perutnya. Aku berusaha membantunya, tetapi ia menolak dan menyuruhku untuk merangsang lubang anusnya saja. Maka aku pun mulai menelusupkan jari tengahku ke sana dan merangsangnya habis-habisan. Sementara ia terus mengocok-ngocok sendiri batang kemaluannya yang terlihat makin kencang dan agak kemerahan.

Kepala kemaluannya tampak mengkilap menandakan banyaknya darah birahi yang mengalir ke sana. Menandakan ia sebentar lagi akan memuntahkan laharnya. Nampak sekali Om Wi' menikmati masturbasinya sambil aku merangsang liang anusnya. Entah berapa kali ia menyentak-nyentakkan pantatnya seolah menginginkan agar jariku menusuk lebih dalam lagi.

Dan akhirnya malam itu kamarku dipenuhi oleh rintihan kenikmatan Om Wi' ketika air maninya muncrat tidak terkendali. Tubuhnya menggeliat tidak karuan sambil memegangi tanganku yang jarinya masih terjepit di liang anusnya. Aku tidak tahu apakah ia memintaku mencabutnya atau justru menahannya untuk tetap tertancap di situ. Tapi apapun yang ia inginkan, aku terus mengulir-ulirkan jari tengahku di sana untuk menambah puncak rasa nikmatnya.

Keringat kini tidak hanya membasahi punggungnya saja, tetapi seluruh tubuh telanjangnya. Dan beberapa saat kemudian aku menindihnya dan memberinya sebuah ciuman yang dalam dan lama. Malam itu kami akhirnya terkapar tidur tidak ingat apa-apa lagi, tidak hirau dengan ranjang, sprei, bantal dan guling yang berserakan. Dan kami juga tidak perduli dengan membanjirnya keringat di tubuh kami, dan membiarkannya mengering dengan sendirinya.

Demikianlah, perkenalan pertama dengan dunia Om-ku, Om Wijoyo. Sepanjang liburannya di kotaku itulah kami selalu menyempatkan diri untuk bermesraan, dan beberapa kali bermain cinta. Dan ketika liburan Om Wi' berakhir, kami harus berpisah, meski untuk sementara waktu. Bagaimana pun ada rasa sedih ketika mengantarnya pulang. Bahkan mata Om Wi' sempat membasah waktu memelukku ketika akan naik ke pesawat. Dia sangat mengharapkan aku untuk main ke rumahnya di Yogya. Entah kapan aku dapat menuruti keinginannya yang kini juga telah menjadi harapanku, karena masih ada satu pelajaran lagi darinya yang aku belum lulus menjalaninya.

TAMAT