kang Saridjo, pelampiasan syahwatku - 1

Kedua orang tuaku ada urusan sama kakek-nenek di Malang. Mereka pergi untuk 3 hari. Kebetulan ada perbaikan AC di ruang tamu dan kamarku. Beberapa orang tukang sibuk melakukan perbaikan. Aku tergoda untuk memperhatikan salah satunya. Namanya Saridjo. Mungkin sekitar 40 tahunan. Nampak ototnya kasar dan gempal, mukanya penuh kumis dan jambang yang tercukur di pipi dan lehernya.

Aku terkesima. Tukang ini sangat seksi di mataku. Sungguh, Kang Saridjo, demikian aku memangilnya, sangat menawan syahwatku. Pada hari pertama mereka mulai kerja aku sempat 2 kali masturbasi. Mengkhayal.. Acchh.. Betapa nikmat kalau aku bisa menjilati tubuh gempal berotot itu.

Siang itu sambil 'surfing ke situs gay' di kamarku aku mengawasi mereka kerja.

"Permisi Den, saya mau ukur lubang di dinding untuk pasang kabel," Kang Saridjo sambil menggotong tangga lipat masuk ke kamarku.
"Silahkan, kang" Aku melihat peluang untuk ngobrol sama Saridjo. Bau badan penuh keringat langsung menyengat di kamarku.
"Dimana mau pasangnya, kang"
"Disitu Den, di atas jendela"

Duh nih orang, keringatnya ngocor dari tubuhnya yang bertelanjang dada. Nampak gumpalan-gumpalan tubuhnya semakin nyata dengan adanya keringat itu. Nampak pentilnya sebedar biji jagung hitam keras di tengah bulatan hitam pula. Aku berliur. Lidahku membasahi bibir. Ingin rasanya menjilati asin keringatnya sambil menggigiti pentil itu.

"Perlu dibantu?" pertanyaanku sambil memegangi tangganya.
"Terima kasih.."

Kini wajahku nanar menyaksikan betisnya yang coklat gelap mengkilat oleh basang keringatnya tepat di depan mukaku. Aku sungguh tak mampu menahan diriku. Betis liat penuh urat dan bulu-bulu itu sangat merangsang syahwatku. Kang Saridjo hanya bercelana kolor seperti pemain bola. Nampak betisnya menopang pahanya yang kekar dan gempal liat pula. Beberapa menit sambil mencoba menangkap bau badannya, aku sempat menggosok-gosok penisku di selangkangan. Aku ngaceng berat. Penisku menonjol mendesaki celanaku. Uch.. Gatelnya..

"Panas ya? Sudah minum belum, kang? Kalau belum boleh aku ambilin, ya..?" aku langsung bergerak mengambil minuman tanpa menungu jawabannya. Kudengar di belakangku dia menyahut, "Nggak usah, den" Tetapi aku pura-pura tak dengar. Aku harus aktip menyerang.

Es sirop dengan gelas besar kusodorkan padanya. Dia terima dan langsung di tenggaknya hingga ludas. Nampak jakunnya naik turun saat minumannya mengalir ke tenggorokannya. Lehernya yang menengadahkan kepalanya nampak kekar. Ah, betapa aku bisa menggigiti tuh otot-ototnya.

Saat dia kembalikan padaku gelas kosongnya aku bilang, "Duduk sini dulu, Bang. Istirahat sebentar. Nggak usah buru-buru. Kalau nggak selesai hari ini ya, besok nggak apa-apa. Jadinya ada yang nemenin aku di rumah ini" Kang Saridjo nampak menatap wajahku. Dia tahu aku jadi juragan selama ortu-ku tak ada di rumah. Aku duduk di kasurku dan kang Saridjo di kursi komputerku. Ah... aku lupa gambar-gambar porno di layar monitorku masing terang terpampang. Nampak cewek telanjang sedang menjilati perut lelaki hitam penuh otot.

Sesaat hendak ngobrol telpon di ruang famili terdengar berdering, aku beranjak keluar untuk mengangkatnya. Ada beberapa menit aku bertelpon dengan teman kampus. Saat aku balik ke kamar kulihat kang Sardi sedang melototi monitor pornoku. Nampaknya dia terbirahi. Aku pura-pura acuh agar dia tidak jengak dan malu.

"Seru juga nih gambar, Den?" celetuknya.
"Mau? Pengin?" tanyaku sambil tersenyum nyengir.
"Ya kalau ayu macam gini semua laki-laki pasti pengin," sahutnya.

Kulihat selangkangannya menggunung dari celana kolornya. Nampaknya dia agak malu-malu. Pasti ngaceng dia. Aku menarik kursi lain untuk duduk di sampingnya. Kuraih mouse Logitech-ku dan kudapatkan berpuluh-puluh file jpeg yang ku-kolek dari bebagai situs porno dalam pampangan ACDSee. Kang Saridjo terkaget-kaget menyaksikan adegan-adegan panas dari ACDSee ini. Tak ada omongan. Mata kang Sardi melotot, tanganku sibuk memindah-mindah gambar.

Saat ada 'shemale' Brazil yang cantik sedang nge-'blowjiob' pria hitam penuh bulu sengaja aku hentikan lebih lama. Nampak bagaimana mulut 'shemale' itu penuh oleh kepala kemaluan hitam yang batangnya penuh lingkaran otot-otot kasar.

