1st Spring - 2

Selama seminggu Fung tidak menghubungiku. Dan aku juga tidak mencoba untuk menghubunginya. Dan pada saat itu, sepi sekali rasanya. Seperti menjadi seseorang yang mempunyai ekstra waktu luang, tetapi tidak tahu bagaimana melewatkannya.

HP-ku berbunyi. Bunyi yang khas yang hanya kuatur untuk seorang saja. Fung yang menelepon! Aku bergegas mengangkatnya, "Halo?"

"Kuang?" ia memanggil nama chinese-ku.
"Ntar malam sempet gak?"
"Kenapa?"
"Mm.." Fung sepertinya ragu untuk berbicara.
"Datang ke rumahku, ya?!" ajaknya.
"Kita makan di rumahku." Lalu ia menambahkan cepat-cepat, "Kayak biasa."
"Ok." aku berusaha terdengar biasa. Hatiku sangat gembira.
"Kayak biasa. Sampe ntar malam."

Malamnya aku datang ke apartemennya. Sosoknya muncul dibalik pintu yang dibukakan olehnya. Ya Tuhan! Tampan sekali. Walaupun saat ini dia hanya memakai pakaian santainya saat berada dirumahnya sendiri, tapi tetap saja, bagiku dia adalah yang tertampan yang pernah kulihat.

Aku langsung masuk seperti biasanya. Walaupun ada sedikit perasaan kaku setelah kejadian terakhir yang kemarin, kehangatan sikapnya meluluhkan kekakuanku. Aku mengikutinya kedapur. Dia masih sedang memasak saat aku datang.

"Mo ku bantu, ngga?" tanyaku saat kami hanya terdiam dan tidak berbicara.
"Eh," katanya tidak memfokuskan pendengarannya padaku.
"Boleh."

Dan saat-saat berikutnya merupakan saat yang mungkin menjadi salah satu yang tidak akan terlupakan olehku. Memasak bersamanya sangat menyenangkan, dan entah kenapa bisa seperti itu bagiku. Sentuhan kecil saat kami bersentuhan secara tidak sengaja, mengalirkan kejutan-kejutan listrik kecil keseluruh tubuhku yang membuat perasaanku hangat, dan bahkan mulai terbakar. Kecanggunganku sepenuhnya hilang saat kami berdua duduk dan menyantap makan malam kami. Kami kembali berbicara. Sepertinya aku tidak merasa perlu untuk mendengarkan permintaan maafnya mengenai kejadian yang kemarin, dan sepertinya Fung juga merasa tidak perlu meminta maaf karena aku sudah memaafkannya.

"Kamu mandi duluan deh. Bisa pake bajuku dulu." katanya kepadaku. Saat aku datang ke tempatnya, aku sendiri baru pulang kerja.
"Aku mo beresin semuanya dulu, ok?"
"Ok." aku tersenyum.
"Thanks."

Aku langsung menuju kamar mandinya yang berada didalam kamarnya. Maklumlah, namanya juga apartemen bujangan. Sedikit lebih praktis jika kamar mandinya ada didalam kamar. Air hangatnya sudah dinyalakan, sehingga saat meluncur ketubuhku dari showernya, serasa memijatku dengan lembut. Perhatian kecilnya yang seperti ini membuatku membuncah bahagia.

Aku tidak menyadari saat Fung juga memasuki kamar mandi dalam keadaan telanjang. Aku menjerit perlahan saat ia mendekapku dengan erat.

"Sstt..!" desisnya menenangkan.
"Aku menginginkanmu."

Dan betapa kalimat sesederhana itu langsung membuatku luluh tak berdaya. Aku menurut saja saat dia membalikkan tubuhku dan memberikanku ciuman. Rasanya seksi sekali, bercinta dengannya dibawah siraman air. Tubuhnya yang basah berkilauan tertimpa cahaya lampu. Aku meletakkan kedua tanganku pada dadanya, dan membalas ciumannya. Dia menginginkanku, dan aku akan memberikan diriku, semuanya tanpa ragu, karena dia menginginkannya.

Tangannya menjalar keseluruh tubuhku. Membelai, memijat, menyentuh seringan kepakan sayap kupu-kupu dan pada saat yang mulut dan lidahnya juga mencumbu seolah aku ini adalah air yang haus. Aku memejamkan mata dan menengadahkan kepalau keatas, menikmati setiap jengkal sentuhan lembutnya. Aku mencoba untuk berkata-kata, namun yang keluar dari tenggorokanku tidak lebih dari sekedar erangan nikmat.

Lalu aku merasakan mulutnya pada kejantananku. Mengecup, menghisap, dan menjilat. Ditambah kedua tangannya yang terkadang menggosok pelan, memijat atau meremas. Belum lagi bulu halus yang tumbuh di dagunya memberikanku tusukan kecil yang geli namun nikmat. Aku, untuk yang pertama kalinya, merasakan apa yang disebut kesulitan bernafas. Mungkin lebih parah daripada seorang penderita asma.

