Dompet

Tidak biasanya bis kota pulang kandang lebih awal. Kalau biasanya jam 7 malam masih beroperasi, hari ini, sudah sejam sejak aku keluar dari kantorku di Jl. KHA Dahlan, bis yang kutunggu tak kunjung juga datang. Mungkin imbas dari maraknya demo, yang memacetkan kompleks Kantor Pos, yang kebetulan menjadi sentra setiap demo, sekecil apapun itu. Padahal hari itu juga aku ada acara mujahadahan di Pondok Krapyak, dan kebetulan aku sie acaranya. Segala rasa berkecamuk, demi membayangkan betapa bingungnya teman-teman panitia. Sedangkan handphone andalanku, sudah ngedrop baterenya sejak jam 3 sore tadi, biasa, karena memang hari Sabtu tidak begitu banyak yang harus kukerjakan di kantor, sehingga hiburan alternatife yaa, main game HP.

Becak. Yah, tiba-tiba pikiran itu datang, ketika di depanku, becak sedang menurunkan penumpang. Persis di depan Radio Arma Sebelas, tempat kumenunggu bis. Entah kenapa, padahal kalau dalam keadaan biasa, tidak mungkin aku memakai jasa becak, yang tentunya, akan menghabiskan gaji sehariku, atau bahkan lebih, karena pondok Krapyak memang jauh dari Malioboro. Biasanya aku akan menelephone teman suruh menjemput dan mengganti uang bensinnya, meski tidak jarang ditolak uang itu.

"Silahkan!", kata yang logatnya tidak pas dilafadzkan oleh yang empunya suara, karena memang penumpang itu bule.

"Terima kasih", dengan senyum kubalas keramahan yang ditawarkannya. Tanpa banyak basa-basi, kupinta abang becak menggenjot becaknya. Sempat kutoleh bule itu, hmm, masih memandangku, aneh. Dari aku mencoba transaksi becak, tidak lama setelah dia turun, pandangannya aneh. Ah, sudahlah, pikirku, karena kemudian aku disibukkan dengan pikiranku ke acara mujahadahan, selama dalam perjalanan.

Sesampainya di kosku yang dekat pondok, tergesa kuraih dompet, kuberi ongkos pada abang becak. Ada yang aneh, tapi aku sendiri tidak tahu apa. Aku mandi, dan ke pondok. Urusan makan nanti, pikirku. Setelah acara setengah jalan, rasa lapar menterorku. Karena tragedi yang kualami sorenya, maka tugasku sudah dialihkan pada teman lain. Ah, aku bisa santai. Aku bisa bebas keluar nyari makan, pikirku.

Tersentak aku, ketika kubuka dompet saat mau membayar. Dompet itu tebal, banyak isinya, dengan berbagai kartu identitas, kartu kredit. Ah, bayanganku langsung ke sosok bule sore itu. Oh, mungkin aku tadi juga bayar becak pake duit di dompet ini, gumanku. Mungkinkah jatuh di jok becak itu, dan tanpa sadar aku mengambilnya? Rasa bersalah berkecamuk. Rasa kasihan, terlebih. Aku yakin bapak itu bergantung banyak dengan dompet ini. Aku lihat isinya lebih teliti. Hmm, dia nginap di Natour Garuda. Yup, aku harus memberi tahu, kalau dompetnya aman, di tanganku.

"Bisa disambungkan dengan Mr. Daniel Smith?", pintaku kepada pihak hotel. "Sangat penting!", sambungku.

"Dompet yaa?", suara di seberang menyahut. Bayangan kebingunan bule itu menghantuiku. Kalau saja terjadi padaku, wuihh, aku tidak tahu lagi. Di negeri orang tanpa identitas, tanpa apapun.

"Selamat malam, di sini Smith!", suara itu membuyarkan kengerianku.

"Bisa bahasa Indonesia?", suara pertamaku.

"Tidak begitu lancar", jawab bule itu. Nampak benar kebinaran di suaranya.

"Aku yang tadi sore anda sapa, ketika turun dari becak. Kuharap Mister masih ingat", kuterdiam sesaat.

"Yaa, yaa. Hmm". Jawaban di seberang menyakinkanku kalau bule itu sudah ingat aku.

Aku bercerita panjang lebar. Sampai aku harus ganti beberapa uang yang tanpa sengaja aku pakai. Sesekali kami terlibat dalam tawa yang familiar.

"Ok, aku ke sana malam ini! Tunggu di seberang jalan yaa!, soalnya aku tidak biasa masuk hotel besar. Gagap", pintaku dan disetujui olehnya.

Dengan motor pinjaman, kupacu cepat. Kuperlambat, ketika sudah mendekati Hotel. Ahh, itu dia. Aku masih ingat sosok itu. Sigap, umur 53-an 179, 67, tidak begitu jangkung untuk ukuran dia.

"Ini, coba periksa isinya!", masih di atas motor, aku menyerahkan dompet itu.

"Yup, persis", senyum itu kembali mendesirkan hatiku. Aneh.

