Sesama Pria
Saturday, 14 November 2009
Antara dua rasa
Kesibukanku bertambah, seiring bertambah dinamisnya Jogja yang sedang membangun. Meski design rancang jembatan yang kupresentasikan disetujui, namun harus ada perubahan sehingga membuat kerjaanku menumpuk. Lama berkutat dengan program autocad yang pelik, membuatku stress dan mag-ku kambuh. Awalnya aku tidak enak hati atas saran istriku untuk pergi ke dokter keluarga. Jam lima pagi? Aah pastinya akan sangat menganggu dokter. Tapi perih di lambungku tidak kunjung pergi. Aku tidak mau tambah parah, dan lagi jam enam pagi aku sudah harus ke lokasi untuk pengecekan awal.
Bel rumah di kawasan elit di kawasan Jogja Tengah itu sedikit ragu kupencet, berharap penghuninya segera keluar. Kubayangkan wajah tidak ramah akan menyambutku, namun ternyata tidak. Meski semula sempat masam, namun senyum itu segera mengembang, begitu tahu yang datang aku. Mungkin karena kami langganan setianya, dan sudah tidak bisa dihitung lagi seberapa sering dia ke tempat kami.
"Maaf, Pak Dokter. Mag saya kambuh!" sambil memegangi lambungku bergegas aku duduk di kamar periksanya lalu dipersilahkan aku untuk berbaring. Tapi sial, karena keburu, aku kesrimpet langkahku sendiri. Aku terhuyung dan menabrak meja kerja dokter. Aku berteriak mengaduh karena tepat di tengah selakangangku menabrak persis pojok meja itu. Aku berteriak kesakitan saat rasa sakit itu menghajar daerah selakanganku, sambil kupegang erat penisku dan buah pelirku. Rasa perih di lambungku justru berganti ke buah pelirku. Aku sempoyongan.
"Hati-hati, Dik!" sang dokter menangkap tubuhku. Dipapahnya aku, lalu dibaringkan. Aku terus mengaduh, bahkan semakin keras. Kupegangi erat daerah selakanganku. Kulihat sang dokter itu sedikit gugup mencari sesuatu. Dia membuka celana jeansku setelah sebelumnya berkali berucap maaf. Rasa malu tidak sempat muncul. Aku percaya dia, apalagi sakit itu sungguh menyiksaku. Bahkan ketika dia mencopot celana dalamku, aku tidak peduli. Aku hanya ingin agar rasa itu hilang, dan benar, setelah disemprot obat, rasa itu berangsur hilang.
Aku mengangguk padanya tanda terima kasih. Ketika kusadari bahwa tangan sang dokter itu masih disibukkan dengan penisku, entah kenapa rasa malu mulai muncul. Aku mencoba menutupi penisku dengan tanganku, tapi sang dokter segera menepisnya.
"Maaf, aku harus mengeceknya apakah ada yang bagian yang parah. Jangan sepelekan, karena bisa fatal. Mungkin saja impoten!" begitu kilah sang dokter. Aku mengangguk, karena aku tidak ingin jadi lelaki loyo.
Berkali disentilnya penisku, ditarik-tarik, dan sesekali diremasnya. Rambut kemaluanku yang sekiranya mau kucukur saat mandi pagi dan akhirnya tidak jadi itu dijambaknya pelan. Semula memang tidak terasa apa-apa, namun begitu pengaruh obat itu memudar, rasa sakit itu kembali datang, meski tidak sesakit sebelumnya. Aku mengaduh, sambil kelejotan.
"Masih sakit, Pak. Ap.., apakah ada yang parah?"
"Aku tidak yakin, Dik. Aku bisa coba sesuatu, namun sedikit ekstrim, itupun kalau kau berkenan" Aku menangguk.
"Aku harus pastikan apakah penismu bereaksi dengan baik atau tidak, agar aku bisa kasih jawaban pasti"
Rasa nyeri dipenisku berangsur hilang, ketika dengan tekun tangan sang dokter memainkan penisku. Jelly yang diusapkan ke penisku menjadikan tangan dokter itu berubah bak pagutan liar pembangkit rasa. Aku memejamkan mata mencoba menghadirkan sosok istriku, berharap secepatnya tahu apakah penisku bisa bereaksi, namun tidak ada reaksi. Kupejamkan mataku rapat, mencoba menghadirkan Sharon Stone yang semalam kulihat filmnya, dan akhirnya ada reaksi. Aku berucap sukur berkali, namun kemudian aku malah mulai terbius dengan permainan sang dokter, dan tanpa sadar aku mendesah, masih dengan terpejam. Mulutku membuka tanpa kusadari. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan lumatan di bibirku. Kubuka mataku, dan spontan kutepiskan kepala sang dokter.
Sang dokter itu menggeleng berkali. Aku bingung, namun lalu kubiarkan dia. Aku anggap itu bagian dari terapinya. Lumatan bibir dokter itu begitu sahdu. Kumis yang membentang di atas bibirnya menghadirkan sensasi aneh. Apalagi saat lumatan itu berubah menjadi pagutan. Disedotnya berkali lidahku. Lidahnya sangat liar membelit lidahku. Aku kehabisan nafas. Namun semakin aku tercekat, dia semakin mempercepat lumatannya. Kurasakan tangannya telah berhasil membangkitkan penisku. Aku mulai mengerang dalam dekapan mulutnya. Kurasakan aksi dokter sudah bukan terapi lagi, ketika dengan ganas, dibukanya bajuku. Kenapa harus telanjang untuk itu? Apalagi kemudian dokter itu melepas baju dan celananya. Aku tambah bingung.
