Sesama Pria
Monday, 18 January 2010
Sephia - 1
Aku terus mengendarai sepeda mortorku sambil mengingat wajahnya, tubuhnya dan aroma tubuhnya yang maskulin. Wajahnya yang tampan dengan bekas cukuran kumis dan jenggot yang membiru menambah keseksian wajahnya. Tubuhnya yang putih berukuran sedang dengan perut yang agak gendut semakin membuatku tidak tahan untuk segera bertemu dengannya malam ini. Kuingat tangannya begitu halus dan putih serta ditumbuhi bulu-bulu lebat, ketika pertama kali aku berkenalan dengannya.
Tidak terasa aku pun sampai di depan kostnya. Kuketok pintu gerbangnya, namun tidak ada jawaban. Kuketok lagi pintu gerbangnya, dan samar-samar kudengar langkah kaki menuju pintu gerbang. Tidak lama kemudian pintu gerbang pun terbuka. Nampak olehku seorang perempuan yang berusia sekitar 40 tahunan yang wajahnya cukup kukenal.
"Selamat malam Bu Wayan. Gede-nya ada, Bu..?" tanyaku sambil berharap-harap cemas.
"O, Nak Joko. Ada tuch barusan dia dateng trus sekarang lagi mandi. Masuk dulu Nak Joko. Sepeda motornya masukkan saja," jawabnya dengan logat Bali yang masih kental.
"Baik, Bu." jawabku sambil menuntun sepeda motorku dan kuparkir sepeda motorku di tempataku biasa parkir.
Tidak heran Bu Wayan kenal baik denganku, karena aku memang sering bertandang ke rumahnya. Kuliat Bu Wayan sudah tidak kelihatan lagi. Kututup pintu gerbang, kemudian kulangkahkan kakiku menuju kamar Gede. Kubuka pintu kamarnya dan samar-samar kucium aroma wangi khas Bali. Aku segera masuk dan duduk di pinggir dipan. Kupejamkan mataku sambil mnegingat apa yang telah kulakukan dengan Gede sebulan yang lalu. Suatu kenikmatan duniawi yang tidak akan pernah kulupakan. Kurebahkan tubuhku sambil tersenyum dan membiarkan anganku kembali ke masa silam.
Kubuka mataku ketika ada sesuatu yang menyentuh penisku yang menegang. Sontak aku bangun dan kulihat Gede duduk di sampingku. Kucium harum sabun mandi semerbak bercampur dengan wangi-wangian khas Bali. Seketika itu nafsuku menggelegak ketika kulihat Gede duduk di sampingku dengan hanya memakai handuk. Kutatap wajahnya dan kutatap dadanya yang berbulu lebat sampai di daerah pusarnya. Aku hanya dapat menelan ludah. Serta merta kuraih wajahnya dan kukecup lembut bibirnya. Kurasakan ia hendak melepaskan ciumanku. Aku pun akhirnya melepaskan kecupanku. Dalam hati aku heran sendiri.
"Tumben," katanya singkat.
"Iya nich, aku barusan dari Mall beli celana dalam, terus mampir kesini. Oh ya, gimana kabarnya..?" kataku berbasa basi.
"Ya.., begini ini seperti yang kamu liat sendiri," jawabnya.
Kurasakan ada yang lain dari ucapannya. Aku heran kok tidak seperti biasanya dia bersikap dingin padaku. Seolah-olah Gede yang sekarang ada di sampingku bukanlah Gede yang kukenal dulu. Gede yang hangat kini menjadi sedingin es di kutub utara. Ketika kutatap matanya, ada pancaran kesedihan yang mendalam.
Guratan di wajahnya menunjukkan betapa ia memendam kesedihan yang mendalam. Wajahnya kian nampak tua di usianya yang masih 31 tahun.
"Kamu sakit?" tanyaku memecah kebisuan.
"Enggak Ko. Aku baek-baek aja kok. Kamu nggak usah khawatir," jawabnya sambil menundukkan wajahnya.
"Tapi kok kamu lain sekali malam ini. Nggak suka aku main ke sini?"