"Ok, aku balik dulu yaa!", sambil kustarter motorku.

"Tunggu!, siapa namamu?, aku harus beri sesuatu ke kamu, aku harus ngobrol banyak ke kamu.. ", berondongan kata-kata itu, mematikan motorku lagi.

"Hafiedz. Namaku Hafiedz. Tidak usah!, anda tidak harus memberi apapun ke aku!, tapi kalau mau ngobrol, aku bisa".

"Deal. Di mana? Kamarku? Di resto? Tempatmu?", demi melihat rasa berterima kasihnya justru aku jadi kikuk.

"Ke kosku tidak mungkin. Hmm, ok ke kamar anda saja, tapi janji, nanti aku diantar, sampai sini lagi. Aku gagap", keluguanku justru mendatangkan tawa renyahnya. Ah, tawa itu, kembali mendesirkanku. Aneh.

"Terima kasih", uluran tangannya kusambut, sesaat setelah kami sampai di kamarnya. Aku ditariknya, didekap erat. Diciuminya keningku berkali-kali. Bahkan sesekali ciuman itu mendarat di pipiku. Aku tersentak, kaget, kejadian itu demikian cepatnya, karena belum sempat aku duduk, untuk bersiap ngobrol. Aku berontak, mencoba melepaskannya. Ingin kuteriak, tapi mulutku didekapnya.

"Tenang! Tenang!, aku tidak bermaksud jahat", kulihat di wajah itu ketakutan, rasa bersalah, dan berbagai rasa, aku yakin berkecamuk. Aku masih belum bisa berteriak, Karena mulutku masih di sumbatnya.

"Maafkan, aku. Jangan teriak, aku tidak jahat. Aku hanya ingin berterima kasih atas kebaikan yang kau berikan. Dan mungkin caraku salah buatmu", berkali wajah itu mencoba menyakinkanku. Aku mengangguk, tanda setuju. Perlahan tangannya di lepaskan dari mulutku.

"Maafkan aku. Aku begitu excited, atas apa yang terjadi hari ini. Kau begitu baik", berkali-kali kata maaf itu terlontar dari mulutnya.

"OK, aku mengerti. Kalau ngomong dulu, mungkin akan lain", aku mencoba menetralkan suasana.

"Benar? Jadi sekarang aku boleh memelukmu, menciummu, untuk sekedar mengucapkan terima kasihku, mencoba menyambutmu sebagai bagian dari hidupku?", pintanya penuh semangat.

"Tidak. Tidak harus begitu. Cukup dengan kata-kata saja", sambungku cepat.

"Oh, .. Please. Sekali saja. Kau orang baik pertama yang pernah kutemukan di negeri ini. Please!", rengekan itu seolah menghilangkan kesan bahwa dia sudah 53 tahun.

"Ok. Sekali saja!", akhirnya aku tidak kuat juga melihat wajah itu.

Masih berdiri, dia dekap erat tubuhku. Dielusnya rambutku berkali, dicium kembali keningku, tapi kini berbeda, ada perasaan aneh hinggap di dadaku. Rasa haus figure seorang ayah yang sejak lahir tidak pernah kurasakan, hadir. Aku, mulai membalas dekapannya. Rasa sayangnya, elusan lembutnya, bisikan syahdunya, membangkitkan imaginasiku. Aku terhanyut. Aku mulai merasakan kehangatan asing yang selama ini aku impikan. Kesadaranku melayang, sehingga ciuman yang kemudian mendarat dibibirku, kubalas, tidak kalah lembutnya. Kurasakan ada yang menusuk nusuk di daerah sensitifku, tapi aku tidak pedulikan.

Air mataku meleleh. Bahagia?, entahlah. Rindukan sayang seorang ayah? Rindu sosok kakak?, atau aku merasa menemukan sosok yang bisa mengisi keseharianku yang sebatang kara? Air mata itu semakin deras, membasahi wajahnya. Dia tersentak.

"Maaf, maafkan aku", kembali dia merasa bersalah atas air mataku yang tidak bisa kubendung.

"Tidak apa-apa. Mister. Aku bahagia. Aku serasa menemukan sosok yang telah lama kurindukan. Justru aku yang harus minta maaf, telah melibatkan hatiku".

"Tidak apa-apa, teman. Tidak apa-apa. Kau bisa memperlakukan aku sesukamu. Aku siap, selalu siap", bisikan dibelakang telingan itu kembali melambungkanku. Apalagi elusan syahdunya.

Dia semakin gencar menyerangku, kami terjatuh di lantai. Ciuman mesranya berubah menjadi sangar. Tapi anehnya aku justru mengimbanginya. Bahkan, kurasakan bukan lagi rasa sayang, tapi gairah. Birahi, dan terangsang ketika aku melihat bf, kini kurasakan. Apalagi kemudian dengan cekatan dia membuka bajuku. Putingku yang tidak seberapa dipermainkan. Dijilatinya habis, aku mulai mengerang, seirama dengan irama kulumannya, gigitannya. Tangannya, meraih barang yang selama ini tidak pernah dijamah kecuali olehku. Aku terhenyak, tetapi birahi telah mengalahkanku. Dia semakin nekat melambungkan gairahku.

