Oase laut utara - Dan hujan semakin deras - 1

Hujan di luar makin deras. Tetes airnya menimpa-nimpa atap seng dan menimbulkan bunyi agak berisik. Kami berdua masih di atas sofa. Berpelukan. Di TV sedang ditayangkan acara berita. Tapi kami tak punya konsentrasi lagi untuk menyimaknya. Bahar menatapku, lalu mengajak masuk ke kamar tidur. Tubuhnya yang sudah setengah telanjang itu langsung menuju ke kamar tidur sedangkan aku siap-siap untuk menutup pintu dan jendela rumah, lalu mematikan TV.

Begitu masuk ke kamar, kudapati Bahar sudah tergolek, telanjang bulat di atas tempat tidur. Baju kaosnya telah tersampir di sandaran kursi dekat ranjang.

Lelaki ini, makin hari makin membuat hidupku bersemangat saja. Segala yang ada padanya mampu memberiku warna dan jiwa tambahan. Dan malam ini tampaknya ia tak sekedar ingin memberiku warna, tapi sebuah pelangi!

Aku mulai mencopoti pakaianku sendiri. Dan tak lama kemudian tubuhku pun sudah polos tanpa penutup apapun.

Kudekati Bahar dengan perasaan berdebar. Mata kami terus bertatapan. Dia mencoba tersenyum padaku. Tapi aku terlalu tegang untuk membalasnya. Dalam jarak dekat baru kusadari bahwa di tangan kanannya sudah tergenggam sebotol kecil baby oil..

Baby oil? O.. o.. o.. Aku sadar sekarang, rupanya inilah rencana Bahar yang sejak sore tadi membuatku penasaran.

".. Kemarin, waktu mampir ke kota, aku sempatkan untuk membeli ini.." tanpa kutanya dia menjelaskan sambil menunjukkan botol kecil berwarna bening itu.

"Buat apa?" aku masih ingin berpura-pura. Padahal sudah bisa kutebak untuk apa baby oil itu akan digunakan.

Bahar tampaknya tak peduli lagi dengan kepura-puraanku. Tanpa banyak bicara dibukanya tutup botol kecil itu lalu ditariknya tanganku dan beberapa tetes minyak bening itu dituangkan ke telapakku.

Bahar mengambil posisi duduk bersandar bantal, melipat kedua lututnya ke atas dan membuka kedua pahanya lebar-lebar, seperti yang dilakukannya di sofa tadi.

Begitu ia merasa siap dengan posisinya, Bahar lalu memintaku untuk mengusapkan baby oil itu ke sekitar selangkangan terutama di sela-sela pantatnya.

Tanpa banyak bicara lagi, kuturuti permintaannya. Seketika kulit di daerah itu jadi basah dan licin berlumuran minyak yang sebenarnya untuk bayi itu. Ya, tapi malam ini ia memang akan jadi bayi bagiku. Bayi besar.

Selanjutnya aku tak perlu lagi diajari bagaimana harus berbuat. Tanganku langsung mengusap-usap dan mengaktifkan jari tengahku dengan gerakan menggelitik secara perlahan, menelusup masuk ke celahnya, menciptakan gerakan-gerakan yang membuatnya makin gelisah, dan makin gelisah.

Sementara aku asyik bermain jari, tanpa setahuku Bahar menuangkan baby oil ke tangannya sendiri dan kemudian mengusapkannya ke sekujur batang dan kepala kemaluanku yang sudah mulai membesar.

Aku tersentak ketika tangannya yang basah penuh minyak itu tiba-tiba menyergap dan menggenggam. Tampaknya Bahar juga ingin membuat dan menyiapkan agar 'rudal'-ku dapat melakukan tugas tempurnya dengan baik.

Maka dimulailah acara saling rangsang untuk menciptakan letupan-letupan api birahi di antara kami. Gerakan tangannya tak kalah cekatannya dibandingkan gerakan jariku. Tangan itu bergerak pelan tapi mantap, membuatku terinspirasi untuk teknik gerakan yang sama.

Beberapa saat kemudian, akibat stimulasi yang kuberikan serta teknik-teknik rangsangan lainnya yang dipandu oleh Bahar sendiri, kurasakan celah di belakang tubuhnya mulai melentur. Namun tampaknya itu belum cukup untuk memulai permainan.