"Bukan Ko. Bukan karena itu, kamu aja yang terlalu sensitif."
"Kalo emang bukan karena itu, kenapa lagi? Kamu ada masalah? Masalah kantor? Kalo emang ada masalah, cerita ke aku dong..! Siapa tau aku bisa bantu," kataku bertubi-tubi sebagai ungkapan rasa penasaranku.
"Enggak Ko. Aku nggak apa-apa kok. Suer." jawabnya sambil tersenyum.
Kudengar ada yang lain dari nada suaranya.
Kurengkuh pundaknya dan dia pun menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku dan Gede terdiam cukup lama. Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul 20.00 WITA, ketika suaraku memecah keheningan malam.
"Gede, aku pulang dulu ya..? Mungkin kamu butuh kesendirian untuk sekedar mnegobati kesedihanmu."
"Jangan Ko. Aku sangat membutuhkan dirimu malam ini. Kamu nginep aja di sini, ya?"
"Oke kalo emang itu maumu. Aku akan nginep di sini malam ini untukmu. Just for you," kataku sambil menjentik hidungnya dengan telunjukku. Kulhiat dia tersenyum. Senyum termanis dari seorang yang sangat kusayangi.
"Oke kalo gitu kamu ganti baju, trus kita keluar cari makan," kataku.
"Oke deh!" jawabnya dengan bersemangat.
Perlahan kulihat Gede melepas handuknya, sehingga tampaklah olehku sesosok tubuh yang hanya dibalut celana dalam. Aku hanya dapat memandangi tubuhnya dengan nafsu yang terpendam. Sesosok tubuh yang sekian lama mengisi hari-hari sepiku. Sesosok tubuh yang terkadang menjadi sahabatku, ayahku dan kekasihku.
Mulanya aku menginginkan Gede dapat menjadi pengganti sosok ayahku yang meninggalkanku ketika aku berusia 18 tahun. Sekian lama aku mencari sesorang yang dapat menggantikan ayahku, dan kini kudapatkan dari sosok seorang Gede. Tetapi ternyata dengan berjalannya sang waktu, aku menginginkan Gede lebih dari sekedar pengganti ayahku. Memang usiaku dengan Gede hanya terpaut 5 tahun, tetapi bagiku Gede adalah sosok yang jauh lebih dewasa dari usianya. Sesosok tubuh yang sangat kebapakan. Sifat kebapakan dan perhatiannya yang membuatku tidak mau terpisah jauh darinya. Seolah-olah ayahku yang telah tiada berinkarnasi menjadi Gede. Tetapi sekarang Gede bukanlah ayahku, dia adalah kekasihku.
Tiba-tiba Gede membuyarkan lamunanku.
"Eh.., jadi makan nggak..? Kalo nggak jadi aku makan kamu nanti, he..!"
"Ayo kalo berani." jawabku sambil cengengesan.
Kukejar dia, hendak kucubit tetapi dia sudah menjauh dan menstarter sepeda motornya. Tanpa berkata-kata lagi, aku pun langsung naik di belakangnya. Kupeluk erat tubuhnya, sementara ia mulai mempercepat laju sepeda motornya.
Kusandarkan kepalaku di atas pundaknya sambil menikmati aroma wangi tubuhnya. Kupejamkan mataku dan mulai kuhirup dalam-dalam wangi tubuhnya. Keharuman tubuhnya bercampur dengan kesegaran angin malam nan mempesona. Aku turun dari sepeda motor ketika sampai di pelataran sebuah restoran fast food di jantung kota. Restoran fast food yang merupakan restoran tempat pertama kali aku nge-date dengannya. Aku kemudian melangkah mengikuti Gede yang sudah duluan masuk. Gede-pun memesan makanan kesukaannya dan kesukaanku.
"Mbak, pesen paket nasi dua, ayamnya yang sayap aja Mbak..!"
"Apalagi Pak..?"
"Oh ya, french fries jumbo dua," katanya sambil menyodorkan uang seratus ribuan.