Fung melepaskan mulutnya dari kejantananku. Sesaat aku mencoba untuk menghirup udara sebanyak mungkin, namun sesaat berikutnya mulutnya kembali menciumku. Dadaku terasa sangat panas, entah karena kekurangan udara atau entah apa. Debaran jantungku dapat kudengar sendiri ditelingaku. Tubuhnya, sesekali saat aku menemukan kesadaranku, gemetar begitu hebatnya seolah ia berusaha sangat-sangat keras untuk tidak kehilangan kendali dirinya. Dengan cepat dia menggendongku ke dalam kamarnya tanpa mengeringkan diri.

Dia merebahkanku ke atas ranjangnya dan tubuhnya yang besar menindihku. Entah sengaja atau tidak, ia sepertinya mengunciku supaya aku tidak bisa bebas bergerak. Atau kepalaku sudah sebegitu pusingnya sehingga bahkan untuk membedakan mana atas dan bawah juga sudah tidak sanggup lagi.

Dan benar saja. Kendali dirinya lepas. Bagaikan serigala liar, Fung mencumbuku habis-habisan. Dan tujuannya menahan tubuhku supaya aku tidak bergerak secara berlebihan jika ia mencumbu bagian tubuhku yang paling sensitif. Bagaikan anjing kelaparan yang menemukan tulang, mulut dan lidahnya mencumbui setiap jengkal tubuhku. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dan tanpa kusadari, sesaat kemudian, ia sudah berusaha menyatukan tubuh kami berdua. Pada saat berikutnya, tubuhku bereaksi pada saat aku merasakan nyeri yang langsung lenyap secepat kilat saat dia memasuki tubuhku. Namun sepertinya hal ini membuatnya menemukan kembali kendali dirinya.

"Sakit?" tanyanya gugup. Aku menggeleng.
"Maaf."

Dan berikutnya, ia melakukannya dengan lembut dan perlahan. Ia menginginkanku, dan bisakah aku mengartikannya sebagai bahwa ia mencintaiku? Dadaku terasa hangat. Aku baru saja menyadari perasaanku selama ini. Aku mencintainya.

Perlahan, irama tubuhnya menjadi semakin cepat dan kasar. Sepertinya ia tidak mampu lagi mengendalikan dirinya. Namun aku lebih suka ia melepaskan kendali dirinya. Penguasaannya, kejantanannya, kekuatannya terlihat dengan sangat jelas pada waktu itu. Keliarannya telah menjadi setara dengan seekor serigala.

Kami semakin menanjak mendekati puncaknya. Aku merasakan ada suatu kekuatan yang harus dilepaskan. Kedua tanganku mencengkram seprai di kiri kananku. Tangannya pada kejantananku, tahu bahwa aku akan segera mencapai puncak. Kegilaannya membawaku terbang seperti seekor merpati yang terbang dilepaskan melalui sebuah jendela yang terbuka lebar menuju terangnya sinar mentari.

Aku merasa melayang, dan dalam perasaan melayang tersebut, aku mendengar dan merasakan bahwa dirinya juga telah melepaskan kekuatan yang terpendam lama di dalam tubuhnya dalam sentakan yang kuat. Aku mencintainya, benar-benar mencintainya.

Aku yang mengharapkan pelukan mesra darinya sesudah kami berdua bercinta ternyata tidak mendapatkannya. Perasaan sepi langsung menusuk hatiku. Fung bangkit begitu saja dan meninggalkanku.

"Fung?" panggilku penuh tanda tanya.

Dia mengacuhkanku. Dia berjalan menuju lemarinya, mengambil sesuatu lalu melemparkannya kepadaku.

"Ambillah." katanya kasar.
"Apa ini?" tanyaku.

Dan sesaat kemudian aku sadar. Ia melemparkan sejumlah uang kepadaku. 100 lembar 50 ribuan.

"Apa ini maksudnya?"
"Bukankah ini yang kau inginkan?" dia mengambil pakaiannya yang berserakan di mana-mana dan memakainya secepat mungkin.
"Bukankah ini yang kau incar? Dan kau layak mendapatkannya untuk permainanmu yang seperti itu"
Lalu katanya sinis, "Walaupun kau memakai trik susah didapat?"

Dan aku langsung memahami maksudnya. Hatiku serasa tertusuk. Aku memunguti pakaianku dan memakainya secepat mungkin. Aku merasa mataku panas, dan hatiku terasa tersayat-sayat.

"Aku pergi saja." kataku pendek, berusaha untuk menahan emosi yang hampir meluap keluar.

Dia berbalik menghadapku. Wajahnya dan sinar matanya tidak terbaca.

"Bukankah ada yang tertinggal?" tanyanya sinis sambil menggangguk ke arah uang yang masih tergeletak di atas ranjangnya.
"Oh, ya." kataku pendek. Berusaha untuk tidak menampakkan emosi sama sekali.
"Benar." aku mengambilnya dengan tangan yang bergetar keras.

Aku memandangi uang tersebut. Sesaat aku ragu, namun sesaat kemudian, kemarahan yang membakar diriku membuatku melakukannya. Aku mengoyakkan sebanyak mungkin yang bisa kukoyakkan lalu kulemparkan kembali tepat ke arah wajahnya. Ia terkejut.

"Ini pantas untukmu." kataku terengah menahan amarah.

Bersambung . . . .