Sesama Pria
Saturday, 28 November 2009
Ketiak laki-laki setengah abad
Impian tentang ketiak laki-laki setengah limapuluh tahun itulah yang kemudian mengisi benakku jika birahi datang. Di sisi lain, aku masih takut setengah mati jika gairah misterius ini kuungkapkan. Akibatnya, selama ini aku hanya bisa mencari celah dengan cara melirik dan berharap bisa melihat ketiak itu pada setiap laki-laki yang memenuhi kriteria itu, berumuran 50-an tahun dan gemuk.
Aku simpan gairahku ini sejak aku merasa memiliki naluri seks, benar-benar penantian panjang yang tidak hanya menyiksa, melainkan juga menghadirkan frustasi bagiku. Selama itu pula keberanianku seperti lenyap ditelan bumi. Aku terus mencari cara agar bisa menemukan laki-laki dengan ketiak seperti yang aku impikan tetapi sekaligus menyimpan mimpi rahasia ini dari siapapun. Hingga suatu hari mimpi itu menjadi kenyataan.
Kisah itu terjadi ketika dimasa pertengahan kuliahku di sebuah perguruan tinggi bergengsi di Jawa. Aku memang salah satu yang beruntung bisa kuliah di sana.
Saat itu aku dan kawan-kawan mahasiswaku sedang menggarap sebuah kegiatan sosial yakni menggelar aksi pasar murah di sebuah daerah yang belum lama lalu tertimpa bencana banjir. Nah, sebagai anggota panitia inti aku ketiban tugas menghadap Rektor universitasku untuk meminta ijin dan bantuan sarana seperti kendaraan pengangkut dan berbagai peralatan yang kami butuhkan di lokasi nanti.
Ini bukan tugas yang mudah karena kesibukan rektor yang tidak pernah selesai itu. Tetapi aku juga bersemangat karena aku sungguh menyukai tampang rektorku ini. Meski tidak pernah bertatap muka secara dekat, tetapi dari berbagai kesempatan aku telah mengamati, rektorku adalah seorang pria setengah umur yang bagiku masuk daftar 'sangat seksi'. Siapa tahu aku bisa melihat sekilas ketiaknya ketika berbicara denganku nanti, pikirku berharap.
Masih pagi ketika kakiku menginjakkan kaki di lantai tiga gedung rektorat, tempat ruangan rektor berada. Dari sekretarisnya aku tahu, aku mendapat urutan ketiga menghadap rektorku. Okey, aku lalu merebahkan pantatku di ruang tunggu. Setelah sekitar 30 menit menunggu, perempuan yang tampak anggun di usianya yang aku taksir sekitar 35 tahun itu memanggilku dan menyuruhku masuk.
Aku segera masuk ke ruangan ber-AC. Pak Rektor masih sibuk menandatangani menandatangani beberapa berkas.
"Silakan duduk, Mas," katanya tanpa memandangku.
Tampaknya, mahasiswa memang selalu tidak menarik baginya. Tetapi beberapa menit kemudian aku sadar aku telah keliru menilai rektorku.
"Apa yang bisa saya Bantu nih," katanya santai, sembari bangkit dari kursi putarnya.
Dadaku makin bergemuruh. Beberapa menit kemudian, sosok yang kukagumi itu sudah berada hanya sekitar 50 centimeter di depanku. Sungguh membuatku terkesiap.
Hari itu beliau mengenakan kemeja putih lengan panjang, berdasi dan bawahan gelap. Wajahnya kebapakan, dadanya menyembul indah dibalik kemeja putihnya, membangun komposisi yang begitu eksotik berpadu dengan perutnya yang meski menyembul tetapi tidak cukup gemuk. Lengannya besar dan tampak kuat dengan bulu-bulu di lengannya yang sedikit terbuka.
"Okey, apa yang bisa bapak bantu? Bapak sedang tidak begitu sehat nih?" katanya kemudian. Pemakaian kata 'bapak' sungguh membuat andrenalinku mengalir cepat.
"Ini, Pak, saya mau meminta universitas membantu kami menggelar acara pasar murah.." aku lalu berceloteh menerangkan konsep acara dan rangkaian kegiatan yang bakal kami gelar, mirip salesman produk elektronik.
"Wah, bagus itu, membantu warga yang baru saja tertimpa musibah. Baik, apa yang dibutuhkan?" katanya.
Plong, langkah besar telah kucapai. Aku lalu menyodorkan proposal dan beliau segera menandatanganinya setelah membaca sekilas.
"Saya setuju, saya dukung," katanya.
Gol, tugasku telah mencapai targetnya. Tiba-tiba aku lihat dia memijit-mjit leher dengan tangan kirinya, menampakkan ada yang salah pada urat leher. Kesempatanku, pikirku setengah ngelantur.
"Ee, bapak sedang tak enak badan, apa yang sakit, Pak?" tanyaku setengah gemetar.