"Terima kasih, Pak."
Kuliat Gede berjalan menuju ke arahku, "Nich, aku pesenin makanan favorit kamu."
"Thank's ya." jawabku sambil berjalan menuju wastafel yang diikuti oleh Gede.
Akhirnya aku pun menyantap habis makanan yang tersedia di hadapanku.
Setelah mencuci tangan, aku dan Gede keluar dari restoran itu dan langsung pulang ke kost Gede. Arlojiku menunjukkan pukul 21.30 WITA ketika aku turun dari sepeda motor Gede dan melangkah menuju kamar Gede. Suasana rumah sudah mulai sepi, tetapi masih kulihat Nyoman, anaknya bapak kost, masih menonton TV. Aku dan dia saling melempar senyum. Rumah itu memang sepi karena hanya Gede saja yang kost di sana. Gede kemudian membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk. Aku tidak langsung masuk, tetapi aku duduk di teras kamar Gede sambil menyalakan sebatang rokok Marlboro kesukaanku. Aku bakar ujung rokok, dan mulai menghisapnya dalam-dalam, dan kemudian kuhembuskan asapnya keluar mulutku dengan pelan-pelan. Sungguh suatu kenikmatan yang tiada tara.
Aku terus menghisap batang rokokku sambil membiarkan anganku menerawang, memikirkan tentang sikap Gede yang tadi.
"Ko, kamu nggak tidur Ko..?" kata Gede dari dalam kamar.
"Bentar dulu, tanggung nich. Kuabisin rokok dulu," sahutku dari luar.
Tidak lama kemudian aku mematikan rokokku dan membuangnya ke dalam asbak yang berbentuk penis. Aku hanya dapat tersenyum setiap kali kulihat asbak itu.
Aku masuk dan mengunci pintu kamar. Kulihat Gede sudah ganti baju dan hanya bercelana pendek sedang sibuk mengerjakan tugas kantornya. Kurebahkan pantatku di pinggir ranjang sambil memeperhatikan Gede yang masih sibuk mengutak-atik angka. Aku dan Gede mengobrol dengan hangat. Perlahan kulihat Gede menghentikan aktivitasnya dan mulai melangkah ke arahku. Kemudian dia duduk di atas pahaku dan dengan serta merta merangkul leherku. Aku pun menyambutnya dengan hangat dan memeluk pinggangnya dengan erat. Dengan liar Gede pun melumat bibirku.
Kurasakan ia semakin kuat melumat-lumat bibirku. Dimainkannya lidahnya di rongga mulutku. Aku pun tidak mau kalah. Kukulum bibirnya dan kusedot lidahnya. Kurasakan penisnya menyodok-nyodok penisku yang sudah menegang. Aku dan Gede kian hanyut dalam permainan. Dia terus melumat bibirku sambil tangannya sibuk hendak melepas kaosku. Akhirnya kaosku pun terlepas dari tubuhku. Kurasakan bibir Gede kian nakal melumat bibirku. Bekas cukuran kumis dan jenggotnya yang kasar terasa menusuk-nusuk daerah sekitar bibirku dan membuatku kian terangsang. Kurasakan juga kian kuat ia menyedot lidahku, sampai-sampai aku kesulitan untuk bernafas.
Kemudian kulepaskan pagutannya, dan aku memindahkan sasaran ke telinganya. Kuendus telinganya, kujilat, kukulum. Kudengar ia mendesah lirih. Oughh.. Sasaranku berikutnya adalah lehernya. Kucium dan kujilat lehernya, dan kadang-kadang kusedot dan kugigit dengan mesra hingga meninggalkan noda merah. Dia hanya menggelinjang dan melenguh perlahan. Sasaran kupindahkan ke dadanya yang berbulu lebat dengan buah dada yang gempal. Kujilati putingnya dan kusedot sambil sesekali menggigitnya secara bergantian, kiri dan kanan. Dia semakin terangsang dan semakin kuat dia menggelinjang. Aku terus menjilat, melumat, meremas dan menggigit putingnya.
Bersambung . . . . .