"Edaann... enak banget rasanya kali?"
"Lhoo.. koq nih cewek punya kontol..? Banci, niihh.."

Aku masa bodo dengan omongannya karena aku lebih tertarik pada selangkangannya yang gundukkannya semakin membengkak. Aku sama sekali tak konsen lagi. Tetapi seperti biasanya aku tak memiliki keberanian untuk memulai. Yang kulakukan hanyalah mengutik-utik mouse-ku sambil mataku melotot ke arah gundukkan celana kolornya. Hatiku bergemuruh dan jantungku berdegup-degup kencang. Aku dilanda prahara syahwat nafsu birahiku. Terasa darahku naik ke wajahku dan terasa bengap.

"Kk.. Kang..." suaraku lirih tertahan. Kang Saridjo tak mendengarnya.
"Heh.. Heh..." sambil matanya tak melepaskan dari monitorku. Aku semakin nggak bisa tenang lagi.
"Pengin.. Kaanngg??" suaraku lirih.

Dia nggak dengar juga, tetapi..

"Ah, udah ach, Den. Saya jadi nggak tahan.." dia melengos ke arahku dan sepertinya tanpa sengaja menatap mataku.
"Pengin kang..?" dalam tatapan matanya tanpa sadar aku megulang pertanyaanku.

Tatapan mata Kang Saridjo nampak menahan nafsunya. Ternyata mukanya dan mukaku telah demikian berdekatan hingga kudengar nafasnya yang cepat dan ngos-ngosan. Aku memandanginya dalam penuh harap. Mataku terasa berkaca-kaca. Kang Saridjo nampak kagok dan ragu. Dia juga melirik sesaat ke arah selangkanganku yang juga menggunung.

Mungkin dia tak pernah mengenal 'seks sejenis'. Hidungku yang diterpa bau badannya mendorong mukaku lebih mendekat ke wajahnya. Nampaknya dia hendak beranjak pergi. Namun dia nggak berani bangun karena akan nampak kontolnya yang ngaceng. Aku pikir inilah saatnya agar dia tidak malu-malu. Sambil melemparkan senyuman dari wajahku yang sembab tanganku meraih gundukkan itu dan mengelusinya.

"Aachh.. Aden.. Malu khan 'ntar dilihatin teman-temanku"

Badannya terbongkok untuk menghidari rabaanku. Tetapi tanganku terus mengelusi dan kemudian meremas-remas batang panas dan keras di balik celananya. Uuhh.. Gedenya kontol Kang Saridjo ini.. Jantungku terus berpacu, mukaku semakin memerah panas karena desakkan libidoku.

"Jangan Den.. Saya tak pernah beginii.." Dia ragu, namun aku tak mendengarkannya. Remasanku terus kulakukan dengan penuh variasi hingga.
"Aacchh.. Deenn..." dia mulai melenguh. Dan nampaknya menyerah.
"Aacchh..." kontolnya terasa di tangan semakin membengkak keras.
"Enakk, Kang..?" bisikku.

Dia hanya memandangi wajahku sambil menyeringai dalam nikmat.. Aku semakin bersemangat. Merasa seperti pemangsa yang dapat buruan gede. Semakin kuamati tubuh kekar kasar Kang Sardi semakin aku terbakar nafsuku. Aku udah nekad.

Keringat Kang Saridjo yang nampak mengalir di dada legamnya yang penuh bulu sangat merangsang gelora birahiku. Tanpa kusuruh lagi tangan kiriku menyapa dalam sapuan lembut merabai basah pada dada dan bulu-bulunya itu. Jakunku naik turun, lidahku sangat ingin menjilat-jilat keringat dan bulu-bulu itu. Kang Saridjo nampak pasrah. Nampaknya dia heran akan ulahku. Namun dia menikmatinya.

"Aden suka lelaki?" aku tak perlu menjawab.

Kami kembali saling menatap lama sementara tangan-tanganku terus menggerilya. Kang Saridjo mengamati wajahku. Aku rasa dia mulai terbirahi akan wajahku yang bersih putih dan tampan. Tiba-tiba tangan kanannya yang kokoh telah meraih kepalaku dan menariknya hingga mukaku nempel ke dada basah itu.

"Denn.. Aku jadi nafsu juga. Habis tampang Aden yang cakep macam perempuan," omongnya.

Begitu mukaku nempel ke dadanya secara otomatis bibirku mencium dan menyedotnya. Keringatnya benar asin. Bibir dan lidahku mengecapinya.

"Duh.... Den.. Enak.. Bb.. Bangeett.."

Sambil tangannya yang kena badai nafsu meremas rambutku dan mendorong geser ke bagian dada yang lain. Dan aku sepertinya telah tersihir pukau. Aku ikuti saja. Bahkan dengan rakus. Aku menciumi dan menjilati dada kang Sardi. Aku menggigit kecil dan..

"Yaacchh... tt.. Tee.. Erus Dee.. Nn, enak bangett.." Suara Kang Saridjo tengadah, mendesah dan melenguh.

Tangan kiriku bergelayut pada bahunya yang gempal sementara tangan kananku terus bergerak meliar. Merambati turun ke perut, memijat dan mencemoli otot perut dan bulu-bulunya yang semakin turun semakin melebat. Kang Sardi tahu apa yang kudambakan. Dia benar-benar pasrah.

Bersambung . . . . .