Kali ini otakku sudah dipenuhi fantasi mengenai orang ini. Aku berusaha memancingnya.
"Ini loh, leher saya kaku sekali, sepertinya bapak salah tidur nih," katanya sembari mengelus leher kirinya.
"Ngg, boleh saya pijit, Pak, siapa tahu akan membantu," kataku begitu saja.
Aku merasa sudah lepas kendali ketika mengucap kalimat itu.
"Oya, boleh, wah itu akan sangat membantu," katanya.
Kuletakkan map berisi proposal dan sejurus kemudian kedua tanganku sudah memijit leher ektorku yang gagah. Persentuhan kulit tanganku dan kulit leher Pak Rektor segera membuat hormon seks-ku tersentak.
"Wah, bapak kurang tidur, nih," kataku berusaha memecah sunyi.
"Iya nih, soalnya beberapa malam ini lembur baca laporan. Wah ini enak sekali," kata Pak Rektor sembari melepas dasinya.
Aku terkesiap karena Pak Rektor lalu membuka beberapa kancing kemejanya. Tanganku segera bergerak. Urutan jariku tidak lagi hanya terpusat pada sisi leher kirinya, melainkan bergerak ke arah depan dan pundak. Pak Rektor menengadah, kulihat matanya menutup, tanda merasakan keenakan. Tanganku lalu menuju ke dada atasnya.
"Wah, enak sekali ini, terus ya. Jangan kawatir, saya sudah bilang sekretaris saya tidak mau menerima tamu sampai siang nanti," katanya.
"Ngg, lebih baik kemeja Bapak dibuka ya," kataku setengah berharap.
Di luar dugaan, tanpa menunggu waktu Rektorku segera membuka kemeja. Kini tampaklah tubuh bapak yang seksi ini. Tanganku segera menyambutnya, jari-jariku bergerak ke arah dada, kembali ke leher, lalu ke dada dan semakin mendekat ke putingnya. Tiba-tiba kedua tanganku diraihnya dan aku diminta bergerak hingga berhadapan dengan wajah rektor.
"Mau nggak adik mencium Bapak?" katanya.
Meski kaget, tetapi aku tidak boleh menyiakan kesempatan. Tanpa menunggu waktu, aku segera mendaratkan hidungku ke pipinya, lalu ke bibir Pak rektor. Ahh, luar biasa. Aku merasa sekujur tubuhku seperti kena setrum tegangan tinggi. Aku terus menciumi wajahnya, lalu leher, lalu pundaknya, lalu dadanya. Erangan lirih bergumam dari mulut rektorku. Kini dia tersandar pasrah di kursi panjangnya.
"Pak, saya ingin mencium ketiak Bapak," kataku meminta.
"Lakukan, lakukan sekarang," kata Pak Rektor.
Sekejab kemudian aku daratkan mulutku pada bagian atas lengannya. Aku tidak mau terburu-buru. Sembari mengangkat lengan kirinya dengan tangan kananku, aku terus menciumi lengan Rektorku, semakin dekat ke arah ketiak. Hingga lengan itu benar-benar terbuka.
Kulihat bulu-bulu itu merekah, wow, luar biasa. Darahku terkesiap. Pertama-tama aku ciumi ketiak itu dengan hidungku. Bau parfum lembut menyapa indra pembauanku, bercampur dengan bau keringat laki-laki.
"Oh, Pak Rektor. Anda seksi sekali," kataku.
Kini lidahku menyapu ketiaknya, membuat bulu-bulu rimbun itu basah. Sementara tangan kiriku terus meremas ketiak kirinya.
"Oughh.. Oughh.. Terus, Nak, terus, Bapak senang.. Ougghh, nikmat sekali," desah Rektorku tercinta itu.
Mmm, tanpa basa-basi lagi, aku lepas ikat pinggangnya, lalu kait celana, lalu aku pelorotkan. Wow, batang itu telah sekeras batu. Aku lalu melepas celana dalam rektorku. "Lakukan, nak, lakukan, bapak sungguh menikmatinya," kata dia.
Kami berlumat bibir kembali, lalu aku jilati lehernya, lalu dadanya. Aku sedot puting susunya hingga Pak rektor mengaduh. Lidahku terus bergerak, kini ketiak kanannya aku jilati, sementara tangan kananku meremas-remas bulu ketiak kirinya. Lalu sebalinya, aku lumat ketiak kirinya dengan lidahku hingga mengkilap-kilap karena basah. Lalu perutnya aku jilati, bulu halus di sana membuat kontolku sangat kencang karena birahi.
Kini wajahku berada diantara dua kakinya. Kontol itu aku ciumi, jembutnya aku jilati. Perutnya yang membuncit seksi aku remas. Sementara tangan kiriku terus meremasi ketiak kanannya.