Kata Bahar, perlu sedikit suasana yang agak rileks agar kondisinya bisa segera 'siap pakai'. Dia sesekali meminta tanganku untuk berhenti, baru kemudian memintaku untuk beraksi lagi, lalu rehat sejenak, beraksi lagi, mengulir lagi, begitu seterusnya sampai celah miliknya terasa makin longgar dan makin lentur.

"Sekarang Mas.." desah Bahar memberi sinyal padaku.

Aku memandangnya serius, ingin meyakinkan kesiapannya. Ia mengangguk pelan. Aku menarik nafas.

Beberapa bulan yang lalu, ketika kami sedang menikmati indahnya masa-masa sebagai pasangan baru, Bahar seringkali menunjukkan dan mengenalkan padaku berbagai variasi perilaku seks yang pernah dialaminya, termasuk seks anal. Namun saat itu kegiatan kami hanya sebatas permintaan untuk saling merangsang bagian belakang tubuh yang sensitif itu saja. Belum pernah melangkah jauh hingga penetrasi.

Memang, lambat laun timbul juga keinginanku untuk menikmati hal tersebut. Dan tampaknya Bahar-lah yang lebih menginginkan bahwa hal itu suatu saat dapat dilakukan oleh kami berdua. Namun sejauh ini ia tak pernah memaksakan keinginan itu. Hingga malam ini..

Permohonan Bahar untuk segera memulai aku turuti dengan mulai mengatur posisinya agar lebih enak dan leluasa. Aku sendiri mengambil posisi setengah merangkak di atas tubuhnya. Kupegang bagian belakang lututnya lalu kupentang dan kudorong kedua pahanya sehingga hampir menyentuh dadanya.

Dengan kondisi demikian, pantat Bahar tampak lebih bebas menghadap ke atas. Pelan-pelan aku mulai menyiapkan diriku dengan menggosok dan mengocok-ngocok batang kemaluanku yang masih belepotan baby oil itu.

Dan, beberapa detik kemudian pelan-pelan kubimbing otot pejalku ke celah miliknya..

Kulihat Bahar memejamkan mata, menanti saat-saat mendebarkan buat dirinya. Sesaat kemudian matanya kembali terbuka ketika bagian kepala kemaluanku mulai menyentuh. Senti demi senti aku berusaha menekan ke bawah dan memberi dorongan pada ujung batangku yang membulat itu agar makin terselip masuk. Bahar mengimbanginya dengan menekan pantatnya ke atas, seolah ingin menyambut kehadiran organ tubuhku yang paling disukainya itu.

Gerakan Bahar memang cukup membantuku. Mulut kecil miliknya itu sedikit demi sedikit mulai melahap pisang ambon hingga masuk sampai seperempat bagian. Rasa geli campur nikmat langsung menyergapku. Tampaknya demikian juga yang dirasakan olehnya. Ooohh inikah! inikah kenikmatan yang sering disinggung Bahar setiap kali kami punya kesempatan bermain-main dengan tubuh bagian belakang kami?

Belum apa-apa, ia sudah mulai bereaksi dengan lenguhannya yang khas. Kedua pahanya pun terbuka makin lebar, seolah ingin mempersilakan dan memberiku jalan untuk masuk lebih dalam lagi.

Kubalas sambutannya itu dengan menekan pinggulku lebih ke bawah, kali ini agak kuat, kusertai dengan gerakan sedikit mengulir. Sehingga aku tampak seperti seorang pekerja tambang sedang mengebor sesuatu.

Demi merasakan apa yang kuperbuat, Bahar terus memberiku semangat melalui lenguhan-lenguhannya yang terus keluar dari mulutnya. Kadang-kadang terdengar erangan yang tersendat, seperti tengah menahan sesuatu yang sulit untuk dikendalikannya.

"Sakit Bang?" tanyaku was-was mendengar lenguhan itu.

Tapi dia menggeleng dan malah menatapku sambil tersenyum dan menyeringai yang menurutku lebih tampak seperti ekspresi kenikmatan.