Bahkan ketika dia membuka paksa celanaku, kubiarkan. Tidak berapa lama aku telah telanjang bulat. Penisku yang tegak setegak tegaknya dipermainkan dengan tangannya. Desahan suaranya ketika berkali mencoba mempermainkan penisku, terasa membangkitkan sesuatu yang benar-benar asing. Keterkejutanku memuncak manakala, tiba-tiba dijilatinya penisku, bak es krim rasa vanilla kesukaan cewekku. Aku mengerang, mendesis. Tapi justru semakin membuat dia kesetanan. Dia buka sendiri bajunya, kulihat penisnya telah memerah, keras dan tegak. Dan tentunya besar. Dan kini sama-sama telanjang. Aku tidak habis pikir, tapi tetap saja semakin tertarik untuk mengikuti permainannya gilanya.

Aku dipapahnya ke kasur. Dijilatinya anusku, lama. Bahkan aku sendiri jijik membayangkannya. Tapi birahi yang memuncak, telah mengalahkan logikaku. Fantasiku semakin melayang. Rasa nikmat naik ke ubun-ubun. Aku semakin mengerang. Bahkan kini, aku sendiri yang memapah mulutnya agar mengulum penisku. Dengan sigap disambarnya penisku. Aku semakin memuncak. Keinginnan untuk merasakan seberapa nikmat penis ini dikulum, terlaksanan sudah, meski bukan dengan cewekku. Kujambak rambutnya, kubenamkan, seirama kenikmatan yang tersendat mengalir ke ubun-ubun.

Sempat kulirik, betapa wajah bule itu begitu menikmati permainan, yang bagiku merupakan pengalaman pertama. Tangannya berkali meremas putingku yang tidak seberapa besar. Sedang tangan satunya, memainkan penisnya yang tidak kalah tegangnya.

Kenikmatan yang bertubi, pada akhirnya tidak bisa kubendung. Pada cabutan mulut terakhirnya, kutekan erat kepalanya. Ada yang menyentak ingin keluar dari penisku. Dan diraungan terakhirku, kusemburkan dengan kuat maniku di mulutnya,

"Oughh.. Oughh..", pengalaman pertama membuatku terasa melayang di negeri penuh kenikmatan. Sesuatu yang muncrat dari penisku telah membawaku ke pengalam asing yang sungguh tidak terkira nikmatnya.

Dia semakin merancap penisnya. Aku terpejam kenikmatan. Aku tahu, inilah kali pertama maniku muncrat banyak, dan kental. Namun aku tidak pernah tahu seberapa banyak dan kentalnya, karena mulut itu masih mengulum penisku, bahkan, di telannya tak bersisa. Dan djilatinya sisa sisa maniku. Di akhir kenikmatanku, kurasakan sesuatu menyembur penisku.

"Oughh.. Oughh,", demikian desisnya, ketika penisnya juga memancarkan maninya persis ke penisku.

Dia tersenyum. Mendekapku erat, bertubi menciumiku. Kami sama-sama kelelahan. Lama kami masih saling berpagutan ganas, meski nafsu itu tidak lagi berkobar.

"Maafkan aku Mister", rintihanku, membuyarkan dekapan itu.

"Maaf untuk apa?", dia kaget.

"Aku telah menjadikan Mister.., uihh. Maafkan aku Mister". Aku hanya bisa sesenggukan.

"Tidak apa-apa. Bahkan kalau kau menginginkan lagi, aku selalu siap", wajah itu kembali berbinar, kembali aku diciumnya mesra.

Dan sejak hari itu, aku seolah menemukan kehidupanku yang 180 derajat berbalik. Mister, telah menjadi malaikatku. Aku dibelikannya motor, sebagai tanda terima kasih. Meski aku menolak pada awalnya, namun dia tidak mau ditolak, untuk sekedar memberiku ucapan terima kasih, entah untuk apa. Bahkan, kalau mau aku mau diajak ke negerinya, untuk diperkerjakan di perusahaan bapaknya. Tapi aku tahu diri, bahwa akan lebih baik mengawali sesuatu di negeri sendiri.

Dan kini, 6 tahun sesudah hari itu, motor dengan plat AB 2311 LG, masih terawat baik. Yah, 23 November, kami jadikan nomor plat motor yang dibelikannya. Bahkan, akhirnya rumah berlantai dua, bercat biru, warna kesukaannya, masih asri terawat di kawasan Kota Baru. Dan dia masih sering mengunjungi rumah pemberiannya. Datang, menjenguk aku dan istriku. Anakku yang dianggapnya cucunya sendiri, dan tentunya, memberikan pengalaman lain kepadaku, yang entah sampai kapan berakhir, karena ternyata aku juga sangat menikmatinya.

Tamat