"Ouugghh.. Pakk, oughh.. Pak, bapak benar-benar seksi, ketiak bapak ougghh..," kataku sebelum mulutku telah dipenuhi batang kontolnya yang sudah sangat keras.
"Lakukan sekarang, lakukan sekarang.. Oughh," kata Rektorku sembari bangkir dan membalikkan badannya.
Kini pantatnya ada di depanku. Kedua tangannya memegangi sandaran kursi. Aku lalu melepas celanaku. Lalu menggosok-gosokkannya pada pantat rektorku yang putih bersih. Tanganku terus sibuk meremasi ketiak dan dadanya yang gembul. Sejurus kemudian kontolku sudah masuk ke lubang itu.
"Arrhhgg.. Aghh. Aggrrhh.." teriak rektorku lirih.
"Oooh, nikmat sekali, ayo digenjot, Bapak sudah tidak tahan nihh," katanya.
Aku langsung menekan kontolku. Beberapa menit kemudian aku sudah mengentot rektorku yangs eksi. Aku menggenjotnya, tarik-tekan-tarik-tekan.. Ougghh.. luar biasa nikmat.
"Ougghh.. Pak.. Saya sudah tidak tahan.. Ougghh..," kataku dan air maniku sudah siap menyembur.
Tanganku kananku segera menyusup mencari ketiaknya, tangan kiriku meraih puting kirinya dan.
"Aaargghh.. Pak, saya keluar.. Ougghh," desahku sembari mengejangkan badanku menikmati sejuta pesona puncak ini.
"Ouugghh.. " rektorku balas mendesah.
Sesaat kemudian rektorku membalikkan badan. Kontolnya yang sudah sangat tegang seperti roket yang siap diluncurkan. Wajahku ditariknya, dibenamkan untuk menjilati kontolnya yang terus dikocoknya. Aku jilati kontol itu sementara tangan kananku terus mengocoknya.
"Aagrrghh.. Ougghh.. Enak sekali.. Uuugghh.. " jeritnya.
Gerakan mengocok itu semakin kukencangkan, sementara mulutku terus melumat pucuk kontolnya yang merah membara. Tangan kiriku meremas-remas puting kirinya.
"Ouugghh.. Bapak mau keluar, awas, bapak mau keluarr," katanya sembari mengejang.
Benar saja, beberapa detik kemudian cairan putih menyembur ke wajahku, memuncrati seluruh wajahku hingga kuyup.
"Ouugghh.. Nikmaat.. Nikmaat sekali..," ujar Pak rektor di akhir ereksinya.
Kami lalu berangkulan. Aku masih menciumi dada dan ketiaknya. Lalu kami berciuman.
"Bapak, jangan dicukur rambut ketiaknya ya, oh, bapak ini seksi sekali," kataku.
"Tenang saja, ketiak bapak milikmu, bapak tidak akan mencukurnya. Bapak senang kamu menciuminya," katanya sembari mendaratkan ciuman ke mulut. Kami berpagutan lagi.
"Jangan bilang siapapun. Ini hanya antara kita, okey. Bapak senang sama kamu, kami juga sangat seksi dan pandai menyenangkan saya. Bapak akan calling kamu nanti untuk ketemu, okey," kata Rektorku.
Aku tertawa senang lalu menghadiahinya dengan ciuman di bibir. Setelah kembali berpakaian dan membersihkan bekas pertempuran kami, aku meminta pamit kembali ke kampus. Aku melangkah keluar ruang rektorku seperti melayang. Dia tidak hanya seorang rektor, melainkan laki-laki impian yang tiba-tiba hadir begitu saja, menjawab semua mimpi, membuatnya nyata dan mengajakku terbang ke langit tujuh.
Sejak itu aku dan rektorku sering membuat janji bertemu di hotel atau tempat tertentu. Setiap kali bertemu, ketiaknya adalah bagian yang paling aku gemari. Aku ciumi, jilati dan terus jilati. Kami sungguh menikmati semua itu sebagai dua orang pecinta. Hingga aku lulus dan kemudian bekerja di kota yang lain.
Sejak itu pula kami jarang bertemu, rektorku sendiri ditarik ke Jakarta dan menjadi pejabat di Kementrian Pendidikan usai habis masa menjadi rektor yang hanya lima tahun itu. Lalu semuanya kembali seperti semula, dan aku terus memimpikan laki-laki berumur setengah abad atau lebih, gemuk dan ketiak yang lebat.
Hingga kisah ini aku tulis, mimpi itu terus menggema dalam ruang pikir dan setiap desah nafasku. Aku selalu berharap dan berharap, aku akan bertemu laki-laki setengah abad atau lebih tua, gemuk dan ketiak yang rimbun. Aku menginginkannya, terus memimpikkannya, hingga kini. Seandainya aku bertemu dengan laki-laki seperti itu, akan aku beri semuanya, semuanya.
Tamat