"Punya Mas.. Gesekannya terasa.. Banget.." kata Bahar dengan suara tersendat-sendat karena luapan birahinya.

Sesekali pinggulnya diangkat ke atas seperti tak sabar ingin melahap seluruh batang kemaluanku yang kini sudah setengah bagian terjepit di sela pantatnya.

Permainan ini memang dia yang minta dan dia juga yang merencanakan. Dan tampaknya ini sudah lama menjadi obsesinya. Katanya suatu ketika, ia ingin hubungan kami benar-benar menjadi sebuah hubungan yang sempurna. Waktu itu aku tak terlalu bisa menangkap maksudnya. Persepsiku hanya pada suatu hubungan yang mendalam saja. Ternyata sejauh ini ia punya harapan yang lebih jauh dari yang sebenarnya ingin aku harapkan juga.

Maka, malam ini kubiarkan dia mengatur semua keinginannya. Kuturuti kemauannya. Aku akan pasrah dan bergerak bagai mesin saja buatnya. Bukan berarti aku tak menginginkannya. Aku pun sangat surprise dengan semua ini. Karena inilah pengalamanku pertama kali, dengan orang yang aku sukai lagi. Atmosfir kamar tidur pun saat itu jadi terasa lain. Sangat, sangat romantis..

Seperti inikah suasana pengantin baru di malam pertamanya? Ya, malam ini akhirnya tak ubahnya seperti sebuah malam pertama pengantin. Malam pertama untukku, malam pertama dariku untuk dia, malam pertama untuk kami berdua.

Aku penuhi semua permintaan Bahar termasuk untuk beraksi lebih keras lagi agar seluruhnya masuk. Kuoleskan lagi baby oil di sekitar batang yang belum tertancap dan juga di sekitar celah miliknya. Aku lalu menggenjot lagi pelan-pelan, menekan sambil sedikit memutar-mutar. Desiran demi desiran pun mulai merayap di sekujur syaraf kemaluanku.

Pelan-pelan bagian tubuhku yang paling sensitif itu melaju masuk ke dalam. Aku mulai merasakan sebuah liang yang lembut dan licin, tapi cukup kuat, menjepit. Kemaluanku terasa berdenyut-denyut kenikmatan. Sepertinya Bahar punya mulut di bawah sana. Badanku sampai bergidik. Oh, aku kuatir tak mampu menahan orgasmeku yang mulai terasa mendesak-desak di pangkal batangku.

Kutarik nafas panjang dan kuhentikan sejenak serangan rudalku. Bahar tampaknya mengerti. Dia menatapku lagi sambil tersenyum. Wajahnya masih memerah, tapi ada rasa puas yang terpancar. Ia merasa sejauh ini permainan kami lancar-lancar saja.

Tangannya yang sedari tadi terentang ke atas, kini diarahkan ketubuhku dan kemudian meremas kedua bongkahan dadaku yang penuh keringat. Tangannya lalu mengusap-usap bulu dada yang tumbuh di sekitarnya. Sesekali puting susuku dicubitnya dengan gemas, sehingga membuat aku kegelian dan puting itu jadi memerah dan menegang keras karenanya.

Beberapa kali badanku sampai meliuk karena cubitan-cubitannya. Namun ternyata itu hanya siasat Bahar saja. Ketika ia sekali lagi mencubitku dengan cukup kuat, kontan gerakan liukanku jadi makin menyentak dan akibatnya pinggulku terdorong ke depan, sehingga.. Menyebabkan batang kemaluanku ikut maju dan menusuk lebih dalam! Akkhh!

Tak sadar kami mengerang secara bersamaan karena datangnya rasa nikmat yang ditimbulkan oleh gerakan reflek itu. Spontan pinggulku membuat gerakan maju mundur, sehingga makin lama makin amblaslah seluruh batang kemaluanku sampai ke pangkalnya. Meluncur-luncur licin sepanjang dinding yang lembut dan hangat. Kemaluanku bagai berada dalam genggaman tangan sutra yang mengelus dan terus mengelus-elus. Membuat aliran darah ke batang penisku makin deras. Mengeraskan syaraf-syaraf yang ada. Dan membuat nafas menderu-deru dari hidung dan mulut kami.

Bersambung . . . .