Kembali bibir itu melumatku. Nafasnya yang panas kurasakan di telingaku ketika dia membisikkan sesuatu.
"Aah, sudah lama kuimpikan ini. Aku jatuh cinta sejak pandangan pertama, ketika pertama kali aku datang ke tempatmu, sayang!" Aku terdiam, pantasan dulu kurasakan aneh ketika dia merawatku dan mata itu, gaya bahasa itu, mengingatkanku pada si bule di ceritaku yang berjudul Dompet.
"Sejak menyuntik pantatmu, aku sangat terobsesi denganmu, dan betapa mobilku telah menjadi saksi, bagaimana ganasnya kurancap penisku ketika dalam perjalanan pulang dari tempatmu dulu, honey. Ahh!" bisikan itu sangat indah kudengar, dan semakin membangkitkan gairahku terdalamku. Mulut sang dokter itu beralih ke penisku. Dilumatnya penisku bak es krim rasa vanila. Berkali dijilati, bahkan aku sendiri yang punya merasa tidak enak hati. Namun seolah dokter itu begitu menikmatinya. Gigitan-gigitan nakal di penisku sungguh menghadirkan rasa nikmat. Aku mendesah pelan, dan panjang. Aku terbang ke awang-awang.
Sensasi begitu melambungkanku ketika tangan dokter itu membimbing penisku ke anusnya. Apalagi saat anus sang dokter mulai menjepit penisku, aku tercekat, tanda merasakan nikmat. Aku memaksa penisku agar semakin masuk. Kudengar desahan kecil dari mulutnya, saat mulai kumainkan penisku di lubang anusnya. Aku sungguh terbuai entah kemana, seolah aku sedang terbang dilambungkan rasa yang sungguh tiada kan kulupa. Aku mendesah semakin cepat, ketika kurasakan ada sesuatu yang menyentak, berharap keluar dari penisku. Kucabut penisku, dan kudekap erat tubuh sang dokter. Tubuh itu semakin membelitku, dan eranganku memuncak, ketika akhirnya spermaku muncrat membasahi perutnya. Tak segera dilepaskannya tubuhku, dan aku tahu dia sedang pula berjuang menghadirkan rasa nikmat.
Kubantu gairah dokter itu dengan membisikkan kata-kata sambil kugigit telinganya. Gigitanku beralih ke puting itu saat kurasakan tangan dokter itu semakin cepat merancap penisnya. Dia mengerang panjang, ketika cairan panas kurasakan menyembur di perutku. KAmi berpagutan erat, dan lama. Berkali dia berucap terima kasih, entah untuk apa. Kubiarkan apapun yang dia lakuan padaku, ketika aku kelelahan. Bahkan mungkin aku ketiduran sejenak, karena ketika kurasakan penisku kembali tegang karena aksi sang dokter itu, aku terbangun. Aku mengelak pelan, takut menyinggungya. Dia menggeleng, namun untuk kali ini tidak, karena aku benar-benar kecapekan.
Aku tersentak, tersadar sudah jam tujuh lewat. Aku bergegas pamit karena sudah sangat telat. Dokter yang masih membujang di usia yang sudah kepala empat itu mendekapku erat, menciumiku bahkan saat aku memakai baju. Dia berkali memohon aku agar tetap tinggal, sambil tetap mendekap aku erat. Namun aku tidak bisa. Akhirnya dia menangguk, tanda setuju, namun dia memintaku agar datang lagi atau ketemuan lagi. Aku mengangguk, meski aku tidak yakin, hanya untuk menyakinkannya agar melepaskan dekapannya. Berkali berucap terima kasih, entah untuk apa. Diciumnya bibirku sekali lagi, namun kini aneh kurasakan. Aku menepisnya dengan halus, kemudian pergi. Ahh, pengalaman yang entah untuk keberapa kali bergumul dengan lelaki. Jujur, aku juga menikmati semua yang kualami, dan aku tidak mengerti, kenapa.
Aku merasa di antara dua rasa. Antara menikmati dan mencoba menerima apapun yang telah terjadi denganku, dan rasa tidak ingin menghianati kepercayaan istriku, keluargaku dan smeua yang telah menganggap aku patas dihirmati.
Aku masih belum yakin, bahwa ini kali terakhir aku bergumul dengan lelaki, karena perjalananku mungkin masih sangat panjang, dan kau tidak ingin membebaninya dengan segala tetek bengek yang justru menghambat langkahku. Aku akan sangat berterima kasih, apapun yang akan aku alami kelak, dan akan kujadikan warna lain dalam hidupku. AKu yakin tidak semua orang. Tidak semua laki-laki bisa mendapatkan pengalaman yang pernah aku dapatkan. Aku pantas bersukur, meski terkadang sangat perih terasa kala kejadian itu terjadi di saat aku tidak menginginkannya.
Tamat